Kamis, 04 Agustus 2011

Maraknya Konflik Agraria Hambat Investasi, Stabilitas Ekonomi, dan Politik Nasional

kabar-toraja.com - Tidak hanya menghambat investasi. Masih maraknya konflik tanah dan konflik agraria juga bisa mengganggu ketahanan nasional serta stabilitas ekonomi-politik nasional. Demikian disampaikan Staf Deputi Riset dan Kampanye KPA, Sidik Suhada, saat dihubungi kabar-toraja.com Jumat, (01/07/11).

Karena itu, pemerintah seharusnya dapat bekerja cepat dalam menangani setiap ada persoalan konflik agraria. “Selama ini, pemerintah bukan hanya lamban dalam merespon konflik. Namun, pemerintah tidak pernah dapat menyelesaikan konflik agraria yang ada di seluruh wilayah Indonesia ,” katanya.

Bedasarkan data KPA, selama tahun 2010 sedikitnya ada 106 konflik agraria yang melibatkan ribuan kepala keluarga (KK) petani penggarap dengan jumlah lahan ribuan hektar, dan hingga kini tidak ada satupun yang dapat diselesaikan oleh pemerintah. Januari-Juli 2011, KPA mencatat sudah ada 11 petani tewas, 59 orang petani luka-luka akibat konflik agraria.

Padahal, lanjut Sidik Suhada, penyelesaian konflik agraria ini sangat penting bukan hanya bagi petani atau pihak-pihak yang selama ini dijadikan korban dalam konflik agraria. Namun, penyelesaian konflik ini juga penting dalam kerangka untuk membangun stabilitas ekonomi nasional. ”Jika petani sejahtera, stabilitas ekonomi dan politik nasional bangsa pun dapat dibangun dengan baik,” kata mantan aktivis buruh dari Malang, Jawa Timur ini.

Namun, kata Sidik, penyelesaian konflik agraria itu harus bersifat menyeluruh dan jangka panjang. Ada kerangka umum penyelesaian konflik yang menghargai hak-hak petani dan para korban dari konflik agraria tersebut. Sehingga konflik agraria tidak semata-mata disesesaikan secara hukum semata. Melainkan, ditempatkan dalam kerangka untuk menyelesaikan sumber ketidakadilan yang selama ini dirasakan kaum mayoritas.

”Dalam kerangka untuk menyelesaikan konflik agraria tersebut, saya kira perlu ada lembaga penyelesaian konflik yang bersifat khusus. Karena, penyelesaian konflik agraria yang selama ini diserahkan ke BPN, terbutki tidak bisa berjalan efektif,” ungkapnya.

Selain faktor kewenangan BPN dan tidak adanya ide kreaktif dari internal BPN dalam membuat trobosan-trobosan dalam menangai konflik agraria, adanya tumpang-tindih regulasi hukum juga semakin menambah daftar panjang penyelesaian konflik.

Apalagi, kata Sidik, dalam konflik agraria selalu memiliki dimensi sosial yang sangat luas dan melibatkan banyak sektor kemerterian serta berbagai lembaga negara lainnya. Seperti, Menteri kehutanan, pertambangan, pertanian, dan lain-lain. Sehingga sering terjadi silang kepentingan antara pemaku lembaga tersebut.

Karena itulah, lembaga penyelesaian konflik agraria yang bersifat khusus semacam lembaga pengadilan Ad hoc sangat penting. Dalam lembaga terdiri dari organisasi-organisasi para korban konflik agraria, para pihak yang turut bersengketa, dan para mediator yang adil dan memahami persoalan agraria secara menyeluruh. Sehingga dapat menyelesaikan persoalan secara adil dalam kerangka untuk melaksanakan reforma agraria sebagaimana amanat UUPA No.5 tahun 1960.

Namun, lanjut Sidik, ”Tanpa ada keinginan yang kuat dari pemerintah untuk melaksanakan reforma agraria sejati, konfik-konflik tanah dan konflik agraria masih akan tetap terjadi,” tandasnya.

KTC01/KBC- M. Jokay

Sumber:

http://kabar-toraja.com/politik/humum/973-maraknya-konflik-agraria-hambat-investasi-stabilitas-ekonomi-dan-politik-nasional-

RUU Pengadaan Tanah Rawan Konflik

kedaiberita.com - Melihat fakta yang ada di lapangan, saat ini masih banyak tanah-tanah rakyat yang tidak dilindungi dokumen hukum. Seperti sertifikat hak kepemilikan tanah. Berdasarkan data dari BPN-RI tahun 2008 yang diperoleh KPA, tanah rakyat yang bersetifikat baru ada sekitar 39 juta bidang dari 85 juta bidang tanah yang dimiliki masyarakat.

