Minggu, 30 Desember 2012

Penuntasan KONFLIK AGRARIA Mandek


MALANG—Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sepanjang 2004-2012 terjadi 618 konflik agraria di Indonesia dan hingga saat ini belum ada satupun yang terselesaikan. Dari jumlah itu 198 konflik diantaranya berlangsung sepanjang 2012.

Ketua Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPN-Repdem) Bidang Penggalangan Tani Sidik Suhada mengatakan dari konflik tersebut sedikitnya ada 731.342 kepala keluarga (KK) petani penggarap yang kehilangan tanahnya.

“Total luas lahan sepanjang 2004-2012 mencapai lebih dari 2.399.314,49 hektare,” kata Sidik Suhada dalam catatan akhir tahun yang dikirim ke Bisnis Minggu (30/12).

Konflik paling parah ujar dia terjadi pada periode Januari-Desember 2012 yang mencapai 198 kasus. Jika dihitung rata-rata setidaknya terjadi 1 konflik agraria dalam 2 hari. Dan 1 orang petani ditahan dalam 2 hari. Dari 198 konflik agraria sepanjang 2012 terdapat 156 orang petani ditahan dan dipenjarakan, 55 orang petani luka-luka, 25 petani tertembak, dan 3 orang petani tewas dalam konflik agraria tersebut.

“Dari konflik agraria yang terjadi sepanjang 2012 itu sebanyak 90 kasus terjadi di sektor perkebunan, 60 kasus di sektor pembangunan infrastruktur, 21 kasus di sektor kehutanan, 5 kasus di sektor pertanian, dan 2 kasus di sektor kelautan dan wilayah pesisir.”

Menurutnya total luas areal tanah yang dikonflikkan pada 2012 mencapai lebih dari 963.411,2 hektare dan melibatkan lebih dari 141.915 KK petani. Tingginya konflik agraria pada 2012 menunjukkan dengan jelas dan nyata jika pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bukan hanya tidak melaksanakan janjinya namun juga tidak punya komitmen untuk menyelesaikan konflik agraria.

“Apalagi melaksanakan pembaruan agraria seperti yang dijanjikan pada kampanyenya dulu,” katanya.

Tingginya angka konflik agraria kata dia sekaligus menjadikan rezim pemerintahan SBY menyumbang konflik agraria terbanyak pasca reformasi 1998. Kondisi tersebut juga menunjukkan jika pemerintah tidak pernah menjalankan amanat TAP MPR No.IX/2001 tentang Sumber Daya Alam dan Pelaksanaan Reforma Agraria.

Selain itu presiden juga dinilai tidak menjalankan amanat UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No.5/1960. Karena itu KPA berharap DPR-RI segera memanggil presiden guna meminta pertanggungjawaban karena tidak menjalankan amanat konstitusi.

“Pembangunan industri pertanian berskala besar seperti Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) adalah contoh konkret dan nyata jika pemerintah semakin menjauhkan petani Indonesia dari tanah,” jelasnya.

Padahal tanah bagi petani bukan hanya sekadar sumber ekonomi keluarga, namun juga merupakan identitas dan status sosial. Tanpa memiliki tanah seseorang tentu tidak dapat disebut petani tapi buruh tani. (sms)

SENGKETA LAHAN: Sampai 2012, 618 Kasus Agraria Tak Terselesaikan


MALANG: Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sepanjang 2004-2012 terjadi 618 konflik agraria di Indonesia dan hingga saat ini belum ada satupun yang terselesaikan. Dari jumlah itu 198 konflik di antaranya berlangsung sepanjang 2012.

Ketua Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPN-Repdem) Bidang Penggalangan Tani Sidik Suhada mengatakan dari konflik tersebut sedikitnya ada 731.342 kepala keluarga (KK) petani penggarap yang kehilangan tanahnya.


“Total luas lahan sepanjang 2004-2012 mencapai lebih dari 2.399.314,49 hektare,” kata Sidik Suhada dalam catatan akhir tahun yang dikirim ke Bisnis Minggu (30/12).


Konflik paling parah ujar dia terjadi pada periode Januari-Desember 2012 yang mencapai 198 kasus. Jika dihitung rata-rata setidaknya terjadi 1 konflik agraria dalam 2 hari. Dan 1 orang petani ditahan dalam 2 hari.


