Kamis, 31 Desember 2009

Balada Nengseh

Namaku Nengseh. Yah, Nengseh. Cukup panggil aku Nengseh.
Aku tidak tahu kenapa orangtuaku memberiku nama Nengseh. Aku juga tidak pernah tahu apa itu arti Nengseh. Orangtuaku yang memberiku nama Nengseh tak pernah memberitahu arti dari namaku itu. Sehingga yang kutahu, aku lahir di daerah pedalaman Kalimantan dan saat ini menjadi perempuan terpandang dan terhormat di kota suamiku. Meski aku sebenarnya bukanlah perempuan baik-baik.

Harga diriku sebagai perempuan telah kubuang jauh-jauh sejak aku meninggalkan kota kelahiranku. Kuselami kehidupan malam di kota pelajar yang dingin. Kujejakan langkah kakiku untuk sebuah kebutuhan batin yang tak pernah terpuaskan. Gejolak birahi diusiaku yang masih muda belia. Kusandang status sebagai mahasiswi.

Yah, mahasiswi. Sebuah istilah nama yang sangat keren di mata masyarakat daerah asalku. Apalagi aku mahasiswi yang kuliah di Jawa. Walau aku tak pernah menyentuh buku, mereka tetap memandangku sebagai perempuan terpelajar. Agent of change, demikian sebagian orang memandang statusku.

Aku tak peduli dengan status itu. Apalagi aku juga tak pernah tahu, siapa orang yang pertama menyebut kaumku sebagai agent of change. Namun, aku tetap menikmati julukan dari status itu. Terlepas apakah aku bagian diantara mereka yang benar-benar disebut sebagai agent of change atau tidak. Persetan. Aku tak peduli.

Hari-hariku aku habiskan di dunia malam. Bergerilya dari cafe ke kafe, dari pub ke pub, dan semua tempat hiburan malam yang ada di kota pelajar yang dingin ini. Tujuanku sipel, selain sekadar just for fun juga mencari pria-pria tajir yang haus cinta. Hingga suatu malam aku berkenalan dengan seorang pengusaha muda. Namanya, Jaka. Usianya, selisih lima tahun diatasku. Walau usianya masih muda, ternyata Jaka sudah punya istri dan dua anak. Persetan dengan anak dan istri Jaka. Aku tak peduli, aku tetap ingin menguasai Jaka demi uang dan kepuasan batinku.

”Kamu benar-benar hebat, Nengseh. Aku puas denganmu,” ucap Jaka pada suatu malam di kamar hotel berbintang lima.
“Kamu juga hebat Mas. Baru kali ini aku menemukan pria perkasa sepertimu,” balas Nengseh lembut.

Cinta asmara di kamar hotel berbintang lima ini terus berlanjut. Jaka pun semakin terbuai dengan rayuan gombal Nengseh. Jaka lupa dengan anak dan istrinya yang ada di rumah. Hingga pada suatu hari, Nengseh yang sudah punya banyak pengalaman melayani laki-laki hidung belang ini, sengaja ingin hamil. Usaha Nengseh tak sia-sia. Lalu meminta dinikahinya. Jaka akhirnya mencerai istrinya dan menikah Nengseh.

Empat tahun berlalu. Nengseh bukan hanya telah diwisuda di kampusnya. Namun, juga telah menjadi istri pengusaha. Hingga suatu momentum, Nengseh yang tidak pernah mengenal dunia politik praktis, mendapat tawaran dari sebuah partai politik yang baru didirikan dan kebingungan mencari kader. Pelacur gang doli pun disambar, asal punya uang. Tak butuh proses pengkaderan yang ribet untuk bisa duduk di parlemen mewakili partai politiknya. Pat gulipat, semua bisa disulap. Nengseh yang didukung logistik keuangan dari suaminya, akhirnya bisa menjadi perempuan terhormat dan dihormati. Dua periode, menyandang status sebagai wakil rakyat di kota suaminya.

Namun, yang namanya pelacur. Ia tetap pelacur. Usai memimpin rapat, ia tetap berkelana mencari laki-laki lain yang dapat memuaskan kebutuhan biologisnya. Tentu tanpa sepengetahuan suaminya.

”Mas, besok aku ada kunjungan ke Bali. Kalau kamu tidak sibuk, temani aku di hotel ya,” sebuah pesan singkat dikirim Nengseh pada seorang pria di Bali.

Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, pria yang menjabat sebagai kepala biro stasiun televisi di Bali langsung membalasnya.

”Siap ibu. Saya pasti akan temani bu Nengseh, kemana pun bu Nengseh mau jalan-jalan,” balas pria itu melalui ponselnya.

Tiga hari berlibur di Bali. Nengseh yang tidak pernah merasa puas menikmati gaya kehidupannya waktu masih muda, tetap terulang dan terus diulangi. Ia tak peduli kalau dirinya kini telah menjadi wakil rakyat. Dalam hati, ia berfikir, bukankah tugas wakil rakyat harus melayani rakyat. Pria ini adalah seorang rakyat. Maka sudah sepantasnya aku juga harus bisa melayani kepuasan pria ini. Apalagi, kepuasan pria ini adalah kepuasanku juga.

”Bu Nengseh ini benar-benar hebat,” ujar lelaki itu.
“Kamu juga hebat Mas. Kamu benar-benar perkasa. Tidak seperti suamiku si Jaka Gendeng,” ucap Nengseh sambil memeluk pria yang masih terbaring disampingnya.

Tak pernah sedikitpun merasa takut. Apalagi berfikir bahwa suaminya sudah mulai curiga terhadap prilakunya akhir-akhir ini. Hubungan dengan pria inipun terus berlanjut. Padahal ia juga tahu bahwa pria ini sebentar lagi akan menikah. Namun, Nengseh tetap ingin menikmati keperkasaan pria ini, selama pria ini belum menjadi milik orang lain. Hingga pada suatu hari, saat pria ini sedang berada di kota pahlawan. Nengseh yang tak pernah merasa puas dengan kebutuhan biologisnya, berusaha untuk menemui pria ini.

”Kutunggu di Hotel dekat bundaran waru,” pesan Nengseh singkat melalui HP-nya dikirim ke pria itu.
”Oke, tapi agak malam yah. Saya masih rapat nih,” balas pria itu.
”Tak apa Mas, jam berapapun saya tunggu,” balasnya.

Sekitar pukul 20:00, pria yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Nengseh tersenyum. Ia padangi pria berbadan tegap dan tinggi itu. Lalu mengajak pria itu berkaroke sebentar di ruang karoke hotel. Nengseh, memang paling suka berkaroke. Kebetulan pria ini juga paling demen bernyani. Sambil sesekali meneguk minuman yang telah dipesannya untuk menghangatkan badan, Nengseh dan lelaki ini terus bernyani. Hingga pukul 23:00, Nengseh baru mengajak pria ini masuk ke dalam kamar hotel berbintang itu.

Tok-tok. Tok-tok. Pukul 02:50 pintu kamar hotel di ketuk dari luar. Nengseh yang masih tergeletak lemas, awalnya tak mempedulikan suara ketokan pintu itu. ”Ini hotel berbintang, tak mungkin satpol PP dan polisi berani merazia hotel ini” bisiknya dalam hati. Namun, suara ketukan pintu itu semangkin keras terdengar. Nengseh yang masih telanjang pun segera menaik baju kimononya. Lalu melangkah ke arah pintu dan membukanya.

”Mampus aku. Sialan. Bajingan,” umpatnya dalam hati setelah membuka pintu. Ternyata yang mengetuk pintu itu suaminya sendiri dan sopir pribadinya. Bersama beberapa orang polisi yang disewa oleh suaminya. Namun, Nengseh tetap berusaha tuk tenang menghadapi situasi seperti ini. Sementara, pria muda yang bersamanya langsung masuk ke kamar mandi. Tak ada satupun kalimat yang terlontar dari pria itu. Dia hanya menundukan kepala setelah suami Nengseh memintanya ke luar dari kamar mandi.

”Kau tega sama aku,” ucap Nengseh pada sopir pribadinya yang ternyata membocorkan rahasia ini pada suaminya.

Sopir Nengseh pun gemetar. Namun, dia tetap berusaha tuk me-record suasana tegang di kamar hotel itu dengan kamera handycam-nya. Atas perintah suami Nengseh tentunya. Sementara Jaka hanya bisa menahan geram. Apalagi Jaka bukan hanya tahu tapi, juga kenal baik dengan pria yang ternyata berani meniduri istrinya itu. Saat pria ini belum menjadi kepala biro stasiun televisi, tepatnya ketika pria itu masih menjadi seorang kameramen, pria bertubuh besar ini sudah sering diajak oleh reporternya ke rumah Jaka. Bukan hanya sekadar untuk mengambil gambar wawancara dengan Jaka yang juga seorang ketua partai. Namun, disaat sang reporter dan dirinya butuh uang saku, pria ini kerap berkunjung dan menemui Jaka di rumahnya. Dari sinilah pria ini akhirnya dapat berkenalan dengan Nengseh yang genit.

Namun, sebagai seorang ketua partai. Jaka yang merasa geram tak banyak berbuat apa-apa. Jaka hanya merampas HP milik istrinya dan pria itu sebagai bahan bukti sekandal perselingkuhan istrinya. Karena, di dalam inbox HP mereka terdapat banyak pesan singkat yang bisa dijadikan bukti petunjuk perselingkuhan itu.

***

Pagi dini hari itu, Jaka langsung mengajak istrinya pulang. Jalan-jalan masih lengang. Porong yang selama ini macet pada siang hari, pagi itu tak ada antrean kendaraan yang berjalan merayap. Asap tebal berwarna putuh dari pusat semburan yang telah menenggelamkan belasan desa itu, masih tetap mengepul tanpa kompromis. Jaka dan istrinya duduk di belakang sopir pribadinya yang mengemudikan mobilnya. Sebuah borgol melingkar ditangan kiri Nengseh dan tangan kanan Jaka. Nengseh hanya diam. Dan terus mengikuti kemana suaminya akan membawanya.

Satu setengah jam, setelah meninggalkan kota Surabaya. Sopir keluarga itu menghentikan mobil atas perintah Jaka.

”Guh, berhenti disini saja. Kamu naik angkot dan langsung pulang ke rumah saja ya. Saya tidak pulang sekarang,” ucap Jaka pada sopirnya yang bernama Puguh.
”Iya pak.”
”Ini buat naik angkot,” imbuh Jaka sambil mengulurkan beberapa lembar uang pada sopirnya.

Setelah sang sopir turun dari mobil. Borgol yang ada ditangannya di lepas. Lalu di ikatkan pada besi disamping jok mobilnya. Sehingga kini tinggal tangan Nengseh yang terikat borgol dan besi disamping jok itu. Kemudian, Jaka pindah ke depan dan mengemudikan mobil sendiri.

Melihat ulah Jaka seperti ini, Nengseh masih tetap diam. Tak ada satupun kalimat yang keluar dari mulutnya. Ia juga tak menangis diperlakukan seperti itu oleh suaminya. Mobil yang dikemudikan oleh suaminya terus melaju pelan. Memutar-mutar kota tak tahu entah mau kemana. Jaka juga tak bicara apa-apa, hanya sesekali melirik kebelakang dari kaca kecil di dalam mobil itu. Hingga terasa cape, Jaka lalu membelokan mobilnya dan masuk ke halaman hotel. Lalu memarkir kendaraan itu dan turun.

”Ayo turun,” ucap Jaka setelah borgol yang melingkar di besi itu dipindah ke tangannya dan gelang yang satunya masih tetap melingkar ditangan istrinya.

Nengseh masih tetap diam dan tak tahu apa yang akan dilakukan oleh suaminya padanya. Ia hanya bisa mengikuti langkah suaminya. Lalu Jaka memesan satu kamar di hotel. Mereka berdua pun langsung menuju kamar hotel yang telah dipesannya.

Begitu sampai di kamar, Jaka melepas borgol yang ada di tangannya lalu mengikatkannya pada gagang kursi. Jaka masuk ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Usai mandi, Jaka tidur dan membiarkan istrinya yang masih menggunakan kimono semalam untuk tidur di kursi hotel itu. Pukul 12:00, Jaka baru bangun dan istrinya ternyata masih tertidur di kursi.

Sebuah tragedi yang sangat memalukan ini telah terjadi. Sebagai wakil rakyat, Nengseh bukan hanya telah memporak porandakan tatanan kerukunan rumah tangganya. Nengseh juga telah menghancurkan rencana pernikahan akhir tahun pria yang diajaknya tuk memuaskan kebutuhan biologisnya. Namun, inilah hidup. Nengseh tetap dapat tersenyum manis pada esok harinya setelah suaminya melepas borgolnya. Ia juga masih dapat memimpin rapat di komisinya, tanpa peduli hati rakyat terkoyak jika mengetahui skandal ini.

”Jika kamu tidak terima, silahkan ceraikan aku saja. Aku tak akan minta apa-apa darimu. Aku hanya minta jangan permalukan aku sebagai wakil rakyat,” ucap Nengseh pada suaminya. ”Tak adil jika kau mempermasalahkan ini. Aku berbuat seperti ini juga karena kamu juga sering selingkuh dengan perempuan lain,” imbuhnya.

Jaka hanya bisa diam. Namun, dalam hati dia tetap mengakui bahwa dirinya memang bukan tipe laki-laki setia. Setelah sekandalnya terbongkar, Nengseh kirim pesan pada pria selingkuhannya. ”Kamu harus tetap menikah. Andai aku tahu dari awal kamu non muslim, peristiwa ini tak akan pernah terjadi. Karena, aku tak bisa menikah dengan orang yang tidak seiman denganku,” tegasnya.

Sementara, pria itu telah pergi entah kemana. Hanya Nengseh dan laki-laki itu yang tahu. Itulah anggapan keluarga dari laki-laki itu. Namun, Nengseh tetap membantah bahwa dirinya masih menyembuyikan pria itu.

Minggu, 20 Desember 2009

Gaya Retorika Komunikasi Politik Prabowo


Awalnya, rasa “penasaran” di benak penulis. “Penasaran” menyimak banyak mantan aktivis mahasiswa angkatan 1998 “mengabdi” kepada sejumlah mantan jenderal TNI, di panggung politik pada pemilu 2009. Padahal, dahulu, mereka adalah barisan mahasiswa kritis, menuntut pembubaran Dwifungsi TNI/ABRI. Mereka juga menuntut militer yang berada di jagad politik praktis dan di dunia bisnis riil, ditarik dan dikembalikan ke barak masing-masing.

Dari rasa “penasaran” itu, lahirlah ide menulis buku ini. Namun, buku ini tidak dihajatkan untuk mencari alasan pembenar dari sudut pandang kalangan mantan akitifis mahasiswa dimaksud. Buku ini juga tidak bermotif menghakimi atau mencari dosa-dosa politik masa lalu para mantan jenderal TNI yang terjun ke kancah politik praktis, pemilu 2009.

Jujur saja, dalam perkembangan ide menulis buku ini, akhirnya penulis menukik hanya pada satu sosok mantan Jenderal TNI. Sosok dimaksud adalah, Letnan Jenderal TNI (Purn.) Prabowo Subianto. Hal yang paling menarik pada sosok mantan Panglima Kostrad tersebut, dari sudut pandang subjektif penulis, tertuju pada gaya retorika komunikasi politiknya.

Hal lain adalah, fakta bahwa Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang didirikan pensiunan jenderal bintang tiga tersebut mampu meraup 5,36 % suara sah nasional, atau setara dengan 30 kursi DPR RI pada pemilu 2009 (rekapitulasi KPU, 9 Mei 2009). Maka, wajar fakta tersebut diakui sebagai sebuah prestasi Prabowo dan Partai Gerindra yang baru kali pertama mengikuti pemilu, namun mampu lolos parliamentary threshold (2,5%); meski “hanya” di peringkat delapan dari sembilan parpol yang lolos ambang batas tersebut.

Penajaman penulis pada ide pokok “gaya retorika komunikasi politik Prabowo Subianto”, sungguh bukan karena penulis mengagumi anak Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo itu. Bukan pula karena penulis menjadi pendukung atau simpatisan Partai Gerindra. Pasalnya, maaf, penulis tetap konsisten untuk tidak memilih partai politik apa pun pada pemilu 2009, kendati pilihan tersebut sempat diharamkan oleh MUI.

Buku ini juga tidak dimaksudkan untuk “menghakimi” sosok Prabowo Subianto, baik sebagai individu maupun sebagai elit politik yang berlatar belakang militer. Bab demi bab dalam buku ini penulis sajikan sebagai sebuah mata rantai yang saling terkait. Diawali dari ihwal latar belakang Prabowo dan keluarga besar Profesor Sumitro; hingga terbentuknya kepribadian khas Prabowo. Penulis, dari berbagai sumber, juga menuangkan ihwal karier militernya, aneka masalah yang menyelimuti di penghujung karier militernya, persahabatannya dengan Raja Yordania, karier bisnisnya bersama adik (Hashim S. Djojohadikusumo), hingga semua itu membentuk rangkaian gaya bahasa dan retorika politiknya saat berlaga di jagad politik praktis, pemilu 2009.

Penulis perlu “buka kartu”, sesungguhnya penulis hanya mantan jurnalis muda yang masih terus berkeinginan belajar menyimak segala sesuatu, sebagaimana layaknya kelaziman seorang jurnalis. Tidak ada unsur dan muatan politis apa pun yang terselubung di balik penulisan buku ini. Kendati demikian, penulis mengakui, objektifitas individu seorang jurnalis juga tidak dapat dilepaskan dari persoalan sikap politiknya secara subjektif.

Ketika kali pertama berkeinginan menulis buku ini, penulis sempat berfikir ingin mengumpulkan semua hasil rekaman video orasi politik Prabowo selama melakukan kampanye di berbagai daerah. Selain itu juga mengumpulkan semua hasil rekaman video pada saat Prabowo diwawancara di televisi. Namun, hingga naskah buku ini ditulis, sedikit rekaman video yang dapat penulis kumpulkan sebagai bahan. Sehingga, boleh jadi, buku ini tidak dapat mewakili secara keseluruhan dari gaya retorika komunikasi pensiuan jenderal TNI bintang tiga tersebut.

Selain melakukan kampanye politik secara terbuka dengan cara menghadirkan massa, mantan Panglima Kostrad tersebut juga secara aktif melakukan kampanye melalui situs jejaring sosial facebook. Awalnya, penulis hanya tertarik pada gaya retorika komunikasi politik yang dibangun Prabowo melalui situs tersebut. Namun, penulis merasa “ada sesuatu yang kurang” jika hanya melihat gaya retorika komunikasi politik Prabowo yang ditulis melalui situs tersebut. Pasalnya, bisa jadi, apa yang ditulis di facebook tersebut bukan murni karya Prabowo, tapi produk tim suksesnya. Bertolak dari “kecurigaan” tersebut, penulis berusaha mencari berbagai rekaman kaset dan gambar video saat Prabowo berorasi dan diwawancara di stasiun televisi. Hal tersebut penulis maksudkan untuk menyimak ihwal bahasa non-verbalnya.

Maka, jadilah buku ini hanya sebatas menyimak gaya retorika komunikasi politik Prabowo selama melakukan kampanye politik sebelum pemilu legislatif 9 April 2009. Terutama yang berkaitan dengan penggunaan bahasa politik untuk memaknai realitas yang ada. Termasuk bagaimana gaya Prabowo pada saat berkapasitas sebagai komunikator dalam menyampaikan pesan untuk mempengaruhi khalayak.

Penulis berasumsi, keberhasilan komunikator dalam mempengaruhi khalayak agar bersedia memberikan dukungan (suara) kepadanya, salah satunya adalah karena kepiawaian komunikator dalam menyampaikan pesan. Termasuk pemilihan kata dan bahasa guna membingkai pesan agar semakin menarik khalayak. Itulah sebabnya gaya retorika komunikasi politik sang komunikator menjadi layak disimak, bahkan dianalisis.

Semoga buku ini bermanfaat bagi khalayak pembaca.

Surabaya, 9 Mei 2009
Sidik Suhada

Rabu, 18 November 2009

Gerimis dan Orolan Senja Tanpa Makna

Oleh: Sidik Suhada

Gerimis belum juga berhenti. Suasana desa pun makin terasa sepi di penghujung senja ini. Hanya sesekali ada orang yang lewat, melintas dari teritikan rumah satu ke rumah yang lainnya. Ada yang membawa cangkul, ada yang membawa arit. Dari balik jenela, aku hanya bisa melihat samar wajah mereka yang mengenakan caping.

“Mampir, Kang,” sapaku dari balik jendela menghentikan langkahnya.
“Loh, kamu di rumah. Kapan pulang?” sautnya
Tanpa basa-basi, aku pun langung begegas membuka pintu tuk mempersilahkan Kang Darmin masuk rumah. “Mangga Kang, masuk dulu,” ucapku.

Melihat aku keluar, Kang Darmin pun langsung mendekat sambil mengulurkan tangannya mengajak berjabat tangan.
“Gimana kabarnya, pulang sendiri apa sama istri?”
“Ya sendiri lah kang, aku kan belum punya istri,” jawabku.
“Oh iya ya. Kapan mau menikah, entar keburu kiamat. Itu di tivi-tivi katanya 2012 mau kiamat loh.”
“Aduh...., Kang Darmin ini bisa aja. Itu ma bohong. Itu cuma film kang.”
“Hih, tapi gambarnya ngeri. Jadi takut. Andaikan benar-benar kiamat gimana yah?”.
“Emang kamu udah melihat filmnya?” tanyaku.
“Ya belum atuh. Di desa kan tidak ada bioskop. Tapi kita kan bisa melihat berita di tivi?”.

Mendengar jawaban itu, aku hanya bisa terdiam. Apakah ini yang dimaksud oleh Dekan Annenberg School of Communication di Universitas Pennsylvania Amerika Serikat, Prof. George Gerbner? Bisa jadi. Televisi memang sering dipandang sebagai jendela untuk melihat dan memandang apa yang ada di dalam fakta kehidupan ini. Sebagai sebuah media, televisi juga memiliki kekuatan efek yang maha dasyat. Apalagi, bagi masyarakat desa yang sebagian besar masih belum melek huruf. Televisi, tentu menjadi sebuah tontonan yang menarik tuk melepas lelah sepulang dari sawah. Esoknya, mereka pun bergunjing, mepersepsikan dan memberi opini atas apa yang telah dilihatnya di dalam televisi. Menurut mereka, itulah realita yang ada.

“Tapi kalau dipikir-pikir, kayaknya emang benar ya dunia ini akan segera kiamat,”sloroh Darmin memecahkan lamunanku.
“Kok bisa?” kejarku.
Darmin terdiam sesaat. Kemudian berkata, “Boleh saya minta rokok?”.
“Oh. Silahkan Kang,” kataku sambil mengulungkan rokok mild yang ada di meja.

Seasana hening sejenak. Darmin pun langsung mengambil rokok dan menyalakannya. Tak lama kemudian, pintu tengah rumahku terbuka. Si Mbok keluar sambil membawa pohung goreng dan dua gelas teh tubruk produksi Selawi yang menjadi kesukaanku. Rasanya khas, sedikit ada rasa sepet, tapi aroma bunga melatinya alami.

“Waduh, merepotkan aja nih,” celetuk Darmin basa-basi.
“Mangga, cuma wedang kendel,” Si Mbok ramah menawarkan hidangannya.
“Lah, ini ada temennya pohung goreng. Mantap nih,” selah Darmin menimpali.

Setelah mengeluarkan hidangan ala kadarnya, Si Mbok pun langsung pamit ke dapur lagi tuk melanjutkan masak. “Mangga, saya tinggal dulu ke dapur yah. Belum selesai masak nih.”
“Iya Mbok. Terimaksih ya Mbok,” timpal Darmin. Dan Si Mbok pun langsung bergegas meninggalkan kami berdua.

Walau hanya sekadar pohung atau singkong digoreng, suasana pun manjadi terasa hangat. Walau gerimis di luar masih terus mengalir tanpa henti. Sesekali gelegar suara petir dan kilat yang sangat menakutkan ini pun tak terasa. Sambil menikmati pohung goreng yang masih hangat, Darmin nampanknya ingin melanjutkan obrolannya.

“Ya kalau menurutku, kayaknya dunia ini emang akan segera kiamat. Buktinya kini jumlah orang baik semakin sedikit,” ujarnya.
“Apakah kamu sudah pernah menghitungnya?” potongku.
“Ya belum sih. Tapi kalau melihat berita di tivi, kini jumlah orang baik semakin sedikit”
“Kok bisa?” timpalku.
“ Iya soalnya, kini pejabat yang suka korupsi jumlahnya semakin banyak. Bahkan polis yang seharusnya menangkap penjahat, malah bekerja sama dengan penjahat. Buktinya, yang baik ditahan, yang jahat malah dibebaskan”, ujar Darmin berargumentasi.

Mendengar jawaban itu, aku hanya bisa terdiam. Darmin pun terus bercerita tanpa henti. Ia juga menceritakan bagimana hasil rekaman penyadapan KPK yang dibuka di Makamah Konstitusi itu sudah menjadi bukti nyata bahwa, para penegak hukum ternyata telah bekerja sama dengan para penjahat. Bahkan anggota DPR yang seharusnya dapat menyuarakan aspirasi rakyat, hanya bisa jadi “macan ompong” di hadapan Kapolri. Jika tidak mau disebut sebagai “humas” polri.

“Trus bagaimana ya nasib kita?” ucap Darmin lirih memecahkan lamunanku.
“Kita mau menanam padi saja, kesulitan bibit. Belum harga pupuk yang terus melangit. Sementara mereka yang di atas berebut duwit rakyat yang di dapat dari hasil pajak, dan lain-lain” imbuh Darmin.

Seperti anggota dewan, mendengar keluhan Darmin ini pun, aku hanya bisa diam. Sambil menghebuskan asap rokok ke depan. Ini memang sebuah ketimpangan. Untuk memberi subsidi kepada petani saja, pemerintah hanya mengalokasikan dana Rp 1,6 triliun. Bahkan jika kita melihat APBN 2010, subsidi pupuk menurun dratis. Dari Rp 17,5 triliun pada 2009, kini menurun menjadi Rp 11,3 triliun pada APBD 2010. Sementara untuk Bank Century, pemerintah berani mengeluarkan dana talangan sebesar Rp 6,7 triliun.

“Kok hanya diam aja sih,” celetuk Darmin membuyarkan pikiranku. “Mikir apa?” imbuhnya sambil tertawa.
“Ha...ha...ha...,” kami berdua pun tertawa bersama. Hingga tak terasa, hari pun sudah mulai gelap dan suara Adzan Maghrib sudah berkumandang. Darmin pun pamit pulang. Menerobos hujan dengan caping yang diselipi daun kanderi, yang dipercaya dapat penolak petir.

Sabtu, 07 November 2009

Kalah - Menang Rakyat Dirugikan

Ayo kita berfikir jernih. Dalam kasus “cicak vs buaya”, siapa diuntungkan dan siapa yang dirugikan? Jawabannya sangat mudah. Yang diuntungkan jelas koruptor dan mafia peradilan. Yang dirugikan jelas rakyat.

Saya tidak berniat membahas pihak yang diuntungkan. Karena sudah pasti para bedebah itu yang diuntungkan.. Yang menarik justru membahas pihak yang dirugikan yakni, rakyat. Bagaimana logikanya? Mudah dan terang. Jika “buaya menang” (sangkaan polisi terbukti dipengadilan, Bibit-Chandra dinyatakan bersalah), rakyat dirugikan karena anak kandung reformasi itu (KPK) telah mengkhianati “ibundanya”.

Sebaliknya, jika “cicak” yang menang (dakwaan tidak terbukti di pengadilan dan Bibit-Chandra divonis bebas ), tetap saja rakyat yang dirugikan, karena punya “buaya” kok bego. Padahal tidak kurang-kurang rakyat mengucurkan dana (APBN) untuk menghidupinya.

Nah, mungkinkah “cicak vs buaya” akan berakir “draw” di pengadilan? Jelas tidak mungkin karena ini perkara pidana. Selain itu, tidak ada dua kebenaran dalam satu perkara pidana yang saling “berhadapan” (Jaksa Penuntut Umum vs Terdakwa).

