Minggu, 25 Desember 2011

Pembaruan Agraria, Paham Kebangsaan yang Terlupakan

Penulis : Sidik Suhada*

Beberapa minggu terakhir ini berita tentang dugaan pembantaian terhadap petani di Kecamatan Mesuji, Sumatera Selatan, dan Kabupaten Mesuji, Lampung, terus mewarnai media massa.

Kejahatan kemanusiaan yang secara kasatmata itu mengiris-iris nurani dan mengoyak-ngoyak rasa keadilan, dan aksi kekejaman semacam itu bukan yang pertama kali terjadi di negara ini.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, sepanjang 2010, sedikitnya ada 106 konflik agraria di seluruh wilayah Indonesia.

Rinciannya: sengketa tanah antara petani dengan pihak perkebunan besar (45 kasus), kemudian diikuti dengan pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan (41), kehutanan (13), pertambangan (tiga), pertambakan (satu), perairan (satu), dan konflik lainnya (dua).

Sepanjang 2010 itu, sekurangnya tiga petani tewas, empat orang tertembak, delapan orang luka-luka, dan sekitar 80 petani dipenjarakan karena mempertahankan hak mereka.

Sementara di tahun yang sama, Komnas HAM mencatat pengaduan kasus sengketa lahan mencapai 819 kasus. Sepanjang September 2007-September 2008, laporan pelanggaran HAM yang diterima Komnas HAM dalam pengaduan pelanggaran hak atas tanah menempati peringkat kedua dengan jumlah 692 kasus. Itu semua menunjukkan negara tidak berpihak pada kaum tani.

Penyebab Konflik

Tak dapat dipungkiri, penyebab konflik itu terjadi karena negara tidak bersedia melaksanakan apa yang disebut sebagai Pembaruan Agraria, sehingga berbagai ketimpangan dan kesenjangan hak atas kepemilikan tanah terjadi. Ketimpangan kepemilikan tanah itu dapat dilihat dari data yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional (BPN).

BPN mencatat, saat ini sekitar 56 persen tanah hanya dikuasai 0,2 persen orang. Sementara di sisi lain, ada sekitar 7,3 juta hektare tanah dikuasai pihak perusahaan swasta dan dibiarkan telantar. Sementara hasil survei Badan Pusat Statistik (2003) menyebutkan, 85 persen petani di Indonesia adalah petani gurem dan petani tak bertanah.

Rata-rata petani gurem hanya memiliki lahan kurang dari 0,3 hektare. Setiap tahun penyempitan lahan bagi petani terus terjadi. Penyempitan lahan bagi petani berbanding terbalik dengan lahan yang dikuasai pengusaha.

Saat ini ada sekitar 29 juta hektare untuk usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, 7 juta hektare untuk pengusaha hutan tanaman industri, 6 juta hektare dikuasai pengusaha perkebunan sawit, dan 2,4 juta hektare dikuasai Perhutani.

Tentu saja ketimpangan hak atas kepemilikan tanah itu melahirkan kesenjangan dan kemiskinan sosial di kalangan kaum tani. Tanah yang adalah sumber kehidupan menjadi barang langka yang harus diperebutkan, kalau perlu hingga mati.

Selain itu, ketiadaan kebijakan politik agraria dari pemerintah yang berpihak pada rakyat dan kaum tani di perdesaan, serta tidak adanya birokrasi pemerintah yang pro pada keadilan agraria juga memicu lahirnya konflik agraria.

Ini karena setiap ada pengembangan lahan oleh perusahaan atau perkebunan kerap bertabrakan dengan kepentingan ekonomi masyarakat. Biasanya pemerintah terkesan membiarkan, jarang berpihak kepada kaum tani.

Makna Pembaruan Agraria

Penulis ingin mengingatkan kembali betapa pentingnya melaksanakan pembaruan agraria, dalam upaya mengakhiri konflik agraria yang merugikan petani.

Dengan demikian harus ada perombakan total pada struktur kepemilikan tanah, demi mengakhiri ketimpangan. Hal itu akan menguatkan akses terhadap sarana dan prasarana produksi ekonomi kaum tani dan membangkitkan usaha pertanian kolektif di perdesaan.

Hanya dengan pelaksanaan pembaruan agraria secara konsisten, bangsa Indonesia dapat mencapai cita-cita keadilan sosial sebagaimana dicanangkan para Bapak Bangsa. Secara gamblang dan jelas, UU Pokok Agraria (PA) No 5 Tahun 1960 menyatakan bahwa keadilan agraria adalah dasar ekonomi nasional yang akan membawa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dasar pembangunan ekonomi ini tentu sesuai dengan semangat Pasal 33 UUD 1945 yang asli, di mana konsep perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Dengan begitu tidak ada ketimpangan hak atas kepemilikan tanah, dan tidak ada ketimpangan sosial yang disebabkan sistem ekonomi neoliberal seperti saat ini.

Sebagai jalan menuju terwujudnya keadilan dalam berbangsa dan bernegara, semangat yang terkandung dalam UUPA No 5 Tahun 1960 sangat baik. Ini karena UUPA memberikan amanat agar hak-hak dasar rakyat, terutama para petani gurem dan petani penggarap tanah, bisa mendapatkan pembagian kekayaan nasional secara adil dan merata.

Semangat UUPA yang ingin segera mengakhiri ketimpangan hak atas kepemilikan tanah itu sebenarnya juga bentuk dari cita-cita perjuangan bangsa Indonesia yang ingin memerdekakan diri dari belenggu penjajahan.

Ini karena hakikat perjuangan kemerdekaan dari penjajah adalah perlawanan terhadap penguasaan lahan oleh para pemilik modal asing atas sumber-sumber pokok agraria di Indonesia.

Selain itu, UUPA juga cermin perlawanan rakyat terhadap kebijakan kerja rodi atau penggunaan tenaga rakyat secara murah untuk produksi berbagai komoditas ekspor, yang membuat rakyat Indonesia tertindas di tanahnya sendiri.

Karena itu, tak salah jika Pembaruan Agraria dimaknai sebagai paham kebangsaan. Spiritnya melaksanakan sila kelima Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, serta menegakkan UUD 1945.

Prasyarat Pokok

Sebagai ide dan gagasan, pembaruan agraria sebagai paham kebangsaan tidak akan dapat tercapai tanpa peran serta semua pihak, terutama komitmen dan kemauan politik yang kuat dari pemerintah. Bahkan komitmen dan kemauan politik ini adalah prasyarat utama dan pertama agar pembaruan agraria yang dicita-citakan para pendiri bangsa ini dapat tercipta.

Prasyarat kedua adalah para elite politik dan pejabat birokrasi dalam pemerintah jangan melibatkan diri dalam bisnis ekonomi kapital. Kalau demikian, tanah yang seharusnya tidak menjadi barang dagangan bisa dijadikan komoditas. Akibatnya, konsentrasi penguasaan tanah akan kembali tersentralkan dalam kekuasaan modal yang didukung kekuasaan elite politik.

Ketiga, adanya organisasi-organisasi rakyat, khususnya serikat petani yang kuat dan berperan secara aktif untuk mengawal pelaksanaan pembaruan agraria. Tanpa keterlibatan organisasi petani, gagasan pelaksanaan pembaruan agraria sangat berpotensi menyimpang dan disimpangkan.

Keempat, tanpa data yang lengkap dan akurat, pembaruan agraria bisa salah sasaran. Data ini penting untuk menentukan objek dan subjek dari pelaksanaan pembaruan agraria.

Sebagai paham kebangsaan, gagasan pembaruan agraria rupanya harus kembali didengungkan untuk mengingatkan pemerintah. Pembantaian kaum tani dalam konflik agraria di Lampung dan Sumatera Selatan adalah bukti nyata bahwa Pancasila dan UUD 1945 belum dijalankan secara baik dan benar, malah diselewengkan.

Ini karena memberikan pembelaan terhadap petani atas hak kepemilikan tanah, dan melindungi tanah-tanah petani adalah amanat konstitusi dan undang-undang.

Jangan terulang kasus kekerasan seperti di Mesuji. Akhiri pembantaian kaum tani yang berjuang untuk hak atas kepemilikan tanah, jangan ada lagi perampasan tanah secara sewenang-wenang oleh siapa pun.

*Penulis adalah Ketua Dewan Pemimpin Nasional REPDEM Bidang Penggalangan Tani, dan aktivis Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Sumber:

http://www.sinarharapan.co.id/content/read/pembaruan-agraria-paham-kebangsaan-yang-terlupakan/

Jatim Peringkat Pertama Kasus Tanah

Jumat, 23 Desember 2011 | 22:54 WIB

BLITAR | SURYA Online - Jawa Timur menduduki tingkat pertama, untuk konflik tanah yang terjadi selama tahun 2011. Di Indonesia, selama tahun 2011 telah terjadi 160 kasus tanah. Sebanyak 36 kasus diantaranya, terjadi di Jawa Timur.

“Di Jatim ini kasus yang terjadi dengan perkebunan. Kalau masalah yang lain seperti pertambangan, infrastruktur, itu lebih banyak di luar Jatim,” kata Staf Deputi Riset dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sidik Suhada saat berkunjung di Blitar, Jumat (23/12/2011).

Sidik mengatakan, fenomena konflik tanah ini dari tahun ke tahun semakin meningkat. Jumlah yang ada saat ini 160 kasus, lebih banyak daripada 2010 yang hanya 106 kasus. Di Jatim ini menduduki peringkat pertama, menyusul Sumatera Utara dengan 25 kasus lalu Sulawesi Tenggara dengan 15 kasus.

Menurut dia, fenomena ini harusnya menjadi perhatian tersendiri. Konflik itu muncul karena adanya ketimpangan penguasaan antara pemilik lahan dengan petani, hingga melahirkan kemiskinan.

Data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN), 56 persen wilayah di Indonesia itu ternyata dimiliki hanya 0,2 persen warga Indonesia. Padahal, jumlah warga, terutama petani lebih banyak daripada mereka yang mempunyai uang. Selain itu, 7,1 hektare lahan ternyata ditelantarkan oleh perusahaan.

“Ini yang kemudian muncul adanya ketimpangan. Selama ini, tidak ada kebijakan politik secara serius sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,” katanya menegaskan.

Pihaknya memberikan apresiasi kepada para petani di Kecamatan Doko, Kabupaten Blitar, yang saat ini sudah mendapatkan haknya, mengelola lahan perkebunan sesuai dengan program redistribusi tanah. Konflik tanah antara PT Perkebunan Cengkeh Branggah Banaran dengan masyarakat desa sudah cukup lama, 1998-2001. Luas lahan 539,70 hektare itu diminta warga untuk dikelola.

Ia mengatakan, masyarakat saat ini sudah mendapatkan haknya, dengan menggarap lahan. Rata-rata mereka menerima antara 1-1,5 hektare lahan yang ditanami berbagai macam tanaman. Misalnya, untuk daerah di jurang, warga menanam bambu dengan kualitas ekspor, sementara di lahan yang lebih atas ditanami sayur mayur.

Pihaknya juga terus melakukan pendampingan untuk memproses penataan hasil pertanian. Dengan itu, para petani bisa menjadi lebih sejahtera. “Kami terus dampingi mereka,” kata Sidik yang menjadi dosen di salah satu universitas swasta di Kota Malang ini.

Sumber: http://www.surya.co.id/2011/12/23/jatim-peringkat-pertama-kasus-tanah

Kamis, 01 Desember 2011

Antara Freeport dan Bencana Kelaparan di Papua

Penulis : Sidik Suhada*

Mengenaskan, ketika membaca headline Sinar Harapan, Rabu (23/11), yang berjudul, “Ribuan Warga Papua Kelaparan”. Ini karena kita semua tahu.

Sebagai daerah penghasil tambang emas, tanah Papua mampu mendulang keuntungan US$ 19 juta atau sekitar Rp 114 miliar per hari untuk PT Freeport Indonesia, perusahaan asing milik Amerika Serikat (AS) yang sudah beroperasi selama 44 tahun di Papua.

Sejak 1967, PT Freeport Indonesia (FI) beroperasi dan mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) di tanah Papua. Lebih dari 2,6 juta hektare lahan sudah dieksploitasi, termasuk 119.435 hektare kawasan hutan lindung dan 1,7 juta hektare kawasan hutan konservasi. Hak tanah masyarakat adat pun ikut digusur.

Dari hasil eksploitasi itu, setiap hari, rata-rata perusahaan raksasa dan penyumbang terbesar industri emas di AS itu mampu meraih keuntungan Rp 114 miliar per hari. Jika keuntungan tersebut dikalikan 30 hari, keuntungan PT FI mencapai US$ 589 juta atau sekitar Rp 3,534 triliun per bulan. Tinggal dikalikan dalam 12 bulan, keuntungan PT FI mencapai Rp 70 triliun per tahun.

Kontribusi

Berdasarkan laporan kontrak karya antara pemerintah Indonesia dengan PT FI yang berlaku sejak Desember 1991 hingga sekarang, kontribusi perusahaan tambang itu ke pemerintah Indonesia ternyata hanya sekitar US$ 12 miliar per tahun.

Namun, awal November lalu, sebelum ada pemogokan karyawan menuntut kenaikan upah, PT FI mengaku telah menyetorkan royalti, dividen, dan pajak senilai Rp 19 triliun kepada pemerintah Indonesia atau naik Rp 1 triliun jika dibanding 2010 yang hanya Rp 18 triliun.

Berbagai kalangan menilai, kontribusi sebesar itu tentu tidak sebanding dengan hasil eksploitasi yang diperoleh PT FI. Ini karena berdasarkan hasil laporan keuangan PT FI tahun 2010, perusahaan tambang tersebut mampu menjual 1,2 miliar pon tembaga dengan harga rata-rata US$ 3,69 per pon.

Selain itu, pada 2010 PT FI juga sudah menjual 1,8 juta ons emas dengan harga rata-rata US$ 1.271 per ons, sehingga jika dihitung rata-rata dengan kurs Rp 9.000, total hasil penjualan PT FI mencapai sekitar Rp 60,01 triliun. Karena itu, berbagai kalangan mendesak pemerintah Indonesia mengkaji ulang kontrak karya tersebut.