Dari 198 konflik agraria sepanjang 2012 terdapat 156 orang petani ditahan dan dipenjarakan, 55 orang petani luka-luka, 25 petani tertembak, dan 3 orang petani tewas dalam konflik agraria tersebut.


“Dari konflik agraria yang terjadi sepanjang 2012 itu sebanyak 90 kasus terjadi di sektor perkebunan, 60 kasus di sektor pembangunan infrastruktur, 21 kasus di sektor kehutanan, 5 kasus di sektor pertanian, dan 2 kasus di sektor kelautan dan wilayah pesisir.”


Menurutnya total luas areal tanah yang dikonflikkan pada 2012 mencapai lebih dari 963.411,2 hektare dan melibatkan lebih dari 141.915 KK petani. Tingginya konflik agraria pada 2012 menunjukkan dengan jelas dan nyata jika pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bukan hanya tidak melaksanakan janjinya namun juga tidak punya komitmen untuk menyelesaikan konflik agraria.


“Apalagi melaksanakan pembaruan agraria seperti yang dijanjikan pada kampanyenya dulu.”


Tingginya angka konflik agraria kata dia sekaligus menjadikan rezim pemerintahan SBY menyumbang konflik agraria terbanyak pasca reformasi 1998. Kondisi tersebut juga menunjukkan jika pemerintah tidak pernah menjalankan amanat TAP MPR No.IX/2001 tentang Sumber Daya Alam dan Pelaksanaan Reforma Agraria.


Selain itu presiden juga dinilai tidak menjalankan amanat UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No.5/1960. Karena itu KPA berharap DPR-RI segera memanggil presiden guna meminta pertanggungjawaban karena tidak menjalankan amanat konstitusi. (k25/arh)


Sabtu, 15 Desember 2012

78 Kasus Konflik Agraria Belum Terselesaikan


Jurnas.com SEDIKITNYA ada 78 kasus konflik agraria di Jawa Tengah yang saat ini belum diselesaikan. Maraknya konflik agraria ini akibat pemerintah tidak melaksanakan Reforma Agraria atau Pembaruan Agraria.

Staf Deputi Riset dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan Ketua Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPN Repdem) Bidang Penggalangan Tani, Sidik Suhada melalui siaran persnya, Selasa (11/12), mengatakan konflik agraria terbanyak terjadi di sektor perkebunan (swasta maupun PTPN) adalah 37 kasus. Konflik agraria antara petani penggarap dengan pihak perkebunan ini tersebar di 37 desa di wilayah Cilacap, Pati, Semarang, Temanggung, Kendal, Batang, dan Pekalongan.

Sebanyak 26 kasus konflik agraria antara warga dengan perhutani ini tersebar di 26 desa yang berada di wilayah Cilacap, Banyumas, Kebumen, Wonosobo, Blora, Temanggung, Kendal, dan Batang. Sementara konflik agraria yang melibatkan institusi militer, sedikitnya tercatat sebanyak 9 kasus dan konflik agraria di sektor pertambangan ada 6 kasus.

Secara nasional konflik agraria di tahun 2012 ini juga sangat tinggi. Berdasarkan catatan Konsersium Pembaruan (KPA) sedikitnya ada 173 konflik agraria baru yang terjadi mulai bulan Januari sampai Oktober 2012. Dari 173 konflik yang ada di seluruh Indonesia itu, sedikitnya 3 orang petani tewas akibat ditembak peluru aparat keamanan, 25 orang luka tembak, 131 orang petani ditahan dan dikriminalisasi, serta 44 orang petani luka-luka akhibat dianiaya. Total luas lahan yang dipersengketakan oleh rakyat vs perusahaan (negara/swasta) 866.676 Ha yang melibatkan 112.854 kepala keluarga.

Maraknya konflik agraria yang sepanjang tahun terjadi membuktikan bahwa reforma agraria yang selama ini dijanjikan pemerintah, tidak terbukti di lapangan. Bahkan berbagai kebijakan pemerintah justru kerap kali bertentangan dengan semangat pelaksanaan reforma agraria yg sudah diamanatkan dalam TAP MPR No. 9 tahun 2001 tentang pengelolaan sumber daya alam dan pelaksanaan reforma agraria.

