Minggu, 30 Desember 2012

Penuntasan KONFLIK AGRARIA Mandek


MALANG—Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sepanjang 2004-2012 terjadi 618 konflik agraria di Indonesia dan hingga saat ini belum ada satupun yang terselesaikan. Dari jumlah itu 198 konflik diantaranya berlangsung sepanjang 2012.

Ketua Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPN-Repdem) Bidang Penggalangan Tani Sidik Suhada mengatakan dari konflik tersebut sedikitnya ada 731.342 kepala keluarga (KK) petani penggarap yang kehilangan tanahnya.

“Total luas lahan sepanjang 2004-2012 mencapai lebih dari 2.399.314,49 hektare,” kata Sidik Suhada dalam catatan akhir tahun yang dikirim ke Bisnis Minggu (30/12).

Konflik paling parah ujar dia terjadi pada periode Januari-Desember 2012 yang mencapai 198 kasus. Jika dihitung rata-rata setidaknya terjadi 1 konflik agraria dalam 2 hari. Dan 1 orang petani ditahan dalam 2 hari. Dari 198 konflik agraria sepanjang 2012 terdapat 156 orang petani ditahan dan dipenjarakan, 55 orang petani luka-luka, 25 petani tertembak, dan 3 orang petani tewas dalam konflik agraria tersebut.

“Dari konflik agraria yang terjadi sepanjang 2012 itu sebanyak 90 kasus terjadi di sektor perkebunan, 60 kasus di sektor pembangunan infrastruktur, 21 kasus di sektor kehutanan, 5 kasus di sektor pertanian, dan 2 kasus di sektor kelautan dan wilayah pesisir.”

Menurutnya total luas areal tanah yang dikonflikkan pada 2012 mencapai lebih dari 963.411,2 hektare dan melibatkan lebih dari 141.915 KK petani. Tingginya konflik agraria pada 2012 menunjukkan dengan jelas dan nyata jika pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bukan hanya tidak melaksanakan janjinya namun juga tidak punya komitmen untuk menyelesaikan konflik agraria.

“Apalagi melaksanakan pembaruan agraria seperti yang dijanjikan pada kampanyenya dulu,” katanya.

Tingginya angka konflik agraria kata dia sekaligus menjadikan rezim pemerintahan SBY menyumbang konflik agraria terbanyak pasca reformasi 1998. Kondisi tersebut juga menunjukkan jika pemerintah tidak pernah menjalankan amanat TAP MPR No.IX/2001 tentang Sumber Daya Alam dan Pelaksanaan Reforma Agraria.

Selain itu presiden juga dinilai tidak menjalankan amanat UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No.5/1960. Karena itu KPA berharap DPR-RI segera memanggil presiden guna meminta pertanggungjawaban karena tidak menjalankan amanat konstitusi.

“Pembangunan industri pertanian berskala besar seperti Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) adalah contoh konkret dan nyata jika pemerintah semakin menjauhkan petani Indonesia dari tanah,” jelasnya.

Padahal tanah bagi petani bukan hanya sekadar sumber ekonomi keluarga, namun juga merupakan identitas dan status sosial. Tanpa memiliki tanah seseorang tentu tidak dapat disebut petani tapi buruh tani. (sms)

SENGKETA LAHAN: Sampai 2012, 618 Kasus Agraria Tak Terselesaikan


MALANG: Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sepanjang 2004-2012 terjadi 618 konflik agraria di Indonesia dan hingga saat ini belum ada satupun yang terselesaikan. Dari jumlah itu 198 konflik di antaranya berlangsung sepanjang 2012.

Ketua Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPN-Repdem) Bidang Penggalangan Tani Sidik Suhada mengatakan dari konflik tersebut sedikitnya ada 731.342 kepala keluarga (KK) petani penggarap yang kehilangan tanahnya.


“Total luas lahan sepanjang 2004-2012 mencapai lebih dari 2.399.314,49 hektare,” kata Sidik Suhada dalam catatan akhir tahun yang dikirim ke Bisnis Minggu (30/12).


Konflik paling parah ujar dia terjadi pada periode Januari-Desember 2012 yang mencapai 198 kasus. Jika dihitung rata-rata setidaknya terjadi 1 konflik agraria dalam 2 hari. Dan 1 orang petani ditahan dalam 2 hari.


Dari 198 konflik agraria sepanjang 2012 terdapat 156 orang petani ditahan dan dipenjarakan, 55 orang petani luka-luka, 25 petani tertembak, dan 3 orang petani tewas dalam konflik agraria tersebut.


