Selasa, 12 Oktober 2010

Rajiman: Berjuang Saat Situasi Masih Surut


Cilacap-KPA: Berjuang tak mengenal lelah dan batas usia. Demikian perinsip Radjiman Tirtadikrama, Ketua Organisasi Tani Ketan Banci di Kecamatan Cipari, Kabupaten Cilacap.

Diusianya yang sudah tidak lagi muda. Bapak lima anak satu cucu ini, semangatnya seakan tak pernah padam. Apalagi ketika memperjuangkan hak atas kepemilikan tanah untuk kepentingan petani. Tak ada kata lelah, apalagi takut menghadapi segala macam resiko dalam hati dan pikirannya.

Bahkan ketika Orde Baru masih sangat kuat berkuasa, pria kelahiran 10 Mei 1953 ini sudah memberanikan diri untuk berjuang demi sepetak tanah yang menurutnya dulu milik orangtuanya. Namun, pada tahun 1972, sertifikat tanah warga yang masih berbentuk petok D diambil oleh pemerintah melaui kepala desa setempat. Tak lama kemudian, tanah-tanah itu diubah menjadi areal perluasan kawasan perkebunan.

“Tak ada yang berani melawan. Siapapun yang melawan, dituduh PKI (anggota Partai Komunis Indonesia),” kenangnya.

Baru setelah 12 tahun tanah itu dikuasai pihak perkebunan. Tepatnya tahun 1984, lelaki warga Desa Mulyadadi Rt. 1 Rw. 2 ini, mencoba memberanikan diri untuk bertanya kesana kemari pada orang-orang yang dianggap tahu tentang bagaimana caranya merebut kembali hak atas kepemilikan tanah itu. Namun, tak ada satu pun orang yang berani membantunya. Mereka malah menuduhnya gila.

“Saya dianggap gila karena ditinggal mati istrinya. Yah, mungkin mereka benar saya ini memang gila. Gila karena ingin berjuang mendapatkan apa yang menjadi hak milik petani di desa saya,” imbuhnya.

Namun, itulah perjuangan. Berjuang disaat situasi sangat represif dan tidak ada satu pun kekuatan yang mendukungnya, tentu lebih berati. Daripada berjuang disaat kekuatan sedang pasang dan semua komponen sedang ingin berjuang bersama. Tetapi, apapun situasinya, Radjiman Tirtadikrama mengaku bahwa perjuangan bersama itu penting. Sebab, hanya kebersamaan yang akan membawa perubahan untuk kesejahteraan kita bersama.

Pelan tapi pasti. Setelah sekian lama berjuang sendiri. Radjiman panggilan akrab Radjiman Tirtadikrama dengan sabar terus mencoba mengajak rekan dan tetanga-tetangganya untuk berjuang bersama merebut kembali tanah yang seharusnya menjadi hak miliknya. Baru sekitar awal tahun 1998, ada 20 orang yang ikut berjuang bersamanya. Lalu dibentuklah serikat tani yang diberi nama Ketan Banci yang berati ”Kelompok Tani Korban Ciseru Cipari.”

Setelah dapat mengumpulkan 20 orang untuk berjuang bersama, Radjiman dan rekan-rekannya terus berusaha menambah jumlah anggota organisasinya. Hingga pertengahan 1998 jumlah anggota dalam organisasi bertambah menjadi 253 orang.

Aksi-aksi perlawanan petani pun mulai dilakukan. Tahun 1999, sebuah insiden berdarah terjadi di bumi Cipari Kabupaten Cilacap. Aksi mereka direpresi oleh aparat kepolisian. Tiga orang petani anggota Ketan Banci ditembak polisi, puluhan orang luka-luka, 46 orang petani ditangkap, dan 2 mobil truk polisi dibakar warga.

”Melihat kawan-kawannya bersimbah darah terkena tembakan. Petani bukannya takut, kami bangkit dan terus berlawan,” kenangnya.

Usai insiden itu, 26 orang petani diseret ke Pengadilan dan dipenjarakan dengan tuduhan pengrusakan. Mereka divonis bersalah dan dihukum penjara 2 bulan hingga 8 bulan. Sebagai pimpinan Ketan Banci, Radjiman dihukum 8 bulan penjara dan baru dibebaskan 19 Agustus 2000.

Lalu, bagaimana caranya Radjiman menghidupi keluarganya selama dirinya dipenjara? ”Itulah salah satu pentingnya petani berorganisasi. Secara kolektif, semua anggota organisasi yang tidak dipenjara, iuran untuk membantu biaya hidup anak-anaknya,” tegasnya.

Sehingga begitu ke luar dari penjara, sebagai tokoh pergerakan petani di Kecamatan Cipari, ia masih tetap dapat berjuang bersama. Alhasil, apa yang diperjuangkannya selama bertahun-tahun kini telah membuahkan hasil. Dari 45 hektar tanah yang dulu dirampas pihak perkebunan, 25 hektar kini sudah kembali ke warga dan mendapatkan sertifikasi yang sah secara hukum. Sisanya, sudah bisa digarap oleh petani dan tinggal menunggu proses sertifikasi*-Sidik Suhada-

Selasa, 29 Juni 2010

Oey Tiang Tjoei

Media massa idealnya non-partisan. Tidak memihak. Maka, insan media massa pun harus berperilaku demikian. Pasalnya, ideal itulah ”roh” media massa; ”jiwa” para jurnalis. Kesetiaan media massa sepatutnya hanya dihadirkan untuk kepentingan publik.

Namun, hal yang ideal itu nyaris pasti sulit diwujudkan. Selalu ada kepentingan yang menyertai dengan banyak argumentasi. Baik secara kelembagaan maupun secara perseorangan (oknum).

Sejarah mencatat, lunturnya idealisme media massa itu ternyata sudah berlangsung lama. Bukan baru terjadi setelah media massa memasuki ranah industri di alam kapitalisme ini. Apalagi setelah adanya pemilukada langsung yang ternyata banyak menyeret media massa menjadi media partisan untuk memberikan dukungan pada calon tertentu. Jauh sebelum itu, media partisan memang sudah ada di negeri ini.

Hanya sekadar contoh. Pada masa pra-perang kemerdekaan Indonesia, tahun 1930-an, ada dua surat kabar Tionghoa-Melayu yang saling bersaing ketat, yaitu Sin Po dan Keng Po. Masing-masing terbit dengan corak tersendiri.

Sin Po pimpinan Kwee Kek Beng menganjurkan nasionalisme Tiongkok. Sin Po juga mengajak pembacanya ikut bangga dan selalu memuja tanah leluhur. Sedangkan Keng Po pimpinan Inyo Beng Goat (1935), jelas menunjukkan pada pembacanya bahwa kaum peranakan China di bumi Indonesia tempatnya.

Dalam buku Jagat Wartawan Indonesia karya Soebagijo Ilham Notodidjojo (Gunung Agung, 1981), dikisahkan pula ihwal suratkabar Hong Po pimpinan Oey Tiang Tjoei. Suratkabat Tionghoa-Melayu ini terbit di Jakarta, setahun menjelang Jepang datang. Hong Po menyuarakan pro-Jepang.

Tidak aneh, sewaktu Jepang datang, Oey Tiang Tjoei (yang kemudian berganti nama menjadi Permana), segera mendapat kedudukan lumayan. Dia menjadi pemimpin umum suratkabar Kung Yung Pao sekaligus menjadi anggota Chuo Sangi-In, semacam Dewan Pertimbangan untuk pemerintahan bala tentara Jepang di Jawa.

Modal Hong Po cukup besar. Namun, peredarannya tidak mampu menandingi Sin Po dan Keng Po. Daya mampunya membangun opini publik juga kalah hebat dibandingkan dengan Sin Po dan Keng Po.

Dari kisah tersebut, sekali lagi, dapat disimpulkan bahwa lunturnya ”roh” non-partisan media massa bukan kasus baru. Tiap zaman punya kisah sendiri. Termasuk sekarang, era reformasi, zaman pilkada langsung oleh rakyat. Bukan hanya media-media kecil yang terbit di daerah, beberapa media massa nasional yang sudah memiliki nama besar pun, ternyata juga bisa menjadi media partisan seperti Hong Po.

Salahkah? Saya tidak dalam kapasitas menyalahkan atau membenarkan. Biarlah semua kembali kepada kearifan komunikan (khalayak pembaca, pendengar, atau pemirsa). Satu hal pasti, komunikan media massa akan semakin cerdas. Mampu memilah dan menyaring media mana yang benar-benar mengutamakan kepentingan publik.

Sekadar renungan, pernyataan Bung Karno (BK) 51 tahun silam, ”Lebih dahulu nasionalis, baru kemudian wartawan,” seru BK dalam forum peresmian pembukaan Jurusan Publisistik Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Indonesia, di Jakarta, 12 Desember 1959 (dalam Soebagijo I,N, 1981).

Maknanya, sebelum menjadi wartawan, jadilah seorang nasionalis dahulu. Dalam era pilkada sekarang, mungkin saja bisa dimaknai ”dahulukanlah kepentingan rakyat di daerah setempat, baru kemudian kepentingan media massa”. Atau, ”dahulukan kepentingan publik, baru kemudian kepetingan medianya.”

Sungguh, tantangan berat bagi pekerja pers pada era industri pers sekarang. Pasalnya, kompetisi semakin ketat dan berat. Iklan sebagai sumber pendapatan utama, menjadi ”dewi penggoda” idealisme. Haruskah menjadi pengkhianat nasionalisme seperti Oey Tiang Tjoei?

Senin, 28 Juni 2010

Buatmu yang Ingin Jadi Wartawan

Sedikitnya, ada lima modal dasar untuk bisa menjadi wartawan yang berkualitas baik. Pertama, pengetahuan. Seorang wartawan membutuhkan pengetahuan (knowledge). Lantaran itulah, ia harus banyak membaca. Membaca apa? Membaca apa saja yang dapat menambah pengetahuan. Gemar membaca novel dan karya sastra yang bermutu, sangat menguntungkan bagi seorang wartawan. Kegemaran itu akan sangat berpengaruh pada mutu dan keterampilannya menulis.

Kedua, bagi seorang wartawan yang berkehendak maju harus memiliki modal persepsi. Maknanya, dengan pengetahuan datanglah (lahirlah) persepsi, yaitu kemampuan membahas dan menganalisis serangkaian keadaan, kemudian menarik kesimpulan.

Modal ketiga, observasi. Seorang wartawan mutlak perlu memiliki daya mampu observasi, sanggup mengamati dan mendeteksi hal-hal yang tidak lazim dan hal-hal yang menarik hati. Berbeda dengan persepsi; observasi terutama terbatas pada hal-hal yang bersifat fisik.