Sekali lagi, ayo kita berfikir jernih. Rakyat juga dirugikan jika buaya sampai kalah, karena memiliki Kejaksaan yang juga (maaf) bego, karena tidak bisa membuktikan kebenaran dakwaannya dalam persidangan. Padahal rakyat juga tidak kurang-kurang menghidupi lembaga ini dengan uang rakyat (APBN).

Kesimpulannya, rakyat tetap saja yang selalu dirugikan. Para pihak yang bertikai, paling-paling cuma merasa malu. Akhirnya, yang diuntungkan (tidak merugi dan tidak perlu malu) hanyalah koruptor plus mafioso peradilan.

Dimana posisi DPR dalam gonjng-ganjing “cicak vs buaya” tersebut? Saya tidak mau mengupas dalam tulisan pendek ini karena saya sudah merasa malu punya wakil rakyat yang cuma “segitu-gitu” aja kualitasnya. Selain malu, sejujurnya saja saya juga kecewa dan sakit hati karena punya wakil rakyat kok menentang arus kehendak rakyat.

Sekali lagi, percuma ngomongin DPR. Biar mereka rapat sampai subuh, apa sih manfaatnya buat rakyat? Malah bikin kecewa !!!

Jumat, 06 November 2009

Idealnya KPK itu tidak abadi

Oleh: Sidik Suhada

Keselamatan dan kesejahtaraan rakyat adalah hukum tertinggi (salus populi suprema lex). Kalimat mutiara itu tanpak jelas bahwa ”kilbat” didirikannya sebuah negara adalah rakyat. Meskipun tentu harus ada dua syarat yang lain agar ”kilbat” itu sempurna, yaitu adanya wilayah dan adanya pemerintahan yang berdaulat. Maka menjadi wajar dalam ”urat nadi” pemerintahan harus mengalir ”darah” keselamatan dan kesejahteraan rakyat.

Segala sesuatu rencana, strategi, dan aksi yang patut dapat diduga berakibat buruk atau merugikan keselamatan dan kesejahtaraan rakyat, menjadi layak disebut kejahatan. Salah satu kejahatan yang menduduki peringkat tertinggi dari segi akhibat buruknya terhadap keselamatan dan kesejahteraan rakyat adalah korupsi. Itulah sebabnya, korupsi disebut sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinari crime).

Bertolak dari pemikiran tersebut, setiap pemerintahan di negara bersistem apapun, menempatkan korupsi sebagai salah satu musuk utama. Tidak terkecuali di Indonesia. Orde Baru di bawah pemerintahan Suharto pun, menyakini hal itu. Buktinya, adanya UU No. 3/1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Institusi yang diserahi wewenang untuk melaksanakan UU tersebut adalah Kepolisian dan Kejaksaan. Namun, korupsi di era Suharto tetap merajalela.

Akselerasi penanganan pemberantasan tipikor lasimnya juga diproyeksikan dengan akselerasi penanganan program peningkatan kesejahteraan rakyat. Artinya, jika kuantitas dan kualitas tipikor menurun, maka perimbangan dampaknya adalah kuantitas dan kualitas kesejahteraan rakyat meningkat. Demikian pula sebaliknya.

Tak kala fakta berbicara,bahwa tipikor di Indonesia masuk lima besar tipikor di dunia, dan jumlah penduduk miskin (belum termasuk pengangguran) meningkat, opini tersebut di atas menjadi benar. Menyikapi realitas itulah penyelenggara pemerintahan (eksekutif dan legislatif) pada era reformasi memandang perlu melahirkan sebuah institusi yang diberi kewenangan khusus untuk menangani pemberantasan tipikor.

KPK Lahir
Dalam suasana batin bangsa yang gundah menyikapi tingginya angka korupsi di Indonesia yang seiring dengan masih tingginya angka kemiskinan, munculah tekad bersama untuk membentuk institusi superbody. Institusi ini tidak hanya memiliki kewenangan khusus tapi juga kewenangan ekstra sebagai sebuah institusi superbody. Ini terjadi pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Bersama DPR RI periode 1999-2004, pemerintahan Megawati berhasil melahirkan UU No.30/Tahun 2001 tentang KPK.

Sempat muncul pertanyaan, mengapa perlu ada KPK? Bukankah sudah ada Kepolisian dan Kejaksaan. Bahkan di kepolisian ada bagian yang khusus menangani tindak pidana khusus (korupsi). Begitu juga di Kejaksaan, mulai dari bawah sampai atas ada Kasi Pidsus (Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus di Kejaksaan Negeri Kota/Kabupaten), dan bahkan di Kejaksaan Agung ada JAM Pidsus ( Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus). Pertanyaan berikutnya, mengapa pula perlu ada Pengadilan Khusus Tipikor? Bukankah sudah ada Pengadilan Umum?

Lima tahun lalu itu, memang sempat terjadi pro-kontra atas kelahiran ”jabang bayi” KPK. Pro-kontra itu akhirnya mereda dengan adanya pengertian yang benar tentang latar belakang kelahiran KPK. Intinya, tugas Kepolisian sangat komples dalam wilayah yang sangat luas dan jumlah personil yang tidak sebanding ideal dengan jumlah penduduk. Akhibatnya fokus penanganan Kepolisian tidak bisa hanya pada penanganan tipikor. Kasus-kasus lain diranah Pidum (pidana umum) secara kuantitas dan kualitas juga luar biasa banyak/tinggi. Masih ditambah lagi dengan tugas kepolisian menangani tindak pidana yang tidak kalah hebatnya dalam konteks membahayakan keselamatan dan kesejahteraan rakyat yaitu, terorisme.

Demikian pula yang terjadi pada institusi Kejaksaan. Pernah sempat dicoba mengawinkan keduanya lewat pembentukan institusi Timtas Tipikor (Tim Pemberantasa Tipikor). Namun, hasilnya juga dinilai belum maksimal seperti yang diharapkan oleh banyak pihak.

Pihak yang perbendapat lain (sekeptis) memang meyakini Kepolisian dan Kejaksaan tidak mampu melaksanakan amanat pemberantasan tipikor. Jadi keberadaan KPK mutlak perlu. Terlepas dari pro kontra tersebut, saya berpendapat institusi Kepolisian dan Kejaksaan yang berada di domain penegakan hukum telah mendapat ”saudara angkat” bernama KPK yang bertugas ”menutup lubang” kekurangan atau kelemahan Kepolisian dan Kejaksaan terkait pemberantasan Tipikor.

Logikanya, KPK adalah lembaga ”darurat” yang membantu Kepolisian dan Kejaksaan dalam memberantas kejahatan luar biasa bernama korupsi. Sampai pada tingkat pemahaman ini, sewajarnya Kepolisian dan Kejaksaan berterimakasih karena diuntungkan (dibantu) oleh KPK dalam menangani sebagian dari beban dan tugasnya.

Jika ada pemikiran di internal Kepolisian dan Kejasaan (sekali lagi jika) KPK harus dilemahkan karena dianggap ”merusak” citra dan wibawa Kepolisian serta Kejaksaan, pemikiran tersebut sungguh-sungguh keliru. Kecuali bila keberadaan KPK untuk memperkuat gerak para koruptor dalam menggarong uang rakyat.

Tidak Abadi
Bertolak dari pemikiran tersebut di atas, secara ideal KPK memang seharusnyalah tidak abadi (tidak selamanya ada). Mengapa demikian? Karena jika KPK abadi maka hal tersebut berati abadi pula ketidak mampuan Kepolisian dan Kejaksaan dalam menangai pemberantasan tipikor.

Pemikiran ideal, Kepolisan dan Kejasaan harus terus menerus meningkatkan profesionalismenya, terutama dalam konteks pemberantasan tipikor. Tidak ada jalan lain untuk mewujudkan hal ideal tersebut kecuali Kepolisian dan Kejaksaan harus mereformasi diri secara total. Reformasi tersebut harus pula didukung oleh reformsi sistem peradilan yang makin berkualitas.

Pernyataan Kapolri dihadapan Komisi III DPR, Kamis malam (5/11) kemarin, memberikan singal kearah ideal tersebut. Jendral Pol Bambang H Danuri bahkan meyakinkan Komisi III bahwa memasuki 2010 tidak boleh ada lagi polisi yang aneh-aneh. Hal itu bisa dimaknai bahwa profesionalisme menjadi titik fokus Polri ke depan.

Persoalannya adalah tidak ada deadline tentang kapan Kepolisian dan Kejaksaan yang profesional, mampu menangani pemberantasan korupsi seperti yang telah ditunjukan oleh KPK selama ini? Hal tersebut penting agar ada etape-etape program reformasi di internal institusi tersebut.

Kelak, jika Kepolisan dan Kejaksaan sudah benar-benar professional, kredibel, dan akuntabel dalam menangani kejahatan luar biasa (korupsi) tersebut, idealnya KPK ditiadakan. Kelahiran KPK berdasarkan UU, maka peniadaannya pun harus berdasarkan UU. Nah, kapan yang ideal itu bisa terwujud? Saya sadar pertanyaan tersebut sulit dijawab sekarang. Terlebih lagi rakyat telah disuguhi ”sinetron cicak vs buaya”.

Satu hal yang penting, dan patut diketahui publik di dalam institusi KPK sesungguhnya ada ”darah” kepolisian dan kejasaan. Intinya para penyidik KPK (jumlahnya lebih dari 100 orang adalah anggota polri). Dan para penuntut di institusi KPK adalah para jaksa dari institusi Kejaksaan. Jadi KPK itu, sesungguh-sungguhnya merupakan perpaduan tiga institusi yaitu, Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK itu sendiri. Kalau mereka bertikai, jadi lucu kan?!

Letusan “Gunung Century” Akan Lebih Dasyat

Oleh: Sidik Suhada

Saya bukan praktisi hukum atau pengamat hukum. Bukan pula politisi atau pengamat politik. Bukan pula orang yang berada di domain kekuasaan. Namun, dengan logika awam saya, tanpa bermaksud menyaingi Mama Lorens, menurut prediksi saya akan muncul kasus yang jauh lebih besar daripada cicak vs buaya. Bahkan kasus besar tersebut akan memiliki daya letusan yang jauh lebih dasyat.

Kasus besar dimaksud adalah megatalangan BI untuk Bank Century yang telah menyedot uang rakyat Rp 6,7 triliun. Jumlah ini sepuluh kali lebih besar dari dana yang dibutuhkan untuk menangani pasca gempa di Sumatra Barat. Untuk membangun jembatan seperti Suramadu pun, masih tersisa sangat banyak.

“Daya letus” terdasyat akan mencuat dari sisi siapa saja penerima dana talangan itu. Kemudian akan merembet dan menguak dunia politik praktis pemilu 2009. Nah, siap-siapa saja itulah yang akan menghebohkan jagat publik, termasuk mereka yang terlibat dalam “kebijakan” pencairan megatalangan tersebut.

Indikator akan meledaknya kasus megatalangan tersebut tanpak pada empat pilar demokrasi (eksekutif, legislatif, yudikatif, pers). Dari eksekutif, Presiden SBY telah mengisaratkan tidak keberatan kasus century diungkap. Dari legislatif, desakan untuk melahirkan hak angket atas kasus tersebut semakin menguat. Bahkan Komisi III DPR RI yang membidangi hukum mendorong KPK segera menangani kasus tersebut.

Dari segi yudikatif, MK pun telah memberi singal kepada KPK untuk mengusut century ketika menyidangkan permohonan uji materi atas UU KPK yang dimohonkan Bibit-Chandra. Dari kalangan pers, tanpak sangat kuat publikasi yang membentuk pendapat umum tentang arti penting pengungkapan kasus century bagi tegaknya hukum dan keadilan.

Di luar empat pilar demokrasi tersebut, tak kalah vital adalah opini tokoh-tokoh nasional, LSM, mahasiswa, dan berbagai komponen bangsa lainnya. Sebut saja, opini Gus Dur, Syafi'i Maarif, dan Din Syamsudin. Mereka bahkan tegas menyatakan adanya benang merah antara kasus century dengan kasus cicak vs buaya.

Ibarat gunung berapi, kasus “gunung century” kini baru “batuk-batuk”. Sesekali mengeluarkan awan panas yang disertai semburan matrial, walaupun belum meletus. Sedangkan bila diibaratkan gunung pula, kasus cicak vs buaya sudah meletus. Aliran lahar panasnya menerjang rasa keadilan masyarakat.

Prediksi saya, kelak setelah lahar panas dari letusan gunung cicak vs buaya mulai mendingin, giliran “gunung century” akan memuntahkan lahar panas yang jauh lebih dasyat. Bahkan Badan Meteorologi dan Geofisika sekalipun, akan kesulitan memprediksi daya letusan “gunung century”.

Boleh jadi para pihak yang merasa akan digilas lahar panas muntahan “gunung century” (karena merasa terlibat) sekarang sudah siap-siap “mengungsi”. Soal bagiamana mengungsinya, dan kemana, itulah yang harus diantisipasi oleh KPK. Sebaliknya, KPK pun juga harus siap-siap dengan berbagai langkah antisipatif yuridis menghadapi para calon pengungsi tersebut. Maka tidak tertutup kemungkinan KPK pun menggunakan jurus penyadapan lagi, dan hasil sadapannya dibuka dalam persidangan MK lagi. Nah, seru kan?

Etape Letusan
Tahap-tahap menuju letusan “gunung centuy” memang makan waktu. Prediksi saya, sebelum “meletus” memang akan terjadi tarik ulur dalam proses kelahiran hak angket di parlemen. Dari segi kuantitas, koalisi pendukung pemerintah memang lebih besar daripada koalisi penyeimbang (PDI–P, Hanura, dan Gerindra). Namun, demi pertimbangan akuntabilitas dan menjaga rasa keadilan masyarakat, beberapa fraksi oportunis pendukung pemerintah akan “menyebrang” ke kubu koalisi peyeimbang. Sebut saja antara lain, fraksi Golkar dan Fraksi PPP.