Kerugian

Secara umum, pemerintah Indonesia tidak hanya dirugikan dalam keuntungan materi saja. Eksploitasi tambang yang dilakukan PT FI juga telah merusak lingkungan.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat, sedikitnya 291.000 ton limbah pertambangan Freeport dibuang ke sungai setiap hari. Jumlah itu menjadi lebih banyak 44 kali lipat dari sampah harian yang ada di Jakarta.

Sementara kawasan yang dijadikan tempat membuang limbah Freeport mencapai 230 kilometer persegi, atau 27 kali lebih luas dibandingkan danau lumpur panas PT Lapindo Brantas yang menenggelamkan sebagian wilayah Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Akibatnya, sumur-sumur milik warga di Papua saat ini menjadi tercemar merkuri.

Bahkan bisa jadi, jika tidak boleh dipastikan, derita ribuan warga Papua yang kelaparan seperti yang diberitakan SH Rabu kemarin, salah satu penyebabnya adalah PT FI.

Ini karena tak dapat dipungkiri, kerusakan alam yang diakibatkan eksploitasi tambang itu tentu dapat memperparah kondisi alam pertanian masyarakat Papua di saat cuaca buruk. Bencana kelaparan dan gizi buruk atau busung lapar pun melanda para balita yang ada di tanah Papua.

Jika hal ini dibiarkan dan pemerintah tidak cepat tanggap dalam merespons derita kelaparan masyarakat Papua, tidak menutup kemungkinan keutuhan NKRI akan semakin terancam. Ini karena sejak kehadiran PT FI, masyarakat Papua merasa tidak mendapat perlindungan yang baik dari pemerintah Indonesia.

Apalagi eksploitasi alam yang dilakukan PT FI selama ini dirasa tidak menguntungkan masyarakat adat setempat. Sejak kehadiran dan kedatangan perusahaan tambang asal AS itu, kemerdekaan masyarakat adat Papua terancam.

Bahkan sebagian merasa kemerdekaannya sudah dirampas. Ini karena banyak tanah adat atau tanah ulayat yang selama ini menjadi sumber kehidupan masyarakat adat hilang dan berubah menjadi kawasan tambang yang tidak dapat dinikmati masyarakat.

Selain mengambil langkah cepat dan tepat untuk mengatasi bencana kelaparan di tanah Papua, pemerintah juga harus segera menata ulang kontrak karya dengan Freeport karena perusahaan itu telah merugikan rakyat Papua.

Hak atas kepemilikan tanah ulayat harus dikembalikan, dan struktur kepemilikan tanah yang telah melahirkan ketimpangan harus dirombak total, sebagaimana amanat UUPA No 50 Tahun 1960 dan Pasal 33 UUD 1945 yang asli.

Apalah artinya Freeport, apalah artinya eksploitasi SDA, jika tidak membawa perubahan ke arah yang lebih baik bagi kehidupan umat manusia. Tentu menjadi tidak ada artinya juga jika hanya merasa memiliki, namun tidak pernah dapat menikmatinya.

*Penulis adalah Ketua DPN Repdem Bidang Penggalangan Tani, dan Aktivis Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), tinggal di Jakarta.

sumber:
http://www.sinarharapan.co.id/content/read/antara-freeport-dan-bencana-kelaparan-di-papua/

Jumat, 14 Oktober 2011

Ada 15 Titik Konflik Agraria di Cilacap


Potensi konflik agraria di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah masih sangat tinggi. Hasis assessment KPA menunjukan, sedikitnya hingga saat ini ada 15 titik konflik agraria yang tersebar dibeberapa kecamatan.

Konflik agraria ini, umumnya sudah berlangsung cukup lama. Namun, belum dapat terselesaikan hingga saat ini. Di Kecamatan Cimanggu dan Wanareja misalnya, konflik agraria antara masyarakat dengan PTPN IX, sudah berlangsung sejak tahun 1930 dan belum selesai hingga saat ini.

Total luas lahan yang disengketakan antara masyarakat dengan PTPN IX mencapai lebih dari 1.578 hektar. Konflik ini melibatkan lebih dari 751 keluarga petani.

Selain dengan PTPN IX, konflik agraria di kabupaten terluas di Jawa Tengah ini juga terjadi antara masyarakat dengan pihak perhutani. Berdasarkan hasil assessment itu, sedikitnya ditemukan enam kasus sengketa lahan antara masyarakat dengan pihak perhutani. Enam kasus itu tersebar di lima kecamatan yakni, Kecamatan Gandrungmangu, Patimuan, Kampung Laut, Bantarsari, dan Kecamatan Cipari.

Total luas lahan yang disengketakan lebih dari 82.894 hektar. Sedang jumlah masyarakat yang menjadi korban mencapai 4.084 keluarga petani penggarap.

Selain konflik agraria antara masyarakat dengan pihak perkebunan milik pemerintah dan pihak perhutani assessment tersebut juga menemukan konflik agraria antara masyarakat dengan berbagai pihak perkebunan milik swasta dan pemerintah daerah tersebut.

Sedang konflik agraria antara masyarakat dengan pihak TNI dengan masyarakat, terjadi hampir disepanjang pesisir pantai selatan, mulai dari Kec. Cilacap Selatan sampai Kec. Nusawungu. Konflik agraria antara masyarakat dengan pihak TNI saat ini, memang belum begitu nampak dipermukaan. Namun, sewaktu-waktu dapat meledak (Ada “Bom Waktu” dalam Konflik Agraria di Kabupaten Cilacap).

Potensi itu nampak jelas terlihat. Sebab, dari 15 kasus konflik agraria di kabupaten yang akan melaksanakan pemilihan umum kepala daerah (pilukada) pada tahun 2012 itu, ternyata mampu mendorong semangat perlawanan petani untuk mengorganisir diri. Menyatukan gerak perjuangan dalam satu wadah organisasi perjuangan untuk mewujudkan cita – cita bersama yakni, memperoleh hak kepemilikan tanah sebagai sumber kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi petani.

Realita itu ada. Meskipun riak-riak perlawanan petani itu terus mengalami pasang surut. Tenggelam paska peristiwa tahun 1965, dan bangkit kembali di tahun 1980. Namun, tingginya tingkat represif di masa Orde Baru, perlawanan petani pun sempat tiarap beberapa saat. Lalu bangkit kembali di tahun 1988 hingga saat ini.

Bagi warga Kabupaten Cilacap yang mendengar pernyataan Kepala Kanwil BPN Provinsi Jawa Tengah, Doddy Imron Cholid (Kalau Ada Tanah Telantar, Ambil Saja untuk Rakyat) tentu sedikit tersenyum. Karena, pernyataan itu bisa menjadi setitik harapan. Namun, harapan itu kembali sirna saat mendengar pernyataan Ketua ORTAJA (Wahyudi: “Jangan Percaya Pak Doddy”) yang mengungkapkan pengalamannya di Kabupaten Batang dan Kendal.

Namun, satu hal pasti, tidak ada masalah tanpa penyelesaian selagi tetap berada dalam rel dan gerak perjuangan organisasi petani. Sabar dalam proses dan terus berbenah adalah kunci utama untuk mewujudkan mimpi serta cita-cita bersama■

Sumber:

http://kpa.or.id/berita-181-ada-15-titik-konflik-agraria-di-cilacap.html

Kamis, 04 Agustus 2011

Maraknya Konflik Agraria Hambat Investasi, Stabilitas Ekonomi, dan Politik Nasional

kabar-toraja.com - Tidak hanya menghambat investasi. Masih maraknya konflik tanah dan konflik agraria juga bisa mengganggu ketahanan nasional serta stabilitas ekonomi-politik nasional. Demikian disampaikan Staf Deputi Riset dan Kampanye KPA, Sidik Suhada, saat dihubungi kabar-toraja.com Jumat, (01/07/11).

Karena itu, pemerintah seharusnya dapat bekerja cepat dalam menangani setiap ada persoalan konflik agraria. “Selama ini, pemerintah bukan hanya lamban dalam merespon konflik. Namun, pemerintah tidak pernah dapat menyelesaikan konflik agraria yang ada di seluruh wilayah Indonesia ,” katanya.

Bedasarkan data KPA, selama tahun 2010 sedikitnya ada 106 konflik agraria yang melibatkan ribuan kepala keluarga (KK) petani penggarap dengan jumlah lahan ribuan hektar, dan hingga kini tidak ada satupun yang dapat diselesaikan oleh pemerintah. Januari-Juli 2011, KPA mencatat sudah ada 11 petani tewas, 59 orang petani luka-luka akibat konflik agraria.

Padahal, lanjut Sidik Suhada, penyelesaian konflik agraria ini sangat penting bukan hanya bagi petani atau pihak-pihak yang selama ini dijadikan korban dalam konflik agraria. Namun, penyelesaian konflik ini juga penting dalam kerangka untuk membangun stabilitas ekonomi nasional. ”Jika petani sejahtera, stabilitas ekonomi dan politik nasional bangsa pun dapat dibangun dengan baik,” kata mantan aktivis buruh dari Malang, Jawa Timur ini.

Namun, kata Sidik, penyelesaian konflik agraria itu harus bersifat menyeluruh dan jangka panjang. Ada kerangka umum penyelesaian konflik yang menghargai hak-hak petani dan para korban dari konflik agraria tersebut. Sehingga konflik agraria tidak semata-mata disesesaikan secara hukum semata. Melainkan, ditempatkan dalam kerangka untuk menyelesaikan sumber ketidakadilan yang selama ini dirasakan kaum mayoritas.

”Dalam kerangka untuk menyelesaikan konflik agraria tersebut, saya kira perlu ada lembaga penyelesaian konflik yang bersifat khusus. Karena, penyelesaian konflik agraria yang selama ini diserahkan ke BPN, terbutki tidak bisa berjalan efektif,” ungkapnya.

Selain faktor kewenangan BPN dan tidak adanya ide kreaktif dari internal BPN dalam membuat trobosan-trobosan dalam menangai konflik agraria, adanya tumpang-tindih regulasi hukum juga semakin menambah daftar panjang penyelesaian konflik.

Apalagi, kata Sidik, dalam konflik agraria selalu memiliki dimensi sosial yang sangat luas dan melibatkan banyak sektor kemerterian serta berbagai lembaga negara lainnya. Seperti, Menteri kehutanan, pertambangan, pertanian, dan lain-lain. Sehingga sering terjadi silang kepentingan antara pemaku lembaga tersebut.

Karena itulah, lembaga penyelesaian konflik agraria yang bersifat khusus semacam lembaga pengadilan Ad hoc sangat penting. Dalam lembaga terdiri dari organisasi-organisasi para korban konflik agraria, para pihak yang turut bersengketa, dan para mediator yang adil dan memahami persoalan agraria secara menyeluruh. Sehingga dapat menyelesaikan persoalan secara adil dalam kerangka untuk melaksanakan reforma agraria sebagaimana amanat UUPA No.5 tahun 1960.

Namun, lanjut Sidik, ”Tanpa ada keinginan yang kuat dari pemerintah untuk melaksanakan reforma agraria sejati, konfik-konflik tanah dan konflik agraria masih akan tetap terjadi,” tandasnya.

KTC01/KBC- M. Jokay

Sumber:

http://kabar-toraja.com/politik/humum/973-maraknya-konflik-agraria-hambat-investasi-stabilitas-ekonomi-dan-politik-nasional-

RUU Pengadaan Tanah Rawan Konflik

kedaiberita.com - Melihat fakta yang ada di lapangan, saat ini masih banyak tanah-tanah rakyat yang tidak dilindungi dokumen hukum. Seperti sertifikat hak kepemilikan tanah. Berdasarkan data dari BPN-RI tahun 2008 yang diperoleh KPA, tanah rakyat yang bersetifikat baru ada sekitar 39 juta bidang dari 85 juta bidang tanah yang dimiliki masyarakat.

Menurut Aktifis KPA Sidik Suhada, data itu belum termasuk tanah-tanah yang berada di kawasan hutan yang selama ini dikelola masyarakat sebagai sumber kehidupan dan tanah ulayat milik masyarakat adat. Artinya ada sekitar 60 % tanah masyarakat yang kini tidak dilindungi dokumen hukum.

“Selama ini, ganti rugi hanya dapat dilakukan apabila masyarakat dapat menunjukan alat bukti kepemilikan tanah yang berupa sertifikat. Lalu bagaimana nasib masyarakat adat yang selama ini mengelola tanah tapi tidak memiliki sertifikat hak kepemilikan tanah? Inikan bisa melahirkan konflik,” terang Sidik kepada kedaiberita.com usai rapat Koalisi Rakyat Anti Perampasan Tanah (Karam Tanah) di daerah Pancoran, Jakarta Selatan, Jumat (10/06/11) sore.

Karena itu, Ketua Bidang Penggalangan Tani Dewan Pimpinan Nasional Relawan Demokrasi (DPN-Repdem) ini mengatakan, apabila RUU Pengadaan tanah ini disahkan tentu akan melahirkan banyak konflik agraria.

“Berdasarkan catatan KPA, pada tahun 2010 saja ada 106 konflik agraria, 3 orang petani mati, 4 orang tertembak, 8 orang mengalami luka-luka, dan sekitar 80 orang petani yang dipenjarakan dalam konflik agraria ini. Sementara pada tahun 2011 ini, sudah ada 11 orang petani tewas, dan 14 orang petani mengalami luka-luka akhibat konflik agraria,” jelas Sidik.

Sebelumnya mantan aktifis buruh Malang, Jawa Timur ini mengatakan, Rancangan Undang-Undang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan tidak hanya berpotensi melahirkan konflik agraria. Namun, juga dapat mengancam ketahaan pangan nasional. Demikian yang dikatakan aktifis Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sidik Suhada kepada kedaiberita.com, Jumat (10/06/11).

“Saya kira RUU Pengadaan Tanah yang saat ini sedang digodog di DPR harus dihentikan. Karena, selain berpotensi melahirkan konflik agraria juga dapat mengancam katahaan pangan nasional,” kata Sidik

Sumber: http://www.kedaiberita.com/Politik/sidik-ruu-pengadaan-tanah-rawan-konflik.html

RUU Pengadaan Tanah Ancam Ketahanan Pangan Nasional

kedaiberita.com - Rancangan Undang-Undang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan tidak hanya berpotensi melahirkan konflik agraria. Namun, juga dapat mengancam ketahaan pangan nasional. Demikian yang dikatakan aktifis Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sidik Suhada kepada kedaiberita.com, Jumat (10/06/11).

“Saya kira RUU Pengadaan Tanah yang saat ini sedang digodog di DPR harus dihentikan. Karena, selain berpotensi melahirkan konflik agraria juga dapat mengancam katahaan pangan nasional,” kata Sidik usai mengikuti rapat Koalisi Rakyat Anti Perampasan Tanah (Karam Tanah) di daerah Pancoran, Jakarta Selatan, Jumat (10/06/11) sore.

Menurut lelaki lajang ini, RUU Pengadaan Tanah saat ini hanya dihajatkan untuk membantu pengusaha dan kepentingan investor agar bisa mendapatkan lahan secara mudah, cepat, dan murah. Hal ini, juga memberikan ruang percepatan alih fungsi lahan atau konversi lahan pertanian menjadi non pertanian.

”Diakui atau tidak, salah satu penyebab konversi lahan itu adalah adanya proyek-proyek pembangunan infrastruktur seperti pembangunan jalan tol,” terang Sidik Suhada yang juga Ketua Bidang Penggalangan Tani Dewan Pimpinan Nasional Relawan Demokrasi (DPN-Repdem).

Lebih jauh mantan aktifis buruh Malang, Jawa Timur ini melihat kedepannya konversi pengadaan tanah akan berdampak buruk pada sektor pertanian, karema sawah-sawah petani akan tergusur.

“Konversi ini bisa berlanjut hingga kelipatan angka 10 hingga 20 kali dari angka 4.500 hektar lahan yang dibutuhkan untuk jalan tol. Karena, sisi kiri dan kanan jalan tol yang merupakan lahan persawahan itu pasti akan ikut tergusur. Sehingga, dapat dipastikan lahan persawahan menyusut drastis karena proyek infrastruktur tersebut,” papar mantan jurnalis televisi nasional ini.

Sidik menilai, berdasarkan Angka Ramalan Badan Pusat Statistik (BPS), konversi lahan pertanian di Jawa saja saat ini sudah mencapai 27 ribu hektare.

“Namun, saya yakin angka itu bisa lebih. Karena, berdasarkan perkiraan Badan Pertanahan Nasional (BPN), konversi lahan rata-rata mencapai 100 ribu hektar per tahun,” ujar mantan aktivis buruh dari Malang-Jawa Timur ini.

Namun, Sidik Suhada mengakui bahwa, menurunya produksi pangan nasional tersebut bukan semata-mata diakhibatkan oleh konversi lahan pertanian. Melainkan ada faktor utama penyebab menurunnya hasil produksi pangan nasional. Yaitu, minimnya akses kepemilikan lahan petani.

Hasil studi KPA menunjukan bahwa saat ini rata-rata petani di pulau Jawa hanya memiliki lahan kurang dari 0,3 hektar. Dengan lahan seluas itu, tentu saja mereka tidak dapat memproduksi pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

”Bahkan tidak sedikit jumlahnya, petani miskin ini akhirnya berubah status menjadi buruh tani. Karena, lahannya digusur untuk pembangunan infrastruktur jalan tol,” paparnya kepada kedaiberita.com.

Sumber: http://www.kedaiberita.com/Politik/ruu-pengadaan-tanah-ancam-ketahanan-pangan-nasional.html

Jatim Masuk Dalam Daerah Tertinggi Rawan Sengketa Tanah

Malang - Provinsi Jawa Timur, adalah daerah yang memiliki kerawanan tertinggi dalam masalah sengketa tanah dibanding 10 daerah lainnya yang ada di Indonesia, kata Bagian Riset dan Kampanye Konsorisum Pembaruan Agraria, Sidik Suhada, Selasa di Malang.

Sidik mengatakan, selain Jatim sejumlah daerah yang mempunyai kerawanan tertinggi dalam masalah sengketa tanah, adalah Jawa Tengah, Bengkulu, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Utara, Riau serta Provinsi Banten.

"Dari 10 provinsi di Indonesia, Jawa Timur adalah yang tertinggi dalam masalah sengketa lahan tahun 2010, dan kondisi ini tak jauh beda dengan tahun sebelumnya," ujar Sidik disela workshop Perumusan Konsep, Strategi dan Model Pembaruan Mengatas Kemiskinan di Wilayah Jawa Bagian Timur di Universitas Brawijaya.

Banyaknya konflik tersebut, diakibatkan belum adanya pihak yang mendampingi serta belum ada kelompok kerja (pokja) dari dinas terkait yang menangani.

Berdasarkan riset yang dilakukan Sidik, sejak Januari hingga Desember 2010 telah terjadi 11 kasus sengketa lahan di Jawa Timur.

Konflik tersebut terjadi antara petani dengan perkebunan, pengembang proyek, perumahan, TNI serta fasilitas umum.

Sedangkan khusus Jatim, daerah tertinggi yang mengalami sengekta tanah berada di Malang, Blitar, Pasuruan, Kediri dan Jombang.

Sementara itu, aparat yang biasanya berada dalam konflik sengketa tanah adalah kepolisian, yang menempati rangking pertama, disusul perkebunan, perusahaan swasta dan TNI.

"Data tahun 2009, dari 87 kasus sengketa lahan di Indonesia, melibatkan sebanyak 7.585 jiwa dengan luas lahan sengketa sekitar 13,3 hektare, dan hingga saat ini, 90 persennya belum tuntas," katanya

Untuk itu, dalam menyelesaikan masalah ini, perlu membentuk pokja tersendiri dan melalui pokja itu bisa melibat elemen masyarakat serta dinas terkait guna membangun konsulidasi lintas sektoral.

Sumber: http://www.antarajatim.com/lihat/berita/51227/jatim-masuk-dalam-daerah-tertinggi-rawan-sengketa-tanah

Konflik Tanah di Jatim Capai Ratusan Kasus


KEDIRI--MICOM: Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat konflik tanah antara warga dan lembaga publik di Jawa Timur semakin tinggi tiap tahunnya dan mencapai 164 kasus yang tersebar di 31 kabupaten/kota.

"Data yang kami catat itu adalah konflik masyarakat dengan pihak perkebunan, kehutanan, hingga institusi TNI/Polri. Jumlahnya hingga 2011 ini cukup besar, mencapai 164 kasus," kata Staf Deputi Riset dan Kampanye KPA, Sidik Suhada di Kediri, Kamis (7/7).

Ia mengatakan, tingginya penyebab konflik ini karena pemerintah belum melaksanakan land reform, sehingga melahirkan ketimpangan di antara masyarakat dengan institusi itu. Ia menyebut, berdasarkan data di Badan Pertanahan Nasional (BPN) terdapat lahan yang luasnya mencapai 7,3 hektare saat ini kondisinya ditelantarkan.

Tanah-tanah itu awalnya banyak dikuasai institusi-institusi tersebut, hingga membuat masyarakat merasa tidak adil. Mereka merasakan adanya ketimpangan, hingga membuat mereka nekat untuk merebut tanah yang dinilai sengaja ditelantarkan itu.

"Masyarakat mencoba memanfaatkan tanah-tanah yang ditelantarkan itu untuk dikelola, hingga muncullah konflik-konflik tersebut," katanya mengungkapkan.

Ia mengatakan, munculnya berbagai masalah antara masyarakat luas dengan institusi itu karena tidak adanya reforma agraria. Padahal, reforma agraria itu adalah amanat yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Tetapi, hingga kini pemerintah juga belum bisa menjalankan amanat itu.