Modal keempat, mampu menulis opini/artikel; karya tulis yang tepat sasaran dan berdaya mampu menarik minat khalayak pembaca yang dituju. Itulah sebabnya, seorang wartawan harus mampu menguasai bahasa Indonesia yang baik, memiliki perbendaharaan kata yang memadai, serta mahir dalam merangkai paragrap. Harus diingat, kata-kata merupakan ”alat” wartawan. Seorang wartawan tidak bisa bekerja dengan baik tanpa memiliki kekayaan perbendaharaan kata.

Terakhir, modal kelima, mampu memanusiakan manusia. Seorang wartawan wajib memiliki dan menaruh perhatian terhadap manusia dalam arti seluas-luasnya. Tanpa memiliki perhatian tersebut seorang wartawan akan lekas kekeringan ide, daya berkreasi tumpul. Karena itu, wartawan haruslah orang yang hidup dengan cita-cita, dan komitmennya kuat pada rakyat.

Hal tersebut memang normatif. Dalam praktika senantiasa ada batas pemisah antara yang dikehendaki dengan yang dikerjakan; antara perkataan dengan perbuatan. Kendati demikian seorang wartawan hendaklah selalu berupaya mendekati cita-cita idealnya. Menghayati dan mengamalkan segala sesuatu yang membuahkan keadilan, kebahagiaan, dan kemakmuran bagi rakyat.

Bisa dimengerti bila lima modal dasar bagi wartawan tersebut terasa berat. Terlebih bagi pemula di dunia pers. Namun, rasa berat tersebut mesti harus dicoba. Bagaimana pun seorang wartawan adalah anggota dari keluarga besar institusi media massa. Lebih dari itu, secara normatif-ideal, media massa memang dituntut untuk mampu ”menyusahkan orang-orang yang kegirangan” (fungsi pers melakukan penyadaran/kontrol sosial); dan ”menghibur/menyenangkan orang-orang yang kesusahan” (fungsi pers pemberi motivasi/edukatif).


Bagaimana dengan Bakat?

Bakat memang diperlukan untuk bisa menjadi wartawan (dalam arti sebenar-benarnya wartawan). Namun, bakat saja tidak cukup. Perlu pendidikan untuk mematangkan bakat. Di sisi lain, sulit mendeteksi bakat tanpa mencoba (menguji kemampuan diri) lebih dahulu.

Sekali lagi, bakat perlu, tapi bakat saja tidak cukup. Ilmu Jurnalistik diperlukan untuk mengembangkan bakat. Harus disadari, wartawan tidak hanya bertugas mencari dan menulis berita. Wartawan harus mampu memahami masalah yang ditulisnya, serta akibat-akibat yang ditimbulkan oleh tulisannya. Wartawan harus mampu memberikan serangkaian petunjuk kepada kahalayak pembacanya. Khalayak pembaca bukan hanya lulusan SD-SLTP. Mereka terdiri atas berbagai macam golongan, strata sosial-ekonomi dan pendidikan.

Setiap orang yang mengaku dirinya wartawan, mutlak perlu belajar terus-menerus, di dalam ruang (kampus, diklat, kursus) atau di luar ruang (di tengah masyarakat). Belajar dari buku, surat kabar harian, tabloid, majalah, radio, televisi. Belajar pada pengalaman.

Pendek kata, seorang wartawan harus terus-menerus memajukan dirinya sesuai dengan kemajuan dan pengetahuan khalayak pembaca yang dituju. Kalau tidak, pengabdiannya tidak akan mencapai sasaran.

Tiga Kelemahan

Masih ada tiga kelemahan mencolok di kalangan wartawan. Pertama, ada kecenderungan kuat ”mabuk” dalam umbaran kata-kata (verbosity). ”Obat” yang harus ”dikonsumsi” oleh wartawan tipe ini adalah menerapkan ekonomi kata/ekonomi kalimat di setiap naskah beritanya.

Kedua, dalam teknik penulisan naskah berita tidak menerapkan penulisan paragrap (paragraph writing) secara baik, tertib dan runtun. Solusi yang dibutuhkan untuk ”menyembuhkan” wartawan tipe ini, harus dimulai dengan pengenalan dan pemahaman topik (”roh” bahan berita), pemaparan, kemudian berakhir di kesimpulan atas topik.

Ketiga, kelemahan dalam berbahasa tulis tampak mencolok pada kecenderungan menggunakan kalimat majemuk, mengacaubalaukan kalimat aktif dan kalimat pasif, kemudian membuat kalimat yang kata pokoknya (subjek) hilang. Pendek kata, bukan bahasa yang jernih, padat, lugas, sederhana dan mudah dipahami.

Bakat, pendidikan kewartawanan, mendidik diri sendiri, serta belajar dari kesalahan dan pengalaman, merupakan rangkuman modal untuk menjadi wartawan yang baik. Tentu, hal tersebut bisa terwujud hanya jika ada kemauan keras.

Tanpa kemauan keras, sia-sia berminat menjadi wartawan. ***

Minggu, 30 Mei 2010

Benarkah Jurnalis Kita ”Sakit”?

Menjadi jurnalis itu gampang. Apalagi di zaman moderen yang membawa pada perkembangan teknologi komunikasi semakin berkembang pesat. Semua orang bisa menjadi jurnalis hanya dengan cara membuat blog di situs internet yang sudah tersedia. Beberapa media besar, kini juga telah mengembangkan konsep media warga (citizen media) untuk mendekatkan pada publiknya. Tapi mengapa masih ada WTS (wartawan tanpa surat kabar)? Itulah pertanyaan besarnya.

Sungguh ironis. Di zaman moderen ini ternyata masih saja ada wartawan yang bergerilya untuk mencari berita tapi tanpa memiliki media. Mereka datang menemui narasumber dengan berbagai dalil dan cara untuk melakukan wawancara. Namun, tak pernah ada beritanya di media massa. Terutama di daerah-daerah. Padahal tanpa harus menjadi WTS, mereka juga bias menulis berita hasil liputannya untuk media yang dibuatnya sendiri di internet. Tapi mengapa mereka masih suka menjadi WTS?

Entahlah. Mungkin para WTS tak pernah mengenal dunia maya ini. Sehingga mereka tak pernah berfikir untuk menjadi jurnalis warga atau lebih tren disebut sebagai citizen journalism ini. Atau mereka sebenarnya hanya sekadar mengaku sebagai wartawan hanya untuk menakut-nakuti narasumber yang akan diperasnya? Sekali lagi, entahlah. Namun, fakta ini memang masih tetap ada di negeri ini.

Bahkan beberapa waktu lalu, teman saya sempat mengeluh setelah didatangi dan diwawancara oleh seorang yang mengaku sebagai wartawan. Walau sedikit menyudutkan teman saya itu, namun semua pertanyaan yang dilontarkan oleh wartawan ini, tetap dijawab secara detail dan gamblang oleh teman saya. Namun, ending-nya setelah selesai melakukan wawancara, wartawan ini meminta teman saya untuk memasang iklan di medianya.

Saat ditanya berapa tarif iklannya? Wartawan ini justru balik bertanya, ”Berapa anggaran yang Bapak miliki untuk memasang iklan di media saya?” Teman saya pun bingung dan hanya geleng-geleng kepala mendapat sebuah pertanyaan itu. Tanpa berfikir panjang, teman saya yang malas ribut dengan wartawan dimaksud langsung menyerahkan uang Rp 5 juta untuk memasang iklan di medianya. Apakah persoalan itu selesai? Ternyata tidak.


Malam harinya, wartawan itu mengirim sebuah pesan singkat (SMS) kepada teman saya. Isinya, ”Uang Rp 5 juta itu hanya untuk DP pembayaran iklan. Sisanya tolong Bapak segera tranfer melalui no rekening saya......sekarang juga.” Kembali teman saya pun hanya bisa geleng-geleng kepala setelah membaca SMS dari wartawan tersebut. Walau akhirnya teman saya tetap tidak mau memenuhi permintaan sang pengirim SMS tersebut, dan tidak ada reaksi balik.

Setelah beberapa hari SMS-nya tidak direspon, wartawan itu kembali menelepon teman saya dan berkata, ”Jika Bapak tidak mau segera mentrasfer sisa pembayaran iklan tersebut, maka terpaksa berita hasil wawancara kita kemarin saya muat.” Temen saya pun menjawab, ”Ya, silakan saja kalau mau di muat, saya kan sudah bemberikan jawaban semua pertanyaan yang kamu tanyakan. Itu hak kamu untuk menulis berita dan saya tidak akan menghalang-halangi karena menulis adalah hak semua orang,” balas teman saya.

Namun, anehnya, setelah disuruh menulis malah sang wartawan tersebut tetap ngotot hanya ingin agar teman saya memasang iklan dan tidak ingin menulis beritanya. Dengan sedikit dongkol, teman saya pun tetap tidak mau mentranfer uang tambahan sesuai permintaan sang wartawan tersebut.

Seminggu-dua minggu, ternyata iklan tersebut pun tidak segera muncul di media massa yang dijanjikan oleh wartawan tersebut. Dua bulan kemudian, setelah berkali-kali wartawan tersebut ditanyakan kapan iklannya akan dimuat, ternyata baru dimuat. Usut demi usut, ternyata media yang dia tawarkan ternyata media ”berkala”. Artinya, kadangkala terbit, jika ada dana hasil memeras dengan modus operandi tersebut; dan kadangkala tidak terbit, jika tidak ada dana hasil perasan. Duh Gusti?!

Sudah seburuk inikah citra dunia pers kita saat ini? Jika demikian adanya, tak salah jika teman saya yang menjadi jurnalis senior di Malang pernah berkata, ”Saya malu menjadi wartawan.” Peryataan tersebut, tentu tak berlebihan karena faktanya kini memang sudah banyak pekerja pers yang menyalahi aturan. Walau mungkin itu hanya dilakukan oleh beberapa gelintir orang, namun dapat merusak citra dunia jurnalis kita yang sebenarnya sangat gilang-gemilang. Sebab, tanpa jurnalis, apalah artinya dunia ini. Tanpa peran serta jurnalis, semua bisa menjadi gelap gulita tanpa makna. Namun, jika jurnalis kita tanpa hati nurani, dunia pun bisa hancur dibuatnya.

Kepada teman-teman yang ingin menjadi jurnalis, mari kita manfaatkan perkembangan teknologi ini. Karena, kita semua kini sudah bisa menjadi jurnalis hanya dengan cara memanfaatkan teknologi komunikasi. Tak butuh modal besar untuk bisa membuat media. Hanya butuh ketekunan dan ketelatenan, teknologi internet ini akan membukakan kita untuk bisa memiliki media massa sendiri.

Saya berharap pembaca berkenan menjadi ”dokter” untuk mendiagnosis kasus tersebut di atas. Selanjutnya, menyimpulkan apakah jurnalis kita ”sakit”? Hakikat dari makna pers sebagai pilar keempat demokrasi, semestinya dijaga dengan baik. Hanya itulah harapan publik untuk menyalurkan opininya.