Menurut Aktifis KPA Sidik Suhada, data itu belum termasuk tanah-tanah yang berada di kawasan hutan yang selama ini dikelola masyarakat sebagai sumber kehidupan dan tanah ulayat milik masyarakat adat. Artinya ada sekitar 60 % tanah masyarakat yang kini tidak dilindungi dokumen hukum.

“Selama ini, ganti rugi hanya dapat dilakukan apabila masyarakat dapat menunjukan alat bukti kepemilikan tanah yang berupa sertifikat. Lalu bagaimana nasib masyarakat adat yang selama ini mengelola tanah tapi tidak memiliki sertifikat hak kepemilikan tanah? Inikan bisa melahirkan konflik,” terang Sidik kepada kedaiberita.com usai rapat Koalisi Rakyat Anti Perampasan Tanah (Karam Tanah) di daerah Pancoran, Jakarta Selatan, Jumat (10/06/11) sore.

Karena itu, Ketua Bidang Penggalangan Tani Dewan Pimpinan Nasional Relawan Demokrasi (DPN-Repdem) ini mengatakan, apabila RUU Pengadaan tanah ini disahkan tentu akan melahirkan banyak konflik agraria.

“Berdasarkan catatan KPA, pada tahun 2010 saja ada 106 konflik agraria, 3 orang petani mati, 4 orang tertembak, 8 orang mengalami luka-luka, dan sekitar 80 orang petani yang dipenjarakan dalam konflik agraria ini. Sementara pada tahun 2011 ini, sudah ada 11 orang petani tewas, dan 14 orang petani mengalami luka-luka akhibat konflik agraria,” jelas Sidik.

Sebelumnya mantan aktifis buruh Malang, Jawa Timur ini mengatakan, Rancangan Undang-Undang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan tidak hanya berpotensi melahirkan konflik agraria. Namun, juga dapat mengancam ketahaan pangan nasional. Demikian yang dikatakan aktifis Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sidik Suhada kepada kedaiberita.com, Jumat (10/06/11).

“Saya kira RUU Pengadaan Tanah yang saat ini sedang digodog di DPR harus dihentikan. Karena, selain berpotensi melahirkan konflik agraria juga dapat mengancam katahaan pangan nasional,” kata Sidik

Sumber: http://www.kedaiberita.com/Politik/sidik-ruu-pengadaan-tanah-rawan-konflik.html

RUU Pengadaan Tanah Ancam Ketahanan Pangan Nasional

kedaiberita.com - Rancangan Undang-Undang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan tidak hanya berpotensi melahirkan konflik agraria. Namun, juga dapat mengancam ketahaan pangan nasional. Demikian yang dikatakan aktifis Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sidik Suhada kepada kedaiberita.com, Jumat (10/06/11).

“Saya kira RUU Pengadaan Tanah yang saat ini sedang digodog di DPR harus dihentikan. Karena, selain berpotensi melahirkan konflik agraria juga dapat mengancam katahaan pangan nasional,” kata Sidik usai mengikuti rapat Koalisi Rakyat Anti Perampasan Tanah (Karam Tanah) di daerah Pancoran, Jakarta Selatan, Jumat (10/06/11) sore.

Menurut lelaki lajang ini, RUU Pengadaan Tanah saat ini hanya dihajatkan untuk membantu pengusaha dan kepentingan investor agar bisa mendapatkan lahan secara mudah, cepat, dan murah. Hal ini, juga memberikan ruang percepatan alih fungsi lahan atau konversi lahan pertanian menjadi non pertanian.

”Diakui atau tidak, salah satu penyebab konversi lahan itu adalah adanya proyek-proyek pembangunan infrastruktur seperti pembangunan jalan tol,” terang Sidik Suhada yang juga Ketua Bidang Penggalangan Tani Dewan Pimpinan Nasional Relawan Demokrasi (DPN-Repdem).

Lebih jauh mantan aktifis buruh Malang, Jawa Timur ini melihat kedepannya konversi pengadaan tanah akan berdampak buruk pada sektor pertanian, karema sawah-sawah petani akan tergusur.