Pihaknya mengatakan, harusnya pemerintah membuat lembaga khusus untuk menangani konflik agraria ini. Lembaga itu nantinya dibuat untuk menyelesaikan konflik antara masyarakat yang diwakili serikat petani dengan pemerintah yang dilakukan secara nasional.

"Harusnya, pemerintah segera buat lembaga khusus untuk menangani konflik ini, semacam pengadilan Ad Hoc, yang didalamnya ada serikat petani, ada perwakilan dari pemerintah, duduk bersama menyelesaikan konflik ini secara nasional," katanya. (Ant/OL-04)

Sumber: http://www.mediaindonesia.com/read/2011/07/07/240232/289/101/Konflik_Tanah_di_Jatim_Capai_Ratusan_Kasus

KPA Catat Konflik Tanah di Jatim Capai 164 Kasus

Kediri - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat koflik tanah antara warga dengan lembaga publik di Jawa Timur semakin tinggi tiap tahunnya, mencapai 164 kasus yang tersebar di 31 kabupaten/kota.

"Data yang kami catat itu adalah konflik antara masyarakat dengan pihak perkebunan, kehutanan, hingga insitutis TNI/polri. Jumlahnya hingga 2011 ini cukup besar, mencapai 164 kasus," kata Staf Deputi Riset dan Kampanye KPA, Sidik Suhada di Kediri, Kamis.

Ia mengatakan, tingginya penyebab konflik ini karena pemerintah belum melaksanakan "land reform", sehingga melahirkan ketimpangan di antara masyarakat dengan institusi itu.

Ia menyebut, berdasarkan data di BPN terdapat lahan yang luasnya mencapai 7,3 hektare saat ini kondisinya ditelantarkan. Tanah-tanah itu awalnya banyak dikuasai institusi-institusi tersebut, hingga membuat masyarakat merasa tidak adil. Mereka merasakan adanya ketimpangan, hingga membuat mereka nekat untuk merebut tanah yang dinilai sengaja ditelantarkan itu.

"Masyarakat mencoba memanfaatkan tanah-tanah yang ditelantarkan itu untuk dikelola, hingga muncullah konflik-konflik tersebut," katanya mengungkapkan.

Ia mengatakan, munculnya berbagai masalah antara masyarakat luas dengan institusi itu karena tidak adanya reforma agraria. Padahal, reforma agraria itu adalah amanat yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Tetapi, hingga kini pemerintah juga belum bisa menjalankan amanat itu.

Pihaknya mengatakan, harusnya pemerintah membuat lembaga khusus untuk menangani konflik agraria ini. Lembaga itu nantinya dibuat untuk menyelesaikan konflik antara masyarakat yang diwakili serikat petani dengan pemerintah yang dilakukan secara nasional.

"Harusnya, pemerintah segera buat lembaga khusus untuk menangani konflik ini, semacam pengadilan Ad Hoc, yang didalamnya ada serikat petani, ada perwakilan dari pemerintah, duduk bersama menyelesaikan konflik ini secara nasional," katanya mengungkapkan.

Ia yakin, dengan adanya lembaga itu akan memudahkan penyelesaian konflik antara masyarakat dengan insitusi yang terkait. Masyarakat juga akan lebih sejahtera, karena mereka tidak harus hidup di bawah tekanan konflik.

KPA, kata dia, saat ini juga sedang gencar melakukan pendampingan tentang reforma agraria. Pihaknya berharap, masyarakat juga berperan aktif untuk ikut merumuskan model-model pelaksanaan reforma agraria, yang ke depan diharapkan bisa menjadikan masyarakat terutama di daerah konflik tidak lagi terbebani dengan konflik yang terus menerus.

Sumber: http://www.antarajatim.com/lihat/berita/66193/kpa-catat-konflik-tanah-di-jatim-capai-164-kasus

Jatim KLB Konflik Tanah

Jombang (beritajatim.com) - Konflik tanah di Jatim cukup tinggi. Betapa tidak, berdasarkan catatan KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria), mulai Januari hingga Juni 2011, terdapat 164 kasus yang tersebar di 30 Kabupaten/Kota. Tidak heran jika Jatim menyandang status KLB (Kondisi Luar Biasa) dalam kasus tersebut.

Penegasan itu dilontarkan oleh Staf Deputi Riset dan Kampanye KPA, Sidik Suhada, usai menghadiri dialog publik 'Mengupas RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan dan Sarana Umum' di aula Universitas Darul Ulum (Undar) Jombang, Senin (25/7/2011).

Sidik merinci, dari 164 kasus tersebut, 112 kasus diantaranya merupakan konflik antara masyarakat dengan pihak perkebunan. Sedangkan sisanya adalah antara masyarakat dengan TNI, pemerintah, serta kehutanan. "Ini jumlah yang cukup tinggi dibanding dengan daerah lain. Jatim masuk dalam KLB konflik tanah," kata Sidik menjelaskan.

Apa pemicu tingginya konflik tanah itu? Mantan jurnalis televisi ini mengungkapkan, munculnya masalah antara masyarakat dengan berbagai institusi tersebut karena belum dilaksanakannya amanat yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Ia kemudian menyebut, berdasarkan data yang ada di BPN (Badan Pertanahan Nasional), terdapat 7,3 juta hektare lahan yang kondisinya ditelantarkan. Awalnya, tanah-tanah itu banyak dikuasai institusi-institusi. Dampaknya, kondisi itu membuat masyarakat merasa tidak adil. Karena rasa ketidakadilan itu memicu masyarakat berbuat nekat untuk merebut tanah yang sengaja ditelantarkan itu. "Jika UU Pokok Agraria dilaksanakan, konflik tersebut bisa diminimalisir," tambahnya.

Sidik juga berpendapat, sudah selayaknya pemerintah membuat lembaga khusus untuk menangani konflik agraria. Nah, lewat lembaga itulah seluruh konflik agraria diselesaikan. Lembaga itu, kata Sidik, semacam pengadilan Ad Hoc, didalamnya terdapat serikat petani dan juga perwakilan dari pemerintah. Selanjutnya, mereka duduk bersama menyelesaikan konflik tersebut secara nasional.

"Jadi, dengan dilaksanakannya UU No 50 Tahun 1960 tentang agraria dan juga dibentuknya lembaga tersebut, hal itu bisa memudahkan penyelesaian konflik tanah antara masyarakat dengan insitusi yang terkait," pungkas Sidik. [suf/but]

Sumber: http://beritajatim.com/detailnews.php/4/Hukum_&_Kriminal/2011-07-25/107119/Jatim_KLB_Konflik_Tanah

Jawa Timur Kawasan Endemik dan KLB Konflik Agraria

kedaiberita.com - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menetapkan provinsi Jawa Timur sebagai salah satu daerah endemik konflik agraria di Indonesia. Sehingga perlu ditetapkan sebagai daerah kawasan KLB (Kejadian Luar Biasa) konflik agraria. Demikian kata, Staf Deputi Riset dan Kampanye KPA, Sidik Suhada saat dikonfirmasi kedaiberita.com, Sabtu, (09/07/11).

Berdasarkan data KPA, Sidik mengatakan bahwa konflik agraria di Jawa Timur mencapai 164 kasus yang tersebar di 259 desa, 136 kecamatan, dan 31 Kabupaten/Kota yang ada di Jawa Timur. Jumlah korban dalam konflik itu mencapai sekitar 363.402 Kepala Keluarga (KK) atau sekitar 1.609.871 jiwa.

Sebanyak 112 kasus terjadi antara petani penggarap dengan pihak perkebunan. Baik perkebunan swasta maupun perkebunan milik pemerintah. Sekitar 25 kasus terjadi antara masyarakat dengan institusi militer seperti, TNI-AD sebanyak 7 kasus, 12 kasus dengan TNI-AL , dan 6 kasus dengan TNI-AU.

Sedang konflik agrarian yang melibatkan pihak kehutanan sebanyak 27 kasus. “Semua konflik agraria itu belum ada yang diselesaikan oleh pemerintah,” ungkapnya.

Menurut Sidik, penyebab utama konflik agraria itu terjadi karena pemerintah tidak bersedia melaksanakan reforma agraria. Sehingga terjadilah ketimpangan kepemilikan lahan. “Ada banyak masyarakat yang tidak punya tanah sama sekali, sementara di sisi lain, ada segelintir orang yang menguasai tanah begitu luas,” kata pemuda asal Cilacap, Jawa Tengah itu.

Ia menyebut, berdasarkan data di Badan Pertanahan Nasional (BPN) ada sekitar 7,3 juta hektar tanah yang saat ini ditelantarkan oleh pihak-pihak yang menguasai banyak tanah itu. “Menurut data BPN, rata-rata tanah yang ditelantarkan itu dikuasai pihak perusahaan perkebuan swasta,” lanjutnya.

Melihat ada tanah yang ditelantarkan seperti itu, kata Sidik, tentu masyarakat atau petani penggarap yang tidak memiliki lahan berusaha untuk memanfaatkannya. Namun, saat para petani mencoba mengolah tanah telantar itu menjadi lahan pertanian produktif, masyarakat digusur. Sehingga konflik agraria pun terjadi dan masyarakat yang tidak punya tanah menuntut keadilan.

“Salah satu tujuan utama dari reforma agraria itu adalah untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan social bagi masyarakat. Karena itu, penting reforma agrarian dijalankan sebagai pondasi awal untuk menata keadilan dan kesejahteraan sosial,” tegasnya.

Selain melaksanakan reforma agraria sebagai solusi untuk menghentikan konflik agrarian, seharusnya pemerintah segera membuat lembaga khusus penyelesaian konflik agrarian. Lembaga ini bersifat adhoc dan bekerja dalam batas waktu tertentu. Tugas utamanya menyelesaikan konflik agrarian, baik yang terjadi masa lalu yang hingga kini belum dapat diselesaikan, maupun menyelesaikan kasus-kasus konflik agrarian yang baru.

Agar memiliki kekuatan, lembaga ini dibentuk melalui keputusan presiden. Sedang untuk mengantisipasi konflik agraria di masa mendatang, pemerintah perlu segera membuat regulasi mengenai peradilan agraria.

Selain itu, pengkajian ulang berbagai peraturan pemerintah yang terkait dengan persoalan agraria dan sumber-sumber agraria lain juga perlu segera dilakukan. Pasalnya, realitas kebijakan yang ada hari ini, banyak yang tumpang tindih, tidak sinkron, dan selalu mengedepankan ego sektoral masing-masing pemaku lembaga pemerintah. Misalnya, kebijakan yang ada dalam departemen kehutanan selalu berbenturan dengan pihak BPN. Berbenturan juga dengan kebijakan Kementerian Sumber Daya Alam, dan sebagianya.

“Kebijakan seperti itu tentu akan menambah persoalan agrarian. Karena, tidak ada kejelasan arah dan siapa yang harus bertangunggjawab terhadap pengelolaan agraria dan SDA,” tandasnya.

Sumber:
http://kedaiberita.com/Politik/jawa-timur-kawasan-endemik-dan-klb-konflik-agraria.html

Selasa, 21 Juni 2011

Derita TKW dan Pembaruan Agraria

Oleh: Sidik Suhada*


Duka tenaga kerja wanita seakan tak pernah sirna. Hampir setiap hari berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik, mengabarkan kisah sedih kehidupan para pembatu rumah tangga (PRT) asal Indonesia di luar negeri. Kabar terbaru, Ruyati binti Sapubi dieksekusi mati, Sabtu 18 Juni 2011.


Kabar buruk dari para TKW di Arab Saudi seperti itu, sebenarnya bukan baru sekali terjadi. Berdasarkan catatan Migrant CARE yang dirilis ke berbagai media, sedikitnya saat ini ada 23 orang TKW asal Indonesia yang sedang diancam hukuman mati di Arab Saudi.


Hingga pertengahan 2011 ini, sedikitnya ada 27 orang yang telah dieksekusi di negara penghasil minyak itu. Sementara pada 2010, sedikitnya ada 15 orang telah dieksekusi mati. Jumlah itu memang lebih rendah dari 2009 yang mencampai 67 orang, dan pada tahun 2008 ada 102 orang dieksekusi mati.


Kabar buruk yang menimpa Ruyati binti Sapubi sangat ironis karena terjadi hanya selang beberapa hari setelah Presiden SBY berpidato di sidang ILO ke-100 (14 Juni 2011). Dalam pidatonya, Presiden menyerukan perlindungan terhadap tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Inilah salah satu bentuk kegagalan pemerintah Indonesia.


Bukan Pilihan

Menjadi TKW sebenarnya bukanlah pilihan bagi mereka. Namun, kemiskinan dan kesulitan hiduplah yang memaksa mereka meninggalkan kampung halamannya.


Semua itu tentu tidak dapat dilepaskan dari kegagalan pemerintah yang tidak dapat membuka dan menciptakan lapangan kerja di negeri sendiri. Pemerintah tidak mampu membuat dan merumuskan kebijakan-kebijakan yang bersifat konkret untuk mengatasi kemiskinan. Dengan begitu, sebagian warga Indonesia terpaksa pergi ke luar negeri untuk sekadar mencari pekerjaan dan penghidupan.


Meskipun bukan pilihan, potensi keterpaksaan sebagian warga Indonesia untuk menjadi TKW tetap masih sangat besar. Apalagi jika melihat angka pengangguran dan jumlah angkatan kerja dari BPS, pada Februari 2011 mencapai 119,4 juta orang. Angka ini lebih besar sekitar 2,9 juta orang dibanding angkatan kerja di bulan Agustus 2010 yang mencapai 116,5 juta orang atau bertambah 3,4 juta.


Sementara itu, tingkat penganggur terbuka (TPT) di Indonesia pada Februari 2011, menurut data BPS ada sekitar 6,80 persen. Sebanyak 60,5 persen pemuda usia 16 tahun hingga 20 tahun di seluruh provinsi di Indonesia tidak memiliki pekerjaan tetap, atau penganggur pada 2010.


Selain tingginya jumlah angkatan kerja dan jumlah penganggur di usia produktif, angka kemiskinan juga masih tergolong tinggi. Menurut BPS, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada 2010 masih mencapai 31,02 juta. Sekitar 14,3 persen orang miskin di Indonesia rata-rata berprofesi sebagai petani dan lebih dari 85 persen petani tidak punya lahan alias buruh tani.