(Maaf, tulisan ini juga saya publikasikan di kompasiana.com)

Rabu, 17 Februari 2010

Awas ! “Anggodo” Intervensi Pilkada di Malang

Jika tidak diwaspadai, sungguh kasihan nasib 2,5 juta jiwa rakyat Kabupaten Malang. Dalam hal berdemokrasi, mereka ibarat lepas dari mulut buaya, terperangkap di mulut singa. Hal itu akan terjadi jika para ”Anggodo” bebas intervensi dan bermanuver politik dalam Pilkada Kabupaten Malang 2010.

Coba renungkan, pada era Orde Baru, pilkada sama sekali tidak melibatkan rakyat. DPRD pun hanya sekadar ”juru stempel”. Kepala daerah ditentukan oleh Trio ABG (ABRI, Birokrat, Golkar). Itulah yang saya maksudkan nasib rakyat dalam berdemokrasi berada dalam mulut buaya.

Sekarang di era reformasi, jika para ”Anggodo” tidak diwaspadai maka nasib hak berdemokrasi rakyat berada dalam mulut singa. Bahkan bisa lebih parah dibandingkan dalam mulut buaya. Itu berati sebuah kemunduran. Reformasi seharusnya malu terhadap Orde Baru.

Pada zaman Orde Baru para ”Anggodo” tiarap, tidak berkutik menghadapi Trio ABG, kini tampaknya mereka mendapatkan habitat yang cocok. Melalui kekuatan uangnya, para Anggodo patut diprediksikan akan mengambil peran kuat seperti Trio ABG pada zaman Orde Baru. Demokratisasi rakyat yang diidam-idamkan terwujud melalui reformasi, hanya tinggal mimpi belaka. Apakah kita relakah?!

Tidak ada cara lain untuk mengantisipasi gerakan para ”Anggodo” kecuali dengan meningkatkan kesadaran rakyat tentang arti penting hak berdemokrasi secara baik dan benar. Perlu rakyat disadarkan, bila rakyat bersatu tidak ada satu kekuatan pun yang bisa mengalahkan rakyat. Sejuta ”Anggodo” pun akan terkabar jika nekat menghadapi persatuan rakyat. Banyak contoh kasus yang membuktikan kekuatan mayoritas rakyat mampu menumbangkan ”Anggodo” dalam konteks pilkada. Konkretnya, jagonya ”Anggodo” kalah.

Pilkada Kabupaten Malang tahun ini akan digelar pada 5 Agustus 2010. Suhu politik di kabupaten terluas di Jawa Timur ini pun, kini sudah mulai memanas. Layaknya sebuah pertarungan politik pada umumnya, lagi-lagi para ”Anggodo” harus segera diwaspadai jika tidak ingin melihat situasi menjadi semakin ruyam. Manuver politik dan kekuatan uangnya para ”Anggodo” ini, niscaya akan memperkeruh suasana.

Pelan namun pasti, kini para ”Anggodo” juga sudah bergerak untuk bisa ngobok-obok ketenangan rakyat. Para ”Anggodo” ini selalu memancing ikan di air keruh. Modus oprandinya macam-macam. Media massa yang seharusnya membela kepentingan rakyat, tak jarang media massa juga bertindak atas kepentingan dan intruksi dari para ”Anggodo”. Bahkan para ”Anggodo” juga telah bergerak dan membuat berbagai macam media massa online untuk kepentingan politiknya.

Maka jika hal tersebut tidak segera diatisipasi, maka rakyat yang sadar hak demokrasinya terancam oleh kekuatan uang para ”Anggodo”, pasti rakyat akan bergerak. Konkretnya, demonstrasi rakyat menghadapi para ”Anggodo” pasti akan terjadi.

Kini saatnya para Anggodo untuk mawas diri. Sudah bukan zamannya arogansi kekuatan uang. Terlebih jika kekuatan uang tersebut didapat dari berbagai bentuk tindak kriminal. Wahai…. Para ”Anggodo” sadarlah? Jangan coba-coba bermain api. Biarkan rakyat menentukan pilihannya sendiri.

Senin, 08 Februari 2010

Trafficking adalah Musuh Rakyat

Trafficking atau perdagangan manusia adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Sudah sepatutnya, sanksi hukumnya pun, harus “luar biasa”, dalam arti hukuman terberat: Pidana Mati !

Memang, hakikat hukuman bukanlah balas dendam, tetapi penjeraan dan edukasi. Namun, khusus untuk kejahatan yang luar biasa ini (trafficking) tidak cukup hanya penjeraan dan edukasi. Harus lebih dari itu, yaitu ”pemusnahan” (pidana mati). Tentu saja setelah proses hukumnya mencapai vonis yang berkekuatan hukum tetap.

Indonesia, sampai sekarang belum bebas dari tindak pidana trafficking. Sama belum bebasnya dari tindak pidana korupsi. Dua jenis tindak pidana itu, sama-sama berkategori kejahatan luar biasa. Dalam tindak pidana korupsi ancaman hukuman maksimalnya berupa pidana mati (UU Tastipikor No. 31/ 1999 yang telah diperbaharui dengan UU No.20/2001). Bahkan, trafficking sepatutnya juga disejajarkan dengan kejahatan terororisme dalam arti bobot kejahatannya.

Ada berbagai modus oprandi trafficking di Indonesia. Pertama, bisa menggunakan kedok PJTKI atau berkedok lembaga penyalur tenaga kerja. Modus oprandinya antara lain, pemalsuan dokumen-dokumen seperti KTP, Ijasah, Akta kelahiran, surat ijin orangtua atau yang berhak. Modus lain, bisa juga berupa tidak menjelaskan isi perjanjian kontrak kerja antara pihak penyedia dengan pencari kerja. Semua itu masuk trafficking berdasarkan UU trafficking. Karena itu, aparat penegak hukum patut menjerat dengan UU trafficking. Bukan sekadar dijerat dengan KUHP (tindak pidana umum), pemalsuan (263 KUHP).

Kedok apapun yang dipakai, lasimnya bermuatan iming-iming kerja enak, gaji besar, masa depan cerah. Pendek kata, semua hanya berupa hembusan angina surga. Jelas ada muatan penipuan. Namun, ini bukan kategori tindak pidana umum (pidum). Melainkan masuk koridor pidana khusus (pidsus) seperti halnya korupsi dan terorisme sebagai extraordinary crime.

Mengapa masih saja ada yang tertipu dan masuk perangkap pelaku trafficking?

Ada beberapa faktor. Sedikitnya ada dua faktor yang mendasar. Pertama, rendahnya tingkat sosial ekonomi masyarakat (kemiskinan). Kedua, rendahnya tingkat pendidikan (pengetahuan). Dua hal tersebut (kemiskinan dan pengetahuan) sesungguhnya adalah tanggungjawab negara. Konstitusi kita juga mengamanatkan, fakir miskin dan anak terlantar saja dibiayai oleh negara.

Persoalan ini menjadi semakin rumit. Terlebih jika masyarakat bersikap apatis. Karena itu, sudah sepantasnya trafficking menjadi musuh bersama. Trafficking adalah musuh rakyat !

Agar kasus trafficking tidak semakin marak, pemerintah harus segera menghapus faktor penyebab yang mendasar yakni, kemiskinan dan pendidikan. Aparat penegak hukum, semakin kritis dan peka “daya penciumannya” terhadap tindak kejahatan luar biasa ini. Rakyat juga harus peduli dan pro aktif memberikan informasi tentang berbagai hal yang patut dapat diduga bermuatan tindak pidana trafficking.

Dari sinilah, sudah seharusnya jika trafficking dicanangkan sebagai musuh rakyat. Siapapun pelakunya, mereka adalah musuh rakyat.

Selasa, 19 Januari 2010

Bahasa dan Ideologi dalam Retorika Politik

Selain sebagai alat komunikasi, bahasa juga dapat dimaknai sebagai representasi budaya, serta pandangan politik dan ideologi dari kelompok tertentu. Sebagai representasi budaya, bahasa yang sama bisa memiliki makna yang berbeda dalam budaya yang berbeda. Bahkan, tak sedikit orang yang anti dan tidak pernah mau memakai atau menggunakan bahasa tertentu sebagai representasi budaya yang tidak disukainya. Atau sebaliknya, banyak orang yang cenderung suka menggunakan bahasa dari budaya tertentu yang disukainya.

Sebagai representasi budaya, di Jawa (khususnya), bahasa ternyata juga memiliki kelas dan kasta. Ada bahasa strata krama inggil (bahasa Jawa sangat halus; strata tinggi), krama madya (bahasa Jawa sedang; strata kelas menengah), dan ngoko (bahasa Jawa kasar; strata rendah/bawah/ rakyat jelata). Strata krama inggil lazim digunakan untuk menunjukkan kasta sosial penggunanya/penuturnya. Misal, kalangan priyayi atau ningrat. Sedang bahasa krama madya lazim digunakan antar sesama kelas menengah. Kemudian bahasa Jawa ngoko biasanya digunakan oleh kalangan kawula alit (kelompok masyarakat yang dianggap berkasata rendah/sudra/ rakyat jelata).

Namun, bahasa juga memiliki ruang dan waktu. Secara pelan dan pasti, pemisahan dan penggunaan bahasa ini pun kini sedikit demi sedikit mulai terkikis dan luntur. Meskipun sisa-sisa feodalisme masyarakat di Jawa (khususnya) masih tetap ada.

Dalam panggung politik praktis, bahasa juga menjadi cermin ideologi. Malah tidak berlebihan jika dikatakan bahwa ideologi membentuk dan dibentuk oleh bahasa. Melalui ideologi orang memberikan makna pada realitas tertentu dengan menggunakan bahasa tertentu yang dirumuskan melalui sebuah kata dan kalimat, sehingga membentuk realitas tertentu.

Dengan demikian, para elite politik pun sering memproduksi bahasa sendiri untuk memaknai sebuah realitas yang ada. Lalu bahasa yang dicipta dari konsep pandangan ideologinya itu, disebarkan kepada khalayak untuk membentuk sebuah wacana. Tujuannya tentu untuk mengkonstruksi pandangan khalayak sesuai dengan yang diinginkan para elite politik tersebut. Sehingga tidak salah jika bahasa pun dimaknai sebagai sesuatu yang tidak netral, dan malah sarat muatan kepentingan tertentu.