“Konversi ini bisa berlanjut hingga kelipatan angka 10 hingga 20 kali dari angka 4.500 hektar lahan yang dibutuhkan untuk jalan tol. Karena, sisi kiri dan kanan jalan tol yang merupakan lahan persawahan itu pasti akan ikut tergusur. Sehingga, dapat dipastikan lahan persawahan menyusut drastis karena proyek infrastruktur tersebut,” papar mantan jurnalis televisi nasional ini.

Sidik menilai, berdasarkan Angka Ramalan Badan Pusat Statistik (BPS), konversi lahan pertanian di Jawa saja saat ini sudah mencapai 27 ribu hektare.

“Namun, saya yakin angka itu bisa lebih. Karena, berdasarkan perkiraan Badan Pertanahan Nasional (BPN), konversi lahan rata-rata mencapai 100 ribu hektar per tahun,” ujar mantan aktivis buruh dari Malang-Jawa Timur ini.

Namun, Sidik Suhada mengakui bahwa, menurunya produksi pangan nasional tersebut bukan semata-mata diakhibatkan oleh konversi lahan pertanian. Melainkan ada faktor utama penyebab menurunnya hasil produksi pangan nasional. Yaitu, minimnya akses kepemilikan lahan petani.

Hasil studi KPA menunjukan bahwa saat ini rata-rata petani di pulau Jawa hanya memiliki lahan kurang dari 0,3 hektar. Dengan lahan seluas itu, tentu saja mereka tidak dapat memproduksi pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

”Bahkan tidak sedikit jumlahnya, petani miskin ini akhirnya berubah status menjadi buruh tani. Karena, lahannya digusur untuk pembangunan infrastruktur jalan tol,” paparnya kepada kedaiberita.com.

Sumber: http://www.kedaiberita.com/Politik/ruu-pengadaan-tanah-ancam-ketahanan-pangan-nasional.html

Jatim Masuk Dalam Daerah Tertinggi Rawan Sengketa Tanah

Malang - Provinsi Jawa Timur, adalah daerah yang memiliki kerawanan tertinggi dalam masalah sengketa tanah dibanding 10 daerah lainnya yang ada di Indonesia, kata Bagian Riset dan Kampanye Konsorisum Pembaruan Agraria, Sidik Suhada, Selasa di Malang.

Sidik mengatakan, selain Jatim sejumlah daerah yang mempunyai kerawanan tertinggi dalam masalah sengketa tanah, adalah Jawa Tengah, Bengkulu, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Utara, Riau serta Provinsi Banten.

"Dari 10 provinsi di Indonesia, Jawa Timur adalah yang tertinggi dalam masalah sengketa lahan tahun 2010, dan kondisi ini tak jauh beda dengan tahun sebelumnya," ujar Sidik disela workshop Perumusan Konsep, Strategi dan Model Pembaruan Mengatas Kemiskinan di Wilayah Jawa Bagian Timur di Universitas Brawijaya.

Banyaknya konflik tersebut, diakibatkan belum adanya pihak yang mendampingi serta belum ada kelompok kerja (pokja) dari dinas terkait yang menangani.

Berdasarkan riset yang dilakukan Sidik, sejak Januari hingga Desember 2010 telah terjadi 11 kasus sengketa lahan di Jawa Timur.

Konflik tersebut terjadi antara petani dengan perkebunan, pengembang proyek, perumahan, TNI serta fasilitas umum.

Sedangkan khusus Jatim, daerah tertinggi yang mengalami sengekta tanah berada di Malang, Blitar, Pasuruan, Kediri dan Jombang.

Sementara itu, aparat yang biasanya berada dalam konflik sengketa tanah adalah kepolisian, yang menempati rangking pertama, disusul perkebunan, perusahaan swasta dan TNI.

"Data tahun 2009, dari 87 kasus sengketa lahan di Indonesia, melibatkan sebanyak 7.585 jiwa dengan luas lahan sengketa sekitar 13,3 hektare, dan hingga saat ini, 90 persennya belum tuntas," katanya

Untuk itu, dalam menyelesaikan masalah ini, perlu membentuk pokja tersendiri dan melalui pokja itu bisa melibat elemen masyarakat serta dinas terkait guna membangun konsulidasi lintas sektoral.

