Jumat, 31 Agustus 2012

Krisis Pangan dan Janji Pembaruan Agraria Presiden



Oleh: Sidik Suhada*
Semua terdengar manis, namun pahit pelaksanaannya.

Sebagai negara agraris, Indonesia tidak hanya dikarunia alam yang subur, tetapi juga tenaga kerja pertanian yang melimpah. Namun, soal pangan, Indonesia masih tetap bergantung pada negara-negara lain. Itu karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengingkari janjinya melaksanakan pembaruan agraria. 

Sejak awal berkuasa, berkali-kali Presiden SBY menebar janji akan segera melaksanakan pembaruan agraria. Namun, berkali-kali juga janji itu tak pernah ditepati. 

Terakhir presiden berjanji akan segera menerbitkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Reforma Agraria, namun hingga kini janji itu juga belum ditepati. Ini menunjukkan sebenarnya presiden tidak punya komitmen politik yang kuat untuk melaksanakan pembaruan agraria. 

Akibatnya, tidak adanya komitmen politik yang kuat dari presiden, Indonesia tidak hanya rentan terjadi konflik agraria. Namun, Indonesia juga rentan terhadap urusan pangan. Padahal, pangan adalah soal hidup atau mati bangsa. 

Karena itulah, sejak awal, ketika Bung Karno meletakkan batu pertama pembangunan gedung Fakultas Pertanian Universitas Indonesia yang kini menjadi Institut Pertanian Bogor, pada 27 April 1952, sudah mengingatkan arti pentingnya pangan bagi bangsa Indonesia. 

Namun, 60 tahun kemudian sejak Bung Karno menyampaikan pidato itu, persoalan pangan di negara ini tidak kunjung usai. Itu karena para generasi penerus yang memimpin bangsa ini abai terhadap pertanian. 

Hal itu tergambar jelas dari berbagai kebijakan pemerintah yang tidak menempatkan masalah pangan sebagai hidup atau matinya bangsa. Akibatnya, pemerintah lebih suka mengimpor bahan pangan dari negara-negara lain ketimbang memberdayakan petani untuk mengolah dan memproduksi pangan. 

Impor Kedelai
Ketidakseriusan pemerintah dalam mengolah pangan ini tampak jelas ketika Indonesia dilanda krisis kedelai. Kedelai sebagai bahan baku tempe yang merupakan makanan khas rakyat Indonesia ternyata tidak dapat dipenuhi pemerintah sehingga harus impor kedelai dari negara lain. 

Ketergantungan impor kedelai ini terlihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS). Dalam lima bulan pertama tahun ini, Indonesia telah mengimpor 750.100 ton kedelai dengan nilai US$ 424,2 juta. Impor terbesar datang dari Amerika Serikat, yaitu 721.100 ton dengan nilai US$ 401,6 juta. 

Kemudian, impor dari Malaysia 26.000 ton kedelai senilai US$ 20,8 juta dan Kanada dengan total impor kedelai dalam lima bulan terakhir 1.525 ton dengan nilai US$ 887.000. 

Sementara pada 2011, impor kedelai terbesar Indonesia dari Amerika Serikat dengan jumlah 1.847.900 ton. Kemudian, impor dari Malaysia 120.074 ton, Argentina 73.037 ton, Uruguay 16.825 ton, dan Brasil 13.550 ton. 

Masih menurut data BPS, pada 2011 produksi kedelai lokal hanya 851.286 ton atau 29 persen dari total kebutuhan. Dengan begitu, Indonesia harus impor kedelai 2.087.986 ton untuk memenuhi 71 persen kebutuhan kedelai dalam negeri. 

Fakta dan kenyataan ini tentu sulit diterima akal sehat. Sebagai negara merdeka yang memiliki tanah luas dan subur, Indonesia ternyata tidak bisa berdaulat dalam soal pangan. Karena itu, harus ada yang dikoreksi dalam kebijakan pemerintah. 

Akar Masalah
Ketidakkeseriusan pemerintah untuk membawa bangsa Indonesia keluar dari krisis pangan inilah yang menjadi permasalahan pokok sehingga produktivitas pertanian petani menjadi rendah. 

Jadi penyebab utama rendahnya produktivitas pertanian bukan semata-mata aspek teknis, seperti kekeringan atau faktor cuaca buruk yang selama ini sering menjadi dalih pembenar pemerintah, melainkan murni karena tidak adanya kebijakan politik yang dapat melahirkan kemandirian dan kedaulatan pangan secara nasional. 

Menyempitnya lahan pertanian akhibat konversi lahan atau alih fungsi lahan pertanian menjadi nonpertanian juga menjadi salah satu faktor tersendiri yang dapat menurunnya produksi bahan pangan pertanian. 