Selain itu, kebijakan-kebijakan pemerintah juga kerap kali bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria atau yang dikenal dengan UUPA No. 5 tahun 1960, misalnya, UU No. 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah untuk pembangunan, yang jelas-jelas bertentangan dengan semangat reforma agraria. Begitu juga keberadaan UU Penanaman Modal, UU Perhutani, dan lain-lain yang semua bertolak belakang dengan semangat pembaruan agraria yang diamanatkan dalam TAP MPR Nomor 9 tahun 2001 dan UUPA.

Bahkan UUPA, sebagai produk hukum terbaik untuk mengakhiri ketimpangan hak atas penguasaan dan pengolahan sumber-sumber agraria, tidak pernah dijalankan. Akhibatnya, konflik agraria di negeri ini terus meningkat.

Dalam kerangka untuk mencari format penyelesaian konflik agraria, serikat-serikat tani se-Jawa Tengah anggota KPA, akan mengadakan diskusi terbuka dengan tema “Mencari Formulasi Pelaksanaan Reforma Agraria dan Penyelesaian Konflik Agraria di Jawa Tengah bersama Ganjar Pranowo (calon Gubernur Jawa Tengah periode 2013-2018). Diskusi ini dilaksanakan hari Rabu, 12 Desember 2012 di Sekertariat SPP Qt (Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah), Jalan Japar Sodik Nomor 25, Kelurahan Kali Bening, Kecamatan Tingkir, Salatiga.

Menurut Sidik, acara ini sekaligus untuk menguji komitmen calon Gubernur Jawa Tengah terhadap persoalan-persoalan kaum tani, khususnya untuk menyelesaikan konflik agraria dan pelaksanaan reforma agraria di Jawa Tengah.


Konflik Agraria Tercatat 173 Kasus


MALANG—Konflik agraria sepanjang tahun ini marak terjadi di sejumlah wilayah. Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) sepanjang Januari-Oktober 2012 terdapat 173 konflik agraria.

Staf Deputi Riset dan Kampanye KPA dan Ketua Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPN Repdem) Bidang Penggalangan Tani Sidik Suhada mengatakan dari 173 konflik yang ada di seluruh Indonesia sedikitnya 3 orang petani tewas akibat tertembus peluru aparat keamanan, 25 orang luka tembak, 131orang petani ditahan dan alami diskriminalisasi, serta 44 orang petani mengalami luka.

“Sedang total luas lahan yang dipersengketakan oleh rakyat dengan perusahaan baik negara maupun swasta mencapai 866.676 hektare yang melibatkan 112.854 kepala keluarga (KK),” kata Sidik dalam siaran persnya Rabu (12/12).

Maraknya konflik agraria yang sepanjang tahun terjadi ujar dia membuktikan bahwa reforma agraria yang selama ini dijanjikan pemerintah tidak terbukti di lapangan.

Bahkan berbagai kebijakan pemerintah justru kerapkali bertentangan dengan semangat pelaksanaan reforma agraria yang sudah diamanatkan dalam TAP MPR No.9/2001 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelaksanaan Reforma Agraria.

“Selain itu kebijakan pemerintah juga kerapkali bertentangan dengan UU Pokok Agraria atau yang dikenal dengan UUPA No.5/1960. Misalnya UU No.2/2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan yang jelas-jelas bertentangan dengan semangat reforma agraria.”

Begitu juga lanjut dia dengan keberadaan UU Penanaman Modal, UU Perhutani, dll yang semua bertolak belakang dengan semangat pembaruan agraria yang diamanatkan dalam TAP MPR No.9/2001 dan UUPA.

Bahkan UUPA sebagai produk hukum terbaik untuk mengakhiri ketimpangan hak atas penguasaan dan pengolahan sumber-sumber agraria tidak pernah dijalankan.

“Akibatnya konflik agraria di negeri ini cenderung terus meningkat.”

Sementara konflik agraria yang melibatkan institusi militer lanjut dia sedikitnya tercatat 9 kasus. Dan konflik agraria di sektor pertambangan ada 6 kasus.

Dari jumlah konflik yang berlangsung sepanjang 2012 itu sedikitnya 78 kasus terjadi di Jawa Tengah yang hingga saat ini belum terselesaikan. Konflik agraria terbanyak terjadi di sektor perkebunan baik swasta maupun PTPN yang mencapai 37 kasus.