Sedang prediksi yang akan terjadi dieksekutif, akan muncul kesadaran yang lebih baik dalam konteks akuntabilitas pemerintahan dan pemenuhan rasa keadilan masyarakat. Dasar prediksi, karena batuk-batuknya “gunung century” terjadi pada 100 hari pertama pemerintahan SBY-Budiono. Sementara itu di yudikatif, telah dibuktikan oleh MK bahwa arus kekuatan rakyat dalam konteks terpenuhinya rasa keadilan masyarakat tidak mungkin bisa dibendung oleh kekuatan apapun. Maka MK pun tidak akan tinggal diam jika ada pemohon uji materi (dari manapun datangnya) terkait dengan penanganan megatalangan tersebut.

Sebagai pilar keempat demokrasi, media massa cetak mapun elektronika juga akan gencar mempublikasikan penanganan kasus “gunung century” dari berbagai aspek. Media massa pasti sadar, kasus tersebut menjadi perhatian utama publik. Maka dari segi bidang redaksi nilai beritanya (news value) tinggi. Dari segi bidang bisnis, bemberitaan itu juga berpotensi mendongkrak tiras/ reting. Memang itulah “roh” media massa dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Terutama fungsi kontrol dan edukasi.

Sekali lagi, tidak kalah menarik adalah respon dari kalangan tokoh-tokoh nasional seperti yang telah ditunjukan dalam kasus cicak vs buaya pasca penahanan Bibit-Chandra. Dalam kasus “gunung century” nanti, respon mereka yang didukung kekuatan rakyat akan jauh lebih dasyat.

Prediksi ini tidak bermaksud menakut-nakuti atau mendramatisasi suatu masalah. Justru sebaliknya, prediksi ini dimaksudkan untuk melahirkan langkah antisipatif mencegah timbulnya chaos (kerusuhan). Bagaimana pun sebagai sebuah bangsa yang besar, tetaplah rakyat dahulu yang dirugikan dan menderita jika sampai terjadi kerusuhan. Apalagi jika kerusuhan itu sampai ditunggai oleh berbagai kepentingan politik sesaat yang tidak berpihak kepada rakyat. Kaum oportunis pun akan kembali mengambil alih, dan rakyat kembali pada dunia derita.

Polisi Maju Kena, Mundur Kena

Polisi Maju Kena, Mundur Kena

Pasca pembebasan Bibit-Chandra, hal menarik yang menjadi perhatian public sekarang adalah Anggodo belum ditahan (sampai dengan 4 November malam). Mengapa menarik? Karena rekaman pembicaraan Anggodo dengan beberapa orang, termasuk petinggi Polri dan Kejaksaan Agung sudah tersebar luas di Publik. Itu terjadi setelah sidang MK, 3 November kemarin.

Saya bukan seorang yang akhli hukum. Bukan pula praktisi hukum. Namun, saya mencoba mengurai pertanyaan menarik tersebut (mengapa Anggodo belum ditahan) dari sisi logika awam.

Pertama, Bibit- Chandra ditahan polisi dengan sankaan melakukan tindak pidana pemerasan. Sangkaan tersebut merupakan sankaan terakir setelah berganti-ganti sangkaan. Logikanya, jika ada pemeras tentu ada yang merasa diperas. Siapa yang diperas?

Hingga siang tadi, kepeda pers Anggodo menyatakan merasa diperas. Dalam rekaman yang dibongkar pada persidangan MK, sama sekali tidak ada pernyataan yang bisa dimaknai sebagai pemerasan terhadap Anggodo. Justru sebaliknya, Anggodo dan beberapa lawan bicaranya, dalam pembicaraan per telepon sangat intens “mengatur” proses penyidikan hingga penyusunan BAP.

Logika awam saya, logiskah seseorang yang mengaku merasa diperas bisa melakukan intervensi begitu dalam terhadap proses penyidikan dan pemberkasan BAP (Bibit-Chandra) yang sedang ditangani penyidik? Jika harus menjawab secara jujur, hanya ada satu jawaban: Tidak logis!

Logika berikutnya, bertolak dari fakta setelah pembebasan Bibit – Chandra dari tahanan. Penyidik menegaskan berkas perkara Bibit – Chandra tetap diproses dan akan dikirim ke Kejaksaan. Hal itu berarti, penyidik telah memiliki alat bukti/barang bukti yang cukup dalam perkara yang disangkakan, yaitu pemerasan.

Kedua, Hingga 4 november malam, polisi menyatakan belum menetapkan Anggodo sebagai tersangka dan ditahan, meskipun telah diperiksa belasan jam. Ada dua fakta yang mengganggu, logika awam saya yang kurang paham hukum. Fakta pertama, ada sangkakan pemerasan dengan tersangka Bibit-Chandra dan Anggodo sebagai pihak saksi korban. Direkaman juga terungkap pengakuan Anggodo sebagai penyandang dana. Fakta kedua, terungkap dalam persidangan MK tentang intervensi Anggodo terhadap proses penyidikan dan pemberkasan BAP.

Dua fakta tersebut, bertolak belakang. Padahal tidak mungkin dua-duanya benar. Artinya, tidak ada dua kebenaran yang bertolak belakang. Jika Bibit-Chandra diproses dalam perkara pemerasan, logika awam saya mengatakan: mestinya Anggodo juga diproses dalam perkara rekayasa (intervensi) penyidikan dan pemberkasan BAP. Sebagai petunjuk awal, sekaligus alat buktinya adalah hasil rekaman yang telah dibuka dalam sidang MK.

Sampai pada pemikiran tersebut di atas, logika awam saya menyimpulkan: Polisi sekarang dalam posisi maju kena, mundur kena. Kongkritnya, jika menetapkan Anggodo sebagai tersangka dan ditahan, sangkaan terhadap Bibit-Chandra akan menjadi lemah. Bahkan bisa batal demi hukum. Padahal penyidik (polisi) tetap yakin atas kekuatan sangkaannya terhadap Bibit-Chandra dalam perkara pemerasan.

Sebaliknya, jika tidak menetapkan Anggodo sebagai tersangka dan ditahan, polisi dalam posisi ”bisa keliru”, karena alat bukti permulaan yang terungkap dalam sidang MK bisa dianggap cukup untuk melakukan hal itu (penangkapan/penahaan Anggodo). Alat bukti tersebut juga berhubungan kuat dengan delik (tindak pidana) murni, yaitu rekayasa perkara pidana. Penanganan delik ini tidak harus menunggu adanya pengaduan. Beda dengan pencemaran nama baik yang masuk delik aduan, untuk menanganinya harus ada pengaduan dari pihak korban.

Itulah sebabnya, ketua TPF Adnan Buyung Nasution pun mendesak polisi agar segera menangkap (memproses) Anggodo. Bukan hanya semata-mata kawatir Anggodo melarikan diri seperti kakanya. Namun, karena prosedur hukumnya memang demikian.

Sekarang polisi ibarat menghitung kancing baju: tahan, tidak, tahan, tidak....terhadap Anggodo. Nah, jadinya maju kena mundur kena.

Sekadar prediksi awam saja, jika Anggodo ditahan maka ”kubu” Bibit – Chandra akan segera memproses tuntutan kepengadilan terhadap kasus penahanan dua pimpinan KPK non aktif itu. Kemungkinan pertama, mengajukan pra-peradilan. Karena polisi telah melakukan penahaan dengan melanggar prosedur hukum tentang persyaratan penahaan. Salah satunya, syarat objektif yaitu ancaman hukuman di atas lima tahun, termasuk perkara pemerasan. Nah, kalo Anggodo ditahan berarti pemerasan itu rekayasa. Alias tidak ada pemerasan.

Kemungkinan kedua, bisa jadi kubu Bibit – Chandra melakukan tuntutan pidana sekaligus gugatan perdata. Dasarnya, akhibat sangkaan penyidik (polisi) Bibit- Chandra di non aktifkan. Hak keperdataannya antara lain, gaji dan tunjangan sebagai pimpinan KPK hilang atau hapus. Selain kerugian matriil tersebut, sangat mungkin akan ditambahi gugatan atas kerugian immatriil. Tercemarnya nama baik dan kredibelitas. Nominal gugatan immatriil ini bisa tidak terhingga.

Sekarang polisi dalam posisi dilematis. Bukan hanya soal maju kena mundur kena dalam perkara Anggodo tersebut, tapi juga soal sebutan ”cicak vs buaya”. Sebagai sebuah kemungkian, ya mungkin-mungkin saja pimpinan KPK akan melaporkan petinggi polri yang menyebut KPK sebagai ”cicak”. Sebab maknanya sangat jelas, mengecilkan dan mengkerdilkan KPK. Dan faktanya, tidak Cuma KPK yang tersinggung tapi juga RI-1 dan publik.

Mungkinkah akan ada class action terhadap pihak yang menciptakan istilah ”cicak” untuk mengirabatkan KPK? Nah. Makin rumitkan....? Sudah maju kena mundur kena, masih lilit soal meremehkan KPK.

Anggodo Bukan Hanoman

Oleh: Sidik Suhada

Dalam dunia pewayangan, sosok Anggodo itu digambarkan sebagai moyet. Satu rumpun dengan Hanoman, Si Wanaraseta ( moyet putih). Mereka adalah moyet yang baik. Bahkan masuk kategori pasukan pemukul reaksi cepat yang dimiliki negara Astina untuk menghadapi negara culas Kurawa. Itulah sebabnya, mereka disayangi Pandawa Lima. Bahkan juga disayangi para dewa di khayangan.

Namun, kisa heroik dan palupi (keteladanan) para moyet Astina di dunia pewayangan itu, jauh beda dengan di dunia nyata. Betapa tidak, sepak terjang kakak beradik Anggoro- Anggodo, telah mengoyak-ngoyak rasa keadilan masyarakat di negara Rebublik Indonesia.

Kepongahan dan keangkuhan mereka sebagai pengusaha berduit gede, menampilkan sosok yang menyatakan “segalanya bisa dibeli”. Hukum dibeli. Keadilan dibeli. Sistem dibeli. Sampai-sampai petinggi di dunia penegakan hukum pun dapat mereka beli.

Arogansi tersebut, terungkap gamblang dalam sidang Mahkama Konstitusi, 3 November,lalu. Tanpa sungkan-sungkan apalagi takut, beberapa kali Anggodo mencatur RI-1. Rakyat muak dan marah karena perbuatan Anggodo dikonotasikan bisa membeli pimpinan rebublik ini. Wajar rakyat muak, benci, dan marah pada sindikat pengusaha kayu jati asal Surabaya itu.

Konyolnya, sebelum sidang MK 3 November 2009, Anggodo melaporkan KPK telah mencemarkan nama baiknya, karena KPK dia tuduh menyebarluaskan transkip hasil penyadapan teleponnya. Belum jelas, apa iya dia punya nama baik?

Kekonyolan itu berubah bentuk menjadi kemunafikan dan kepengecutan setelah MK justru menyatakan hasil sadapan KPK harus dibuka kepada publik. Sebagaimana lazimnya pengecut yang pongah, dia buru-buru menyatakan permintaan maaf kepada RI-1 karena telah beberapa kali mencatut namanya. Saat ditanya wartawan, mengapa harus minta maaf? Anggodo dengan enteng menjawab, “Itu budaya timur”.

Hal menarik untuk dicermati, “budaya timur” yang mana yang dimaksudkan Anggodo?! Apakah mencatut nama kemudian ketahuan, disusul tindakan minta maaf, itu yang dia maksudkan budaya timur?! Rasa-rasanya, di Tiongkok sekalipun budaya timur seperti itu (diawali perbuatan pidana kemudian minta maaf) kok tidak ada yah.......?

Sekaranglah saatnya seluruh elemen bangsa ini bangkit, belajar, dan terus belajar mekanisme dalam sistem penegakan hukum di Rebublik ini. Dengan pengetahuan yang cukup dan benar tentang hal tersebut, rakyat menjadi mengerti dan cerdas. Hal tersebut diperlukan sebagai bekal untuk melakukan kontrol terhadap siapapun (terutama para penegak humum) yang patut dapat diduga akan/telah melakukan “perselingkuhan hukum” dengan mafioso peradilan seperti Anggodo.

Tidak berlebihan jika di negeri yang luas dan besar ini masih sangat banyak “ Anggodo-Anggodo” lain yang bebas berkiprah dengan berbagai modus operandi dan beragam jurus alibi. Saatnya kini mereka kita jadikan musuh bersama. Merekalah bahaya laten terwujudnya negara yang adail dan makmur.

Permintaan Maaf Anggodo Tidak Menghapus Tindak Pidananya

Oleh: Sidik Suhada

Permintaan maaf Anggodo tidak serta merta menghapus tindak pidananya. Ada pepatah, mana ada maling mengaku secara ikhlas. Dalam kehidupan nyata, juga tidak jarang tersangka mengaku setelah digebugi.

Dalam kasus percakapan Anggodo dengan beberapa pihak yang disadap KPK dan dibuka dalam persidangan MK, 3 November 2009, sesungguhnya ada beberapa pasal pidana yang telah dilanggar. Sebut saja antara lain, pencatutan nama RI I oleh Anggodo. Paling tidak hal tersebut membuat perasaan tidak enak pada diri Presiden. Tindak pidana tentang hal itu diatur dalam pasal 335 KUHP.

Berikutnya, Anggodo menyebut beberapa nama dengan nada mengatur, membikin skenario, mendikte, mempengaruhi, dan bahkan bisa dimaknai juga menghasut aparat yang sedang menangani perkara pidana. Tindakan Anggodo tersebut juga merupakan perbuatan pidana. Tidak saja pidana umum yang diatur dalam KUHP, tapi juga pidana khusus terkait dengan perkara korupsi kakak-nya (Anggoro) yang diatur dalam UU No 31/Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi UU No 20/Tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi.

Jika semu elemen bangsa, teristimewa primus interpares (aparat penegak hukum) benar-benar mencintai Indonesia sebagai negara hukum, permohonan maaf Anggodo tidak boleh menutup perbuatan pidana yang telah dia lakukan tersebut. Artinya, permohonan maaf Anggodo tidak serta merta menghapus sederet perbuatan pidananya, baik dalam koridor pidana umum mapupun pidana khusus.

Dengan demikian, Anggodo tetap harus diproses secara hukum dengan bukti permulaan yang patut dianggap cukup yaitu, rekaman pembicaraannya seperti yang telah terungkap dalam sidang MK. Guna memenuhi rasa keadilan masyarakat maka tidak ada kata lain: Tangkap dan Proses Anggodo sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Tak Ada Pemain Tunggal
Jika kita jernih mencermati kegigihan Anggodo membantu kakanya (Anggoro) yang dililit perkara korupsi, segera kita bisa menyimpulkan bahwa Anggodo tidak mungkin menjadi pemain tunggal. Posisi Anggodo ibarat tangan di bawah (meminta tolong) agar kakanya lolos dari jerat hukum. Pertanyaan yang menari: dengan siapa saja, dan kepada siapa saja dia minta tolong? Itulah motif awal yang harus dibongkar.

Dalam rekaman pembicaraan Anggodo dengan sejumlah pihak yang diperdengarkan dalam sidang MK, ternyata jawaban atas pertanyaan tersebut di atas cukup banyak. Dia “minta tolong” kepada beberapa oknum pejabat di Mabes Polri dan Kejaksaan Agung. Bahkan juga kepada mantan pejabat tinggi di institusi Kejaksaan Agung.

Memang masih perlu pembuktian, apakah nama-nama pejabat tinggi yang disebut Anggodo dalam percakapan telepon tersebut benar-benar terlibat secara formil maupun matriil. Itulah sebabnya mereka yang disebut namanya perlu diklarifikasi.

Jika ditemukan cukup bukti bahwa mereka terbukti “menolong” maka mereka pun patut dinyatakan sebagai tersangka perkara rencana penyuapan yang direkayasa menjadi pemerasan dengan korban Bibit-Chandra. Perlu juga dilacak apakah gol targetnya pelemahan KPK dengan sasaran antara Bibit-Chandra.

Anggodo “Saksi Mahkota” Kriminalisasi KPK

Oleh: Sidik Suhada

Misteri kriminalisasi terhadap “cicak” (KPK) makin terkuak. Kesadaran dan rasa keadilan publik sontak menggelegak marah, terkejut, bahkan terpana. Demikian bobroknya riwayat penegakan hukum di Rebublik ini. Bahkan menjadi sejarah terbutuk sejak setelah peristiwa 1965, dalam konteks terkoyak-koyaknya rasa keadilan publik.

Hal tersebut, merupakan kristalisasi perenungan setelah mendengarkan rekaman hasil penyadapan KPK dalam kasus “cicak vs buaya” yang dibentangkan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Majelis Makamah Konstitusi, Selasa, 3 November 2009.

Kini semua elemen bangsa tidak boleh berhenti setelah marah, terkejut, dan terpana. Harus ada gerakan mendorong pimpinan bangsa ini agar aparat penyidik segera menangkap embrio penimbul masalah itu. Yaitu, kakak beradik Anggoro dan Anggodo. Sang kakak, Anggoro sudah ditetapkan sebagai tersangka perkara korupsi oleh KPK, dan hingga kini menjadi buron. Sang adik, Anggodo yang bebas di luar, terus “nggacor” mengatur sekenario agar antar institusi penegak hukum di negeri ini bertikai. Peliknya, oknum-oknum dalam institusi penegak hukum rela dijadikan kaki tangannya untuk mewujudkan motif kakak beradik yang mungkin bermarga Ang itu.

Moral oknum pun berguguran “seharga” miliraan rupiah. Sementara negara dirugikan lebih banyak lagi. Jika begini kita harus ingat pepatah Belanda; “Siapa menabur angin, akan menuai badai”. Sekarang jelaslah sudah, ada tiga titik dalam satu segitiga yang menabur angin. Maka semestinya merekalah yang menuai badai.

Satu titik sudah sangat nyata sebagai “penabur angin” yaitu, Anggodo. Demi terpenuhinya rasa keadilan masyarakat yang sudah terkoyak-koyak, seharusnya Anggodo segera “menuai badai” (ditangkap dan diproses secara hukum).

Ia tersangka, sekaligus “saksi mahkota” bagi calon tersangka lainnya dari dua titik segitiga yang lain. Jika Anggodo tidak segera ditangkap, maka penuntasan kasus kriminalisasi KPK akan menguap. Penangkapan terhadap Anggodo, patut dapat diperkirakan sudah memenuhi syarat objektif dan syarat subjektif penangkapan penahanan tersangka.

Syarat objektif penangkapan dan penahanan adalah, ancaman hukuman dari pasal yang disangkakan lima tahun penjara lebih. Dalam konteks suap ini, dengan menggunakan UU Tipikor No 31/Tahun 1999, ancamannya jelas di atas lima tahun. Sedangkan syarat subjektifnya diatur dalam pasal 21, ayat (1), UU No 8/tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana/ KUHAP. Rincinya, dikawatirkan melarikan diri, merusak barang bukti, mengulangi perbuatannya. Tiga syarat subjektif tersebut sangkat mungkin dipenuhi Anggodo jika dia tidak segera diringkus.

Dari prespektif kebanggaan berbangsa dan bernegara, perbuatan kakak beradik Ang tersebut, jelas-jelas berpotensi makin memperparah citra Indonesia sebagai negara terkorup di dunia. Perbuatan mereka membuktikan bahwa mereka sebagai WNI tidak memiliki kebanggaan terhadap Indonesia Raya. Nasionalisme kakak beradik Ang tersebut patut kita pertanyakan, bahkan kita persoalkan. Jangan sampai hanya oleh perbuatan mereka, akhirnya berbagai elemen bangsa membenci etnis tertentu. Lebih mengkawatirkan jika kebencian itu, bereubah menjadi kemarahan massal.

Segera setelah ditangkap, ditahan, dan diproses, seharusnya juga diikuti tindakan serupa terhadap orang-orang yang patut dapat diduga terlibat seperti yang sudah terungkap dalam rekaman hasil penyadapan KPK. Baik dari institusi Polri maupun Kejaksaan. Agar proses hukum berjalan fair, sudah seharusnya siapapun oknum pejabat yang disangka terlibat harus segera dinon aktifkan (dicopot dari jabatannya).

Sekali lagi, hal tersebut untuk memenuhi unsur fair-nya penanganan sebuah perkara. Tidak perlu ada lagi ewuh pakewuh (segan) karena sudah non aktif. Hnaya dengan demikian itulah, pengungkapan motif tindak pidana, sekaligus pengungkapan kebenaran formil dan kebenaran matriil sebuah perkara bisa diangkat secara jernih.

Semoga kejernihan itu masih ada dibenak para primus interpares (aparat penegak hukum) di negeri ini.

Apakah Negeri ini “Republik Anggoro”?

Oleh: Sidik Suhada

Ngeri deh...., setelah mendengarkan rekaman hasil penyadapan KPK yang dibuka dalam persidangan MK Selasa, 3 November 2009. Rebublik ini sesungguhnya milik siapa? Apa milik nenek moyang Angoro-Anggodo dengan sanak kerabatnya, Sugriwa-Subali..?!

Dinasti mereka tanpaknya begitu berkuasa di negeri ini. Bisa mengatur bahkan mengobok-obok institusi penegak hukum seperti Kepolisian dan Kejaksaan agung. Jika rasa keadilan yang tumbuh di hati saya benar, berati Presiden SBY kini punya saingan berat. Siapa yang paling punya hak prerogatif menurut konstitusi? Jangan-jangan hak itu kini sudah dimiliki dinasti Anggoro-Anggodo. Buktinya, sejumlah oknum petinggi di Kejaksaan Agung dan Mabes Polri, tak berdaya di ko'en- ko'enkan (kamu-kamukan). Diperintah dan didikte oleh “dinasti hebat” itu.

Seingat saya, dinasti Anggoro – Anggodo tidak ikut sebagai kontestan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009. Bahkan jangan-jangan mereka malah golput. Yang bikin penasaran saya, kok bisa sekuasa itu yah, sampai-sampai ada oknum peting lembaga penegak hukum yang memanggil dia sebagai “Bos”.

Sudah sedemikan hancur leburkah kondisi penegakan hukum sekaligus ketaatan hukum di Indonesia? Salahkah bila rakyat muak dan marah? Berlebihahan kah jika rakyat yang merasa keadilan telah di injak-injak dan akhirnya bersatu padu melahirkan kekuatan rakyat yang sebenarnya?

Jika semua itu terwujud, (sekali lagi jika), dan presiden masih belum bergerak cepat bukan mustahil akan terjadi kerusuhan seperti Mei 1998. Reformasi jilid I (1998), tak mustahil akan terulang kembali sekarang. Jika sudah demikian, mampukah pemerintah dengan segala perangkatnya membendung gerakan rakyat yang sudah marah itu?

Senyampang (mumpung), semua kekewatiran itu belum terjadi, Presiden yang membawahi langsung Polri dan Kejaksaan pelu segera ambil “sapu” dan “pel”. Segera “sapu bersih” (copot dari jabatan) oknum-oknum petinggi didua institusi tersebut yang patut dapat diduga dan telah ada bukti permulaan yang cukup, melakukan tindakan yang menodai Republik Indonesia sebagai negara hukum.

Setelah “sapu bersih” segeralah “dipel” dengan cara menempatkan orang-orang bersih untuk menduduki pos-pos jabatan yang telah bersih dari oknum-oknum pejabat brengsek. Tindakan kongkrit tersebut, sangat berpotensi memulihkan kepercayaan masyarakat kepada dua lembaga tersebut. Lebih dari itu, juga bisa segera mengobati sakit hati publik yang rasa keadilannya telah dikoyak-koyak.

Semoga Majelis Makamah Konstitusi yang menyidangkan perkara “buaya vs cicak” ini mampu menjatuhkan putusan yang memenuhi rasa keadilan publik. Selanjutnya, “cicak “ KPK semakin tumbuh besar, kuat, dan berkinerja hebat melahap koruptor yang telah membikin sengsara 220 juta rakyat republik ini. Kelak tidak ada lagi “cicak”, karena sudah tumbuh besar. Bahkan lebih kuat daripada “buaya”.

Andaikata Saya Seorang Pimred

Oleh: Sidik Suhada

Sebagai seorang Pemimpin Redaksi (Pimred), ini seandainya, saya tentu paham apa yang dimaui komunikan media saya. Dari sudut pandang bisnis media, saya juga pasti tahu apa yang dikehendaki oleh penyandang dana (owner) media saya. Inilah dua bilik jantung dalam kehidupan perusahaan media. Bilik kanan bidang redaksi, dan bilik kiri bidang usaha/ bisnis.

Sebagai seorang pimred, sekali lagi seandainya, kiblat saya terhadap kepentingan dua bilik jantung tersebut tentu saya pedomani. Maka, jangan harap saya hanya akan memikirkan bilik redaksi saja, setelah saya dipertemukan dengan Kapolri oleh Menkominfo. Boleh-boleh saja Kapolri menghimbau saya untuk mengubah cita rasa publikasi media saya. Namun, sekali lagi saya tetap harus secara bijak menerapkan kesetaraan dan keseimbangan antara bilik redaksi dengan bilik bisnis media saya.

Di bilik redaksi, seandainya saya, mengubah cita rasa dan gaya publikasi media saya, sehingga memenuhi harapan si pengimbau (Pemerentah, Polri) bisa jadi saya malah blunder. Pertama, saya tidak melaksanakan fungsi media terutama edukatif, kontrol sosial, dan keberpihakan rasa keadilan masyarakat.

Perubahan citra rasa dan gaya pemberitaan yang merugikan dari segi edukatif, terjadi jika saya sebagai pimred tidak menurunkan pemberitaan tentang fakta peristiwa dan fakta pendapat terkait dengan terkoyak-koyaknya rasa keadilan masyarakat. Dari segi kontrol sosial, jika hal serupa saya lakukan, saya justru menjadi penghianat bagi perjuangan pers untuk mewujudkan keadilan dan demokratisasi. Saya mengingkari eksistensi Pers sebagai pilar keempat demokrasi. Dari segi keperbihakan terhadap rasa keadilan masyarakat, justru malah seharusnya hal tersebut saya blow up di media saya sebagai bentuk pertanggungjawaban moral media. Itulah “roh” media yang tidak boleh mati hanya oleh ibauan, jumpa pers, apalagi oleh tekanan.

Pers tak pernah mengenal istilah “68”. Kecuali Pers tersebut memang milik komunitas jurnalis grandong yang tidak pernah tahu dan memahami empat fungsi pers, UU Pers, dan kode etik jurnalis.

Kedua, sekarang kita tinjauan dari sisi bisnis media. Bodoh-bodohnya saya, jika perhatian publik terhadap satu kasus/masalah tidak saya blow-up secara bertanggungjawab, hanya oleh karena adanya ibauan, jumpa pers, atau tekanan sekalipun. Sebab, jika hal itu terjadi, media saya akan ditinggalkan khalayak komunikan. Karena, dianggap tidak mampu menyalurkan aspirasi publik yang sedang menggelora. Ujung-ujungnya, media saya akan sakit karena ditinggalkan oleh khalayak komunikan. Dan dalam tempo relatif yang tidak lama, media saya akan sekarat, lantas mati seiring dengan tersumbatnya “bilik jantung kiri” perusahaan media saya.

Akhirnya tidak mungkin media saya hidup dengan hanya satu jantung, yaitu jantung bidang redaksi. Jadi kedua jantung itu akhirnya sama-sama terkatup. Segala saluran pembuluh darah tertutup. Darah berhenti mengalir. Ujungnya, media saya inna illahii wa inailahii rajiun.....

Jika ada banyak media yang mengalami nasib seperti media saya (mati) persoalannya bukan pada munculnya pengangguran dari kalangan eks pekerja media. Lebih dahsyat dari itu adalah, tumbangnya salah satu pilar demokrasi. Dampak susulan berikutnya yang tidak kalah dahsyat adalah, pembodohan masyarakat akan berlangsung masif, seiring tumpulnya kontrol sosial media. Akhirnya, lahirlah kekuasaan yang otoriter.

Segera Reformasi Polri dan Kejaksaan

Oleh: Sidik Suhada

Gonjang-ganjing penahaan Bibit-Chandra yang diinterprestasikan sebagai Polri vs KPK, seharusnya berhikmah positif. Hikmah itu adalah, memetik momentum tentang betapa vitalnya untuk segera mereformasi total institusi polri dan kejaksaan. Agar rasa keadilan rakyat tidak selalu terkoyak-koyak.

