Selasa, 19 Januari 2010

Bahasa dan Ideologi dalam Retorika Politik

Selain sebagai alat komunikasi, bahasa juga dapat dimaknai sebagai representasi budaya, serta pandangan politik dan ideologi dari kelompok tertentu. Sebagai representasi budaya, bahasa yang sama bisa memiliki makna yang berbeda dalam budaya yang berbeda. Bahkan, tak sedikit orang yang anti dan tidak pernah mau memakai atau menggunakan bahasa tertentu sebagai representasi budaya yang tidak disukainya. Atau sebaliknya, banyak orang yang cenderung suka menggunakan bahasa dari budaya tertentu yang disukainya.

Sebagai representasi budaya, di Jawa (khususnya), bahasa ternyata juga memiliki kelas dan kasta. Ada bahasa strata krama inggil (bahasa Jawa sangat halus; strata tinggi), krama madya (bahasa Jawa sedang; strata kelas menengah), dan ngoko (bahasa Jawa kasar; strata rendah/bawah/ rakyat jelata). Strata krama inggil lazim digunakan untuk menunjukkan kasta sosial penggunanya/penuturnya. Misal, kalangan priyayi atau ningrat. Sedang bahasa krama madya lazim digunakan antar sesama kelas menengah. Kemudian bahasa Jawa ngoko biasanya digunakan oleh kalangan kawula alit (kelompok masyarakat yang dianggap berkasata rendah/sudra/ rakyat jelata).

Namun, bahasa juga memiliki ruang dan waktu. Secara pelan dan pasti, pemisahan dan penggunaan bahasa ini pun kini sedikit demi sedikit mulai terkikis dan luntur. Meskipun sisa-sisa feodalisme masyarakat di Jawa (khususnya) masih tetap ada.

Dalam panggung politik praktis, bahasa juga menjadi cermin ideologi. Malah tidak berlebihan jika dikatakan bahwa ideologi membentuk dan dibentuk oleh bahasa. Melalui ideologi orang memberikan makna pada realitas tertentu dengan menggunakan bahasa tertentu yang dirumuskan melalui sebuah kata dan kalimat, sehingga membentuk realitas tertentu.

Dengan demikian, para elite politik pun sering memproduksi bahasa sendiri untuk memaknai sebuah realitas yang ada. Lalu bahasa yang dicipta dari konsep pandangan ideologinya itu, disebarkan kepada khalayak untuk membentuk sebuah wacana. Tujuannya tentu untuk mengkonstruksi pandangan khalayak sesuai dengan yang diinginkan para elite politik tersebut. Sehingga tidak salah jika bahasa pun dimaknai sebagai sesuatu yang tidak netral, dan malah sarat muatan kepentingan tertentu.

Menurut salah seorang ahli antropologi linguistik, Sapir Whorf (dalam Deddy Mulyana, 2005: 120), bahasa bukan hanya sekadar deskriptif atau sarana untuk melukiskan suatu fenomena serta lingkungan. Lebih dari itu, bahasa juga dapat memengaruhi cara kita melihat lingkungan kita. Pandangan ini kemudian dikembangkan menjadi dua bagian, deterministik linguistik dan relativitas linguistik. Deterministik linguistik memandang bahwa struktur bahasa mengendalikan pikiran dan norma-norna budaya. Sedang relativitas linguistik, melihat bahwa karakteristik bahasa dan norma budaya saling mempengaruhi. Budaya dikontrol sekaligus mengontrol bahasa. Bahasa juga menyediakan kategori-kategori konseptual yang mempengaruhi bagaimana persepsi para penggunanya dikode dan disimpan.

Dengan kata lain, bahasa bukan sekadar alat komunikasi untuk memaknai suatu realitas objektif semata. Namun bahasa juga merupakan kegiatan sosial, bukan sesuatu yang netral dan konsisten, melainkan partisipan sosial yang dapat dikonstruksi dan direkonstruksi, serta di-setting untuk membentuk gagasan dan tindakan seseorang. Menurut Michel Foucault (1972: 216), dalam kehidupan nyata, disadari atau tidak, bahwa di dalam bahasa terkandung pergulatan dan pertarungan kepentingan ideologis. Sebab dipandang sebagai sesuatu yang tidak netral dan tidak universal; bahasa menjadi terikat oleh waktu, tempat, dan konteks pergulatan historis politiknya sendiri-sendiri. Sehingga bahasalah yang melahirkan wacana atau discourse sebagai sesuatu yang niscaya bersifat politik.