“Dari konflik agraria yang terjadi sepanjang 2012 itu sebanyak 90 kasus terjadi di sektor perkebunan, 60 kasus di sektor pembangunan infrastruktur, 21 kasus di sektor kehutanan, 5 kasus di sektor pertanian, dan 2 kasus di sektor kelautan dan wilayah pesisir.”


Menurutnya total luas areal tanah yang dikonflikkan pada 2012 mencapai lebih dari 963.411,2 hektare dan melibatkan lebih dari 141.915 KK petani. Tingginya konflik agraria pada 2012 menunjukkan dengan jelas dan nyata jika pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bukan hanya tidak melaksanakan janjinya namun juga tidak punya komitmen untuk menyelesaikan konflik agraria.


“Apalagi melaksanakan pembaruan agraria seperti yang dijanjikan pada kampanyenya dulu.”


Tingginya angka konflik agraria kata dia sekaligus menjadikan rezim pemerintahan SBY menyumbang konflik agraria terbanyak pasca reformasi 1998. Kondisi tersebut juga menunjukkan jika pemerintah tidak pernah menjalankan amanat TAP MPR No.IX/2001 tentang Sumber Daya Alam dan Pelaksanaan Reforma Agraria.


Selain itu presiden juga dinilai tidak menjalankan amanat UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No.5/1960. Karena itu KPA berharap DPR-RI segera memanggil presiden guna meminta pertanggungjawaban karena tidak menjalankan amanat konstitusi. (k25/arh)


Sabtu, 15 Desember 2012

78 Kasus Konflik Agraria Belum Terselesaikan


Jurnas.com SEDIKITNYA ada 78 kasus konflik agraria di Jawa Tengah yang saat ini belum diselesaikan. Maraknya konflik agraria ini akibat pemerintah tidak melaksanakan Reforma Agraria atau Pembaruan Agraria.

Staf Deputi Riset dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan Ketua Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPN Repdem) Bidang Penggalangan Tani, Sidik Suhada melalui siaran persnya, Selasa (11/12), mengatakan konflik agraria terbanyak terjadi di sektor perkebunan (swasta maupun PTPN) adalah 37 kasus. Konflik agraria antara petani penggarap dengan pihak perkebunan ini tersebar di 37 desa di wilayah Cilacap, Pati, Semarang, Temanggung, Kendal, Batang, dan Pekalongan.

Sebanyak 26 kasus konflik agraria antara warga dengan perhutani ini tersebar di 26 desa yang berada di wilayah Cilacap, Banyumas, Kebumen, Wonosobo, Blora, Temanggung, Kendal, dan Batang. Sementara konflik agraria yang melibatkan institusi militer, sedikitnya tercatat sebanyak 9 kasus dan konflik agraria di sektor pertambangan ada 6 kasus.

Secara nasional konflik agraria di tahun 2012 ini juga sangat tinggi. Berdasarkan catatan Konsersium Pembaruan (KPA) sedikitnya ada 173 konflik agraria baru yang terjadi mulai bulan Januari sampai Oktober 2012. Dari 173 konflik yang ada di seluruh Indonesia itu, sedikitnya 3 orang petani tewas akibat ditembak peluru aparat keamanan, 25 orang luka tembak, 131 orang petani ditahan dan dikriminalisasi, serta 44 orang petani luka-luka akhibat dianiaya. Total luas lahan yang dipersengketakan oleh rakyat vs perusahaan (negara/swasta) 866.676 Ha yang melibatkan 112.854 kepala keluarga.

Maraknya konflik agraria yang sepanjang tahun terjadi membuktikan bahwa reforma agraria yang selama ini dijanjikan pemerintah, tidak terbukti di lapangan. Bahkan berbagai kebijakan pemerintah justru kerap kali bertentangan dengan semangat pelaksanaan reforma agraria yg sudah diamanatkan dalam TAP MPR No. 9 tahun 2001 tentang pengelolaan sumber daya alam dan pelaksanaan reforma agraria.

Selain itu, kebijakan-kebijakan pemerintah juga kerap kali bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria atau yang dikenal dengan UUPA No. 5 tahun 1960, misalnya, UU No. 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah untuk pembangunan, yang jelas-jelas bertentangan dengan semangat reforma agraria. Begitu juga keberadaan UU Penanaman Modal, UU Perhutani, dan lain-lain yang semua bertolak belakang dengan semangat pembaruan agraria yang diamanatkan dalam TAP MPR Nomor 9 tahun 2001 dan UUPA.

Bahkan UUPA, sebagai produk hukum terbaik untuk mengakhiri ketimpangan hak atas penguasaan dan pengolahan sumber-sumber agraria, tidak pernah dijalankan. Akhibatnya, konflik agraria di negeri ini terus meningkat.

Dalam kerangka untuk mencari format penyelesaian konflik agraria, serikat-serikat tani se-Jawa Tengah anggota KPA, akan mengadakan diskusi terbuka dengan tema “Mencari Formulasi Pelaksanaan Reforma Agraria dan Penyelesaian Konflik Agraria di Jawa Tengah bersama Ganjar Pranowo (calon Gubernur Jawa Tengah periode 2013-2018). Diskusi ini dilaksanakan hari Rabu, 12 Desember 2012 di Sekertariat SPP Qt (Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah), Jalan Japar Sodik Nomor 25, Kelurahan Kali Bening, Kecamatan Tingkir, Salatiga.

Menurut Sidik, acara ini sekaligus untuk menguji komitmen calon Gubernur Jawa Tengah terhadap persoalan-persoalan kaum tani, khususnya untuk menyelesaikan konflik agraria dan pelaksanaan reforma agraria di Jawa Tengah.


Konflik Agraria Tercatat 173 Kasus


MALANG—Konflik agraria sepanjang tahun ini marak terjadi di sejumlah wilayah. Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) sepanjang Januari-Oktober 2012 terdapat 173 konflik agraria.

Staf Deputi Riset dan Kampanye KPA dan Ketua Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPN Repdem) Bidang Penggalangan Tani Sidik Suhada mengatakan dari 173 konflik yang ada di seluruh Indonesia sedikitnya 3 orang petani tewas akibat tertembus peluru aparat keamanan, 25 orang luka tembak, 131orang petani ditahan dan alami diskriminalisasi, serta 44 orang petani mengalami luka.

“Sedang total luas lahan yang dipersengketakan oleh rakyat dengan perusahaan baik negara maupun swasta mencapai 866.676 hektare yang melibatkan 112.854 kepala keluarga (KK),” kata Sidik dalam siaran persnya Rabu (12/12).

Maraknya konflik agraria yang sepanjang tahun terjadi ujar dia membuktikan bahwa reforma agraria yang selama ini dijanjikan pemerintah tidak terbukti di lapangan.

Bahkan berbagai kebijakan pemerintah justru kerapkali bertentangan dengan semangat pelaksanaan reforma agraria yang sudah diamanatkan dalam TAP MPR No.9/2001 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelaksanaan Reforma Agraria.

“Selain itu kebijakan pemerintah juga kerapkali bertentangan dengan UU Pokok Agraria atau yang dikenal dengan UUPA No.5/1960. Misalnya UU No.2/2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan yang jelas-jelas bertentangan dengan semangat reforma agraria.”

Begitu juga lanjut dia dengan keberadaan UU Penanaman Modal, UU Perhutani, dll yang semua bertolak belakang dengan semangat pembaruan agraria yang diamanatkan dalam TAP MPR No.9/2001 dan UUPA.

Bahkan UUPA sebagai produk hukum terbaik untuk mengakhiri ketimpangan hak atas penguasaan dan pengolahan sumber-sumber agraria tidak pernah dijalankan.

“Akibatnya konflik agraria di negeri ini cenderung terus meningkat.”

Sementara konflik agraria yang melibatkan institusi militer lanjut dia sedikitnya tercatat 9 kasus. Dan konflik agraria di sektor pertambangan ada 6 kasus.

Dari jumlah konflik yang berlangsung sepanjang 2012 itu sedikitnya 78 kasus terjadi di Jawa Tengah yang hingga saat ini belum terselesaikan. Konflik agraria terbanyak terjadi di sektor perkebunan baik swasta maupun PTPN yang mencapai 37 kasus.

“Maraknya konflik agraria ini terjadi akibat pemerintah tidak mau melaksanakan reforma agrari atau pembaharuan agraria,” jelasnya. (sms)

Setahun 173 Kasus Konflik Agraria, Tiga Tewas


TEMPO.CO, Malang-Sepanjang tahun 2012 terjadi 173 kasus konflik agraria di sejumlah daerah. Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) akibat konflik tersebut sebanyak tiga orang petani tewas, 25 terluka tembak, 44 orang luka-luka biasa, dan 131 petani ditahan.