Sumber: http://www.antarajatim.com/lihat/berita/51227/jatim-masuk-dalam-daerah-tertinggi-rawan-sengketa-tanah

Konflik Tanah di Jatim Capai Ratusan Kasus


KEDIRI--MICOM: Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat konflik tanah antara warga dan lembaga publik di Jawa Timur semakin tinggi tiap tahunnya dan mencapai 164 kasus yang tersebar di 31 kabupaten/kota.

"Data yang kami catat itu adalah konflik masyarakat dengan pihak perkebunan, kehutanan, hingga institusi TNI/Polri. Jumlahnya hingga 2011 ini cukup besar, mencapai 164 kasus," kata Staf Deputi Riset dan Kampanye KPA, Sidik Suhada di Kediri, Kamis (7/7).

Ia mengatakan, tingginya penyebab konflik ini karena pemerintah belum melaksanakan land reform, sehingga melahirkan ketimpangan di antara masyarakat dengan institusi itu. Ia menyebut, berdasarkan data di Badan Pertanahan Nasional (BPN) terdapat lahan yang luasnya mencapai 7,3 hektare saat ini kondisinya ditelantarkan.

Tanah-tanah itu awalnya banyak dikuasai institusi-institusi tersebut, hingga membuat masyarakat merasa tidak adil. Mereka merasakan adanya ketimpangan, hingga membuat mereka nekat untuk merebut tanah yang dinilai sengaja ditelantarkan itu.

"Masyarakat mencoba memanfaatkan tanah-tanah yang ditelantarkan itu untuk dikelola, hingga muncullah konflik-konflik tersebut," katanya mengungkapkan.

Ia mengatakan, munculnya berbagai masalah antara masyarakat luas dengan institusi itu karena tidak adanya reforma agraria. Padahal, reforma agraria itu adalah amanat yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Tetapi, hingga kini pemerintah juga belum bisa menjalankan amanat itu.

Pihaknya mengatakan, harusnya pemerintah membuat lembaga khusus untuk menangani konflik agraria ini. Lembaga itu nantinya dibuat untuk menyelesaikan konflik antara masyarakat yang diwakili serikat petani dengan pemerintah yang dilakukan secara nasional.

"Harusnya, pemerintah segera buat lembaga khusus untuk menangani konflik ini, semacam pengadilan Ad Hoc, yang didalamnya ada serikat petani, ada perwakilan dari pemerintah, duduk bersama menyelesaikan konflik ini secara nasional," katanya. (Ant/OL-04)

Sumber: http://www.mediaindonesia.com/read/2011/07/07/240232/289/101/Konflik_Tanah_di_Jatim_Capai_Ratusan_Kasus

KPA Catat Konflik Tanah di Jatim Capai 164 Kasus

Kediri - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat koflik tanah antara warga dengan lembaga publik di Jawa Timur semakin tinggi tiap tahunnya, mencapai 164 kasus yang tersebar di 31 kabupaten/kota.

"Data yang kami catat itu adalah konflik antara masyarakat dengan pihak perkebunan, kehutanan, hingga insitutis TNI/polri. Jumlahnya hingga 2011 ini cukup besar, mencapai 164 kasus," kata Staf Deputi Riset dan Kampanye KPA, Sidik Suhada di Kediri, Kamis.

Ia mengatakan, tingginya penyebab konflik ini karena pemerintah belum melaksanakan "land reform", sehingga melahirkan ketimpangan di antara masyarakat dengan institusi itu.

Ia menyebut, berdasarkan data di BPN terdapat lahan yang luasnya mencapai 7,3 hektare saat ini kondisinya ditelantarkan. Tanah-tanah itu awalnya banyak dikuasai institusi-institusi tersebut, hingga membuat masyarakat merasa tidak adil. Mereka merasakan adanya ketimpangan, hingga membuat mereka nekat untuk merebut tanah yang dinilai sengaja ditelantarkan itu.

"Masyarakat mencoba memanfaatkan tanah-tanah yang ditelantarkan itu untuk dikelola, hingga muncullah konflik-konflik tersebut," katanya mengungkapkan.

Ia mengatakan, munculnya berbagai masalah antara masyarakat luas dengan institusi itu karena tidak adanya reforma agraria. Padahal, reforma agraria itu adalah amanat yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Tetapi, hingga kini pemerintah juga belum bisa menjalankan amanat itu.

Pihaknya mengatakan, harusnya pemerintah membuat lembaga khusus untuk menangani konflik agraria ini. Lembaga itu nantinya dibuat untuk menyelesaikan konflik antara masyarakat yang diwakili serikat petani dengan pemerintah yang dilakukan secara nasional.

"Harusnya, pemerintah segera buat lembaga khusus untuk menangani konflik ini, semacam pengadilan Ad Hoc, yang didalamnya ada serikat petani, ada perwakilan dari pemerintah, duduk bersama menyelesaikan konflik ini secara nasional," katanya mengungkapkan.

Ia yakin, dengan adanya lembaga itu akan memudahkan penyelesaian konflik antara masyarakat dengan insitusi yang terkait. Masyarakat juga akan lebih sejahtera, karena mereka tidak harus hidup di bawah tekanan konflik.

KPA, kata dia, saat ini juga sedang gencar melakukan pendampingan tentang reforma agraria. Pihaknya berharap, masyarakat juga berperan aktif untuk ikut merumuskan model-model pelaksanaan reforma agraria, yang ke depan diharapkan bisa menjadikan masyarakat terutama di daerah konflik tidak lagi terbebani dengan konflik yang terus menerus.

Sumber: http://www.antarajatim.com/lihat/berita/66193/kpa-catat-konflik-tanah-di-jatim-capai-164-kasus

Jatim KLB Konflik Tanah

Jombang (beritajatim.com) - Konflik tanah di Jatim cukup tinggi. Betapa tidak, berdasarkan catatan KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria), mulai Januari hingga Juni 2011, terdapat 164 kasus yang tersebar di 30 Kabupaten/Kota. Tidak heran jika Jatim menyandang status KLB (Kondisi Luar Biasa) dalam kasus tersebut.

Penegasan itu dilontarkan oleh Staf Deputi Riset dan Kampanye KPA, Sidik Suhada, usai menghadiri dialog publik 'Mengupas RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan dan Sarana Umum' di aula Universitas Darul Ulum (Undar) Jombang, Senin (25/7/2011).

Sidik merinci, dari 164 kasus tersebut, 112 kasus diantaranya merupakan konflik antara masyarakat dengan pihak perkebunan. Sedangkan sisanya adalah antara masyarakat dengan TNI, pemerintah, serta kehutanan. "Ini jumlah yang cukup tinggi dibanding dengan daerah lain. Jatim masuk dalam KLB konflik tanah," kata Sidik menjelaskan.

Apa pemicu tingginya konflik tanah itu? Mantan jurnalis televisi ini mengungkapkan, munculnya masalah antara masyarakat dengan berbagai institusi tersebut karena belum dilaksanakannya amanat yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Ia kemudian menyebut, berdasarkan data yang ada di BPN (Badan Pertanahan Nasional), terdapat 7,3 juta hektare lahan yang kondisinya ditelantarkan. Awalnya, tanah-tanah itu banyak dikuasai institusi-institusi. Dampaknya, kondisi itu membuat masyarakat merasa tidak adil. Karena rasa ketidakadilan itu memicu masyarakat berbuat nekat untuk merebut tanah yang sengaja ditelantarkan itu. "Jika UU Pokok Agraria dilaksanakan, konflik tersebut bisa diminimalisir," tambahnya.

Sidik juga berpendapat, sudah selayaknya pemerintah membuat lembaga khusus untuk menangani konflik agraria. Nah, lewat lembaga itulah seluruh konflik agraria diselesaikan. Lembaga itu, kata Sidik, semacam pengadilan Ad Hoc, didalamnya terdapat serikat petani dan juga perwakilan dari pemerintah. Selanjutnya, mereka duduk bersama menyelesaikan konflik tersebut secara nasional.

"Jadi, dengan dilaksanakannya UU No 50 Tahun 1960 tentang agraria dan juga dibentuknya lembaga tersebut, hal itu bisa memudahkan penyelesaian konflik tanah antara masyarakat dengan insitusi yang terkait," pungkas Sidik. [suf/but]

Sumber: http://beritajatim.com/detailnews.php/4/Hukum_&_Kriminal/2011-07-25/107119/Jatim_KLB_Konflik_Tanah

Jawa Timur Kawasan Endemik dan KLB Konflik Agraria

kedaiberita.com - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menetapkan provinsi Jawa Timur sebagai salah satu daerah endemik konflik agraria di Indonesia. Sehingga perlu ditetapkan sebagai daerah kawasan KLB (Kejadian Luar Biasa) konflik agraria. Demikian kata, Staf Deputi Riset dan Kampanye KPA, Sidik Suhada saat dikonfirmasi kedaiberita.com, Sabtu, (09/07/11).