Dalam alur pikir tersebut, bahasa tak pernah dapat dipisahkan dari sebuah kekuasaan politik. Sebagai negara yang konon menganggap paling demokratis dan humanis seperti Amerika Serikat sekalipun, para elite politiknya juga kerap menciptakan bahasa yang disusun dan dirumuskan melalui sebuah kata, istilah, atau terminologi; sebut saja, misal ”teroris”, ”kaum fundamentalis”, dan ”poros setan”. Semua istilah tersebut diciptakan dan disebarkan secara masif. Tentu, bermuatan politik dan berusaha agar Amerika tetap menjadi pihak yang dominan.

Begitu juga pada zaman rezim otoriter Orde Baru. Presiden Soeharto selalu memproduksi bahasa tertentu untuk memaknai realitas tertentu. Seperti terminologi Gerakan Pengacau Keamanan (lazim disingkat GPK), Organisasi Tanpa Bentuk (OTB), PKI Gaya Baru, ekstrem kanan, dan ekstrem kiri yang sengaja diciptakan serta digunakan untuk mendistorsi gerakan oposisi.

Bahasa memang dunia simbol yang paling nyata. Sehingga siapa pun yang ingin berhasil merebut kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan, tentu harus memiliki kemampuan untuk mengkonsolidasikan bahasa-bahasa tertentu. Tak terkecuali para elite politik yang sedang berusaha memobilisasi massa dalam kampanye politik. Agar dapat berhasil merebut hati dan simpati masyarakat, mereka tentu juga memproduksi bahasa. Memiliki kemampuan untuk mengemas bahasa sesuai dengan konteks dan waktu.

Namun, meskipun sebuah simbol, bahasa juga bisa menjadi alat untuk mengukur dan menilai seseorang dalam sebuah interaksi sosial. Keberhasilan dan kegagalan dalam hidup sering tergantung dari kepandaian menggunakan bahasa dalam berbicara. Lantaran itulah bahasa dan gaya bicara tentu menjadi sangat penting dalam sebuah retorika komunikasi politik.


Gaya Komunikasi

Bahasa menunjukkan bangsa. Identitas dan citra diri seseorang di mata orang lain pun dipengaruhi oleh bagaimana cara berkomunikasi. Selain itu juga pemilihan kata, istilah, serta intonasi tekanan suara. Semua akan dapat mencerminkan identitas dan citra diri seseorang yang sedang berbicara.

Namun, sebagaimana sebuah bahasa yang juga mengenal konteks dan waktu, agar menarik gaya komunikasi juga harus mengikuti selera masyarakat yang selalu mengalami perubahan dari konteks waktu ke waktu. Termasuk gaya dalam komunikasi politik.

Dulu, Presiden Soekarno dikenal sebagai orator ulung. Sebagai orator, Bung Karno tidak pernah mengalami kekeringan kata dan istilah. Gaya bicaranya yang berapi-api, mampu membangkitkan gairah orang untuk datang dan mendengarkan. Banyak orang seringkali datang dari tempat yang jauh hanya sekadar untuk mendengar Bung Karno pidato. Mereka datang ke alun-alun bukan untuk menerima ajarannya, tetapi semata-mata karena gaya retorika Bung Karno yang memukau (Hendra Kusuma, 2008: 78).

Namun, dalam konteks sekarang, orang yang menggunakan gaya bicara mirip-mirip Bung Karno, bisa jadi tampak aneh dan tidak menarik bagi masyarakat. Begitu juga pada zaman Orde Baru, kita sering menyaksikan para pejabat yang meniru gaya bicara Soeharto yang selalu menggunakan kata ”ken” pada kata kerja yang berakhiran ”kan”. Tetapi setelah reformasi dan Soeharto tumbang, para pejabat tinggi negara yang masih menirukan gaya bicara (dialek) Soeharto makin menyusut kuantitasnya. Mungkin mereka takut atau khawatir dicap sebagai antek Soeharto jika masih melafalkan akhiran ”ken”.

Secara teoretik, Edward T. Hall (dalam Deddy Mulyana, 2005: 129-156), dalam konteks budaya menyebut gaya komunikasi dapat dibedakan ke dalam bentuk gaya komunikasi konteks tinggi dan gaya komunikasi konteks rendah. Gaya bicara dalam komunikasi konteks tinggi ini, orang lebih suka berbicara secara implisit, tidak langsung, dan suka basa-basi. Salah satu tujuannya, untuk memelihara keselarasan kelompok dan tidak ingin berkonfrontasi. Dengan kata lain, agar tidak mudah menyinggung perasaan orang lain. Komunikasi budaya konteks tinggi, cenderung lebih tertutup dan mudah curiga terhadap pendatang baru atau orang asing.