Polemik pasca penahaan Bibit-Chandra, muncul karena arogansi kewenangan dan kekuasaan Polri yang merasa terancam setelah tersebar luasnya transkrip pembicaraan yang diduga Anggodo dengan oknum yang diduga petinggi Polri dan Petinggi Kejaksaan. Transkrip tersebut diperoleh dari hasil penyadapan KPK sewaktu Bibit - Chandra masih aktif.

Hal lain yang bermuatan arogansi, sejak awal sangkaan terhadap Bibit-Chandra berubah-ubah. Mulai dari penyalahgunaan wewenang, berubah menjadi suap, berubah lagi menjadi pemerasan. Lucunya, alat bukti sebagaimana diatur dalam pasal 184 KUHAP (Hukum Acara Pidana), justru bertentangan dengan sangkaan, setelah sangkaan ditindaklanjuti dengan penyidikan. Kongkritnya, ketika Bibit-Chandra disangka dengan delik suap, saksi Ari Muladi balik mencabut kesaksiannya yang menyatakan telah menyuap Bibit-Chandra.

Berdasarkan pasal 184 KUHAP, keterangan saksi adalah alat bukti. Ketika keterangan saksi itu dicabut maka tidak ada lagi alat bukti. Sehingga Polisi kebingungan jika tetap membidik Bibit-Chandra dengan pasal suap tersebut. Akhirnya digantilah pasal pemerasan. Ini pun alat bukti sebagaimana diatur KUHAP oleh pihak Bibit-Chandra dinilai sangat lemah. Siapa memeras siapa, dimana, kapan, barang buktinya apa, semua masih misteri.

Jika Anggoro ataupun kakanya (Anggodo) yang buron itu memang benar-benar diperas, mestinya mereka diperiksa sebagai saksi korban agar kebutuhan penyidik tentang alat bukti (pasal 184 KUHAP) terpenuhi. Demikian pula pemeriksaan terhadap Ari Muladi yang telah mencabut kesaksiannya.

Arogansi Polri berikutnya, tidak memperhatikan rasa keadilan yang berkembang di masyarakat dan rasa kepatutan dalam konteks penangkapan dan penahanan Bibit – Chandra. UU tentang Hukum Acara Pidana mengamanatkan syarat penahanan tersangka tindak pidana. Pertama, patut diduga berpotensi melarikan diri. Dua, patut diduga berpotensi merusak barang bukti. Ketiga, patut diduga mengulangi perbuatan pidananya (pasal 21 Ayat 1 KUHAP).

Tiga persyaratan penahanan tersebut, patut dan layakkah diterapkan kepada Bibit- Chandra?

Katakanlah, sejelek-jeleknya Bibit, mungkinkah purnawirawan Perwira Tinggi Polri itu (Akpol angkatan 1970) melarikan diri? Mungkinkah Bibit akan merusak barang bukti ketika yang dimaksud “barang bukti” itu masih absurd? Mengulangi perbuatan yang disangkakan, perbuatan yang mana? Sebab sangkaan polisi terhadap Bibit berubah-ubah.

Begitu juga dengan Chandra. Seorang tokoh muda, dosen hukum UI, anggota tim seleksi KPK, mungkinkah melarikan diri dari sangkaan yang berubah-ubah. Sehingga logika awam pun menyimpulkan penangkapan Bibit – Chandra adalah perbuatan yang dipaksakan dan dilegalkan berdasarkan kewenangan menahan (bukan hak menahan). Inilah yang dinilai mengoyak rasa keadilan masyarakat dan publik.

Secara filosofis, semestinya Polisi punya semboyan: “Lebih baik membebaskan 100 penjahat daripada menahan 1 oarng yang tidak bersalah”.

Reformasi Status
Sebagai penyayom masyarakat yang sudah pasti juga penegak hukum, tugas pokok dan fungsi (tupoksi) polri berada diranah Kamtibmas. Tanpa bermaksud meniru sistem di negara lain, idealnya Polri di bawah “naungan” Departemen Dalam Negeri. Sebagaimana halnya TNI setelah reformasi 1998, berada dalam “rumpun” Departemen Pertahanan.

Hal tersebut tidak berati semata-mata menjadikan Polri sebagai “sipil yang dipersenjatai”. Namun, lebih dimaksudkan untuk mempertajam, sekaligus untuk meningkatkan kualitas kinerja yang terkait dengan tupoksi Polri.

Memposisikan Polri menjadi bagian dari Departemen Dalam Negeri, sekali lagi tidak seharusnya dimaknai mengkerdilkan Polri. Justru sebaliknya, agar Polri bisa lebih fokus sebagai pengayom masyarakat dalam ranah keamanan dan ketertiban masyarakat. Hal itu sangat relevan dengan tugas Polri sebagai hamba hukum yang berkewajiban menegakan hukum.

Patut dapat diperkirakan secara positif, tidak akan lagi muncul arogansi. Dengan demikian, tidak mungkin ada lagi sikap atau pandangan mengkerdilkan institusi lain misalnya, mengibaratkan KPK sebagai Cicak (mahluk kecil dan lemah). Perumpamaan itu jelas-jelas mengandung unsur pidana sebagaimana diatur dalam pasal 335 KUHP (perbuatan tidak menyenangkan).

Sedangkan mengibaratkan Polisi sebagai buaya (mahluk besar/ binatang buas) tentu juga bermakna sangat negatif. Betapa tidak negatif, bangkai pun dimakan oleh buaya. Apalagi mahluk hidup. Menjadi wajar seandainya Kapolri sendiri juga tersinggung karena institusi yang dia pimpin diibaratkan buaya.

Bertolak dari hal tersebut di atas, sudah seharusnya dilakukan reformasi total terhadap institusi Polri yang menyakut tupoksinya demi kebaikan dimasa mendatang. Itulah sebabnya, seluruh anggota DPR-RI, baik yang berada dibarisan koalisi pemerintah, maupun yang berada di luar barisan koalisi mampu memetik hikmah peristiwa buaya vs Cicak. Dengan segera merumuskan RUU Penyempurnaan UU Nomor 2/ 2002 tentang Polri. Jika hal tersebut dilakukan, degradasi citra Polri tidak terus berlangsung. Kepercayaan masyarakat kepada Polri pun akan semakin membaik.

Begitu juga institusi Kejaksaan. Diakui atau tidak, fakta yang berkembang dan “hidup” dalam pandangan masyarakat, kepercayaan dan rasa hormat masyarakat kepada institusi kejaksaan kini sudah semakin luntur. Banyak kasus sebagai pemicunya. Initinya adalah, menyangkut kredibelitas aparat kejaksaan sendiri. Balada Jaksa UTG yang tertangkap tangan menerima suap dalam kasus Tipikor Samsul Nursalim melalui Artalita, hanya salah satu contoh yang merobek-robek rasa keadilan masyarakat.

Kisah-kisah sumbang tentang masih adanya oknum jaksa-jaksa “nakal” membikin muak masyarakat dan membikin publik semakin tidak bersimpati kepada institusi ini. Kali ini, pemicunya justru percakapan yang diduga terjadi antara oknum petinggi Kejaksaaan Agung dengan Anggoro dalam kasus yang akirnya dinilai sebagai rencana besar mengkriminalisasi KPK.

Pembentukan Tim Pencari Fakta yang diketuai Adnan Buyung Nasution dalam konteks perkara dugaan kriminalisasi KPK, jangan harap akan membuahkan hasil maksimal dalam bentuk pulihnya kepercayaan dan rasa hormat masyarakat kepada Polri dan Kejaksaan, jika tidak ditindak lanjuti dengan reformasi total dua institusi penegakan hukum tersebut. Apalagi TPF hanya melulu mencari fakta dan tidak dilengkapi kewenangan menjatuhkan sanki, kecuali hanya rekomendasi/saran kepada Presiden.

Belum lagi jika Pembentukan Tim Pencari Fakta yang dilakukan oleh Presiden ini, hanya sekedar “banyolan politik” yang sengaja dilontarkan oleh Presiden untuk meredam radikalisme masyarakat. Agar seolah-olah Presiden benar-benar telah melakukan sebuah tindakan kongkrit dalam polemik ini. Sehingga jika Tim Pencari Fakta ini gagal, masyarakat yang sudah terlukai ini tidak menyerang Presiden. Melainkan berbalik menyalahkan Tim Pencari Fakta.

Karena itu, rasanya teramat berat memulihkan kepercayaan dan rasa hormat masyarakat kepada polri serta kejaksaan tanpa langkah serius dan kongkrit mereformasi dua institusi tersebut.

Polisi Berwenang Menahan, Bukan Berkah

Wakil Kabareskrim Mabes Polri, Irjen Pol Dikdik Mulyana menegaskan, “ Mulai hari ini penyidik akan gunakan hak untuk menahan tersangka.....” (Kompas, 30/10/2009).

Saya bukan orang hukum, tapi saya merasa ada sesuatu yang janggal dan mengganjal logika istilah atau terminologi yang digunakan Wakabareskrim Irjen Pol Dikdik Mulyana tersebut. Saya berpendapat, terminologi “hak” yang dipakai oleh Wakabareskrim tersebut, jelas berfrase atau mengandung rasa kata yang arogan. Karena, dalam hukum positif terminologi yang patut dan seharusnya digunakan adalah “wewenang” atau “kewenangan”. Bukan “hak”.

Jadi di dalam negara rechtstaat (negara berdasarkan hukum), bukan machstaat (negara berdasarkan kekuasaan), seharusnya Wakabareskrim menggunakan terminologi “wewenang” atau “kewenangan”. Maka kalimat yang santun, patut, dan layak diucapkan semestinya berbuyi, “ Mulai hari ini penyidik akan menggunakan kewenangannya atau wewenangnya untuk menahan tersangka”.

Jangan memandang remeh penggunaan terminologi atau istilah dalam praktika hukum positif. Apalagi si penggunanya adalah seorang tokoh publik atau unsur pimpinan disebuah institusi. Sebab masyarakat cendenderung memedomani ucapan tokoh publik baik formal maupun informal. Peliknya, jika ucapan sang tokoh publik keliru atau tidak tepat, maka kasihan rakyat akan mendapatkan pembelajaran atau pengetahuan yang keliru.

Makna kata “hak” jelas berbeda dengan “wewenang” atau “kewenangan”. Selain makna yang berbeda, frase atau rasa katanya pun berbeda. “Hak” stratanya lebih tinggi daripada “wewenang” atau “kewenangan”. Pengguguran sebuah “hak” tidak mudah dilakukan. Harus ada keputusan yang berkekuatan hukum tetap. Tidak demikian dengan pengguguran “kewenangan” atau “wewenang”, bisa dilakukan oleh pihak yang berdasarkan status jabatan dan kepangkatan memiliki “wewenang” lebih tinggi.

Contoh kongkrit, selain “berwewenang” atau memiliki “kewenangan” menahan tersangka, polisi juga memiliki “wewenang” atau “kewenangan” menangguhkan penahanan. Penangguhan tersebut adalah, “wewenang” polisi. Bukan “hak” polisi. Hukum positif kita, Hukum Acara Pidana (KUHAP), mengatur hal tersebut sebagai “kewenangan” penyidik/polisi.

Demikian pula penggunaan istilah “hak” dan “wewenang” di dalam institusi penuntut (kejaksaan). Jaksa juga punya “wewenang” mengembalikan BAP karena kurang sempurna. Jaksa “berwenang” menyatakan BAP sempurna (P 21). Itu “kewenangan” jaksa. Jaksa pun punya “kewenangan” menangguhkan penahaan (tahanan luar) atas terdakwa berdasarkan pertimbangan yuridis yang cukup dan sahih. Semua itu, sekali lagi bukan “hak” tetapi “wewenang” atau “kewenangan”.

Memang ada terminologi “hak” yang diatur oleh UU maupun konstitusi. Contohnya, “Hak” Presiden memberi Grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Ini diatur dalam UUD 1945. “Hak” lain yang melekat pada presiden adalah, “Hak” menyusun kabinet, mengangkat dan memberhentikan menteri. Semua itu “hak” preogatif. Tidak bisa diganggugugat.

Nah, tanpak jelaskan sekarang bahwa “hak” stratanya lebih tinggi daripada “wewenang” atau “kewenangan”. Bahkan “hak” secara subjektif tidak bisa diganggugugat. Terkecuali hanya oleh alasan-alasan yang secara yuridis bisa mengubah atau menggugurkannya.

Dalam koridor hukum pidana, lebih patut penggunaan terminologi “wewenang” atau “kewenangan”. Berbeda dengan koridor hukum perdata, lebih patut menggunakan terminologi “hak”, sebab terkait dengan kepastian hukum secara keperdataan. Contohnya, hak waris, sertifikat hak milik, HGB (Hak guna bangunan), HGU (Hak Guna Usaha), dll.

Semoga tidak ada lagi penggunaan istilah yang bernuansa arogan. Sebab, sekali lagi, Indonesia tercinta ini adalah rechtstaat !.

Kamis, 11 Juni 2009

Kamis, 09 April 2009

Gunjingan Yu Inem


Oleh: Sidik Suhada
 

Surabaya, pagi ini benar-benar sepi. Hingga jam 9 pagi, jalan-jalan di kota ini semua lengang. Hampir semua pertokoan dan kompleks-kompleks perdagangan tutup. Dalam hati aku berfikir, pemilu 2009 ini ternyata telah membawa kerugian besar bagi kehidupan ekonomi negeri ini. Namun, sesampai di rumah ada sedikit yang berbeda.

"Loh kok masih di rumah, ga nyontreng Yu?", aku bertanya kepada pembatu yang sedang ngepel lantai di rumah.

"Engga, males", jawab pembantu.

"Kenapa?" kembali aku bertanya balik.

"Yo males ah. Nyontreng di sini ga dapat apa-apa. Tapi kalau di kampung nyontreng enak. Pagi tadi waktu saya telpon ibu saya di kampung bilang sudah dapat Rp 400 ribu walau belum berangkat ke TPS. Setiap partai datang, ngasih uang sama setiker gambar caleg partai ke ibu yang tinggal di kampung”.