Menurut salah seorang ahli antropologi linguistik, Sapir Whorf (dalam Deddy Mulyana, 2005: 120), bahasa bukan hanya sekadar deskriptif atau sarana untuk melukiskan suatu fenomena serta lingkungan. Lebih dari itu, bahasa juga dapat memengaruhi cara kita melihat lingkungan kita. Pandangan ini kemudian dikembangkan menjadi dua bagian, deterministik linguistik dan relativitas linguistik. Deterministik linguistik memandang bahwa struktur bahasa mengendalikan pikiran dan norma-norna budaya. Sedang relativitas linguistik, melihat bahwa karakteristik bahasa dan norma budaya saling mempengaruhi. Budaya dikontrol sekaligus mengontrol bahasa. Bahasa juga menyediakan kategori-kategori konseptual yang mempengaruhi bagaimana persepsi para penggunanya dikode dan disimpan.

Dengan kata lain, bahasa bukan sekadar alat komunikasi untuk memaknai suatu realitas objektif semata. Namun bahasa juga merupakan kegiatan sosial, bukan sesuatu yang netral dan konsisten, melainkan partisipan sosial yang dapat dikonstruksi dan direkonstruksi, serta di-setting untuk membentuk gagasan dan tindakan seseorang. Menurut Michel Foucault (1972: 216), dalam kehidupan nyata, disadari atau tidak, bahwa di dalam bahasa terkandung pergulatan dan pertarungan kepentingan ideologis. Sebab dipandang sebagai sesuatu yang tidak netral dan tidak universal; bahasa menjadi terikat oleh waktu, tempat, dan konteks pergulatan historis politiknya sendiri-sendiri. Sehingga bahasalah yang melahirkan wacana atau discourse sebagai sesuatu yang niscaya bersifat politik.

Dalam alur pikir tersebut, bahasa tak pernah dapat dipisahkan dari sebuah kekuasaan politik. Sebagai negara yang konon menganggap paling demokratis dan humanis seperti Amerika Serikat sekalipun, para elite politiknya juga kerap menciptakan bahasa yang disusun dan dirumuskan melalui sebuah kata, istilah, atau terminologi; sebut saja, misal ”teroris”, ”kaum fundamentalis”, dan ”poros setan”. Semua istilah tersebut diciptakan dan disebarkan secara masif. Tentu, bermuatan politik dan berusaha agar Amerika tetap menjadi pihak yang dominan.

Begitu juga pada zaman rezim otoriter Orde Baru. Presiden Soeharto selalu memproduksi bahasa tertentu untuk memaknai realitas tertentu. Seperti terminologi Gerakan Pengacau Keamanan (lazim disingkat GPK), Organisasi Tanpa Bentuk (OTB), PKI Gaya Baru, ekstrem kanan, dan ekstrem kiri yang sengaja diciptakan serta digunakan untuk mendistorsi gerakan oposisi.

Bahasa memang dunia simbol yang paling nyata. Sehingga siapa pun yang ingin berhasil merebut kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan, tentu harus memiliki kemampuan untuk mengkonsolidasikan bahasa-bahasa tertentu. Tak terkecuali para elite politik yang sedang berusaha memobilisasi massa dalam kampanye politik. Agar dapat berhasil merebut hati dan simpati masyarakat, mereka tentu juga memproduksi bahasa. Memiliki kemampuan untuk mengemas bahasa sesuai dengan konteks dan waktu.

Namun, meskipun sebuah simbol, bahasa juga bisa menjadi alat untuk mengukur dan menilai seseorang dalam sebuah interaksi sosial. Keberhasilan dan kegagalan dalam hidup sering tergantung dari kepandaian menggunakan bahasa dalam berbicara. Lantaran itulah bahasa dan gaya bicara tentu menjadi sangat penting dalam sebuah retorika komunikasi politik.


Gaya Komunikasi

Bahasa menunjukkan bangsa. Identitas dan citra diri seseorang di mata orang lain pun dipengaruhi oleh bagaimana cara berkomunikasi. Selain itu juga pemilihan kata, istilah, serta intonasi tekanan suara. Semua akan dapat mencerminkan identitas dan citra diri seseorang yang sedang berbicara.

Namun, sebagaimana sebuah bahasa yang juga mengenal konteks dan waktu, agar menarik gaya komunikasi juga harus mengikuti selera masyarakat yang selalu mengalami perubahan dari konteks waktu ke waktu. Termasuk gaya dalam komunikasi politik.

Dulu, Presiden Soekarno dikenal sebagai orator ulung. Sebagai orator, Bung Karno tidak pernah mengalami kekeringan kata dan istilah. Gaya bicaranya yang berapi-api, mampu membangkitkan gairah orang untuk datang dan mendengarkan. Banyak orang seringkali datang dari tempat yang jauh hanya sekadar untuk mendengar Bung Karno pidato. Mereka datang ke alun-alun bukan untuk menerima ajarannya, tetapi semata-mata karena gaya retorika Bung Karno yang memukau (Hendra Kusuma, 2008: 78).

Namun, dalam konteks sekarang, orang yang menggunakan gaya bicara mirip-mirip Bung Karno, bisa jadi tampak aneh dan tidak menarik bagi masyarakat. Begitu juga pada zaman Orde Baru, kita sering menyaksikan para pejabat yang meniru gaya bicara Soeharto yang selalu menggunakan kata ”ken” pada kata kerja yang berakhiran ”kan”. Tetapi setelah reformasi dan Soeharto tumbang, para pejabat tinggi negara yang masih menirukan gaya bicara (dialek) Soeharto makin menyusut kuantitasnya. Mungkin mereka takut atau khawatir dicap sebagai antek Soeharto jika masih melafalkan akhiran ”ken”.

Secara teoretik, Edward T. Hall (dalam Deddy Mulyana, 2005: 129-156), dalam konteks budaya menyebut gaya komunikasi dapat dibedakan ke dalam bentuk gaya komunikasi konteks tinggi dan gaya komunikasi konteks rendah. Gaya bicara dalam komunikasi konteks tinggi ini, orang lebih suka berbicara secara implisit, tidak langsung, dan suka basa-basi. Salah satu tujuannya, untuk memelihara keselarasan kelompok dan tidak ingin berkonfrontasi. Dengan kata lain, agar tidak mudah menyinggung perasaan orang lain. Komunikasi budaya konteks tinggi, cenderung lebih tertutup dan mudah curiga terhadap pendatang baru atau orang asing.

Semantara gaya komunikasi dalam konteks rendah, biasanya digunakan oleh orang-orang yang memiliki pola pikir linier. Bahasa yang digunakan langsung, lugas, dan tidak eksplisit. Komunikasi konteks rendah, cepat dan mudah berubah karena tidak mengikat kelompok.

Masyarakat Jawa, terutama yang berasal dari latar-belakang kalangan priyayi, termasuk dalam budaya komunikasi konteks tinggi. Presiden Soeharto misalnya, sebagai orang Jawa yang masih sangat feodalistik, gaya bicaranya sangat konteks tinggi. Pemilihan kata dalam bahasanya halus dan selalu samar. Sehingga orang lain diharapkan mengerti dan dapat memaknai sendiri apa yang dia katakan. Namun, jika orang tersebut (komunikan) salah menangkap apa sesunggungnya yang telah dikatakan Soeharto, secara halus dan kasat mata, Soeharto pun akan menggebuk.

Secara umum, tipikal masyarakat Indonesia yang masih setengah jajahan dan setengah feodal, budaya komunikasi konteks tingginya masih sangat kental. Sehingga jika ada orang yang suka bicara blak-blakan, lugas, dan langsung kepada pokok persoalan, tidak begitu disukai oleh masyarakat Indonesia.

Setidaknya hal tersebut terbukti saat Amien Rais yang memiliki gaya komunikasi konteks rendah, tidak bisa merebut hati masyarakat dalam pemilu presiden tahun 2004. Pasalnya, gaya bicara Amien Rais yang terlalu lugas, tentu bertentangan dengan karakter masyarakat Indonesia yang memiliki budaya komunikasi konteks tinggi.

Bila ingin berhasil merebut hati dan simpati calon pemilih dalam kampanye politik, seorang tokoh politik tentu harus memerhatikan hal tersebut. Sehingga gaya komunikasinya efektif dan tepat mengenai sasaran sesuai dengan yang diinginkannya sebagai komunikator. Menurut Deddy Mulyana (2005: 149), gaya komunikasi efektif merupakan perpaduan antara sisi-sisi positif komunikasi konteks tinggi dan komunikasi konteks rendah yang ditandai dengan ketulusan, kejernihan, keterbukaan, keterusterangan, kesederhanaan, dan kesantunan dalam berbicara.


Gaya dan Retorika

Gaya komunikasi seseorang juga dapat dilihat dari retorikanya. Retorika adalah berbicara. Berbicara berarti mengucapkan rangkaian kata atau kalimat yang dilakukan oleh seseorang untuk mencapai tujuan tertentu. Retorika juga dapat dimaknai sebagai suatu proses komunikasi, seorang kumunikator menyampaikan pesan kepada komunikan. Menurut Sonnya K. Foss (1989: 4-5), retorika didefinisikan sebagai penggunaan kata atau bahasa untuk memengaruhi pikiran, perasaan, dan tingkah laku khalayak. Jika didasarkan pada fungsi bahasa yang mendasar, retorika menjadi sarana simbolis yang digunakan manusia untuk ”membujuk” manusia lain yang secara alami beraksi dan berkreasi dengan menggunakan simbol-simbol.

Lantaran itulah retorika tidak dapat dilepaskan dari penggunaan bahasa, istilah, dan simbol-simbol tertentu untuk memfokuskan perhatian pada topik dan aspek tertentu. Penggunaan istilah dan kata-kata inilah yang pada akirnya dapat mengarahkan pikiran dan perasaan khalayak untuk melakukan tindakan sesuai yang diinginkan oleh sang komunikator.

Jelaslah bahwa kata-kata mempunyai kekuatan. Kita bisa menggunakannya sesuai kehendak diri sendiri. Jika digunakan dengan tepat maka kita akan menunai hasil yang baik. Sebaliknya, jika digunakan secara salah maka kita akan memanen hasil yang buruk (Hendra Kusuma, 2008: 10).

Salah satu teori yang memiliki hubungan erat dengan definisi retorika tersebut adalah teori terministic screen. Teori ini dikembangkan oleh seorang ahli bidang retorika dari Amerika Serikat, Kenneth Burke. Inti dari teori ini adalah bahwa dalam komunikasi, manusia cenderung memilih kata-kata tertentu untuk mencapai tujuannya. Pemilihan kata-kata itu bersifat strategis. Dengan demikian, kata yang diungkapkan, simbol yang diberikan, dan intonasi pembicaraan, tidaklah semata-mata sebagai ekspresi pribadi atau cara berkomunikasi, namun dipakai secara sengaja untuk maksud tertentu dengan tujuan mengarahkan cara berpikir dan keyakinan khalayak (dalam Eriyanto, 2000: 5).