Semantara gaya komunikasi dalam konteks rendah, biasanya digunakan oleh orang-orang yang memiliki pola pikir linier. Bahasa yang digunakan langsung, lugas, dan tidak eksplisit. Komunikasi konteks rendah, cepat dan mudah berubah karena tidak mengikat kelompok.

Masyarakat Jawa, terutama yang berasal dari latar-belakang kalangan priyayi, termasuk dalam budaya komunikasi konteks tinggi. Presiden Soeharto misalnya, sebagai orang Jawa yang masih sangat feodalistik, gaya bicaranya sangat konteks tinggi. Pemilihan kata dalam bahasanya halus dan selalu samar. Sehingga orang lain diharapkan mengerti dan dapat memaknai sendiri apa yang dia katakan. Namun, jika orang tersebut (komunikan) salah menangkap apa sesunggungnya yang telah dikatakan Soeharto, secara halus dan kasat mata, Soeharto pun akan menggebuk.

Secara umum, tipikal masyarakat Indonesia yang masih setengah jajahan dan setengah feodal, budaya komunikasi konteks tingginya masih sangat kental. Sehingga jika ada orang yang suka bicara blak-blakan, lugas, dan langsung kepada pokok persoalan, tidak begitu disukai oleh masyarakat Indonesia.

Setidaknya hal tersebut terbukti saat Amien Rais yang memiliki gaya komunikasi konteks rendah, tidak bisa merebut hati masyarakat dalam pemilu presiden tahun 2004. Pasalnya, gaya bicara Amien Rais yang terlalu lugas, tentu bertentangan dengan karakter masyarakat Indonesia yang memiliki budaya komunikasi konteks tinggi.

Bila ingin berhasil merebut hati dan simpati calon pemilih dalam kampanye politik, seorang tokoh politik tentu harus memerhatikan hal tersebut. Sehingga gaya komunikasinya efektif dan tepat mengenai sasaran sesuai dengan yang diinginkannya sebagai komunikator. Menurut Deddy Mulyana (2005: 149), gaya komunikasi efektif merupakan perpaduan antara sisi-sisi positif komunikasi konteks tinggi dan komunikasi konteks rendah yang ditandai dengan ketulusan, kejernihan, keterbukaan, keterusterangan, kesederhanaan, dan kesantunan dalam berbicara.


Gaya dan Retorika

Gaya komunikasi seseorang juga dapat dilihat dari retorikanya. Retorika adalah berbicara. Berbicara berarti mengucapkan rangkaian kata atau kalimat yang dilakukan oleh seseorang untuk mencapai tujuan tertentu. Retorika juga dapat dimaknai sebagai suatu proses komunikasi, seorang kumunikator menyampaikan pesan kepada komunikan. Menurut Sonnya K. Foss (1989: 4-5), retorika didefinisikan sebagai penggunaan kata atau bahasa untuk memengaruhi pikiran, perasaan, dan tingkah laku khalayak. Jika didasarkan pada fungsi bahasa yang mendasar, retorika menjadi sarana simbolis yang digunakan manusia untuk ”membujuk” manusia lain yang secara alami beraksi dan berkreasi dengan menggunakan simbol-simbol.

Lantaran itulah retorika tidak dapat dilepaskan dari penggunaan bahasa, istilah, dan simbol-simbol tertentu untuk memfokuskan perhatian pada topik dan aspek tertentu. Penggunaan istilah dan kata-kata inilah yang pada akirnya dapat mengarahkan pikiran dan perasaan khalayak untuk melakukan tindakan sesuai yang diinginkan oleh sang komunikator.

Jelaslah bahwa kata-kata mempunyai kekuatan. Kita bisa menggunakannya sesuai kehendak diri sendiri. Jika digunakan dengan tepat maka kita akan menunai hasil yang baik. Sebaliknya, jika digunakan secara salah maka kita akan memanen hasil yang buruk (Hendra Kusuma, 2008: 10).