Berdasarkan data KPA, Sidik mengatakan bahwa konflik agraria di Jawa Timur mencapai 164 kasus yang tersebar di 259 desa, 136 kecamatan, dan 31 Kabupaten/Kota yang ada di Jawa Timur. Jumlah korban dalam konflik itu mencapai sekitar 363.402 Kepala Keluarga (KK) atau sekitar 1.609.871 jiwa.

Sebanyak 112 kasus terjadi antara petani penggarap dengan pihak perkebunan. Baik perkebunan swasta maupun perkebunan milik pemerintah. Sekitar 25 kasus terjadi antara masyarakat dengan institusi militer seperti, TNI-AD sebanyak 7 kasus, 12 kasus dengan TNI-AL , dan 6 kasus dengan TNI-AU.

Sedang konflik agrarian yang melibatkan pihak kehutanan sebanyak 27 kasus. “Semua konflik agraria itu belum ada yang diselesaikan oleh pemerintah,” ungkapnya.

Menurut Sidik, penyebab utama konflik agraria itu terjadi karena pemerintah tidak bersedia melaksanakan reforma agraria. Sehingga terjadilah ketimpangan kepemilikan lahan. “Ada banyak masyarakat yang tidak punya tanah sama sekali, sementara di sisi lain, ada segelintir orang yang menguasai tanah begitu luas,” kata pemuda asal Cilacap, Jawa Tengah itu.

Ia menyebut, berdasarkan data di Badan Pertanahan Nasional (BPN) ada sekitar 7,3 juta hektar tanah yang saat ini ditelantarkan oleh pihak-pihak yang menguasai banyak tanah itu. “Menurut data BPN, rata-rata tanah yang ditelantarkan itu dikuasai pihak perusahaan perkebuan swasta,” lanjutnya.

Melihat ada tanah yang ditelantarkan seperti itu, kata Sidik, tentu masyarakat atau petani penggarap yang tidak memiliki lahan berusaha untuk memanfaatkannya. Namun, saat para petani mencoba mengolah tanah telantar itu menjadi lahan pertanian produktif, masyarakat digusur. Sehingga konflik agraria pun terjadi dan masyarakat yang tidak punya tanah menuntut keadilan.

“Salah satu tujuan utama dari reforma agraria itu adalah untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan social bagi masyarakat. Karena itu, penting reforma agrarian dijalankan sebagai pondasi awal untuk menata keadilan dan kesejahteraan sosial,” tegasnya.

Selain melaksanakan reforma agraria sebagai solusi untuk menghentikan konflik agrarian, seharusnya pemerintah segera membuat lembaga khusus penyelesaian konflik agrarian. Lembaga ini bersifat adhoc dan bekerja dalam batas waktu tertentu. Tugas utamanya menyelesaikan konflik agrarian, baik yang terjadi masa lalu yang hingga kini belum dapat diselesaikan, maupun menyelesaikan kasus-kasus konflik agrarian yang baru.

Agar memiliki kekuatan, lembaga ini dibentuk melalui keputusan presiden. Sedang untuk mengantisipasi konflik agraria di masa mendatang, pemerintah perlu segera membuat regulasi mengenai peradilan agraria.

Selain itu, pengkajian ulang berbagai peraturan pemerintah yang terkait dengan persoalan agraria dan sumber-sumber agraria lain juga perlu segera dilakukan. Pasalnya, realitas kebijakan yang ada hari ini, banyak yang tumpang tindih, tidak sinkron, dan selalu mengedepankan ego sektoral masing-masing pemaku lembaga pemerintah. Misalnya, kebijakan yang ada dalam departemen kehutanan selalu berbenturan dengan pihak BPN. Berbenturan juga dengan kebijakan Kementerian Sumber Daya Alam, dan sebagianya.

“Kebijakan seperti itu tentu akan menambah persoalan agrarian. Karena, tidak ada kejelasan arah dan siapa yang harus bertangunggjawab terhadap pengelolaan agraria dan SDA,” tandasnya.

Sumber:
http://kedaiberita.com/Politik/jawa-timur-kawasan-endemik-dan-klb-konflik-agraria.html