Kamis, 09 April 2009

Gunjingan Yu Inem


Oleh: Sidik Suhada
 

Surabaya, pagi ini benar-benar sepi. Hingga jam 9 pagi, jalan-jalan di kota ini semua lengang. Hampir semua pertokoan dan kompleks-kompleks perdagangan tutup. Dalam hati aku berfikir, pemilu 2009 ini ternyata telah membawa kerugian besar bagi kehidupan ekonomi negeri ini. Namun, sesampai di rumah ada sedikit yang berbeda.

"Loh kok masih di rumah, ga nyontreng Yu?", aku bertanya kepada pembatu yang sedang ngepel lantai di rumah.

"Engga, males", jawab pembantu.

"Kenapa?" kembali aku bertanya balik.

"Yo males ah. Nyontreng di sini ga dapat apa-apa. Tapi kalau di kampung nyontreng enak. Pagi tadi waktu saya telpon ibu saya di kampung bilang sudah dapat Rp 400 ribu walau belum berangkat ke TPS. Setiap partai datang, ngasih uang sama setiker gambar caleg partai ke ibu yang tinggal di kampung”.

Yu Inem. Lahir disebuah kota kecil di pesisir selatan Jawa Timur. Orangtua-nya, hanyalah seorang buruh tani di perkebunan tebu milik PTPN. Dia anak ragil dari 3 bersaudara. Sejak tamat SD tahun 1998, Yu Inem merantau di kota yang pada jaman dulu disebut ujung galuh. Dan menjadi seorang pembantu rumah tangga hingga kini. Meskipun sudah cukup lama merantau, gaji perbulannya masih tetap di bawah standar upah minimum kota Surabaya.

Setiap bulan, Yu Inem hanya menerima gaji Rp 300 ribu. Meskipun bekerja sebagai pembatu rumah tangga, ternyata setiap hari Yu Inem harus membeli makan sendiri. Karena majikannya yang keturunan Indo-Belanda jarang berkunjung ke rumah yang dijadikan tempat kos dan dijaga Yu Inem. Namun, Yu Inem tidak pernah protes.

Inilah hebatnya negara kita. Padahal setiap bulan, Yu Inem juga harus mengirimi uang ke kampung untuk biaya sekolah anaknya yang kini sudah kelas 1 SD. Sebagai orang yang berpenghasilan dibawah 2 dolar AS per hari. Ternyata masih bisa bertahan hidup dan tidak diketahui oleh pemerintah.

“Uang 400 ribu yang didapat ibu kamu itu dari satu partai Yu?”, usutku.

”Yo ga Mas. Tp dari banyak partai, ada yang ngasih Rp 20 ribu, ada yang memberi Rp 50 ribu ada juga yang ngasih Rp 100 ribu”.

Mendengar jawaban itu, hatiku berkata. Ini bener-bener pemilu yang sudah gila. Sekian puluh tahun kesadaran politik rakyat, bukannya dibangun tapi justru malah dirusak oleh para politisi kita sendiri. Secara umum, para politisi yang ada di negeri ini memang berfikir sempit. Meskipun mereka berkoar-koar ingin memanjukan bangsa ini, namun faktanya mereka justru malah menciptakan kesadaran politik palsu kepada rakyat.

Rakyat dicekoki dengan uang agar mau datang ke TPS dan memberi tanda contreng pada gambar partai dan calegnya. Iming-iming ini memang sangat taktis untuk mencapai tujuan strategis individu kader partai politik yang hanya sekedar ingin disebut sebagai wakil rakyat.
Taktis. Karena sebagian besar bangsa yang konon tinggal di negeri yang memiliki banyak kekayaan alam ini, ternyata hidupnya terlunta-lunta. Sulit sandang, pangan, dan papan. Dalam situasi lapar, siapa pun yang datang dan menebar uang pasti langsung diangkat jadi pahlawan.

Bagi para politisi yang visi dan misinya hanya sekedar ingin menjadi anggota dewan, namun tidak mau susah-susah membangun basis massa sendiri yang kuat, terorganisir, terdidik, dan terpimpin. Taktik membagi uang kepada rakyat yang lapar, tentu dinilai sangat taktis untuk menuju tujuan jangka panjang yang sangat strategis.

"Sampean juga ga ikut mencontreng, Mas?", Yu Inem melontarkan pertanyaan yang mengagetkan lamunanku.

"Nanti kalau kamu sudah nyalon, aku pasti akan nyontreng dan memilih kamu, Yu”, jawabku sekenanya.

"Wah, yo ga mungkin to Mas-Mas. Masa orang seperti saya ini bisa nyalon. Sekolahku aja cuma SD, apalagi saya juga hanya seorang pembantu rumah tangga?", jawab Yu Inem sambil memeluk gagang alat untuk ngepel lantai.

"Kenapa ga bisa, Yu. Bukankah kata orang sekolahan bahwa, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini? Siapa tahu nanti ada wolak-walike jaman. Meskipun kamu sekarang hanya seorang pembatu, besok bisa aja kamu jadi anggota DPR. Bahakan Presiden"

"Wah, sampean ini kok ya ada-ada saja guyonnya", jawabnya sambil tersipu-sipu malu memegangi gagang alat untuk membersihkan lantai.

”Ini bukan guyon, Yu”.

”Terus”, ucapnya semangat.

Untuk menghibur, aku pun mengatakan, setelah negara ini mengadakan pemilu tahun 1999 kemarin, banyak loh Yu, orang yang sebelumnya hanya tukang parkir, preman kampung yang setiap hari pekerjaannya mabuk-mabukan dan menggangu ketenangan orang lain. Tiba-tiba bisa berubah dan menjadi anggota DPR. Bahkan ada yang jadi walikota dan bupati. Padahal mereka tidak pernah terlibat dalam politik, tapi begitu terjun ke partai politik ternyata mereka bisa jadi anggota DPR.

"Ya, tapikan mereka punya uang yang bisa dibagi-bagikan ke orang lain agar memilihnya. Lah kalau saya?", ucap pembantu itu.

"Asal kamu mau bisa aja Yu”, jawabku sekenanya.

Caranya, mulai sekarang kamu kumpulkan temen-temen kamu. Ajak semua pembatu-pembantu rumah tangga yang kamu kenal untuk membentuk sebuah paguyuban. Kemudian arahkan secara pelan-pelan agar perkumpulan yang berbentuk paguyuban ini diubah menjadi organisasi. Tugas organisasi pembatu ini adalah mendidik semua anggota organisasi agar bisa menjadi pintar. Sehingga para pembatu tidak lagi dibodohi oleh majikannya.

Ajari juga anggota organisasi pembantu ini untuk melakukan perjuangan politik. Menuntut kepada pemerintah dan anggota dewan untuk segera membuat kebijakan serta undang-undang perlindungan pembantu rumah tangga. Dalam melakukan perjuangan politik ini, kamu jangan pernah berfikir apakah kamu akan berhasil atau tidak. Sebab tujuannya adalah untuk mendidik anggota organisasi agar para pembantu dapat mengerti tentang keadaan yang sebenarnya di lembaga pemerintah kita.

Jika semua anggota organisasi bersepakat, kamu juga bisa melakukan unjuk rasa ke Dinas Tenaga Kerja untuk menuntut agar para pembantu yang kini tidak teridentifikasi di kantor Dinas Tenaga Kerja dapat dilindungi. Selain itu, para pembatu ini juga bisa mendatangi kantor walikota/bupati, gubernur, bahkan ke istana presiden sekalipun.

Memang suara kamu tidak akan pernah didengarkan oleh mereka yang kamu pilih sendiri pada waktu pemilu, lima tahun yang lalu. Makanya, agar mereka mau mendengarkan suara pembantu, kamu harus terus melakukan pengorganisiran agar suranyanya semakin banyak dan keras. Caranya, organisasi pembantu ini bisa bekerja sama denga organisasi-organisasi seperti organisasi buruh, petani, dan lain-lain yang memiliki nasib tidak jauh berbeda dengan pembantu.

”Ingat yu. Perjuangan politik pembantu ini, memang hanya akan berhasil merebut kekuasaan politik jika dilakukan degan partai politik”, tegasku. Namun, bukan berati organisasi massa ini tidak bisa melakukan perjuangan politik. Kalau memang sudah memungkinkan. Baik dari segi kualitas maupun kuantitas, bisa saja organisasi pembatu ini berubah menjadi sebuah partai politik. Tetapi ingat, perubahan organisasi sebagai alat perjuanga pembantu ini harus tetap bersandar pada kekuatan anggota.

”Bukan atas dasar keinginan dan kepentingan subyektif kamu, Yu”, tegasku.

Karena itu, kamu harus selalu mengecek perkembangan yang ada dalam organisasi. Agar kamu bisa mengetahui perkembangan yang ada secara langsung, kamu harus selalu tinggal dan berada bersama anggota organisasi. Ingat, kamu bukanlah apa-apa tanpa mereka. Mata kamu juga tak setajam mata massa. Karena kamu hanya memiliki dua pasang bola mata, sedang massa memiliki jumlah mata yang sangat banyak. Telinga kamu juga hanya dua, tentu ketajaman pendengaran kamu tidak mungkin bisa lebih baik daripada mereka yang memiliki jumlah telinga yang sangat banyak.

”Mbuh lah, pusing”, ucap Yu Inem sambil tangannya garuk-garuk kepala.

“Sama Yu, aku juga pusing. Makanya, ayo kita nonton aja ke TPS biar ga pusing.”, hiburku. Ha...ha...ha...*** 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar