Rabu, 20 Februari 2013

REFORMA AGRARIA Atasi Ketergantungan Impor Pangan

MALANG – Reforma agraria dinilai bisa mengatasi ketergantungan terhadap impor pangan.

Ketua Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi Bidang Penggalangan Tani Sidik Suhada mengatakan tanpa pembaruan agraria Indonesia akan selalu bergantung pada bahan pangan dari negara lain. Menurutnya, total pangan yang diimpor Indonesia sepanjang 2012 mencapai Rp81,5 triliun.

“Dari jumlah tersebut para perusahaan kartel importir pangan mengambil 30% keuntungan per tahun atau sekitar Rp11,3 triliun,” kata Sidik dalam keterangan tertulisnya kepada Bisnis, Minggu (17/2/2013).

Berdasarkan data yang diperoleh DPN Relawan Perjuangan Demokrasi dari Badan Pusat Statistik (BPS) beberapa komoditas pangan yang selalu diimpor Indonesia adalah beras, jagung, kedelai, biji gandum, tepung terigu, gula pasir, daging sapi dan ayam, garam, singkong, kentang, dll.

Beras misalnya nilai impornya mencapai 1,8 juta ton dengan nilai US$ 945,6 juta. Negara terbesar yang memasok beras ke tanah air adalah Vietnam sebanyak 1,1 juta ton senilai US$ 564,9 juta dan Thailand sebanyak 315.400 ton senilai US$ 186,2 juta. Sisanya berasal dari India, Pakistan, dan China.

Sedangkan jumlah impor daging sapi mencapai 40.338 ton atau turun dari 2011 sebanyak 102.850 ton. Negara pengimpor terbesar adalah Australia dengan volume 29.400 ton senilai US$ 113,8 juta.

Sementara untuk daging ayam volume impornya mencapai 6.797 kg senilai US$ 34.800 berasal dari Malaysia dengan total impor 6.461 kg senilai US$ 29.200 serta Belgia sebanyak 336 kg senilai US$ 5.593.

“Dan ironisnya untuk garam meskipun Indonesia memiliki pulau garam namun mengimpor garam sebanyak 2,2 juta ton senilai US$ 108 juta berasal dari Australia, India, Selandia Baru, Jerman, dan China,” jelas dia.

Ketergantungan pangan dari negara-negara lain tersebut menunjukkan bahwa Indonesia gagal mendorong kedaulatan nasional di bidang pangan. Padahal sejak awal Indonesia berdiri para pendiri bangsa sudah mengingatkan bahwa pangan adalah soal hidup matinya suatu bangsa.

Artinya hidup matinya sebuah bangsa sangat ditentukan oleh persoalan pangan. Karena itu agar Indonesia sebagai negara agraria tidak tergantung pada bahan pangan impor, pemerintah harus segera melaksanakan reforma agraria.

“Tanpa melaksanakan reforma agraria mustahil sebagai sebuah negara merdeka Indonesia bisa membangun kedaulatan pangan sendiri. Sebab hanya dengan jalan reforma agraria para petani akan mudah mengakses tanah dan mengelola tanah sebagai sumber pangan dan kehidupan,” tambahnya.

Dengan reforma agraria petani akan punya tanah dan dapat mengelola tanah, ketersediaan pangan nasional akan tercipta secara mandiri, bangsa dan negara akan maju karena ketersediaan pangan tercukupi. (snd)

Sabtu, 16 Februari 2013

KONFLIK AGRARIA: DPN-Repdem Nilai Sebagai Kejadian Luar Biasa


MALANG — Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPN-Repdem) menilai masifnya konflik agraria yang berlangsung hingga layak disebut sebagai kejadian luar biasa.

Ketua DPN Repdem Bidang Penggalangan Tani Sidik Suhada mengatakan dari data yang ada di Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyatakan sepanjang 2012 terdapat sekitar 8.000 konflik pertanahan yang belum terselesaikan.

“Sementara data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan sepanjang 2012 mencatat sedikitnya ada 156 orang petani ditahan, 55 orang petani luka-luka, 25 petani tertembak, dan 3 orang petani tewas dalam konflik agraria,” kata Sidik dalam keterangan resminya ke Bisnis, Kamis (14/2/2013).

Namun, lanjutnya, meskipun konflik agraria telah menelan korban jiwa, respons pemerintah terhadap konflik agraria sangat lamban. Bahkan terkesan seperti membiarkan tanpa penyelesaian.

Dia menuturkan seharusnya pemerintah menempatkan konflik agraria menjadi sebuah kejadian luar biasa sehingga butuh cara-cara penanganan yang luar biasa pula.

“Presiden perlu membentuk sebuah lembaga yang bersifat khusus dan independen agar dapat menyelesaikan konflik agraria secara tuntas,” imbuhnya.

Dia menjelaskan untuk membentuk lembaga itu dibutuhkan kemauan politik yang kuat dan nyata dari presiden. Tanpa ada kemauan politik itu  mustahil konflik agraria dapat diselesaikan secara tuntas.

Selain itu, sambungnya para elit politik dan pejabat pemerintah sebagai penentu kebijakan harusnya bisa memahami faktor penyebab maraknya konflik agraria yang disebabkan antara lain banyaknya kebijakan dan produk hukum yang dibuat pemerintah saling tumpang tindih antara aturan yang satu dengan yang lain.

“Keduanya saling menciptakan ego sektoral masing-masing. Saat ini banyak peraturan atau UU yang masih berbenturan satu sama lain bahkan secara horizontal,” ujarnya.

Misalnya UU Penanaman Modal, UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Pesisir dan Pulau-Pulai Kecil, hingga UU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum yang saling berbenturan satu sama lain.

Ketidak sinkronan itu, tambahnya, terjadi karena dalam proses pembuatan UU sering mengabaikan kepentingan rakyat dan tidak merujuk pada UU yang sudah ada sebelumnya baik UUD 1945 maupun UU Pokok Agraria No.5/1960.

“Tidak hanya itu makin parahnya konflik agraria juga karena banyak perauran daerah (perda) yang sangat bersifat eksploitatif dan bertujuan untuk kepentingan jangka pendek dari para elitpolitik dan pejabat birokrasi semata,” tutur dia. (snd)

KONFLIK LAHAN: Komnas HAM Desak Pemerintah Redistribusikan Tanah Konflik

MALANG-Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) mendesak pemerintah untuk segera mendistribusikan tanah konflik yang berada di wilayah Harjokuncaran Kecamatan Sumbermanjing Wetan Kabupaten Malang Jawa Timur kepada petani.

Komisioner Komnas HAM Bidang Mediasi M. Imdadun Rahmat mengatakan pihaknya menaruh perhatian serius terhadap konflik tanah yang terjadi antara warga dan Pusat Koperasi Angkatan Darat (Puskopad) Kodam V  Brawijaya.

“Kami akan membawa seluruh fakta yang ada di lapangan untuk dikaji ulang. Selain itu kami juga mendesak kepada pihak terkait untuk segera melakukan pertemuan dan melakukan mediasi secepatnya,” kata Imdadun saat melakukan pertemuan dengan warga Harjokuncaran, Rabu (13/2).

Komnas HAM, lanjut dia, juga siap untuk memediasi warga dengan pihak Puskopad. Hasil pertemuan dengan warga tersebut juga akan secepatnya dilaporkan Komnas ke pemerintah pusat.

Selain itu Komnas HAM juga akan meminta DPR RI dan Mabes TNI untuk meredistribusikan tanah tersebut kepada petani setempat. Sehingga sengketa antara warga dan Puskopad bisa segera diselesaikan.

Ketua Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPN Repdem) Bidang Penggalangan Tani Sidik Suhada yang ikut mendampingi warga mengatakan selain meminta data dan meneliti data yang dimiliki petani secara detail Komnas HAM juga meminta warga menunjukkan puing-puing bekas perkampungan warga yang tergusur.

“Warga juga diminta untuk menunjukkan batas-batas perkebunan yang saat ini dikuasi pihak TNI,” jelas dia.
DPN Repdem berharap kedatangan Komnas ke Harjokuncaran tidak hanya sekadar seremonial belaka namun benar-benat bisa menemukan fakta-fakta obyektif tentang kemungkinan adanya pelanggaran HAM.

Kepala Dusun Harjokuncaran Zamroni Idrus mengatakan warga menyambut baik kedatangan Komnas HAM ke wilayahnya dengan harapan agar konflik bisa segera terselesaikan.

“Keinginan warga cukup sederhana yakni ingin mempunyai tanah menjadi  lahan garapan. Dengan begitu akan membawa dampak sosial yang positif dan perekonomian masyarakat bisa berkembang,” tambah dia.
Warga katanya juga menrauh harapan besar kepada Komnas HAM  untuk  menjadi mediator dengan pihak-pihak terkait agar nantinya tidak terjadi lagi konflik fisik antara warga dengan pihak TNI. (gia)

Sumber: http://www.bisnis-jatim.com/index.php/2013/02/13/konflik-lahan-komnas-ham-desak-pemerintah-redistribusikan-tanah-konflik/

Komnas HAM Akan Investigasi Konflik Agraria di Harjokuncaran


MALANG — Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) akan kembali melakukan investigasi terkait konflik agraria di Desa Harjokuncaran Kecamatan Sumbermanjing Wetan Kabupaten Malang Jawa Timur.

Ketua Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPN Repdem) Bidang Penggalangan Tani Sidik Suhada mengatakan Komnas HAM akan turun, Rabu (13/2/2013).

“Komnas akan kembali melakukan investigasi mengingat konflik antara warga dengan pihak Puskopad TNI AD masih belum berujung,” kata Sidik seperti dikutip dalam keterangan tertulisnya ke Bisnis, Selasa (12/2/2013).

Menurutnya, warga berharap bisa mendapatkan hak atas pengelolaan dan kepemilikan tanah. Selain itu warga juga meminta kepada Komnas HAM untuk melakukan investigasi sekaligus memberikan perlindungan atas hak-hak warga.

Dia menuturkan warga mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan konflik agraria di Harjokuncaran yang sudah berlangsung cukup lama, tetapi hingga kini belum ada penyelesaian.

“Bagi warga desa tanah bukan hanya menjadi sumber kehidupan semata namun juga simbol status sosial,” jelasnya.

Dia memaparkan tanpa tanah warga desa tidak dapat disebut sebagai petani, tapi buruh tani. Karena itu perjuangan warga tidak akan pernah berhenti untuk mendapatkan hak atas tanah tersebut.

Menurutnya, dalam sejarahnya tanah bekas earfpach itu sebenarnya sudah ditetapkan sebagai tanah obyek landreform. Bahkan pada 1979 pemerintah sudah pernah mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No.32/1979 tentang Pokok-pokok Kebijakan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru atas Tanah asal Konversi Hak Barat.

“Kemudian pemerintah pusat melalui SK Dirjen Agraria No.190/DJA/1981 tertanggal 1 Desember 1981 sudah menetapkan tanah verponding 296, 752, 708, 7311, 1289, dan tanah verponding 1290 sudah ditetapkan sebagai tanah obyek landreform,” tegas dia.

Berdasarkan SK tersebut tanah seharusnya sudah didistribusikan kepada 2.525 kepala keluarga (KK) penggarap yang ada di Dusun Telogorejo, Wonosari, Bantaran, dan Margomulyo di Desa Harjokuncaran.

“Namun hingga saat ini belum ada satupun petani yang menerima tanah obyek landreform tersebut,” tambahnya. (snd)

Sumber: http://www.bisnis-jatim.com/index.php/2013/02/12/komnas-ham-akan-investigasi-konflik-agraria-di-harjokuncaran/

Jumat, 01 Februari 2013

Repdem: Aksi Petani Menuntut Reforma Agraria Marak


Oleh: MOHAMMAD SOFII 

MALANG— Petani dari sejumlah di Indonesia melakukan aksi long march petani Jambi dan Blitar, Jawa Timur menuntut reforma agrarian.

Ketua Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPN-Repdem) Bidang Penggalangan Tani Sidik Suhada mengatakan petani Jambi melakukan aksi jalan kaki 1.000 km petani dari Jambi ke Jakarta guna menuntut penyelesaian kasus agraria dan reforma agraria.

“Aksi penyambutan dari gerakan sosial akan dilakukan pada Rabu (23/1/2013) jam 12.00 di depan Istana Negara,” kata Sidik dalam pernyataan resminya yang dikirim ke Bisnis, Selasa (22/1/2013).

Menurutnya, long march ke Jakarta itu juga diikuti oleh petani dari Blitar. Mereka masuk Jakarta dari Pekalongan menuju Tegal. Sebagai bentuk solidaritas, lanjutnya,  ribuan petani dari daerah lain juga akan berbondong-bondong masuk Jakarta.

Dia menjelaskan selama di Jakarta mereka akan berkemah di kantor-kantor milik pemerintah untuk melakukan aksi serempak menyerukan penghentian akan kekerasan terhadap petani, pengusiran petani dari lahan, dan pencaplokan tanah atas nama investasi.

“Maraknya aksi petani yang terus meningkat ini menjadi bukti nyata bahwa reforma agraria yang pernah dijanjikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak ada buktinya,” imbuhnya.