Yu Inem. Lahir disebuah kota kecil di pesisir selatan Jawa Timur. Orangtua-nya, hanyalah seorang buruh tani di perkebunan tebu milik PTPN. Dia anak ragil dari 3 bersaudara. Sejak tamat SD tahun 1998, Yu Inem merantau di kota yang pada jaman dulu disebut ujung galuh. Dan menjadi seorang pembantu rumah tangga hingga kini. Meskipun sudah cukup lama merantau, gaji perbulannya masih tetap di bawah standar upah minimum kota Surabaya.

Setiap bulan, Yu Inem hanya menerima gaji Rp 300 ribu. Meskipun bekerja sebagai pembatu rumah tangga, ternyata setiap hari Yu Inem harus membeli makan sendiri. Karena majikannya yang keturunan Indo-Belanda jarang berkunjung ke rumah yang dijadikan tempat kos dan dijaga Yu Inem. Namun, Yu Inem tidak pernah protes.

Inilah hebatnya negara kita. Padahal setiap bulan, Yu Inem juga harus mengirimi uang ke kampung untuk biaya sekolah anaknya yang kini sudah kelas 1 SD. Sebagai orang yang berpenghasilan dibawah 2 dolar AS per hari. Ternyata masih bisa bertahan hidup dan tidak diketahui oleh pemerintah.

“Uang 400 ribu yang didapat ibu kamu itu dari satu partai Yu?”, usutku.

”Yo ga Mas. Tp dari banyak partai, ada yang ngasih Rp 20 ribu, ada yang memberi Rp 50 ribu ada juga yang ngasih Rp 100 ribu”.

Mendengar jawaban itu, hatiku berkata. Ini bener-bener pemilu yang sudah gila. Sekian puluh tahun kesadaran politik rakyat, bukannya dibangun tapi justru malah dirusak oleh para politisi kita sendiri. Secara umum, para politisi yang ada di negeri ini memang berfikir sempit. Meskipun mereka berkoar-koar ingin memanjukan bangsa ini, namun faktanya mereka justru malah menciptakan kesadaran politik palsu kepada rakyat.

Rakyat dicekoki dengan uang agar mau datang ke TPS dan memberi tanda contreng pada gambar partai dan calegnya. Iming-iming ini memang sangat taktis untuk mencapai tujuan strategis individu kader partai politik yang hanya sekedar ingin disebut sebagai wakil rakyat.
Taktis. Karena sebagian besar bangsa yang konon tinggal di negeri yang memiliki banyak kekayaan alam ini, ternyata hidupnya terlunta-lunta. Sulit sandang, pangan, dan papan. Dalam situasi lapar, siapa pun yang datang dan menebar uang pasti langsung diangkat jadi pahlawan.

Bagi para politisi yang visi dan misinya hanya sekedar ingin menjadi anggota dewan, namun tidak mau susah-susah membangun basis massa sendiri yang kuat, terorganisir, terdidik, dan terpimpin. Taktik membagi uang kepada rakyat yang lapar, tentu dinilai sangat taktis untuk menuju tujuan jangka panjang yang sangat strategis.

"Sampean juga ga ikut mencontreng, Mas?", Yu Inem melontarkan pertanyaan yang mengagetkan lamunanku.

"Nanti kalau kamu sudah nyalon, aku pasti akan nyontreng dan memilih kamu, Yu”, jawabku sekenanya.

"Wah, yo ga mungkin to Mas-Mas. Masa orang seperti saya ini bisa nyalon. Sekolahku aja cuma SD, apalagi saya juga hanya seorang pembantu rumah tangga?", jawab Yu Inem sambil memeluk gagang alat untuk ngepel lantai.

"Kenapa ga bisa, Yu. Bukankah kata orang sekolahan bahwa, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini? Siapa tahu nanti ada wolak-walike jaman. Meskipun kamu sekarang hanya seorang pembatu, besok bisa aja kamu jadi anggota DPR. Bahakan Presiden"

"Wah, sampean ini kok ya ada-ada saja guyonnya", jawabnya sambil tersipu-sipu malu memegangi gagang alat untuk membersihkan lantai.

”Ini bukan guyon, Yu”.

”Terus”, ucapnya semangat.

Untuk menghibur, aku pun mengatakan, setelah negara ini mengadakan pemilu tahun 1999 kemarin, banyak loh Yu, orang yang sebelumnya hanya tukang parkir, preman kampung yang setiap hari pekerjaannya mabuk-mabukan dan menggangu ketenangan orang lain. Tiba-tiba bisa berubah dan menjadi anggota DPR. Bahkan ada yang jadi walikota dan bupati. Padahal mereka tidak pernah terlibat dalam politik, tapi begitu terjun ke partai politik ternyata mereka bisa jadi anggota DPR.

"Ya, tapikan mereka punya uang yang bisa dibagi-bagikan ke orang lain agar memilihnya. Lah kalau saya?", ucap pembantu itu.

"Asal kamu mau bisa aja Yu”, jawabku sekenanya.

Caranya, mulai sekarang kamu kumpulkan temen-temen kamu. Ajak semua pembatu-pembantu rumah tangga yang kamu kenal untuk membentuk sebuah paguyuban. Kemudian arahkan secara pelan-pelan agar perkumpulan yang berbentuk paguyuban ini diubah menjadi organisasi. Tugas organisasi pembatu ini adalah mendidik semua anggota organisasi agar bisa menjadi pintar. Sehingga para pembatu tidak lagi dibodohi oleh majikannya.

Ajari juga anggota organisasi pembantu ini untuk melakukan perjuangan politik. Menuntut kepada pemerintah dan anggota dewan untuk segera membuat kebijakan serta undang-undang perlindungan pembantu rumah tangga. Dalam melakukan perjuangan politik ini, kamu jangan pernah berfikir apakah kamu akan berhasil atau tidak. Sebab tujuannya adalah untuk mendidik anggota organisasi agar para pembantu dapat mengerti tentang keadaan yang sebenarnya di lembaga pemerintah kita.

Jika semua anggota organisasi bersepakat, kamu juga bisa melakukan unjuk rasa ke Dinas Tenaga Kerja untuk menuntut agar para pembantu yang kini tidak teridentifikasi di kantor Dinas Tenaga Kerja dapat dilindungi. Selain itu, para pembatu ini juga bisa mendatangi kantor walikota/bupati, gubernur, bahkan ke istana presiden sekalipun.

Memang suara kamu tidak akan pernah didengarkan oleh mereka yang kamu pilih sendiri pada waktu pemilu, lima tahun yang lalu. Makanya, agar mereka mau mendengarkan suara pembantu, kamu harus terus melakukan pengorganisiran agar suranyanya semakin banyak dan keras. Caranya, organisasi pembantu ini bisa bekerja sama denga organisasi-organisasi seperti organisasi buruh, petani, dan lain-lain yang memiliki nasib tidak jauh berbeda dengan pembantu.

”Ingat yu. Perjuangan politik pembantu ini, memang hanya akan berhasil merebut kekuasaan politik jika dilakukan degan partai politik”, tegasku. Namun, bukan berati organisasi massa ini tidak bisa melakukan perjuangan politik. Kalau memang sudah memungkinkan. Baik dari segi kualitas maupun kuantitas, bisa saja organisasi pembatu ini berubah menjadi sebuah partai politik. Tetapi ingat, perubahan organisasi sebagai alat perjuanga pembantu ini harus tetap bersandar pada kekuatan anggota.

”Bukan atas dasar keinginan dan kepentingan subyektif kamu, Yu”, tegasku.

Karena itu, kamu harus selalu mengecek perkembangan yang ada dalam organisasi. Agar kamu bisa mengetahui perkembangan yang ada secara langsung, kamu harus selalu tinggal dan berada bersama anggota organisasi. Ingat, kamu bukanlah apa-apa tanpa mereka. Mata kamu juga tak setajam mata massa. Karena kamu hanya memiliki dua pasang bola mata, sedang massa memiliki jumlah mata yang sangat banyak. Telinga kamu juga hanya dua, tentu ketajaman pendengaran kamu tidak mungkin bisa lebih baik daripada mereka yang memiliki jumlah telinga yang sangat banyak.

”Mbuh lah, pusing”, ucap Yu Inem sambil tangannya garuk-garuk kepala.

“Sama Yu, aku juga pusing. Makanya, ayo kita nonton aja ke TPS biar ga pusing.”, hiburku. Ha...ha...ha...*** 

Sabtu, 04 April 2009

Melawan Kekuatan Media Dengan Cara Boikot



Oleh:

Sidik Suhada


Rasanya, kita tak pernah lepas dari media massa televisi. Sejak kita bangun tidur di pagi hari, hingga kembali tidur pada malam hari. Kita selalu dapat menyaksikan televisi. Selain dapat memberikan informasi, media massa yang satu ini ternyata juga menjadi tontonan yang menarik bagi keluarga kita. Namun, mengapa program-program siaran yang keluar dari kotak kecil bernama televisi ini selalu dipersoalakan banyak kalangan? Dan mengapa yang diprotes selalu saja program-program hiburan yang banyak menyedot penggemar, seperti infotaimnent dan sejeisnya?

Dalam tulisan ini saya tidak ingin membahas satu per satu dari program tayangan televisi yang kini sedang marak dipersoalkan banyak kalangan. Karena, saya tidak ingin terjebak dalam perdebatan yang bisa membuat program siaran itu semakin populis dan terkenal. Namun, saya hanya ingin memotret kepentingan dibalik program yang disiarkan di televisi.

Media massa kini memang sudah menjadi lembaga industri dan bisnis. Sebagai lembaga bisnis, tujuan pokoknya ingin meraih keuntungan. Sehingga meskipun program siaran itu diprotes banyak kalangan, asal bisa memberikan keuntungan bagi perusahaan tetap saja disiarkan. Kalau toh terpaksa harus ditutup karena sudah tidak tahan menahan desakan, ya ditutup. Namun, tetap akan muncul program sejenis selama program siaran itu masih laku dan banyak diminanti masyarakat.

Hingga kini, fakta memang menunjukan. Jumlah mayoritas masyarakat kita masih gemar bergunjing dan rasan-rasan. Sehingga ketika televisi menyodori sebuah tontonan yang beraroma rasan-rasan atau bergunjing, dapat dipastikan rating program siaran itu tinggi. Karena sesuai permintaan pasar yang digemari masyarakat sebagai customer-nya. Dengan rating yang tinggi, peluang untuk bisa mendapatkan keuntungan bagi industri itupun semakin terbuka lebar. Sebab jika rating-nya tinggi, pesanan iklan sponsor pasti semakin banyak. Inilah logika pasar.

Begitu juga program siaran hiburan lainnya. Asal dapat membuat masyakat kita yang mayoritas berpendidikan rendah dan setiap hari dilanda kesulitan ekonomi terhibur. Termasuk program siaran dapat menciptakan mimpi bagi masyarakat kita, pasti akan diterima. Karena mereka haus akan mimpi dan hiburan.

Perkembangan media massa televisi yang ada di negara kita saat ini, memang telah memasuki ranah industri dan bisnis. Apalagi untuk bisa membangun stasiun televisi tentu membutuhkan modal yang sangat besar. Bahkan bisnis media televisi sangat padat modal. Karena itulah, tentu hanya kalangan orang tertentu saja yang bisa membangun kerajaan bisnis ini.

Hampir tidak ada media televisi yang kini hidup dan tumbuh Indonesia, tidak dikuasai pelaku bisnis. Baik itu yang berasal dari kalangan pengusaha murni, maupun pengusaha yang merangkap sebagai komprador dan politisi. Semua tetap memiliki kepentingan yang sama yakni, meraup keuntungan yang sebesar-besarnya dari media itu sendiri. Baik keuntungan ekonomi maupun politik lainnya.

Lihat saja Trans7 dan Trans TV misalnya, yang kini berada dalam payung bisnis yang sama yakni, Trans Corp yang dimiliki seorang pengusaha, Chairul Tanjung. MNC group (TPI, RCTI, Global tv) dikuasai oleh Hary Tanoesoedibyo. TV ONE dan ANTV bernaung di bawah bendera Bakrie Group dengan Bos utama Abu Rizal Bakrie, SCTV sebahagian besar sahamnya dimiliki oleh Eddy Sariatmadja, dan yang terakhir Metro TV yang pemiliknya Surya Paloh, gemar menampilkan wajahnya di tv-nya sendiri.

Jika pemilik televisi itu murni seorang pengusaha, tujuan utamanya tentu keuntungan. Tak peduli program dan content-nya mendidik atau tidak, yang penting banyak disukai masyarakat sebagai pasarnya. Sehingga dapat menghasilkan keuntungan. Toh yang selama ini protes hanya sebagaian kecil dari kelompok masyarakat saja. Kalau tidak kalangan akademik, paling LSM dan kelompok-kelompok kecil masyarakat lainnya.

Sementara, bagi media massa yang didirikan oleh seorang komprador dan politisi, selain televisi dibangun untuk tujuan bisnis juga sebagai ajang popularitasnya sendiri agar tetap dapat diperhitungkan dalam kancah panggung politik. Tak peduli apakah publik dirugikan atau tidak, yang penting dirinya bisa tampil dan terkenal.

Jika belum bisa merebut kekuasaan dalam pemerintahan negara, paling tidak media-nya tetap dapat digunakan untuk mengamankan posisinya sebagai komprador. Bahkan kalau bisnisnya disektor yang lain tidak sesuai rencana seperti dalam kasus pengeboran Lapindo di Sidoarjo, toh dirinya tetap bisa selamat. Karena negara yang akan menanggung kerugiannya sebagai akibat bencana alam. Bukan akibat keteledorannya dalam merekayasa usaha dan bisnisnya.

Apalagi para kompardor ini tahu, para politisi sipil yang ada di negara ini sangat lemah ketika menghadapi pengusaha dan konglomerat. Jika negara tak mau menanggung, tinggal diancam aja semua aset ekonomi dan industri miliknya akan ditutup dan diboyong ke luar negeri, semua politisi dan pejabat negara pasti ketakutan. Karena kredibilitasnya bisa rusak gara-gara jumlah penganguran semakin banyak. Kelemahan inilah yang selalu digunakan para kompardor untuk menekan pemerintah agar tetap berpihak kepadanya. Sehingga tak heran, jika pemerintah lebih suka membantu pengusaha yang nakal daripada membantu masyarakat yang miskin dan kelaparan.