Hal ini terjadi karena pemerintah tidak serius dalam mengelola dan mengatur tata guna tanah. Akibatnya, meski ada UU No 41/1999 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, konversi lahan secara besar-besaran tetap terjadi. 

Selain itu, akibat tidak dilaksanakannya amanat TAP MPR No IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, ketimpangan penguasaan dan pengusahaan tanah tetap terjadi. Banyak petani yang seharusnya bisa memproduksi pangan menjadi tidak bisa menanam bahan pangan karena tidak ada lahan. 

Berdasarkan data BPS hasil sensus pertanian 2003 dapat diketahui, sedikitnya ada 56,5 persen dari total sekitar 44,3 juta petani di Indonesia adalah petani gurem berlahan sempit. Lebih dari itu, sedikitnya ada 28 juta Rumah Tangga Petani (RTP) yang ada di Indonesia tidak memiliki lahan sama sekali. Sementara mereka yang memiliki tanah rata-rata pemilikan lahannya hanya 0,36 hektare (Bonie Setiawan:2009). 

Ketimpangan kepemilikan tanah ini juga sangat tampak dari data resmi yang dilekuarkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang menyatakan hanya ada 0,2 persen dari penduduk di negara ini yang menguasai 56 persen aset nasional, sekitar 87 persen konsentrasi aset bentuk tanah. Selain itu, BPN juga menyebutkan sedikitnya ada 7,3 juta hektare tanah yang sebagian besar berbentuk HGU dibiarkan telantar. 

Padahal, apabila tanah seluas 7,3 juta hektare yang dikuasai perkebunan besar dan telantar itu didistribusikan pada petani, niscaya Indonesia tidak hanya dapat keluar dari krisis pangan, tetapi juga dapat swasembada pangan. 

Karenanya, pelaksanaan pembaruan agraria menjadi sangat penting bukan hanya untuk mengatasi krisis pangan, namun juga untuk membangun kemandirian bangsa dan kedaulatan pangan nasional. 

Melaksanakan pembaruan agraria berarti merombak total sistem struktur kepemilikan dan penguasaan tanah yang melahirkan ketimpangan dengan sistem yang baru dan tidak melahirkan ketimpangan. Sistem tersebut, yakni struktur kepemilikan dan penguasaan tanah yang berlandaskan Pancasila. 

Karena itu, rekonstruksi penguasaan dan pemilikan lahan sangat penting. Setelah dilakukan rekonstruksi penguasaan tanah yang berlandaskan Pancasila, agar pembaruan agraria dapat berjalan dan mencapai tujuan, pemerintah juga harus membuat kebijakan program pendukung pembaruan agraria. 

Program pendukung ini adalah input usaha tani, semisal penyediaan bibit berkualitas, penyediaan pupuk ramah lingkungan, pemberian modal dari pemerintah kepada petani penerima tanah program pembaruan agraria. 

Selain itu, pemerintah juga harus menyediakan sarana produksi, infrastruktur pertanian, dan berbagai bimbingan teknis pada petani penerima program pembaruan agraria. Inilah yang disebut land reform dan program pendukungnya atau acsess reform. 

Hanya dengan jalan melaksanakan pembaruan agraria sebagaimana amanat TAP MPR No IX/2001 dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960, kedaulatan pangan Indonesia dapat dicapai. Ini karena, diakui atau tidak, kebutuhan pangan nasional itu hanya dapat ditopang dari hasil produksi pertanian petani. 

Karena itu, jika bangsa Indonesia ingin keluar dari krisis pangan dan dapat ingin memiliki kedaulatan dalam hal pangan, tidak ada cara lain selain pemerintah harus melaksanakan apa yang disebut dengan pembaruan agraria. Ini karena hanya dengan jalan pembaruan agraria akses petani terhadap tanah dan sarana produksi pertanian petani dapat dimiliki. 

Tanpa memudahkan akses tanah kepada petani untuk memproduksi pangan, dapat dipastikan bangsa Indonesia yang besar ini hanya tinggal menunggu waktu kapan kehilangan jati dirinya dan akhirnya mati. 

Karena itulah, tidak ada pilihan lain jika masih ingin tetap melihat Indonesia ada di masa-masa yang akan datang. Kedaulatan di bidang pangan dari hasil pertanian petani kita harus segera diwujudkan. 

*Penulis adalah Ketua Dewan Pimpinan Nasional REPDEM Bidang Penggalangan Tani dan Aktivis Konsorsium Pembaruan Agraria.
(Sinar Harapan)