Dia memaparkan hal tersebut terjadi karena tidak adanya tindakan konkrit dari pemerintah untuk menyelesaikan kasus yang ada. Bahkan selama kepemimpinan SBY kasus tanah justru semakin meningkat.

Kebijakan pemerintah dinilai Repdem lebih mementingkan investasi modal besar. Padahal dengan penduduk 230 juta dan sumber daya alam yang melimpah Indonesia harusnya menjadi negara maju dengan tingkat kesejahteraan penduduk yang tinggi.

“Namun yang terjadi saat ini Indonesia memiliki hutang luar negeri sebesar Rp1.600 triliun dan 40% penduduknya masih di bawah garis kemiskinan,” ungkapnya.

Adapun, sepanjang 2004-2012 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat telah terjadi 618 konflik agraria di Indonesia dengan areal konflik seluas 2.399.314,49 hektare dan hingga saat ini belum ada satupun yang terselesaikan. Dari jumlah itu 198 konflik diantaranya berlangsung sepanjang 2012. (snd)


Pembangunan Vila dan Hotel di Batu Korbankan Konversi Lahan


Oleh: MOHAMMAD SOFII - 31 January 2013
BATU — Maraknya konversi lahan yang terjadi di Kota Batu, Jawa Timur, disinyalir menjadi penyebab banjir menyusul banyaknya kawasan hutan yang berubah menjadi perumahan elit, vila, maupun hotel.

Ketua Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPN-Repdem) Bidang Penggalangan Tani Sidik Suhada mengatakan selain persoalan drainase, penyebab kantor Pemkot Batu kebanjiran juga akibat dari maraknya konversi lahan.

“Banyak kawasan hutan yang seharusnya dijaga dan dilindungi berubah menjadi perumahan, vila, dan hotel. Akibatnya meski hujan deras berlangsung sebentar membawa banjir yang sampai masuk ke halaman Pemkot Batu,” kata Sidik Suhada, Kamis (31/1/2013).

Diakui adanya pembangunan perumahan, vila, dan hotel di Kota Batu menunjukkan kesuksesan besar Batu sebagai kota pariwisata. Namun kesuksesan tersebut tidak boleh merusak alam yang dapat merugikan warga.

Karena itu Repdem meminta kepada pemkot agar dalam membangun Kota Batu hendaknya tetap memperhatikan tata guna tanah. Mengingat tata guna tanah ini penting untuk menjaga alam dan kelestarian lingkungan yang berkelanjutan.

“Tanpa memperhatikan masalah tata guna tanah yang sebenarnya yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No.5/1960 pembangunan yang sejatinya dihajatkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat justru bisa menjadi sebaliknya,” jelas dia.

Menurutnya, tidak hanya bencana banjir, sumber-sumber mata air bersih juga terancam hilang. Dampaknya warga juga terancam mengalami krisis air bersih. Hal itu ditandai dengan protes warga yang menolak pembangunan hotel.

Sepeti yang dilakukan warga Kecamatan Bumiaji yang menolak pembangunan Hotel The Rayja karena dekat dengan sumber air Gemulo.

Agar konflik antara warga dengan pengembang tidak berubah menjadi konflik sosial yang dapat merugikan banyak pihak, maka Pemkot Batu harus merespons secara cepat, tepat, dan bijak.

“Dalam hal ini pemkot harus bisa melihatnya bukan karena persoalan hilangnya mata air namun juga kemungkinan adanya faktor lain seperti persoalan pembebasan tanah atau lainnya,” ujarnya.

Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup Jawa Timur (Walhi Jatim), Purnawan D. Negara, mengatakan alih fungsi lahan pertanian maupun ruang terbuka hijau (RTH) di Kota Batu dalam kurun waktu lima tahun terakhir menunjukkan peningkatan.

“Hal itu ditandai dengan beralihnya lahan pertanian dan RTH menjadi hotel, tempat wisata, dan perekonomian modern,” jelasnya.

Alih fungsi lahan tersebut akan berdampak terhadap lingkungan seperti ancaman bencana banjir dan tanah longsor. Walhi sendiri melihat Kota Batu berada diambang kerusakan ekologis yang kritis akibat perusakan dan penjarahan ekologi.

Apalagi selama ini kebijakan Pemkot Batu cenderung mengarah ke echo destructive dan echo blunder diantaranya mengizinkan berdirinya hotel dan wisata di kawasan perlindungan. (snd)