MALANG—Konsorsium
Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sepanjang 2004-2012 terjadi 618 konflik
agraria di Indonesia dan hingga saat ini belum ada satupun yang terselesaikan.
Dari jumlah itu 198 konflik diantaranya berlangsung sepanjang 2012.
Ketua Dewan Pimpinan Nasional Relawan
Perjuangan Demokrasi (DPN-Repdem) Bidang Penggalangan Tani Sidik Suhada
mengatakan dari konflik tersebut sedikitnya ada 731.342 kepala keluarga (KK)
petani penggarap yang kehilangan tanahnya.
“Total luas lahan sepanjang 2004-2012
mencapai lebih dari 2.399.314,49 hektare,” kata Sidik Suhada dalam catatan
akhir tahun yang dikirim ke Bisnis Minggu (30/12).
Konflik paling parah ujar dia terjadi
pada periode Januari-Desember 2012 yang mencapai 198 kasus. Jika dihitung
rata-rata setidaknya terjadi 1 konflik agraria dalam 2 hari. Dan 1 orang petani
ditahan dalam 2 hari. Dari 198 konflik agraria sepanjang
2012 terdapat 156 orang petani ditahan dan dipenjarakan, 55 orang petani
luka-luka, 25 petani tertembak, dan 3 orang petani tewas dalam konflik agraria
tersebut.
“Dari konflik agraria yang terjadi
sepanjang 2012 itu sebanyak 90 kasus terjadi di sektor perkebunan, 60 kasus di
sektor pembangunan infrastruktur, 21 kasus di sektor kehutanan, 5 kasus di
sektor pertanian, dan 2 kasus di sektor kelautan dan wilayah pesisir.”
Menurutnya total luas areal tanah yang
dikonflikkan pada 2012 mencapai lebih dari 963.411,2 hektare dan melibatkan
lebih dari 141.915 KK petani. Tingginya konflik agraria pada 2012 menunjukkan
dengan jelas dan nyata jika pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) bukan hanya tidak melaksanakan janjinya namun juga tidak punya komitmen
untuk menyelesaikan konflik agraria.
“Apalagi melaksanakan pembaruan
agraria seperti yang dijanjikan pada kampanyenya dulu,” katanya.
Tingginya angka konflik agraria kata
dia sekaligus menjadikan rezim pemerintahan SBY menyumbang konflik agraria
terbanyak pasca reformasi 1998. Kondisi tersebut juga menunjukkan jika
pemerintah tidak pernah menjalankan amanat TAP MPR No.IX/2001 tentang Sumber
Daya Alam dan Pelaksanaan Reforma Agraria.
Selain itu presiden juga dinilai tidak
menjalankan amanat UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No.5/1960.
Karena itu KPA berharap DPR-RI segera memanggil presiden guna meminta
pertanggungjawaban karena tidak menjalankan amanat konstitusi.
“Pembangunan industri pertanian
berskala besar seperti Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) adalah
contoh konkret dan nyata jika pemerintah semakin menjauhkan petani Indonesia
dari tanah,” jelasnya.
Padahal
tanah bagi petani bukan hanya sekadar sumber ekonomi keluarga, namun juga
merupakan identitas dan status sosial. Tanpa memiliki tanah seseorang tentu
tidak dapat disebut petani tapi buruh tani. (sms)