“Maraknya konflik agraria ini terjadi akibat pemerintah tidak mau melaksanakan reforma agrari atau pembaharuan agraria,” jelasnya. (sms)

Setahun 173 Kasus Konflik Agraria, Tiga Tewas


TEMPO.CO, Malang-Sepanjang tahun 2012 terjadi 173 kasus konflik agraria di sejumlah daerah. Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) akibat konflik tersebut sebanyak tiga orang petani tewas, 25 terluka tembak, 44 orang luka-luka biasa, dan 131 petani ditahan.

"Dalam konflik mereka selalu berhadapan dengan aparat keamanan," kata Deputi Riset dan Kampanye KPA, Sidik Suhada, dalam siaran persnya, Rabu 12 Desember 2012.

Konflik agraria tersebut melibatkan luas lahan sengketa mencapai 866.676 hektare. Perebutan lahan itu melibatkan 112.854 kepala keluarga berhadapan dengan negara, militer, dan pihak swasta. Sebanyak sembilan kasus konflik agraria melibatkan institusi militer. Sebanyak enam kasus sengketa agraria di sektor pertambangan dan terbanyak 37 kasus sektor pertanian. Konflik paling sering terjadi di Jawa Tengah yakni sebanyak 78 kasus.

Menurut Sidik, banyaknya konflik agraria ini membuktikan reformasi agraria seperti yang dijanjikan pemerintah tak berjalan. Bahkan kebijakan pemerintah sering bertentagan dengan semangat Ketetapan MPR nomor 9 tahun 2001 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelaksanaan Reforma Agraria.

Selain itu, kebijakan pemerintah juga sering bertentangan dengan peraturan yang dikeluarkan. Seperti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah yang bertentangan degan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria. Undang-Undang Penanaman Modal, Perhutani, dan lainnya juga bertentangan dengan UU PA.

"Undang-Undang Pokok Agraria tak pernah dijalankan untuk mengakhiri konflik agraria," ujarnya. Akibatnya kasus konflik agraria di negeri ini cenderung terus meningkat.


Selasa, 04 Desember 2012

SENGKETA LAHAN: Di Malang Capai 5.570,5 Hektare

ilustrasi, foto: http://www.bisnis-jatim.com

MALANG-Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menduga terdapat 5.570,5 hektare lahan yang tersebar di 14 kecamatan di Kabupaten Malang mengalami konflik sengketa lahan.

Ke 14 kecamatan tersebut adalah Sumbermanjing Wetan, Tirtoyudo, Gedangan, Pagak, Bantur, Sumberpucung, Kalipare, Wonosari, Ngajum, Donomulyo, Pujon, Ngantang, Kasembon, dan Kecamatan Singosari.

Staf Deputi Riset dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sidik Suhada mengatakan sengketa lahan tersebut antara lain melibatkan warga dengan TNI baik itu Angkatan Darat (AD), Angkatan Udara (AU), Angkatan Laut (AL), PTPN, serta Perhutani.

“Konflik agraria antara warga dengan institusi militer, PTPN, dan Perhutani tidak perlu terjadi jika semua pihak benar-benar mematuhi Undang-Undang (UU),” kata Sidik di Malang, Senin (26/11).

Dimana ujar dia tertuang dalam UU No.34/2004 tentang TNI secara jelas dan terang melarang TNI menjalankan praktek bisnis. Dalam UU itu juga disebutkan bahwa semua aset bisnis TNI sebelumnya harus diserahkan pada negara.

Titik terjadinya konflik tersebut rinciannya lima diantaranya berada di  Kecamatan Pagak dan Bantur luasnya mencapai 4.811 hektare, di wilayah Kecamatan Sumberpucung seluas 97,5 hektare, serta di Desa Harjokuncaran dan Desa Ringin Kembar Kecamatan Sumbermanjing Wetan sebanyak 662 hektare.

“Maraknya konflik agraria di Kabupaten Malang menjadi bukti nyata jika  pembaruan agraria adalah sebuah keharusan yang dilakukan sebagai kebijakan pemerintah. Tanpa ada kebijakan pembaruan agraria konflik agraria akan terus terjadi,” jelasnya.

Salah satu tujuan dari pembaruan agraria tersebut kata dia untuk menata struktur kepemilikan dan penguasaan tanah agar tidak terjadi ketimpangan serta menciptakan keadilan dan kesejahteraan sosial sebagaimana yang diamanatkan pada sila kelima Pancasila, UUD 1945, dan UUPA No. 5/1960.