"Dalam konflik mereka selalu berhadapan dengan aparat keamanan," kata Deputi Riset dan Kampanye KPA, Sidik Suhada, dalam siaran persnya, Rabu 12 Desember 2012.

Konflik agraria tersebut melibatkan luas lahan sengketa mencapai 866.676 hektare. Perebutan lahan itu melibatkan 112.854 kepala keluarga berhadapan dengan negara, militer, dan pihak swasta. Sebanyak sembilan kasus konflik agraria melibatkan institusi militer. Sebanyak enam kasus sengketa agraria di sektor pertambangan dan terbanyak 37 kasus sektor pertanian. Konflik paling sering terjadi di Jawa Tengah yakni sebanyak 78 kasus.

Menurut Sidik, banyaknya konflik agraria ini membuktikan reformasi agraria seperti yang dijanjikan pemerintah tak berjalan. Bahkan kebijakan pemerintah sering bertentagan dengan semangat Ketetapan MPR nomor 9 tahun 2001 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelaksanaan Reforma Agraria.

Selain itu, kebijakan pemerintah juga sering bertentangan dengan peraturan yang dikeluarkan. Seperti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah yang bertentangan degan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria. Undang-Undang Penanaman Modal, Perhutani, dan lainnya juga bertentangan dengan UU PA.

"Undang-Undang Pokok Agraria tak pernah dijalankan untuk mengakhiri konflik agraria," ujarnya. Akibatnya kasus konflik agraria di negeri ini cenderung terus meningkat.


Selasa, 04 Desember 2012

SENGKETA LAHAN: Di Malang Capai 5.570,5 Hektare

ilustrasi, foto: http://www.bisnis-jatim.com

MALANG-Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menduga terdapat 5.570,5 hektare lahan yang tersebar di 14 kecamatan di Kabupaten Malang mengalami konflik sengketa lahan.

Ke 14 kecamatan tersebut adalah Sumbermanjing Wetan, Tirtoyudo, Gedangan, Pagak, Bantur, Sumberpucung, Kalipare, Wonosari, Ngajum, Donomulyo, Pujon, Ngantang, Kasembon, dan Kecamatan Singosari.

Staf Deputi Riset dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sidik Suhada mengatakan sengketa lahan tersebut antara lain melibatkan warga dengan TNI baik itu Angkatan Darat (AD), Angkatan Udara (AU), Angkatan Laut (AL), PTPN, serta Perhutani.

“Konflik agraria antara warga dengan institusi militer, PTPN, dan Perhutani tidak perlu terjadi jika semua pihak benar-benar mematuhi Undang-Undang (UU),” kata Sidik di Malang, Senin (26/11).

Dimana ujar dia tertuang dalam UU No.34/2004 tentang TNI secara jelas dan terang melarang TNI menjalankan praktek bisnis. Dalam UU itu juga disebutkan bahwa semua aset bisnis TNI sebelumnya harus diserahkan pada negara.

Titik terjadinya konflik tersebut rinciannya lima diantaranya berada di  Kecamatan Pagak dan Bantur luasnya mencapai 4.811 hektare, di wilayah Kecamatan Sumberpucung seluas 97,5 hektare, serta di Desa Harjokuncaran dan Desa Ringin Kembar Kecamatan Sumbermanjing Wetan sebanyak 662 hektare.

“Maraknya konflik agraria di Kabupaten Malang menjadi bukti nyata jika  pembaruan agraria adalah sebuah keharusan yang dilakukan sebagai kebijakan pemerintah. Tanpa ada kebijakan pembaruan agraria konflik agraria akan terus terjadi,” jelasnya.

Salah satu tujuan dari pembaruan agraria tersebut kata dia untuk menata struktur kepemilikan dan penguasaan tanah agar tidak terjadi ketimpangan serta menciptakan keadilan dan kesejahteraan sosial sebagaimana yang diamanatkan pada sila kelima Pancasila, UUD 1945, dan UUPA No. 5/1960.

Pembaruan agraria juga sudah menjadi amanat TAP MPR No. IX/2001 tentang Reforma Agraria.  Namun sejauh ini yang tercantum dalam UU dan amanat TAP MPR tersebut lanjutnya belum dijalankan dengan baik.

“Sehingga konflik agraria terus saja terjadi dan hal itu sering menyebabkan kedua belah pihak menjadi korban saat terjadi bentrok khususnya pada warga yang mempertahankan lahan yang disengketakan,” jelasnya.

Dan maraknya konflik agraria antara warga dengan pihak institusi militer dinilai KPA cukup mengkhawatirkan karena tidak jarang disertai pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). (sms)

KPA : 30 Titik Konflik Agraria di Blitar

ilustrasi foto, sindonews.com

Blitar - Staf Deputi Riset dan Kajian Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Sidik Suhada, menyebutkan terdapat 30 titik konflik agraria di Kabupaten Blitar, Jawa Timur, dan sampai saat ini masih belum tuntas.

"Konflik itu terjadi antara petani dengan beragam lembaga atau instittus, ada yang dengan perhutani, perkebunan, bahkan sampai dengan TNI," katanya di Blitar, Minggu.

Sidik yang ditemui dalam acara diskusi dengan tema kebijakan reforma agraria untuk keadilan dan kesejahteraan petani di Dusun Babatan, Desa Ngadipuro, Kecamatan Wonotirto, Kabupaten Blitar, itu menyebutkan konflik itu rata-rata menyebar di daerah pinggiran.

Dari 30 konflik yang terdata itu, antara petani dengan pihak perkebunan ada 12 titik (11 titik dengan perkebunan swasta, satu titik dg PTPN XII).

Selain itu, ada enam titik konflik agraria yang terjadi dengan TNI (TNI AD ada lima titik dan TNI AU ada satu titik). Enam titik konflik agraria antara petani dengan TNI ini terjadi di Kecamatan Wonotirto, Garum, dan Ponggok.

Sidik juga menyebut, konflik agraria juga terjadi antara warga dengan pemerintah daerah. Terdapat satu titik konflik yang terjadi di Kecamatan Wonotirto.

"Untuk luas lahan yang konflik juga cukup luas, lebih dari 6.000 hektare. Rincinya, konflik warga dengan TNI ada sekitar 2.000 hektare, perkebunan ada sekitar 3.000 hektare, kehutanan sekitar 2000 hektare, dan dengan pemda ada sekitar 100 hektare," ungkap Sidik.


Pihaknya juga menyebutkan, adanya konflik itu sudah sangat mengkhawatirkan. Terlebih lagi, reformasi agraria (pembaruan agraria) yg selama ini dijanjikan oleh presiden, juga belum ada realisasinya. 

Padahal, pembaruan agraria itu bukan hanya menjadi amanat Undang-Undang, yaitu UUPA Nomor 5 Tahun 1960. Bahkan, pembaruan agraria itu juga sudah menjadi amanat TAP MPR IX/2001 yg mengamanatkan pada Presiden utk menjalankan reforma agraria.

Jumlah warga yang terlibat konflik juga cukup banyak mencapai lebih dari 10.000 Kepala Keluarga (KK) yang mayoritas petani. Mereka selama ini masih buta hukum, sehingga belum tahu apa yang harus mereka perbuat. Padahal, harusnya pemerintah membantu mereka, untuk mendapatkan hak-haknya.

"Maraknya konflik agraria di Kabupaten Blitar ini menunjukan bukti nyata tidak adanya keseriusan pemerintah dlm menyelesaikan konflik agraria," tegasnya.

Sidik juga mengatakan, acara diskusi ini memang sengaja dilakukan dengan melibatkan langsung masyarakat luas. Terdapat juga sejumlah pakar yang hadir dalam acara itu. 

Tujuannya, agar masyarakat lebih mengerti tentang berbagai aturan serta mereka bisa menjadi lebih paham tentang masalah agraria. Dengan itu, masyarakat menjadi lebih pintar dan mereka bisa melakukan untuk hak-hak yang belum mereka dapatkan. (*)

info sejenis juga dapat dibuka di:

Jumat, 31 Agustus 2012

Krisis Pangan dan Janji Pembaruan Agraria Presiden



Oleh: Sidik Suhada*
Semua terdengar manis, namun pahit pelaksanaannya.

Sebagai negara agraris, Indonesia tidak hanya dikarunia alam yang subur, tetapi juga tenaga kerja pertanian yang melimpah. Namun, soal pangan, Indonesia masih tetap bergantung pada negara-negara lain. Itu karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengingkari janjinya melaksanakan pembaruan agraria. 

Sejak awal berkuasa, berkali-kali Presiden SBY menebar janji akan segera melaksanakan pembaruan agraria. Namun, berkali-kali juga janji itu tak pernah ditepati. 

Terakhir presiden berjanji akan segera menerbitkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Reforma Agraria, namun hingga kini janji itu juga belum ditepati. Ini menunjukkan sebenarnya presiden tidak punya komitmen politik yang kuat untuk melaksanakan pembaruan agraria. 

Akibatnya, tidak adanya komitmen politik yang kuat dari presiden, Indonesia tidak hanya rentan terjadi konflik agraria. Namun, Indonesia juga rentan terhadap urusan pangan. Padahal, pangan adalah soal hidup atau mati bangsa. 

Karena itulah, sejak awal, ketika Bung Karno meletakkan batu pertama pembangunan gedung Fakultas Pertanian Universitas Indonesia yang kini menjadi Institut Pertanian Bogor, pada 27 April 1952, sudah mengingatkan arti pentingnya pangan bagi bangsa Indonesia. 

Namun, 60 tahun kemudian sejak Bung Karno menyampaikan pidato itu, persoalan pangan di negara ini tidak kunjung usai. Itu karena para generasi penerus yang memimpin bangsa ini abai terhadap pertanian. 

Hal itu tergambar jelas dari berbagai kebijakan pemerintah yang tidak menempatkan masalah pangan sebagai hidup atau matinya bangsa. Akibatnya, pemerintah lebih suka mengimpor bahan pangan dari negara-negara lain ketimbang memberdayakan petani untuk mengolah dan memproduksi pangan. 

Impor Kedelai
Ketidakseriusan pemerintah dalam mengolah pangan ini tampak jelas ketika Indonesia dilanda krisis kedelai. Kedelai sebagai bahan baku tempe yang merupakan makanan khas rakyat Indonesia ternyata tidak dapat dipenuhi pemerintah sehingga harus impor kedelai dari negara lain. 

Ketergantungan impor kedelai ini terlihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS). Dalam lima bulan pertama tahun ini, Indonesia telah mengimpor 750.100 ton kedelai dengan nilai US$ 424,2 juta. Impor terbesar datang dari Amerika Serikat, yaitu 721.100 ton dengan nilai US$ 401,6 juta. 

Kemudian, impor dari Malaysia 26.000 ton kedelai senilai US$ 20,8 juta dan Kanada dengan total impor kedelai dalam lima bulan terakhir 1.525 ton dengan nilai US$ 887.000. 

Sementara pada 2011, impor kedelai terbesar Indonesia dari Amerika Serikat dengan jumlah 1.847.900 ton. Kemudian, impor dari Malaysia 120.074 ton, Argentina 73.037 ton, Uruguay 16.825 ton, dan Brasil 13.550 ton. 

Masih menurut data BPS, pada 2011 produksi kedelai lokal hanya 851.286 ton atau 29 persen dari total kebutuhan. Dengan begitu, Indonesia harus impor kedelai 2.087.986 ton untuk memenuhi 71 persen kebutuhan kedelai dalam negeri. 

Fakta dan kenyataan ini tentu sulit diterima akal sehat. Sebagai negara merdeka yang memiliki tanah luas dan subur, Indonesia ternyata tidak bisa berdaulat dalam soal pangan. Karena itu, harus ada yang dikoreksi dalam kebijakan pemerintah. 

Akar Masalah
Ketidakkeseriusan pemerintah untuk membawa bangsa Indonesia keluar dari krisis pangan inilah yang menjadi permasalahan pokok sehingga produktivitas pertanian petani menjadi rendah. 

Jadi penyebab utama rendahnya produktivitas pertanian bukan semata-mata aspek teknis, seperti kekeringan atau faktor cuaca buruk yang selama ini sering menjadi dalih pembenar pemerintah, melainkan murni karena tidak adanya kebijakan politik yang dapat melahirkan kemandirian dan kedaulatan pangan secara nasional. 

Menyempitnya lahan pertanian akhibat konversi lahan atau alih fungsi lahan pertanian menjadi nonpertanian juga menjadi salah satu faktor tersendiri yang dapat menurunnya produksi bahan pangan pertanian. 

Hal ini terjadi karena pemerintah tidak serius dalam mengelola dan mengatur tata guna tanah. Akibatnya, meski ada UU No 41/1999 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, konversi lahan secara besar-besaran tetap terjadi. 