Karena itulah, para komunikator, apalagi seorang pimpinan partai yang sedang berusaha meraih simpati massa dalam kampanye politik, tentu akan menggunakan berbagai pilihan kata yang dianggap bisa untuk mempengaruhi khalayak. Bahkan pilihan kata-kata yang bersifat membujuk sekalipun, tentu akan digunakan oleh para politisi. Baginya yang penting massa bisa datang memilih dirinya saat berada dibilik kecil tempat pemungutan suara (TPS).

Sebagai strategi komunikasi politik untuk membangun image, para komunikator juga tak jarang mengunakan bahasa atau kalimat untuk menggambarkan tentang dirinya dan partainya yang selalu positif. Namun, baik secara eksplisit maupun implisit memilih kata-kata untuk menggambarkan lawan politiknya sebagai sesuatu yang buruk.

Kelebihan, kebaikan, keungulan, atau hal-hal yang bersifat positif lain mengenai dirinya dan partainya, akan digambarkan secara detail, eksplisit, dan jelas. Namun, sebaliknya, ketika menggambarkan kebaikan orang lain disajikan secara pendek dan implisit, bahkan samar-samar. Bila dianggap perlu, kelebihan dan keungulan kelompok lain malah tidak diungkapkan sama sekali. Tergantung kebutuhan komunikator sendiri.

Dalam retorika komunikasi politik, latar-belakang masalah juga sering diungkapkan sebagai alasan pembenar gagasan dalam teks yang dungkapkan. Seperti dalam perdebatan dan perselisihan politik, dimana secara sistematis seseorang berusaha mempertahankan pendapat kelompoknya sendiri dan menyerang pendapat argumentasi pihak lawan. Mengungkapkan sederet fakta sebagai latar-belakang masalah untuk tujuan tertentu, sesuai keinginan komunikator sendiri.

Pengandaian (presupposition) juga sering digunakan oleh para komunikator politik. Pengandaian digunakan sebagai strategi lain yang dapat membangun image atau citra tertentu, agar dapat diterima khalayak. Pengandaian hadir dengan memberikan pernyataan yang dipandang terpercaya, dan karena itu tidak perlu dipertanyakan. Hampir mirip dengan elemen pengandaian adalah elemen penalaran. Elemen ini digunakan untuk memberi basis rasional, agar teks yang disajikan oleh komunikator tampak benar dan menyakinkan.

Selain itu, retorika juga dapat dimaknai sebagai seni berbicara. Sehingga setiap orang bisa memiliki gaya retorika tersendiri yang tentu saja, berbeda satu sama lainnya. Mengenai model retorika, Dori Wuru Hendrikus (2009) membagi ke dalam tiga bagian. Pertama, gaya retorika monologika atau monolog. Dalam model komunikasi ini biasanya terjadi dalam proses pidato yang bersifat satu arah, sebab hanya satu orang yang berbicara (komunikator), dan yang lain hanya sebagai pendengar (komunikan).

Kedua, dialogika. Gaya retorika ini biasanya memang jarang dapat ditemui dalam acara-acara pidato atau orasi politik yang dihadiri banyak orang (massa) di sebuah lapangan terbuka. Gaya retorika dialogika ini biasanya hanya dilakukan dalam acara-acara debat kandidat atau dialog terbuka.

Ketiga, pembinaan teknik bicara. Efektivitas monologika dan dialogika tergantung pada teknik bicara. Bahkan teknik bicara ini menjadi syarat penting dalam retorika. Mulai dari bagaimana cara mengatur pernafasan, teknik membina suara, dan berbicara. Semua harus diperhatikan dan diatur agar bicaranya bisa menjadi efektif.

Apa pun gayanya, retorika adalah sebuah seni berbicara. Semakin mahir dalam mengemas kata-kata atau istilah yang digunakan, pengaturan penekanan suara pada setiap kata yang disampaikan, tentu semakin baik. Bahkan dalam acara pidato yang dikenal selama ini hanya satu arah sekalipun, para pendengar bisa merasa seperti diajak berdialog. Suasana pun bisa menjadi semakin hidup. Bahkan pendengar bisa merasakan seperti diajak berbicara, tidak merasa hanya sekadar pendengar.

Pada dasarnya, retorika muncul sebagai bentuk interaksi sosial, yakni bagaimana komunikator memposisikan dirinya di antara khalayak. Apakah memakai gaya formal, informal, atau justru santai untuk menunjukan kesan bagaimana pembicara menampilkan dirinya. Jika seorang komunikator ingin terlihat berwibawa dan dihormati, boleh jadi dia menciptakan jarak dengan khalayak (komunikan). Misal, mengunakan kalimat yang kaku dan formal. Sebaliknya, jika komunikator ingin tampak egaliter, maka dia akan banyak memakai gaya santai dan kalimat-kalimat yang digunakan pun sederhana, lazim digunakan dalam kehidupan sehari-hari komunikannya, sehingga mudah dicerna. Namun, hal terpeting dari aspek interaksi sosial tersebut adalah, apakah komunikator tampak sejajar dengan khalayak (komunikan) atau tidak. Penggunaan kata seperti ”kita” atau ”kami” mensugestikan hubungan yang kaku, sebaliknya jika komunikator menggunakan kata ”saya” atau ”Anda” ingin mengesankan dirinya sejajar dengan khalayak.

Hal yang juga penting diperhatikan dalam retorika adalah ekspresi. Ekspresi ini dapat digunakan untuk membantu menonjolkan atau menghilangkan bagian tertentu dari teks yang disampaikan. Bagian ini untuk memeriksa apa yang ingin ditekankan dan ditonjolkan karena dianggap penting oleh komunikator itu. Dalam teks tertulis, ekspresi ini muncul misalnya dalam bentuk grafis, gambar, foto, tabel, dan lain-lain yang dapat digunakan untuk menonjolkan bagian yang dianggap penting. Bagian yang dicetak berbeda misalnya dicetak miring dan dicetak tebal adalah bagian yang oleh komunikator dianggap penting, dan komunikator menginginkan adanya perhatian penuh dari khalayak.

Seorang komunikator tentu tidak hanya sekadar menyampaikan pesan pokok. Galibnya, komunikator perlu juga menyampaikan kiasan, ungkapan, dan metafora yang dimaksud sebagai ornamen atau bumbu dari suatu teks. Pengunaan metafora tertentu juga bisa menjadi petunjuk utama untuk mengerti makna dalam suatu teks. Metafora tertentu juga dapat digunakan oleh komunikator secara strategis sebagai landasan berpikir, alasan pembenar atas pendapat atau gagasan tertentu kepada publik. William A. Gamson (1996:120-121) menyebut bahwa ornamen ini sebagai ”popular wisdom”.

Menurut William, popular wisdom dimaksud ditampilkan dalam dua jenis. Pertama, mengunakan kepercayaan masyarakat, ungkapan sehari-hari, peribahasa, pepatah, petuah leluhur, kata-kata kuno, bahkan mungkin kata-kata yang diambil dari sebuah ayat suci. Semua dapat digunakan untuk memperkuat pesan utama[1]. Kedua, dalam bentuk analogi. Tujuannya agar pesan lebih tertanam karena mengacu kepada kisah-kisah kepahlawanan, episode romantis masa lalu yang mudah diingat dan dipercaya oleh khalayak.

Semua gaya retorika tersebut memang bisa digunakan oleh siapa saja. Termasuk mereka yang kini sedang bertarung merebut suara hati rakyat dan ingin menjadi orang yang berpengaruh di negeri ini.



[1]Pemakaian popular wisdom misalnya: Perubahan tidak akan turun dari langit. Namun, perubahan hanya bisa kita dapatkan dari perjuangan. Kata-kata semacam ini biasanya digunakan untuk membangkitkan semangat massa. Popular wisdom juga bisa berbentuk kalimat seperti ini: misalnya, kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Ungkapan ini dapat digunakan untuk menenangkan hati orang yang sedang patah semangat akibat kegagalan, dll. Namun, pada intinya popular wisdom dipakai dan digunakan untuk menciptakan dan merangkai sebuah pesan agar khalayak dapat mengkontruski suatu wacana. Dengan popular wisdom, pesan menjadi tampak bijaksana dan sang komunikator terkesan berwibawa dan suci.

Pelarian Karmini

Bagian Pertama

Usianya baru menginjak lima belas tahun waktu itu. Tubuhnya tinggi semampai. Kulitnya kuning langsat. Rambutnya lurus terurai sebahu. Matanya bening. Hidungnya ala kadarnya. Jadilah ia perempuan yang banyak diidamkan pemuda di kampungnya. Walau ia dilahirkan dari keluarga tak berada.

Hari demi hari, ia tinggal bersama tiga adiknya. Bapaknya telah meninggal ketika adik bungsunya masih berusia tujuh bulan dalam kandungan Si mbok. Untuk menyambung hidup, Si mbok bekerja menjadi buruh pemetik kopi di perkebunan pemerintah jika sedang musim. Upahnya pun tak seberapa, tergantung berapa berat kopi hasil petikan kopi yang didapat mbok.

Rata-rata para buruh pemetik kopi ini, maksimal hanya bisa memperoleh lima puluh kilogram biji kopi. Setiap satu kilogram biji kopi, mbok diberi imbalan Rp 250. Sehingga dalam satu hari, maksimal mbok hanya bisa memperoleh penghasilan Rp 12.500 perak.

Walau penghasilan mereka tergolong di bawah standar, namun tak ada raut wajah murung terpancar dari mereka. Obrolan ringan seperti, keluarga, gosip artis terkini, masalah yang sedang dihadapi oleh keluarga mereka, hingga persoalan kanjeng bupatinya yang baru terpilih, namun sudah menjadi terdakwa karena korupsi, kerap terdengar memecahkan kesunyian kebun. Kepanikan dan keluhan karena digrayangi semut juga sering terdengar sebagai bahan olok-olokan.

Seperti kopi. Walau pahit rasanya, tetap banyak disuka. Walau tak jarang isi obrolan mereka mengenai berbagai macam kasus korupsi yang diberitakan di televisi, namun itu hanya sekadar obrolan tanpa makna. Hanya sekadar bahan gunjingan untuk melupakan keluh dan keringat mereka. Tak ada tindakan, apalagi berfikir berapa harga secangkir kopi yang ada di gerai-gerai kopi yang sudah memiliki lisensi Internasional. Itu tak penting bagi mereka untuk diketahui.

Jika sedang tak musim petik biji kopi, Si mbok mereka pergi mbawon atau ngangsag. Mbawon sebenarnya tak jauh berbeda dengan bekerja menjadi buruh memetik biji kopi. Hanya saja kalau mbawon, bekerja untuk memetik padi di sawah. Sistem upahnya pun hampir sama. Namun, yang ini tidak berbentuk uang tapi berupa padi hasil panen yang telah dipetiknya. Setiap berhasil memetik delapan atau sepuluh kilogram, para buruh tani ini diberi upah satu kilogram padi oleh pemilih sawah. Sedang kalau ngangsag, mereka mengais padi sisa-sisa hasil panen yang ada di sawah.