Media memang tidak pernah dapat lepas dari berbagai kepentingan. Struktur politik dan ekonomi yang ada di negara. Semua ikut menetukan kehidupan media massa yang ada. Pada masa orde baru, media massa berada di bawah ketiak sang diktator Suharto yang sedang berkuasa. Media massa termasuk televisi adalah alat penguasa untuk tetap dapat melanggengkan kekuasaan.

Sehingga media massa pada waktu itu hanyalah menjadi corong pemerintah. Siapapun yang berani mengkritik, nasibnya pun dapat ditentukan dalam hitungan detik karena SIUP nya di cabut dan medianya dibredel. Namun, apakah setelah reformasi media massa dapat hidup dan tumbuh bebas dalam menentukan content siarannya?

Ternyata tidak. Ibarat pepatah, lepas dari mulut harimau masuk ke mulut buaya. Pasca reformasi 1998, ternyata kini kita dibawa untuk memasuki paham liberal dan pluralis oleh para teknokrat kita. Jika dulu media massa dikuasai oleh dominasi politik pemerintah, kini media massa dikuasai oleh pengusaha. Sehingga content dan program siaran yang dimiliki oleh media massa pun, tentu mengikuti mekanisme kebijakan pasar. Logika utamanya adalah keuntungan.

Sehingga isi media yang ada, tentu dapat kita lihat dari siapa yang ada dibalik media itu. Dalam hal ini adalah ownership media. Menurut Mc Quail (1994) adalah, The content of the media always reflect the interest of those who finance them. Not surprisingly there are several different forms of ownership of different media, and the powers of ownership can be exercised in different ways.

Akibatnya, apa yang pernah pernah diharapkan agar media itu bisa berperan sebagaimana fungsinya yakni, memberikan informasi yang berimbang dan objektif, menghibur, mendidik, dan memberikan kontrol terhadap kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa, tentu masih jauh dari harapan.

Karena itu, agar media tetap konsisten pada fungsinya, media massa pun tetap harus dikontrol. Apalagi media massa televisi yang jelas-jelas telah menggunakan ranah publik yakni, frekwensi yang notabene menjadi milik publik. Selain itu, media televisi juga telah memasuki rumah-rumah pribadi seseorang tanpa ”premisi” terlebih dahulu. Sehingga media tetap harus dikontrol. Namun, gabaimana caranya mengontrol? Bukan kah kini sudah ada KPI yang ternyata juga mandul?


Boikot Program Tayangan

Secara teoritik, meskipun kini media massa telah memasuki ranah industri dan bisnis. Sebenarnya media massa tetap harus memiliki tanggung jawab sosial. Menurut Social Responsibility Theory ini, selain memiliki tanggung jawab sosial. Media massa juga memiliki kewajiban untuk mengabdi kepada kepentingan sosial. Siebert, Peterson dan Schramm (dalam Severin and Tankard, 1992), ”media must assume obligation of social responsibility; and if they do not, someone must see they do.” Selanjutnya mereka menyatakan bahwa, media diawasi oleh opini komunitas, tindakan konsumen (consumer action), etika profesional, dan badan pengawas semacam KPI kalau di Negara kita.

Namun, tanggung jawab media dalam teori tanggung jawab sosial ini nampaknya sangat sulit untuk dapat direalisasikan di sini. Akibat rumitnya tarik ulur dari berbagai kepentingan. Baik dari kepentingan pemilik media yang berorintasi pada keuntungan bisnis, maupun dari kelompok individu-individu yang lainnya yang juga sama-sama memiliki kepentingan dalam media itu. Sehingga konsep ini pun masih jauh dari harapan.

Sehingga masyarakat harus memiliki cara sendiri untuk melawan media massa yang memang memiliki pengarauh dan kekuatan yang sangat besar ini. Caranya, boikot program tayangan televise yang tidak dapat dikontrol.

Aksi boikot ini sebenarnya bukan cara baru bagi kita. Karena taktik perlawanan semacam ini, sebenarnya sudah lama tumbuh dan dikenal. Bahkan pada jaman kerajaan Majapahit dulu, aksi boikot juga sudah dikenal dan sering dilakukan masyarakat untuk melawan kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak pada rakyat. Rakyat memboikot dengan cara pepe atau berjemur diri di tengah-tengah alun-alun kota raja untuk melawan kebijakan raja.

Pada zaman kolonial Belanda, warga keturunan Tionghoa di Surabaya yang dipimpin Tjo Sik Giok dan Tjo Tjie An, juga pernah menggunakan boikot sebagai taktik perlawanan untuk melawan kebijakan Handelsvereniging Amsterdam (HVA) yang dianggap merugikan warga keturunan Tionghoa pada tahun 1902. Ternyata taktik perlawanan boikot ini membawa hasil. Pihak H.V.A pun luluh dan mengajak berdamai dan memberikan ganti rugi sebesar f 25.000 kapada warga keturunan Tionghoa. Namun, ganti rugi sebesar f 25 ribu ini ternyata ditolak dan warga Tionghoa tetap memilih untuk boikot. Dan taktik boikot ini pun segera marak dan banyak digunakan sebagai taktik perlawanan dikemudian hari.

Lantas, apakah taktik perlawanan ini masih dapat digunakan pada jaman sekarang? Apalagi digunakan untuk melawan media massa yang juga sama-sama memiliki kekuatan besar?

Sebesar apapun kekuatan efek media massa yang ada. Media massa toh saat ini sudah menjadi lahan bisnis dan industri. Kebesaran dan kehidupan media massa, kini juga ditentukan oleh seberapa besar jumlah pemirsanya bagi media massa televisi. Seberapa besar jumlah pendengarnya bagi media radio, serta seberapa besar jumlah pemlanggan dan pembacanya bagi media cetak. Semakin besar jumalah masyarakat yang mengonsumsi media itu, tentu semakin besar pula peluang media itu tetap hidup.

Sehingga jika masyarakat merasa dirugikan oleh program dan tayangan dari media itu, masyarakat pun bisa melakukan aksi boikot untuk tidak mengonsumsi media itu. Sehingga jika jumlah yang menonton media televisi itu sedikit, media massa itu tentu tidak akan dapat memperoleh iklan sponsor. Akibatnya media itu akan mati karena tidak dapat menghidupi programnya kalau tidak ada yang memasang iklan.

Namun, aksi boikot ini akan berjalan efektif dan masif jika ada kekuatan yang berusaha untuk mengkonsolidasikannya. Sosialisasi kepada warga, kelompok-kelompok paguyupan ibu-ibu PKK, serikat buruh, dan organisasi-organisasi kemasyarakatan lainnya. Sebab tanpa organisasi dan kesatuan yang kuat, taktik apapun bisa menjadi tidak berfungsi dan tumpul.***







Senin, 30 Maret 2009

Idealisme Jurnalis Dalam Pelukan Dominasi Politik Media

Oleh:

Sidik Suhada

Tak dapat dipungkiri. Informasi, kini telah menjadi satu kebutuhan hidup masyarakat modern. Bahkan menjadi salah satu kunci kesuksesan hidup seseorang. Semakin banyak orang menguasai informasi, pintu keberhasilan pun semakin terbuka. Salah satu sumber informasi yang selama ini banyak diakses masyarakat adalah media massa. Hingga media massa pun disebut sebagai jendela dunia. Namun, apakah jendela dunia ini dapat memberikan informasi secara obyektif dan bebas kepentingan?


Menurut McQuail dalam Stephen W.Littlejohn (2001: 305) media adalah sebuah organisasi yang kompleks dan memiliki keterkaitan dengan lembaga-lembaga lainnya seperti, ekonomi, sosial, dan politik. Di dalamnya juga mencangkup persoalan fungsi manajemen, personil media, dan aspek teknis lainnya. Sehingga dapat dipastikan, gesekan persoalan yang di dalam media itu sendiri pun kompleks.

Kepetingan pemilik media yang memiliki orientasi bisnis, juga mewarnai objektifitas media itu. Begitu juga dominasi ideologi politik penguasa dalam pemerintahan negara, tentu tak pernah lepas dari kenyataan yang ada. Sekalipun, kini katanya kran demokrasi telah dibuka.

Sehingga media massa yang menurut Denis McQuail (dalam Stephen W.Littlejohn, 2001: 303) disebut sebagai jendela untuk melihat apa yang ada di luar kita, dan sekaligus penerjemah yang dapat membantu kita memahami pengalaman yang menjajikan informasi, ternyata tetap tidak bebas dari kepentingan. Kaca jendelanya pun bisa berubah warna. Menyesuaikan bagaimana ideologi pemilik media dan ideologi politik penguasa yang sedang berkuasa.

Semua ini, tentu saling mempengaruhi. Termasuk idealisme para jurnalis media itu. Walaupun secara umum, jurnalis sebagai human agents yang independen dan memiliki otonomi atas kreativitas serta idealisme mereka. Penguasa dan pemilik modal tetap saja mengutamakan media sebagai instrumen yang dominan. Meskipun media memiliki empat fungsi yakni, menyampaikan informasi, hiburan, pendidikan, dan menjalankan fungsi kontrol sosial, media toh tetap institusi bisnis yang berorientasi pada akumulasi modal. Sehingga beroperasi layaknya sebagai lembaga bisnis yang memiliki struktur dan kaidah logika sendiri di luar empat fungsi media tersebut.

Dalam buku penelitiannya yang berjudul Pers Memihak Golkar, Yohanes Krisnawan (1997:1) mengatakan bahwa, kini pers hidup di alam kapitalistik dengan kebebasan pers yang seadanya. Sehingga berbagai semboyan idealistik, patriotik, dan populis yang terpampang di muka surat-surat kabar atau majalah boleh jadi hanya semboyan kosong belaka. Tanpa makna, dan lebih sebagai kata-kata yang anakronistik alias tidak cocok dengan zaman dan kenyataan.

Meskipun penelitian ini dilakukan pada jaman orde baru berkuasa dan kini telah memasuki jaman reformasi, kepentingan politik penguasa dan kepentingan pemilik media tetap masih mewarnai obyektifitas media itu sendiri.

Idealisme jurnalisnya pun, kini telah berubah mengikuti perkembangan jamam. Setidaknya hal ini juga sering terlontar dalam bahasa guyonan para wartawan, ”Maju tak gentar membela yang bayar”. Meskipun ini dilontarkan dalam bahasa guyon, paling tidak tetap mencerminkan apa yang ada di otak dan berkembang dalam sebuah pemikikiran yang terlontar dalam bahasa guyon.

Bisa jadi ini memang bukan hanya sekedar guyon, namun sebuah realita pengalaman empiris mereka. Apalagi, profesi jurnalis di negeri ini memang belum begitu dihargai. Bahkan tak sedikit gaji jurnalis media massa di negeri ini, masih berada dibawah standar kebutuhan hidup layak. Sehingga tak salah, para jurnalis justru lebih banyak yang berharap dan bersandar pada pemberian ampau narasumber. Meskipun, hampir semua media kini membuat tulisan pelarangan terhadap wartawannya menerima sesuatu dari sumber berita.

Bahkan isi runing text yang setiap hari muncul di layar kaca tv, ”Wartawan... Tidak Menerima Imalan Dalam Setiap Peliputan Berita”, hingga kini tetap masih seperti semboyan kosong tanpa makna. Karena realitanya, masih jauh sate dari tusuknya. Sehingga obyektifitas berita yang dibuat jurnalisnya pun, tetap dapat dipesan oleh siapa saja yang berani memesannya.

Minimal akan diperhalus bahasanya, jika sekiranya dipandang berita itu sudah tidak dapat dihentikan. Bahkan bisa jadi, sisi positifnya yang diangkat dan mengaburkan fakta negatif yang ada.
Para jurnalis yang masih sedikit memiliki idealisme, terkadang juga harus mengerutu karena tulisannya yang dibuat sesuai hasil investigasi yang benar di lapangan, ternyata berbeda setelah keluar di medianya. Semua telah diubah, dan diputar 180 derajat oleh redakturnya karena nara sumber yang diberitakan oleh jurnalis itu, langsung menembusi redaktur agar memihaknya. Tentu dengan kompensasi tertentu, bisa berupa uang yang bisa langsung dimasukan ke dalam kantong pribadi redaktur, maupun kompensasi iklan pariwara yang dapat dinikmati oleh perusahaan.

Hal ini dikarenakan media sebagai sebuah lembaga industri juga berusaha tetap survive mengakumulasikan modalnya. Sehingga media massa ini pun tak ingin berbenturan langsung dengan ideologi penguasa yang ada. Karena dominasi budaya politik penguasa, bisa mengancam bisnis mereka. Karena itu, Stephen W.Littlejohn, dalam bukunya yang berjudul Theories Of Human Communication, (2001:218) edisi ketujuh mengatakan bahwa media tetap saja didominasi oleh ideologi yang berkuasa, dan mereka selalu berusaha membungkam suara-suara yang menentang kerangka ideologi dominan.

Ironisnya, menurut Stephen W.Littlejohn, media selalu menampilkan ilusi keragaman dan obyektivitas, sementara dalam kenyataannya mereka merupakan intrumen-instrumen yang jelas dari tatanan yang dominan. Dengan kata lain, media juga dapat dipandang sebagai alat yang kuat dari ideologi yang dominan. Sehingga ketika yang dominan adalah ideologi kapitails, media pun akan dijadikan alat untuk memperkuat cengkaraman posisi kapitalis.

Sebagaimana logika berfikirnya, jika media ini telah memasuki ranah bisnis, apapun akan dilakukan asalkan dapat memberikan keuntunga. Masyarakat pun akan diarahkan oleh media itu agar dapat menjadi konsumen dan customer-nya. Sehingga keuntungan tetap bisa didapat.

Dengan demikian, apakah media masih bisa menjadi sumber informasi terpercaya? Jaman terus berkembang. Dan waktu pun terus berputar sesuai gerak dialektikanya yang ada. Gerak sejarah perkembangan manusia yang sedang kini sedang menuju pada puncaknya. Pelan namun pasti, idealisme jurnalis pun akan terus mengikuti perkembangan peradaban umat manusia. Tergantung pada siapa yang mengendalikan media itu. Kesadaran jurnalis pun dapat dibentuk.