Karena jebakan kemiskinan dan pengangguran inilah migrasi ke luar negeri tetap akan menjadi pilihan bagi sebagian orang. Sekalipun pilihan itu sebenarnya diambil atas dasar keterpaksaan. Karena, tidak ada pilihan yang dapat dipilih jika tetap bertahan di dalam negeri.


Solusi Pembaruan Agraria

Sebagai negara agraris yang dikaruniai tanah yang luas dan subur, Indonesia sebenarnya dapat mengatasi kemiskinan dan pengangguran tanpa harus mengekspor tenaga kerja ke luar negeri. Dengan catatan, pemerintah bersedia melaksanakan pembaruan agraria.


Tujuan utama pembaruan agraria itu sebenarnya untuk menata struktur kepemilikan tanah agar tidak ada ketimpangan kepemilikan tanah dan sumber-sumber agraria lainnya. Karena salah satu penyebab utama dari kemiskinan dan maraknya pengangguran itu tidak lepas dari adanya ketimpangan agraria. Banyak masyarakat yang tidak memiliki tanah, sementara ada sedikit orang yang menguasai tanah dengan jumlah yang sangat luas.


Data Badan Pertanahan Nasional (BPN) menunjukan, sekitar 56 persen tanah yang ada di seluruh Indonesia ternyata hanya dikuasai oleh sekitar 0,2 orang. Padahal ada sekitar 85 persen petani Indonesia adalah petani gurem dan tidak memiliki tanah. Sementara di sisi lain, menurut data BPN ada sekitar 7,3 juta hektare tanah yang dikuasai perusahaan-perusahaan swasta malah ditelantarkan.


Ketimpangan kepemilikan tanah inilah yang menjadi penyebab utama lahirnya kemiskinan di perdesaan. Dengan begitu, tidak ada pilihan lain bagi pemerintah jika ingin mengatasi kemiskinan dan pengangguran kecuali melalui pembaruan agraria.


Pembaruan agraria ini tidak hanya untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran. Namun, sekaligus sebagai solusi untuk menahan laju urbanisasi dan migrasi ke luar negeri. Karena pembaruan agraria secara otomatis akan membuka lapangan pekerjaan hingga ke pelosok daerah.


Selain itu, melalui pembaruan agraria, percepatan industrialisasi kolektif masyarakat di perdesaan juga menjadi prioritas kebijakan pemerintah. Industri kolektif masyarakat ini tetap dibangun di atas dasar pelaksanaan pembaruan agraria yang diamanatkan UUPA No 5/1960.


Tanah-tanah telantar yang selama ini dikuasai perusahaan-perusahaan swasta perlu segera ditertibkan sesuai PP No 11/2010. Penertiban dan pendayagunaan tanah negara bekas tanah telantar itu semata-mata mesti dilakukan untuk menciptakan keadilan sosial dan membangun industri pertanian kolektif petani.


Sebagai langkah cepat, Presiden mestinya segera menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Pembaruan Agraria agar agenda dan program pembaruan agraria dapat segera dioperasikan di lapangan untuk menjawab problem-problem mendasar keagrariaan, terutama terkait ketimpangan dan konflik yang merebak di berbagai sektor.


Dengan pembaruan agraria yang sejati, tidak ada lagi petani yang tidak memiliki tanah dan tidak dapat memproduksi hasil pertanian. Melalui pembaruan agraria yang menyeluruh, tak ada lagi tenaga kerja yang menganggur hingga terpaksa pergi mengadu nasib ke luar negeri.


*Penulis adalah Staf Deputi Riset dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Sumber: Sinar Harapan, Selasa, 21 Juni 2011

http://www.sinarharapan.co.id/content/read/derita-tkw-dan-pembaruan-agraria/

Jumat, 18 Februari 2011

SBY Tak Becus Menyelesaikan Konflik Agraria

Selama ini, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selalu gembar-gembor akan melaksanakan reforma agraria. Namun, fakta menunjukan. Reforma agraria yang dikumandangkan Presiden SBY ternyata hanya omong kosong belaka. Buktinya, konflik agraria sepanjang tahun 2010 masih tetap tinggi dan marak terjadi.

Sepanjang tahun 2010, sedikitnya ada 106 konflik agraria terjadi. Sebanyak 3 orang petani mati, 4 orang tertembak, 8 orang mengalami luka-luka, dan 80 orang petani dipenjarakan karena mempertahankan hak atas kepemilikan tanahnya.

Luas lahan yang disengketakan, sedikitnya mencapai 535,197 hektar dan melibatkan 517,159 Kepala Keluarga (KK) tani yang berkonflik. Intensitas konflik paling tinggi terjadi karena, sengketa atas lahan perkebunan besar 45 kasus.

Kemudian diikuti dengan konflik agraria yang disebabkan karena pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan, sebanyak 41 kasus. Konflik agraria yang melibatkan pihak perhutani tercatat ada 13 kasus, pihak pertambangan 3 kasus, pertambakan 1 kasus, perairan 1 kasus, dan konflik lainnya ada 2 kasus.

Masih maraknya konflik agraria disepanjang tahun 2010 ini menunjukan bahwa, pemerintah Indonesia masih belum serius di dalam menyelesaikan persoalan agraria.

Bahkan pemerintah SBY masih sering menggunakan cara-cara primitif yang bersandar pada kekerasan dalam setiap menangani masalah konflik agraria yang ada di negeri ini. Cara-cara itu tentu tidak akan pernah dapat menyelesaikan persoalan, selain menimbulkan masalah baru. Selain dapat mengoyak-ngoyak rasa keadilan kaum tani yang selama ini dijadikan korban, cara-cara primitif yang ditempuh pemerintah juga sering mengakhibatkan korban jiwa dipihak petani.

Karena itu, cara-cara primitif yang mengedepankan penyelesaian dengan kekerasan, intimidasi, dan penembakan terhadap kaum tani yang sedang berjuang tuk mendapatkan tanah, harus segera dihentikan.

Agar penyelesaian konflik agraria dapat menyentuh akar pokok persoalan. Tidak ada pilihan lain bagi pemerintah selain melaksanakan reforma agraria. Melaksanakan pembaruan agraria berati melaksanakan kontitusi. Karena, pelaksanaan reforma agraria sudah menjadi amanat dalam UUD 1945, UUPA No.5 Tahun 1960, Tap MPR. No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, UU No 11/2005 tentang Kovenan Ekosok.

Selain itu, agar konflik agraria dapat diselesaikan secara komprehemsif, pemerintah perlu segera membentuk sebuah lembaga khusus penyelesaian konflik agraria di negeri ini. Lembaga ini bersifat adhoc dan bekerja dalam batas waktu tertentu dengan tugas khusus menyelesaikan konflik agraria. Lembagai ini harus dibentuk melalui keputusan presiden.

Sedang untuk mengantisipasi konflik agraria di masa mendatang, maka diperlukan penyusunan regulasi mengenai peradilan agraria. TAP MPR No.IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, memerintahkan kepada pemerintah dan DPR untuk segera melakukan review dan kaji ulang terhadap seluruh kebijakan terkait masalah agraria serta sumber daya alam.

Review dan kaji ulang ini dibutuhkan. Mengingat realitas kebijakan yang ada hari ini tumpang tindih, tidak sinkron, dan ego sektoral.