Pembaruan agraria juga sudah menjadi amanat TAP MPR No. IX/2001 tentang Reforma Agraria.  Namun sejauh ini yang tercantum dalam UU dan amanat TAP MPR tersebut lanjutnya belum dijalankan dengan baik.

“Sehingga konflik agraria terus saja terjadi dan hal itu sering menyebabkan kedua belah pihak menjadi korban saat terjadi bentrok khususnya pada warga yang mempertahankan lahan yang disengketakan,” jelasnya.

Dan maraknya konflik agraria antara warga dengan pihak institusi militer dinilai KPA cukup mengkhawatirkan karena tidak jarang disertai pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). (sms)

KPA : 30 Titik Konflik Agraria di Blitar

ilustrasi foto, sindonews.com

Blitar - Staf Deputi Riset dan Kajian Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Sidik Suhada, menyebutkan terdapat 30 titik konflik agraria di Kabupaten Blitar, Jawa Timur, dan sampai saat ini masih belum tuntas.

"Konflik itu terjadi antara petani dengan beragam lembaga atau instittus, ada yang dengan perhutani, perkebunan, bahkan sampai dengan TNI," katanya di Blitar, Minggu.

Sidik yang ditemui dalam acara diskusi dengan tema kebijakan reforma agraria untuk keadilan dan kesejahteraan petani di Dusun Babatan, Desa Ngadipuro, Kecamatan Wonotirto, Kabupaten Blitar, itu menyebutkan konflik itu rata-rata menyebar di daerah pinggiran.

Dari 30 konflik yang terdata itu, antara petani dengan pihak perkebunan ada 12 titik (11 titik dengan perkebunan swasta, satu titik dg PTPN XII).

Selain itu, ada enam titik konflik agraria yang terjadi dengan TNI (TNI AD ada lima titik dan TNI AU ada satu titik). Enam titik konflik agraria antara petani dengan TNI ini terjadi di Kecamatan Wonotirto, Garum, dan Ponggok.

Sidik juga menyebut, konflik agraria juga terjadi antara warga dengan pemerintah daerah. Terdapat satu titik konflik yang terjadi di Kecamatan Wonotirto.

"Untuk luas lahan yang konflik juga cukup luas, lebih dari 6.000 hektare. Rincinya, konflik warga dengan TNI ada sekitar 2.000 hektare, perkebunan ada sekitar 3.000 hektare, kehutanan sekitar 2000 hektare, dan dengan pemda ada sekitar 100 hektare," ungkap Sidik.


Pihaknya juga menyebutkan, adanya konflik itu sudah sangat mengkhawatirkan. Terlebih lagi, reformasi agraria (pembaruan agraria) yg selama ini dijanjikan oleh presiden, juga belum ada realisasinya. 

Padahal, pembaruan agraria itu bukan hanya menjadi amanat Undang-Undang, yaitu UUPA Nomor 5 Tahun 1960. Bahkan, pembaruan agraria itu juga sudah menjadi amanat TAP MPR IX/2001 yg mengamanatkan pada Presiden utk menjalankan reforma agraria.

Jumlah warga yang terlibat konflik juga cukup banyak mencapai lebih dari 10.000 Kepala Keluarga (KK) yang mayoritas petani. Mereka selama ini masih buta hukum, sehingga belum tahu apa yang harus mereka perbuat. Padahal, harusnya pemerintah membantu mereka, untuk mendapatkan hak-haknya.

"Maraknya konflik agraria di Kabupaten Blitar ini menunjukan bukti nyata tidak adanya keseriusan pemerintah dlm menyelesaikan konflik agraria," tegasnya.

Sidik juga mengatakan, acara diskusi ini memang sengaja dilakukan dengan melibatkan langsung masyarakat luas. Terdapat juga sejumlah pakar yang hadir dalam acara itu. 

Tujuannya, agar masyarakat lebih mengerti tentang berbagai aturan serta mereka bisa menjadi lebih paham tentang masalah agraria. Dengan itu, masyarakat menjadi lebih pintar dan mereka bisa melakukan untuk hak-hak yang belum mereka dapatkan. (*)

info sejenis juga dapat dibuka di: