Senin, 08 Februari 2010

Trafficking adalah Musuh Rakyat

Trafficking atau perdagangan manusia adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Sudah sepatutnya, sanksi hukumnya pun, harus “luar biasa”, dalam arti hukuman terberat: Pidana Mati !

Memang, hakikat hukuman bukanlah balas dendam, tetapi penjeraan dan edukasi. Namun, khusus untuk kejahatan yang luar biasa ini (trafficking) tidak cukup hanya penjeraan dan edukasi. Harus lebih dari itu, yaitu ”pemusnahan” (pidana mati). Tentu saja setelah proses hukumnya mencapai vonis yang berkekuatan hukum tetap.

Indonesia, sampai sekarang belum bebas dari tindak pidana trafficking. Sama belum bebasnya dari tindak pidana korupsi. Dua jenis tindak pidana itu, sama-sama berkategori kejahatan luar biasa. Dalam tindak pidana korupsi ancaman hukuman maksimalnya berupa pidana mati (UU Tastipikor No. 31/ 1999 yang telah diperbaharui dengan UU No.20/2001). Bahkan, trafficking sepatutnya juga disejajarkan dengan kejahatan terororisme dalam arti bobot kejahatannya.

Ada berbagai modus oprandi trafficking di Indonesia. Pertama, bisa menggunakan kedok PJTKI atau berkedok lembaga penyalur tenaga kerja. Modus oprandinya antara lain, pemalsuan dokumen-dokumen seperti KTP, Ijasah, Akta kelahiran, surat ijin orangtua atau yang berhak. Modus lain, bisa juga berupa tidak menjelaskan isi perjanjian kontrak kerja antara pihak penyedia dengan pencari kerja. Semua itu masuk trafficking berdasarkan UU trafficking. Karena itu, aparat penegak hukum patut menjerat dengan UU trafficking. Bukan sekadar dijerat dengan KUHP (tindak pidana umum), pemalsuan (263 KUHP).

Kedok apapun yang dipakai, lasimnya bermuatan iming-iming kerja enak, gaji besar, masa depan cerah. Pendek kata, semua hanya berupa hembusan angina surga. Jelas ada muatan penipuan. Namun, ini bukan kategori tindak pidana umum (pidum). Melainkan masuk koridor pidana khusus (pidsus) seperti halnya korupsi dan terorisme sebagai extraordinary crime.

Mengapa masih saja ada yang tertipu dan masuk perangkap pelaku trafficking?

Ada beberapa faktor. Sedikitnya ada dua faktor yang mendasar. Pertama, rendahnya tingkat sosial ekonomi masyarakat (kemiskinan). Kedua, rendahnya tingkat pendidikan (pengetahuan). Dua hal tersebut (kemiskinan dan pengetahuan) sesungguhnya adalah tanggungjawab negara. Konstitusi kita juga mengamanatkan, fakir miskin dan anak terlantar saja dibiayai oleh negara.

Persoalan ini menjadi semakin rumit. Terlebih jika masyarakat bersikap apatis. Karena itu, sudah sepantasnya trafficking menjadi musuh bersama. Trafficking adalah musuh rakyat !

Agar kasus trafficking tidak semakin marak, pemerintah harus segera menghapus faktor penyebab yang mendasar yakni, kemiskinan dan pendidikan. Aparat penegak hukum, semakin kritis dan peka “daya penciumannya” terhadap tindak kejahatan luar biasa ini. Rakyat juga harus peduli dan pro aktif memberikan informasi tentang berbagai hal yang patut dapat diduga bermuatan tindak pidana trafficking.

Dari sinilah, sudah seharusnya jika trafficking dicanangkan sebagai musuh rakyat. Siapapun pelakunya, mereka adalah musuh rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar