Jumat, 18 Februari 2011

SBY Tak Becus Menyelesaikan Konflik Agraria

Selama ini, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selalu gembar-gembor akan melaksanakan reforma agraria. Namun, fakta menunjukan. Reforma agraria yang dikumandangkan Presiden SBY ternyata hanya omong kosong belaka. Buktinya, konflik agraria sepanjang tahun 2010 masih tetap tinggi dan marak terjadi.

Sepanjang tahun 2010, sedikitnya ada 106 konflik agraria terjadi. Sebanyak 3 orang petani mati, 4 orang tertembak, 8 orang mengalami luka-luka, dan 80 orang petani dipenjarakan karena mempertahankan hak atas kepemilikan tanahnya.

Luas lahan yang disengketakan, sedikitnya mencapai 535,197 hektar dan melibatkan 517,159 Kepala Keluarga (KK) tani yang berkonflik. Intensitas konflik paling tinggi terjadi karena, sengketa atas lahan perkebunan besar 45 kasus.

Kemudian diikuti dengan konflik agraria yang disebabkan karena pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan, sebanyak 41 kasus. Konflik agraria yang melibatkan pihak perhutani tercatat ada 13 kasus, pihak pertambangan 3 kasus, pertambakan 1 kasus, perairan 1 kasus, dan konflik lainnya ada 2 kasus.

Masih maraknya konflik agraria disepanjang tahun 2010 ini menunjukan bahwa, pemerintah Indonesia masih belum serius di dalam menyelesaikan persoalan agraria.

Bahkan pemerintah SBY masih sering menggunakan cara-cara primitif yang bersandar pada kekerasan dalam setiap menangani masalah konflik agraria yang ada di negeri ini. Cara-cara itu tentu tidak akan pernah dapat menyelesaikan persoalan, selain menimbulkan masalah baru. Selain dapat mengoyak-ngoyak rasa keadilan kaum tani yang selama ini dijadikan korban, cara-cara primitif yang ditempuh pemerintah juga sering mengakhibatkan korban jiwa dipihak petani.

Karena itu, cara-cara primitif yang mengedepankan penyelesaian dengan kekerasan, intimidasi, dan penembakan terhadap kaum tani yang sedang berjuang tuk mendapatkan tanah, harus segera dihentikan.

Agar penyelesaian konflik agraria dapat menyentuh akar pokok persoalan. Tidak ada pilihan lain bagi pemerintah selain melaksanakan reforma agraria. Melaksanakan pembaruan agraria berati melaksanakan kontitusi. Karena, pelaksanaan reforma agraria sudah menjadi amanat dalam UUD 1945, UUPA No.5 Tahun 1960, Tap MPR. No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, UU No 11/2005 tentang Kovenan Ekosok.

Selain itu, agar konflik agraria dapat diselesaikan secara komprehemsif, pemerintah perlu segera membentuk sebuah lembaga khusus penyelesaian konflik agraria di negeri ini. Lembaga ini bersifat adhoc dan bekerja dalam batas waktu tertentu dengan tugas khusus menyelesaikan konflik agraria. Lembagai ini harus dibentuk melalui keputusan presiden.

Sedang untuk mengantisipasi konflik agraria di masa mendatang, maka diperlukan penyusunan regulasi mengenai peradilan agraria. TAP MPR No.IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, memerintahkan kepada pemerintah dan DPR untuk segera melakukan review dan kaji ulang terhadap seluruh kebijakan terkait masalah agraria serta sumber daya alam.

Review dan kaji ulang ini dibutuhkan. Mengingat realitas kebijakan yang ada hari ini tumpang tindih, tidak sinkron, dan ego sektoral.