Di antara derai keringat Si mbok yang tak pernah kering. Seorang pemuda telah mencatatnya. Hingga suatu hari, pemuda itu pun datang ke rumah menemui orangtua gadis desa yang banyak dipuja kecantikannya. Selang beberapa hari setelah itu, perawan desa bernama Karmini ini pun meninggalkan dapurnya di senja hari. Meninggalkan rumahnya yang dindingnya sudah reot dimakan rayap. Ia harus pergi, meninggalkan ketiga adiknya dan Si mbok di kampung halamannya yang tak pernah dapat terlupakan.

Ia dibawa ke kota. Menjinjing tas berisi pakaiannya untuk sebuah cita-cita. Derai air mata sedih bercampur bahagia pun tak dapat dibendung, keluar dari dua kelopak mata Karmini dan Si mbok. Mereka menangis dan saling berpelukan. Untuk selanjutnya, Karmini melangkah dan meninggalkan Si mbok bersama adik-adiknya.

”Mari silahkan masuk?” ucap perempuan cantik yang ikut menjemput Karmini bersama pemuda dari desa sebelah itu.

Tanpa kata, Karmini langsung masuk ke dalam mobil yang sudah lama menunggu di gang ujung jalan tak jauh dari rumahnya. Dari dalam mobil, Karmini melambaikan tangan pada Si mbok dan adik-adiknya. Di dalam mobil, telah ada lima perempuan lainnya yang rata-rata usianya masih di bawah enam belas tahun. Cita-cita dan tujuan awal mereka sama, merubah nasib dengan menjadi TKW di luar negeri.

Mobil yang ditumpangi Karmini pun bergegas meninggalkan semua keragu-raguan para calon pahlawan devisa ini. Apalagi perempuan cantik bernama Yuniati yang ikut menjemput Karmini bersama pemuda desa sebelah itu, terus memberikan motifasi dan iming-iming tentang gaya kehidupan masa depan yang tak pernah terpikirkan oleh Karmini, akan segera menjadi realita.

”Udah sayang, jangan menangis,” ucap Yulianti lembut sambil memeluknya dan membersihak sisa-sisa air mata yang masih menempel di pipi Karmini dengan tisu.

Karmini tak menjawab. Ia hanya bisa diam. Mungkin sedang membayangkan betapa hangat dan lembutnya pelukan Yulianti. Karmini pun merasa sedang berada dalam pelukan Si mbok.

”Kamu harus tegar. Kamu ga mau kan hidup miskin terus,” bujuk Yulianti terlontar lembut dari bibirnya. Tanpa menunggu jawaban, Yulianti kembali berkata, ”Jangan sia-siakan masa muda kalian. Ini kesempatan untuk mengubah nasib,” sambil tetap memeluk Karmini walau kalimat itu dijujukan kepada lima perempuan lain yang berada dalam satu mobil. Kelima perempuan yang bernama Kanti, Samini, Kamiroh, Etikawati, dan Endang ini pun hanya bisa diam. Karena mereka juga sama-sama belum pernah pergi ke luar negeri.

Mereka berasal dari berbagai desa. Bahkan Etikawati dan Endang ini berasal dari pedalaman Kota Wonosobo dan Pacitan Jawa Timur. Hal ini bisa saja terjadi. Bahkan tak jarang, Yulianti juga sering mengirim perempuan yang berasal dari daerah Bima dan NTT. Sebelum diterbangkan ke luar negeri, mereka dikirim terlebih dahulu ke beberapa tempat penampungan di daerah Codet.

Rata-rata, perempuan yang di kirim Yulianti berusia muda. Paling tinggi lulusan SMP. Hanya sedikit yang punya ijasah setingkat SMU. Bahkan tak jarang, Yulianti juga sering mengirim perempuan yang hanya punya ijasah SD seperti Karmini. Bagi Yulianti, tak masalah. Walau sebenarnya itu di larang. Asal anaknya bisa baca tulis, semua bisa disulap. Tinggal datang ke tukang desain grafis komputer, KTP, Ijasah, dan semua persyaratan administrasi lainnya pun bisa dibuat hanya dengan uang Rp 350 ribu. Bahkan surat ijin suami atau orangtua para calon TKW pun bisa dipalsu. Termasuk tandatangan dan stempel Kepala Desa atau Camat pun bisa dimanipulasi tanpa harus mengeluarkan uang.

Yah, dunia palsu memalsu dokumen bagi para pelaku bisnis manusia ini tentu sudah bukan rahasia lagi. Berbagai modus operandi digunakan untuk memuluskan jalan. Aturan hukum biarlah berjalan, toh semua bisa diselesaikan dengan uang. Sementara para bisnis penghisap keringat dan darah buruh migran tetap memandang, usaha yang mereka lakukan bisa mengentaskan kemiskinan bila para calon pahlawan devisa ini manut padanya.

Para perempuan hamil yang punya masalah dan ingin segera berangkat ke luar negeri pun, bukan masalah bagi Yulianti. Rumah kontrakannya yang ada di daerah untuk menampung sementara para calon TKW itu, sudah terbiasa dijadikan sebagai tempat aborsi. Lebih dari lima belas janin hasil aborsi, telah dikubur di pekarangan rumah kontrakannya sebagai tumbal bisnis manusia ini. Semua aman-aman saja.

***

Tak terasa. Senja telah berganti malam. Mobil yang membawa enam calon pahlawan devisa ini pun terus melaju membelah malam. Meliuk ke kanan dan ke kiri. Mencari celah dan ruang yang dapat ditembus di tengah padatnya jalur pantura. Semua penumpang, tertidur pulas dalam mimpinya masing-masing. Kecuali pemuda desa sebelah yang mengemudikan kendaraan ini.

Tak peduli dengan mimpi mereka, apakah bisa menjadi kenyataan atau tidak. Waktu terus berjalan tanpa mengenal kompromi. Mengiringi roda kehidupan yang terus berputar. Tak terasa, langit yang semula gelap kini telah berubah warna. Pagi pun telah tiba. Karmini masih tetap terlelap dalam pelukan Yulianti. Hingga sang driver membangunkan mereka.

”Udah sampai nih?” tanya Yulianti pada pemuda desa sebelah yang menjadi driver.

”Sudah,” jawabnya.

”Ayo anak-anak, bangun-bangun. Sudah sampai nih,” Yulianti membangunkan mimpi para calon TKW ini.

Setelah membangunkan mereka, Yulianti turun dari kendaraan dan menuju pintu rumah nomor 45. Tak berapa lama, seorang laki-laki ke luar dan membukan pintu.

Satu per satu, perempuan desa yang masih berumur belasan tahun ini turun dari mobil. Sambil membawa tas bekalnya masing-masing, mereka mengikuti langkah Yulianti.

”Ini rumahku di Jakarta. Kita istirahat dulu disini,” ucapnya.

Tak ada satu pun yang menjawab. Apalagi mengiyakan. Enam perempuan desa ini hanya bisa memandang dengan matanya, apa yang bisa dipandangnya. Mungkin mereka masih merasa seperti berada dalam alam mimpinya masing-masing. Tak mengira sebelumnya, kaki mereka kini telah menginjakkan kota tua yang dulu di sebut sebagai Batavia. Kota sumpeg yang mampu menghipnotis jutaan harapan orang desa yang gila akan gemerlapnya kota. Tak peduli asal dan latar belakangnya, begitu lulus sekolah. Sepertinya, mereka merasa belum benar-benar jadi orang Indonesia jika belum pernah hidup dan tinggal di kota ”mafia” yang selalu dilanda banjir jika musim hujan. Atau mungkin mereka sengaja ingin datang ke Jakarta, hanya sekadar ingin membuktikan apakah janji-janji Gubernurnya yang pada saat kampanye mengatakan, ”Bosan banjir: pilih saya, bosan macet: pilih saya, bosan digusur: pilih saya, dan lain-lain” telah terpenuhi atau belum? Entahlah.

”Loh kok bengong, ayo masuk,” ucap Yulianti memecahkan lamunan para perempuan desa ini yang masih terdiam dalam bayangannya masing-masing.
”Ini pak Usman. Pak Usaman ini yang menjaga rumah saya. Kalau kalian butuh apa-apa, nanti bisa minta tolong ke Pak Usman,” Yulianti memperkenalkan orang yang membukan pintu kepada perempuan desa ini. ”Ayo. Ayo, silahkan masuk”, lanjutnya.

Para perempuan desa ini pun satu per satu mengikuti langkah Yulianti masuk ke dalam rumah. Rumahnya sangat minimalis. Ruang tamunya kecil hanya cukup untuk menaruh satu set meja kursi sudut. Dua kamar tidur, satu ruang keluarga, dapur, dan kamar mandi.

”Silahkan kalau mau mandi dulu, bergantian di belakang. Kalau mau istirahat, tidur-tiduran, silahkan di ruang tengah ya.”

”Iya bu” jawab mereka serentak.

”Saya mau istirahat dulu. Kalau mau makan, silahkan kalian masak dulu. Itu dapurnya. Kalau butuh apa-apa, panggil aja Pak Usman”

”Iya bu,” kembali mereka menjawab secara serentak.

Tak banyak kata, Yulianti pun langsung masuk ke dalam kamarnya. Para bunga desa ini, berada dalam ruangan tengah. Semua tas berisi pakaiannya, telah ditaruh. Ada yang bersandar di tembok, ada yang meluruskan punggungnya di lantai berkarpet. Ada juga yang bergegas ke kamar mandi belakang. Wajah mereka masih nampak lungset dan kusut karena baru menempuh perjalanan panjang. Begitu juga wajah Karmini.

”Loh kamu ga mandi Karmini?” tanya pemuda desa sebelah itu.

”Nanti Mas, gantian. Mbak Kamiroh lagi mandi.”

”Loh sudah pada akrab nih. Wah bagus, kalian ternyata bisa cepat akrab yah.”

”Oh, ya. Bu Yulianti mana?” tanya pemuda desa sebelah itu.

”Ada di kamar itu”, jawab Karmini menunjukkan tangannya ke arah kamar yang tertutup pintunya.

Pemuda itu pun langsung melangkah menuju pintu kamar yang tertutup itu. Ia mengetuk pintu itu sambil berkata,”Yul, Yul.” Pintu kamar pun terbuka dari dalam. Pemuda itu langsung masuk dan kembali menutup pintu kamar itu dari dalam. Karmini yang tahu pemuda itu masuk ke dalam kamar Yulianti, hanya bisa bertanya dalam hatinya sendiri. Namun, tak ada yang tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Karmini kala itu.

***

Hari telah beranjak siang. Suhu udara di kota ”mafia” ini pun nampak terasa panas. Hampir tak ada pohon yang rindang di kota ini. Sejauh mata memandang, hanya ada pohon gedung yang memancarkan keangkuhanya. Lahan hijau dan hutan kota, telah berubah fungsi menjadi bangunan dan pusat-pusat perdagangan.

Beberapa saluran air dan kanal yang dulu digagas dan dibangun oleh seorang Kapitien der Chinezen Tionghoa, Phoa Beng Gan pada Januari 1648, sepertinya telah berubah fungsi menjadi tempat penampungan sampah. Menjadi kumuh dan kotor. Padahal tujuan Phoa Beng Gan membangun kanal adalah untuk membuang air dari Harmoni sampai ke laut, membelah daerah Molenvliet. Dari Harmoni menyambung dengan Kali Ciliwung di daerah Pejabon. Membelah daerah Noordwijk dan Rijstwijk, dengan pintu air untuk mengatur arus air di dekat Kathedral, tujuannya tentu agar Batavia yang berada di dataran rendah dan banyak rawa-rawa ini tak lagi mudah banjir.

Selain untuk membuang air ke laut, kala itu, irigasi ini juga berfungsi sebagai sarana transportasi hasil pertanian orang-orang Tionghoa keturunan yang sudah ada sejak zaman dulu. Bahkan bisa jadi mereka telah ada di bumi Nusantara ini jauh sebelum kerajaan Singosari ada. Tak semua keturunan Tionghoa jelek seperti Anggodo dan Anggoro. Karena masih banyak orang-orang seperti Phoa Beng Gan yang sangat berjasa terhadap kita. Termasuk Laksamana Cheng Ho yang juga telah memperkenalkan ”Lu ku” atau ”We lu ku” sebagai alat pertanian untuk membajak sawah dengan tenaga binatang seperti, kerbau atau sapi. Walau alat ini, kini sudah hampir punah tergusur oleh teknologi mesin bernama traktor.

”Yah, dunia kini memang telah berubah menjadi zaman edan. Kalau tidak edan, tidak kebagian,” keluh Karmini dalam hati, teringat pesan Si mbok sebelum meninggalkan kampungnya.

Semua teman-teman Karmini telah terlelap dalam bayangannya masing-masing. Entah tidur atau tidak. Tak ada yang tahu. Hati Karmini tetap berkecamuk. Ia memikirkan pemandangan yang tidak pernah ia lihat sebelumnya di kampung. Ada seorang pemuda masuk ke dalam kamar perempuan yang bukan mukrimnya. Mereka juga bukan suami-istri. ”Trus, ngapain mereka berdua di dalam kamar, kok lama tidak keluar-keluar?” Karmini bertanya dalam hatinya sendiri.

Karmini menggigil. Tubuhnya berkeringat. Hatinya meriut seperti keong. Ia terus terinyang-iyang pesan Si mbok sebelum berangkat, “Hati-hati ya nak. Kini zaman sudah edan. Kalau tidak ikut-ikutan edan, kamu tidak akan kebagian. Tapi kalau kamu ikut-ikutan edan, lebih baik Si mbok mati aja. Lebih baik miskin, daripada Si mbok melihat anaknya edan.”

Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Suaranya mengagetkan Karmini yang sedang melamun. Keletak – keletok bunyi sepatu terdengar dari arah pintu yang telah terbuka. Yulianti keluar dengan wajah sumringah. Bajunya sudah berganti rapi. Aroma parfumnya lembut dan keluar dari dalam tubuhnya yang langsing. Ia mengenakan sepatu berhak tinggi. Siap pergi.

“Loh-loh…kok masih pada tidur. Ayo, bangun dan mandi. Kita berangkat sekarang.”

Enam perempuan desa yang penuh harap ini pun kaget, mereka langsung bangun dan langsung bergegas ke kamar mandi. Namun, tiba-tiba Yulianti menghentikan niat mereka.

“Kamar mandi kalian cuma satu, biar lebih cepat kalian mandi berdua aja. Kanti sama Sarmini, kalian berdua mandi dulu sana. Kamiroh, tolong kamu buat minum untuk ibu dan Mas Pandan yah,” perintah Yulianti sambil menyalakan korek, membakar ujung rokok mild yang sudah ada di bibirnya.

Yah, pemuda desa sebelah yang berada di kamar Yulianti bernama Pandan. Usianya sekitar 31 tahun. Badannya tak terlalu tinggi, kulitnya hitam. Rambutnya dicat warna pirang. Istrinya juga seorang TKW di Taiwan. Namun, jika dilihat sepintas dari penampilannya, ia nampak seperti belum punya istri.

Hari-harinya, ia lalui bersama Yulianti, yang sebenarnya juga sudah punya suami. Persahabatan mereka berdua sangat dekat. Bukan hanya karena mereka mitra dalam bisnis manusia ini, tetapi suami Yulianti yang bekerja sebagai pemborong bangunan, sebenarnya juga sahabat dekat Pandan waktu masih SMA. Istri Pandan yang ada di Taiwan pun tahu kalau suaminya bersahabat dekat dengan Yulianti dan suaminya. Sehingga tak ada masalah, di luar tetap nampak aman-aman saja.

”Etik sama Endang, kamu bersihkan dulu ruangan tengah ini. Karmini, kamu rapihkan kamar ibu dulu ya, kalau sudah selesai kalian baru mandi,” kembali Yulianti menugaskan perempuan-perempuan muda itu.

Seperti kuthuk atau anak ayam. Para perempuan desa ini pun segera bergegas, semangat tuk melaksanakan perintah Yulianti. Hanya Karmini yang mengajukan pertanyaan.

”Tapi bu, di kamar ibu kan ada Mas Pandan?” ucapnya sambil menunduk.

”Ga papa, Mas Pandan lagi mandi kok. Kamu rapikan aja tempat tidurnya,” jelasnya menunjukan kamarnya yang acak-acakan pada Karmini.

”Tapi saya takut sendirian bu?”

”Kenapa takut, nanti kamu di luar negeri juga menjadi pembantu. Tugasnya bukan hanya masak di dapur, tapi juga membersihkan kamar majikan. Anggap aja ini latihan,” ujar Yulianti.

Gadis desa ini pun melangkahkan kakinya pelan masuk ke dalam kamar. Seperti ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya. Namun, ia tak bisa membantah. Semua argumentasinya terbantah. Karmini pun akhirnya mengalah.

Di dalam kamar Yulianti, ia merasa aneh. Matanya pun memandang ke semua isi ruangan. Ia tak tahu, kenapa udara di dalam ruangan ini terasa sejuk. Karmini memang tak pernah tahu dan baru kali ini masuk ke dalam ruangan ber-AC. Aroma harum bunga melati di dalam ruangan pribadi Yulianti pun, membuat Karmini terheran-heran. Ia mengintip ke luar melalui jendela kaca. ”Tak ada tanaman bunga melati atau tanaman kopi yang sedang berbunga. Tapi aromanya kok harum yah,” batinnya.

Ia hanya sendiri di dalam kamar. Mas Pandan yang pagi tadi ia lihat masuk ke dalam kamar Yulianti, juga tak ada di ruangan itu. Hanya ada suara gericik dan kecipak air terdengar dari balik pintu yang tertutup. Ia juga tak pernah tahu dan melihat kamar mandi di dalam kamar. Dalam kebingungan, Karmini melangkahkan kaki, tangannya mulai menarik seprei, selimut, dan bantal. Semua ia rapihkan kembali.

Tak lama berselang, Mas Pandan pun keluar dari dalam kamar mandi. Dia hanya mengenakan celana dalam dan langsung membuka lemari untuk mengambil pakaian ganti. Karmini terkejut, ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Pandan yang melihat perubahan sikap Karmini hanya tersenyum.

”Kenapa, takut?” ucapnya.

”Jangan takut, aku hanya mau mengambil baju kok. Kamu teruskan aja merapihkan kamar ini.”

Karmini, tak menjawab. Ia merasa sekujur tubuhnya lunglai. Hatinya berontak, namun mulutnya seperti terkunci. Tangan dan kakinya gemetar. Ia tak rasai lagi detak jantungnya berdenyut. Sekujur tubuhnya bermandikan keringat dingin. Karmini tak tahu lagi apa makna takut yang dirasakannya.

Tanpa melihat, dirasainya sebuah tangan telah menempel dipundaknya lembut. Terdengar bisikan pelan dari belakang; ”Kenapa? Kamu sakit,” ucap Yulianti pelan.

Karmini tak penjawab. Begitu mendengar suara Yulianti yang ada di belakangnya, Karmini pun langsung memeluknya. Ia kembali menangis dalam pelukan Yulianti. Ibu satu anak ini, sengaja membiarkan Karmini menangis dipelukannya. Kembali tangan Yulianti pun mengelus-elus ramput Karmini untuk menenangkan.

”Kamu kenapa?” kembali suara Yulianti terdengar lembut untuk mencari tahu.

”Engga bu, aku hanya takut,” jawab Karmini sambil sesenggukan.

”Takut kenapa?”

Karmini hanya menjawabnya dengan isakan. Namun, sebagai seorang perempuan yang sudah banyak makan asam garam dalam dunia PJTKI, Yulianti sebenarnya sudah tahu kenapa Karmini menangis. Ia tahu, Karmini masih perawan dan belum pernah melihat ada seorang laki-laki yang hanya mengenakan celana dalam. Walau laki-laki itu tidak menggoda atau menyentuhnya, rasa takut Karmini dapat dimaklumi.

Melihat Karmini menangis dalam pelukan Yulianti, Pandan tetap tenang. Ia berganti baju dengan tenang dan seakan tak ada apa-apa. Yulianti melirik Pandan yang sudah rapi dan berkata, ”Mas, kalau sudah selesai, kopinya ada di ruang tamu.”

Tak berapa lama, Pandan pun langsung ke luar kamar. Yulianti kembali menenangkan Karmini.

”Sudah, Mas Pandan sudah keluar tuh,” bisiknya pada Karmini.

”Ayo, kamu mandi dulu sana. Sebentar lagi kita berangkat, besok kamu harus tinggal di perusahaan yang akan membawamu ke luar negeri.”

”Kalau kamu takut, kamu mandi di kamar mandi ibu aja. Ibu tungguin dari sini yah,” imbuhnya.

Karmini pun langsung bergegas mengambil peralatan mandi yang ada di dalam tasnya. Dan mandi di kamar mandi Yulianti yang baru digunakan oleh Pandan. Dan inilah dunia PJTKI dan Karmini selanjutnya.

***

Sore ini, jam ditangan menunjukkan pada angka lima. Semua perempuan dan gadis desa ini telah berkemas rapi. Mereka telah siap untuk diantar ke tempat penampungan yang lebih besar di kawasan Condet. Pandan pun, sudah menghidupkan mesin mobilnya. Satu per satu, perempuan desa ini naik ke dalam mobil sambil membawa tasnya masing-masing.

Kali ini Yulianti duduk di depan. Disamping driver kesayangannya. Kanti, Samini, dan Kamiroh, duduk di bangku paling belakang. Sedang Etikawati, Endang, dan Karmini duduk di tengah. Mobil Innova itu pun meluncur. Meninggalkan rumah yang di kontrak Yulianti. Mobil keluarga itu meluncur tanpa ragu dan keluar meninggalkan komplek perumahan itu.

Enam perempuan desa itu, tak ada yang tahu dimana tempat penampungan PJTKI yang mereka tuju. Mereka hanya bisa memandang penuh kekaguman. Di kanan-kiri sepanjang jalan yang mereka lewati, berderet ragam gedung pencakar langit.

Duka Karmini sirna sesaat. Berganti rasa kagum melihat begitu ramainya jalan-jalan ibu kota yang mereka lalui. Ia melihat deretan mobil, merayap pelan seperti barisan bebek Pak Karmin di kampungnya sehabis diangon di sawah. Hanya ekornya saja yang berbeda, jika bebek Pak Karmin membuang telek di jalan. Pantat mobil ini membuang polusi udara. Semua sama-sama kotor. Namun, telek bebek Pak Karmin bisa menjadi pupuk kandang untuk menyuburkan tanah, kalau telek mobil ini hanya bisa membuat nafas tersengal-sengal. Mengganggu saluran pernafasan atas atau ispa, yang jika dibiarkan akan menyerang paru-paru atau penyakit bronkitis.

Namun, itulah modernitas yang berkembang seperti asap rokok. Walau ada peringatan tentang betapa bahayanya asap rokok, tetap saja dihisap dan banyak yang suka. Industri rokok pun tetap berkembang walau harga pita cukai rokok terus melambung tinggi. Kalau tak mampu membeli pita cukai rokok yang asli, toh masih bisa membeli pita cukai palsu atau asli tapi palsu. Ehmmmm.......!!!

Dua jam sudah mobil yang membawa bahan ekspor ke luar negeri ini merayap, menelusuri jalan-jalan yang padat tak mengenal kompromi ini, akhirnya sampai ke tempat yang dituju. Bahan ekspor utama dari Indonesia ini pun diturunkan. Mereka digiring masuk ke dalam gudang penampungan sementara. Gudang berukuran sekitar sepuluh kali sepuluh meter ini terdiri dari dua lantai. Lantai atas, digunakan sebagai tempat belajar bahasa dan balai latihan kerja.

Lantai dasar bagian depan digunakan sebagai ruang perkantoran. Ruang belakangnya berisi dipan susun yang sangat padat. Di ruang ini telah dihuni sekitar 70 perempuan yang belum sempat di kirim ke berbagai negara tujuan. Mereka rata-rata sudah tiga hingga empat bulan menjadi penghuni tempat ini. Bahkan ada juga yang sudah lima bulan lebih berada dalam penampungan ini, tetapi belum juga diberangkatkan.

Kehidupan mereka sangat tragis. Srundeng atau abon yang dibuat dari ampas kelapa pun, menjadi bahan rebutan ditempat ini. Setiap hari, mereka dijatah makan dua kali oleh pemilik gudang. Lauknya pun sangat sederhana. Setiap pagi, mereka sarapan nasi sama tempe dan sayur kangkung. Begitu juga pada sore harinya, menunya tak jauh beda.

Mereka yang sudah pernah ke luar negeri pun tak pernah kerasan tinggal di tempat penampungan ini. Jika mereka ingin kembali ke luar negeri, rata-rata mereka lebih suka menyewa kamar kost di sekitar tempat penampungan itu. Karena, mereka merasa mampu membayar uang sewa kamar kost.

Karmini yang baru datang bersama rekan-rekannya pun langsung diterima oleh seorang perempuan yang bertugas di kantor itu. Satu per satu, enam perempuan desa yang diantar oleh Yulianti, disuruh menandatangani surat perjanjian yang isinya mereka tidak tahu persis. Lembar perjanjian ini berisi lima halaman yang telah disiapkan rapi pihak PJTKI. Tanpa ragu, Karmini bersama lima temannya pun langsung disuruh menandatangani surat perjanjian itu. Kemudian diantar ke ruang belakang untuk diperkenalkan dengan para penghuni penampungan yang lain.

”Ayo, sini anak-anak. Ini teman baru kalian baru datang,” ucap petugas kantor itu memperkenalkan Karmini.

Dengan ramah, para perempuan muda yang sudah menjadi penghuni tempat penampungan itu pun mendekat. Mengulurkan tangan mengajak berjabatan tangan pada Karmini dan lima rekannya itu. Setelah semua saling berkenalan, perempuan penjaga kantor itu bertanya, ”Apa masih ada tempat kosong untuk tidur teman baru kalian ini?” Semua penghuni tempat penampungan itu menjawab serentak, ”Penuh, bu”.

”Kalau begitu, malam ini diantara kalian harus ada yang mau tidur bersama teman-teman barumu ini. Besok baru di tambahkan kasur.”

Setelah itu, perempuan berusia sekitar 35 tahun ini pun ke luar ruangan. Menemui Yulianti dan Pandan yang masih menunggu di kantornya. Segala administrasi telah diselesaikan. Tugas Yulianti dan Pandan pun selesai. Setiap berhasil mengantarkan calon TKW ke tempat penampungan ini, Yulianti dan Pandan menerima imbalan sebesar Rp 3,5 juta per satu orang calon TKW.

Malam ini, Yulianti bersama Pandan telah menerima uang sebesar Rp 21.000.000 dari pihak pengelola PJTKI ini. Setelah menerima uang itu, Yulianti minta izin ke perempuan petugas PJTKI itu untuk menemui Karmini dan teman-temannya sebentar. Setelah mendapat izin, Yulianti bergegas menemui Karmini dan teman-temannya di kandangnya.

”Ibu langsung pulang malam ini. Kalian jaga diri baik-baik ya. Nanti kalau ada kesulitan apa-apa, telepon ibu saja.”

”Iya bu,” jawab Karmini dan teman-temannya serentak.

”Seperti janji ibu di kampung kemarin, ini ibu kasih uang saku buat kalian,” ucap Yulianti sambil membagikan uang ke Karmini dan lima teman lainnya, masing-masing tiga ratus rupiah.

Karmini dan lima perempuan desa lainnya pun merasa senang. Mereka tak pernah curiga, dalam benak pikiran mereka hanya ada rasa syukur dan memandang, ternyata bu Yulianti ini benar-benar baik. Sudah dicarikan kerja, dikasih uang saku lagi.

”Terimakasih ya bu,” ungkap Karmini dan teman-temannya serentak.

Selain menemui Karmini dan lima temannya itu, Yulianti juga menemui beberapa penghuni lainnya yang dulu juga dimasukkan Yulianti ke tempat itu. Namun, belum diterbangkan ke luar negeri hingga kini. Kepada dua perempuan yang belum diterbangkan itu, Yulianti memberi uang saku lagi. Masing-masing sebesar dua puluh ribu rupiah. ”Lumayan, bisa untuk membeli peralatan mandi yang sudah habis,” ucapnya dalam hati mereka masing-masing.

”Kenapa kalian belum bisa diterbangkan?” tanya Yulianti.

”Katanya belum dapat majikan bu.”

”Ooo...Kalian harus sabar ya. Mudah-mudahan besok atau lusa bisa segera dapat majikan. Sehingga kalian bisa segera terbang ke luar negeri,” hibur Yulianti memberikan motifasi.

“Oh iya bu, anaknya paman saya di kampung juga ingin ke Hongkong loh bu?” kabar mereka memberitahu Yulianti.

“Ini alamatnya. Nanti kalau ibu mau kesana, saya titip salam buat Mbok saya di kampung ya bu,” imbuhnya.

Mendapat informasi ini, dalam hati Yulianti berkata: Tak rugi malam ini saya membuang uang dua puluh ribu untuk mereka berdua. Semoga berhasil. Tiga juta lima ratus, akan segera ada di tangan. Biarlah mereka menikmati kesenangannya. Toh uang yang kuberikan ke mereka sebenarnya hasil dari keringat mereka sendiri, yang sudah kuperas sebelum mereka berangkat ke luar negeri. Namun, mereka tak pernah merasa rugi. Walau gaji mereka nanti akan dipotong setiap bulan, selama tujuh bulan hingga satu tahun mereka bekerja di luar negeri.

Yulianti kembali tersenyum dalam hatinya. Dan para calon TKW ini pun tersenyum. Mereka berdoa semoga bisa mendapatkan majikan yang baik dan tidak menjadi korban permainan agent TKW nakal di luar negeri. Sebab tak jarang, para calon TKW dari Indonesia ini dijadikan ladang bisnis para agent TKW nakal yang ada di luar negeri. Mereka dicarikan majikan oleh para agent. Setelah mereka bekerja dan batas masa potongan gajinya habis, dengan berbagai dalih dan modus oprandi, para TKW yang sudah merasa nyaman bekerja ini, ditarik paksa oleh pihak agent. Kemudian dicarikan majikan baru atau tempat kerja baru. Sehingga para agent ini pun tetap dapat mengeruk keuntungan karena masih tetap mengenakan aturan potong gaji. Begitulah seterusnya. Sehingga tak jarang para pejuang ini pun, sering pulang ke Indonesia tanpa membawa apa-apa. Walau mereka sudah bekerja bertahun-tahun di luar negeri. Dan pihak PJTKI yang memberangkatkan pun cuci tangan.

”Ya sudah, ibu pulang dulu ya. Jaga diri kalian baik-baik. Jangan lupa terus berdoa, agar bisa cepat terbang,” pesan Yulianti kepada mereka yang masih berada di penampungan.

” Iya bu,” jawab mereka serentak.

Setelah berpamitan, Yulianti pun keluar dari tempat penampungan yang mirip kandang ayam petelor itu. Karena hampir semua ruangan penuh dengan tempat tidur susun. Hanya ada sedikit lorong sempit untuk jalan diantara sela-sela dipan susun itu. Udaranya pengap dan gelap, meski ada beberapa lampu neon yang terpasang di atas.

Dan inilah tempat penampungan para calon pahlawan devisa yang sebenarnya tak layak. Namun, tetap bisa hidup karena pihak-pihak dari pemerintah yang seharusnya punya tanggungjawab untuk memberikan pengawasan, dapat diselesaikan di depan tanpa harus mengontrol ke belakang. Tragis memang. Namun, inilah fakta. Yulianti tetap dapat melenggang penuh senyum tuk meninggalkan ruangan ini. Dan akan kembali satu minggu lagi untuk menambah isi ruangan yang sudah penuh dan sesak ini.

(Bersambung)