Selain itu, akibat tidak dilaksanakannya amanat TAP MPR No IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, ketimpangan penguasaan dan pengusahaan tanah tetap terjadi. Banyak petani yang seharusnya bisa memproduksi pangan menjadi tidak bisa menanam bahan pangan karena tidak ada lahan. 

Berdasarkan data BPS hasil sensus pertanian 2003 dapat diketahui, sedikitnya ada 56,5 persen dari total sekitar 44,3 juta petani di Indonesia adalah petani gurem berlahan sempit. Lebih dari itu, sedikitnya ada 28 juta Rumah Tangga Petani (RTP) yang ada di Indonesia tidak memiliki lahan sama sekali. Sementara mereka yang memiliki tanah rata-rata pemilikan lahannya hanya 0,36 hektare (Bonie Setiawan:2009). 

Ketimpangan kepemilikan tanah ini juga sangat tampak dari data resmi yang dilekuarkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang menyatakan hanya ada 0,2 persen dari penduduk di negara ini yang menguasai 56 persen aset nasional, sekitar 87 persen konsentrasi aset bentuk tanah. Selain itu, BPN juga menyebutkan sedikitnya ada 7,3 juta hektare tanah yang sebagian besar berbentuk HGU dibiarkan telantar. 

Padahal, apabila tanah seluas 7,3 juta hektare yang dikuasai perkebunan besar dan telantar itu didistribusikan pada petani, niscaya Indonesia tidak hanya dapat keluar dari krisis pangan, tetapi juga dapat swasembada pangan. 

Karenanya, pelaksanaan pembaruan agraria menjadi sangat penting bukan hanya untuk mengatasi krisis pangan, namun juga untuk membangun kemandirian bangsa dan kedaulatan pangan nasional. 

Melaksanakan pembaruan agraria berarti merombak total sistem struktur kepemilikan dan penguasaan tanah yang melahirkan ketimpangan dengan sistem yang baru dan tidak melahirkan ketimpangan. Sistem tersebut, yakni struktur kepemilikan dan penguasaan tanah yang berlandaskan Pancasila. 

Karena itu, rekonstruksi penguasaan dan pemilikan lahan sangat penting. Setelah dilakukan rekonstruksi penguasaan tanah yang berlandaskan Pancasila, agar pembaruan agraria dapat berjalan dan mencapai tujuan, pemerintah juga harus membuat kebijakan program pendukung pembaruan agraria. 

Program pendukung ini adalah input usaha tani, semisal penyediaan bibit berkualitas, penyediaan pupuk ramah lingkungan, pemberian modal dari pemerintah kepada petani penerima tanah program pembaruan agraria. 

Selain itu, pemerintah juga harus menyediakan sarana produksi, infrastruktur pertanian, dan berbagai bimbingan teknis pada petani penerima program pembaruan agraria. Inilah yang disebut land reform dan program pendukungnya atau acsess reform. 

Hanya dengan jalan melaksanakan pembaruan agraria sebagaimana amanat TAP MPR No IX/2001 dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960, kedaulatan pangan Indonesia dapat dicapai. Ini karena, diakui atau tidak, kebutuhan pangan nasional itu hanya dapat ditopang dari hasil produksi pertanian petani. 

Karena itu, jika bangsa Indonesia ingin keluar dari krisis pangan dan dapat ingin memiliki kedaulatan dalam hal pangan, tidak ada cara lain selain pemerintah harus melaksanakan apa yang disebut dengan pembaruan agraria. Ini karena hanya dengan jalan pembaruan agraria akses petani terhadap tanah dan sarana produksi pertanian petani dapat dimiliki. 

Tanpa memudahkan akses tanah kepada petani untuk memproduksi pangan, dapat dipastikan bangsa Indonesia yang besar ini hanya tinggal menunggu waktu kapan kehilangan jati dirinya dan akhirnya mati. 

Karena itulah, tidak ada pilihan lain jika masih ingin tetap melihat Indonesia ada di masa-masa yang akan datang. Kedaulatan di bidang pangan dari hasil pertanian petani kita harus segera diwujudkan. 

*Penulis adalah Ketua Dewan Pimpinan Nasional REPDEM Bidang Penggalangan Tani dan Aktivis Konsorsium Pembaruan Agraria.
(Sinar Harapan)

Jumat, 22 Juni 2012

Janji Pelaksanaan Pembaruan Agraria Presiden


Oleh: Sidik suhada*

Ada dua amanat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk Kepala BPN Hendarman Supandji yang baru dilantik, Kamis (14/6). 