Salah satu teori yang memiliki hubungan erat dengan definisi retorika tersebut adalah teori terministic screen. Teori ini dikembangkan oleh seorang ahli bidang retorika dari Amerika Serikat, Kenneth Burke. Inti dari teori ini adalah bahwa dalam komunikasi, manusia cenderung memilih kata-kata tertentu untuk mencapai tujuannya. Pemilihan kata-kata itu bersifat strategis. Dengan demikian, kata yang diungkapkan, simbol yang diberikan, dan intonasi pembicaraan, tidaklah semata-mata sebagai ekspresi pribadi atau cara berkomunikasi, namun dipakai secara sengaja untuk maksud tertentu dengan tujuan mengarahkan cara berpikir dan keyakinan khalayak (dalam Eriyanto, 2000: 5).

Karena itulah, para komunikator, apalagi seorang pimpinan partai yang sedang berusaha meraih simpati massa dalam kampanye politik, tentu akan menggunakan berbagai pilihan kata yang dianggap bisa untuk mempengaruhi khalayak. Bahkan pilihan kata-kata yang bersifat membujuk sekalipun, tentu akan digunakan oleh para politisi. Baginya yang penting massa bisa datang memilih dirinya saat berada dibilik kecil tempat pemungutan suara (TPS).

Sebagai strategi komunikasi politik untuk membangun image, para komunikator juga tak jarang mengunakan bahasa atau kalimat untuk menggambarkan tentang dirinya dan partainya yang selalu positif. Namun, baik secara eksplisit maupun implisit memilih kata-kata untuk menggambarkan lawan politiknya sebagai sesuatu yang buruk.

Kelebihan, kebaikan, keungulan, atau hal-hal yang bersifat positif lain mengenai dirinya dan partainya, akan digambarkan secara detail, eksplisit, dan jelas. Namun, sebaliknya, ketika menggambarkan kebaikan orang lain disajikan secara pendek dan implisit, bahkan samar-samar. Bila dianggap perlu, kelebihan dan keungulan kelompok lain malah tidak diungkapkan sama sekali. Tergantung kebutuhan komunikator sendiri.

Dalam retorika komunikasi politik, latar-belakang masalah juga sering diungkapkan sebagai alasan pembenar gagasan dalam teks yang dungkapkan. Seperti dalam perdebatan dan perselisihan politik, dimana secara sistematis seseorang berusaha mempertahankan pendapat kelompoknya sendiri dan menyerang pendapat argumentasi pihak lawan. Mengungkapkan sederet fakta sebagai latar-belakang masalah untuk tujuan tertentu, sesuai keinginan komunikator sendiri.

Pengandaian (presupposition) juga sering digunakan oleh para komunikator politik. Pengandaian digunakan sebagai strategi lain yang dapat membangun image atau citra tertentu, agar dapat diterima khalayak. Pengandaian hadir dengan memberikan pernyataan yang dipandang terpercaya, dan karena itu tidak perlu dipertanyakan. Hampir mirip dengan elemen pengandaian adalah elemen penalaran. Elemen ini digunakan untuk memberi basis rasional, agar teks yang disajikan oleh komunikator tampak benar dan menyakinkan.

Selain itu, retorika juga dapat dimaknai sebagai seni berbicara. Sehingga setiap orang bisa memiliki gaya retorika tersendiri yang tentu saja, berbeda satu sama lainnya. Mengenai model retorika, Dori Wuru Hendrikus (2009) membagi ke dalam tiga bagian. Pertama, gaya retorika monologika atau monolog. Dalam model komunikasi ini biasanya terjadi dalam proses pidato yang bersifat satu arah, sebab hanya satu orang yang berbicara (komunikator), dan yang lain hanya sebagai pendengar (komunikan).

Kedua, dialogika. Gaya retorika ini biasanya memang jarang dapat ditemui dalam acara-acara pidato atau orasi politik yang dihadiri banyak orang (massa) di sebuah lapangan terbuka. Gaya retorika dialogika ini biasanya hanya dilakukan dalam acara-acara debat kandidat atau dialog terbuka.

Ketiga, pembinaan teknik bicara. Efektivitas monologika dan dialogika tergantung pada teknik bicara. Bahkan teknik bicara ini menjadi syarat penting dalam retorika. Mulai dari bagaimana cara mengatur pernafasan, teknik membina suara, dan berbicara. Semua harus diperhatikan dan diatur agar bicaranya bisa menjadi efektif.

Apa pun gayanya, retorika adalah sebuah seni berbicara. Semakin mahir dalam mengemas kata-kata atau istilah yang digunakan, pengaturan penekanan suara pada setiap kata yang disampaikan, tentu semakin baik. Bahkan dalam acara pidato yang dikenal selama ini hanya satu arah sekalipun, para pendengar bisa merasa seperti diajak berdialog. Suasana pun bisa menjadi semakin hidup. Bahkan pendengar bisa merasakan seperti diajak berbicara, tidak merasa hanya sekadar pendengar.

Pada dasarnya, retorika muncul sebagai bentuk interaksi sosial, yakni bagaimana komunikator memposisikan dirinya di antara khalayak. Apakah memakai gaya formal, informal, atau justru santai untuk menunjukan kesan bagaimana pembicara menampilkan dirinya. Jika seorang komunikator ingin terlihat berwibawa dan dihormati, boleh jadi dia menciptakan jarak dengan khalayak (komunikan). Misal, mengunakan kalimat yang kaku dan formal. Sebaliknya, jika komunikator ingin tampak egaliter, maka dia akan banyak memakai gaya santai dan kalimat-kalimat yang digunakan pun sederhana, lazim digunakan dalam kehidupan sehari-hari komunikannya, sehingga mudah dicerna. Namun, hal terpeting dari aspek interaksi sosial tersebut adalah, apakah komunikator tampak sejajar dengan khalayak (komunikan) atau tidak. Penggunaan kata seperti ”kita” atau ”kami” mensugestikan hubungan yang kaku, sebaliknya jika komunikator menggunakan kata ”saya” atau ”Anda” ingin mengesankan dirinya sejajar dengan khalayak.

Hal yang juga penting diperhatikan dalam retorika adalah ekspresi. Ekspresi ini dapat digunakan untuk membantu menonjolkan atau menghilangkan bagian tertentu dari teks yang disampaikan. Bagian ini untuk memeriksa apa yang ingin ditekankan dan ditonjolkan karena dianggap penting oleh komunikator itu. Dalam teks tertulis, ekspresi ini muncul misalnya dalam bentuk grafis, gambar, foto, tabel, dan lain-lain yang dapat digunakan untuk menonjolkan bagian yang dianggap penting. Bagian yang dicetak berbeda misalnya dicetak miring dan dicetak tebal adalah bagian yang oleh komunikator dianggap penting, dan komunikator menginginkan adanya perhatian penuh dari khalayak.

Seorang komunikator tentu tidak hanya sekadar menyampaikan pesan pokok. Galibnya, komunikator perlu juga menyampaikan kiasan, ungkapan, dan metafora yang dimaksud sebagai ornamen atau bumbu dari suatu teks. Pengunaan metafora tertentu juga bisa menjadi petunjuk utama untuk mengerti makna dalam suatu teks. Metafora tertentu juga dapat digunakan oleh komunikator secara strategis sebagai landasan berpikir, alasan pembenar atas pendapat atau gagasan tertentu kepada publik. William A. Gamson (1996:120-121) menyebut bahwa ornamen ini sebagai ”popular wisdom”.

Menurut William, popular wisdom dimaksud ditampilkan dalam dua jenis. Pertama, mengunakan kepercayaan masyarakat, ungkapan sehari-hari, peribahasa, pepatah, petuah leluhur, kata-kata kuno, bahkan mungkin kata-kata yang diambil dari sebuah ayat suci. Semua dapat digunakan untuk memperkuat pesan utama[1]. Kedua, dalam bentuk analogi. Tujuannya agar pesan lebih tertanam karena mengacu kepada kisah-kisah kepahlawanan, episode romantis masa lalu yang mudah diingat dan dipercaya oleh khalayak.

Semua gaya retorika tersebut memang bisa digunakan oleh siapa saja. Termasuk mereka yang kini sedang bertarung merebut suara hati rakyat dan ingin menjadi orang yang berpengaruh di negeri ini.



[1]Pemakaian popular wisdom misalnya: Perubahan tidak akan turun dari langit. Namun, perubahan hanya bisa kita dapatkan dari perjuangan. Kata-kata semacam ini biasanya digunakan untuk membangkitkan semangat massa. Popular wisdom juga bisa berbentuk kalimat seperti ini: misalnya, kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Ungkapan ini dapat digunakan untuk menenangkan hati orang yang sedang patah semangat akibat kegagalan, dll. Namun, pada intinya popular wisdom dipakai dan digunakan untuk menciptakan dan merangkai sebuah pesan agar khalayak dapat mengkontruski suatu wacana. Dengan popular wisdom, pesan menjadi tampak bijaksana dan sang komunikator terkesan berwibawa dan suci.

2 komentar:

  1. mas, boleh minta daftar pustakanya gak? saya terbantu sekali sama tulisan ini.mkasih ya mas. kalo bisa sih kirim aja ke daisy_natalie@yahoo.co.id

    desy

    BalasHapus