Pertama, menjalankan reforma agraria. Kedua, menyelesaikan sengketa pertanahan dan konflik agraria. Namun, dapat dipastikan kedua amanat tersebut tidak akan pernah dapat tercapai.

Pasalnya, pembaruan agraria yang selalu digembar-gemborkan oleh Presiden SBY selama ini sebenarnya tidak pernah ada. Kecuali sekadar wacana untuk pencitraan politik. Buktinya, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Reforma Agraria atau Pembaruan Agraria yang selama ini dijanjikan presiden pun tidak pernah ada dan ditandatangani. 

Hal ini menunjukkan bahwa Presiden SBY sesungguhnya tidak memiliki komitmen politik yang kuat dan sungguh-sungguh untuk menjalankan pembaruan agraria sebagaimana amanat TAP MPR No IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. 

Selain amanat TAP MPR tersebut, pembaruan agraria sebenarnya juga sudah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria atau yang dikenal dengan UUPA. Namun, amanat dan semangat UUPA yang merupakan implementasi dari sila kelima Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945 juga tidak pernah dijalankan oleh presiden. 

Selain itu, beberapa kebijakan politik yang dijalankan presiden kerap kali justru bertentangan dengan semangat pelaksanaan pembaruan agraria. 

Bahkan, belum lama ini, pemerintah juga menerbitkan Undang-Undang (UU) No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yang secara substansi justru kontraproduktif dengan semangat pelaksanaan pembaruan agraria. Bahkan regulasi ini akan semakin meminggirkan status kepemilikan tanah rakyat; sehingga semakin membuka peluang lahirnya konflik agraria yang lebih besar dan bersifat masif. 

Sekadar mengingatkan, fakta empiris di lapangan menunjukkan bahwa jumlah konflik agraria setiap tahun bukannya semakin mengecil, melainkan terus meningkat. Berdasarkan data dan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Januari-Juni 2012 ini saja tercatat sedikitnya sudah ada 101 konflik agraria yang masuk KPA; dengan total luas tanah mencapai 377.159 hektare dan melibatkan 25.000 kepala keluarga petani penggarap. 

Padahal, sepanjang 2011, data konflik agraria yang masuk ke KPA hanya 163 kasus dengan rincian, 97 kasus di sektor perkebunan, 36 kasus di sektor kehutanan, 21 kasus pembangunan infrastruktur, delapan kasus pertambangan, dan satu kasus pertambakan. 

Luas tanah yang disengketakan 472.084,44 hektare dengan melibatkan 69.975 kepala keluarga petani. Sementara itu, pada 2010 konflik agraria yang masuk ke KPA hanya ada 106 kasus. 

Dari fakta dan data tersebut, tentu komitmen politik pemerintah yang ada saat ini di dalam menyelesaikan konflik agraria layak dipertanyakan ulang. Bukan sekadar karena jumlah konflik agraria yang setiap tahun terus bertambah dan tidak ada yang dapat diselesaikan. 

Namun, kemauan politik pemerintah untuk segera membentuk lembaga atau komite penyelesaikan konflik agraria yang selama ini disuarakan oleh kalangan aktivis pembaruan agraria melalui aksi besar pada 12 Januari 2012 yang lalu, juga tidak pernah ditanggapi Presiden SBY. 

Pembentukan lembaga yang bersifat khusus ini tentu sangat penting. Ini karena konflik agraria memiliki karakteristik tersendiri yang penyelesaiannya tidak bisa sekadar dinilai secara hukum positif. 

Konflik agraria yang selama ini diselesaikan melalui jalur hukum di pengadilan negeri, hampir tidak pernah ada yang dapat diselesaikan. Ini karena sering kali keputusan hukum di pengadilan justru mengoyak-ngoyak rasa keadilan masyarakat kecil yang lemah seperti para petani penggarap dan petani berlahan sempit. 

Presiden Harus Pimpin Langsung
Persoalan agraria dan konflik agraria adalah persoalan yang sangat kompleks. Karena itu, apabila presiden benar-benar berkomitmen untuk melaksanakan pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik agraria, bukan menyerahkan dua persoalan besar tersebut pada seorang Kepala BPN atau lembaga BPN semata. 

Ini karena persoalan agraria dan konflik agraria sejatinya melibatkan semua sektor lembaga negara yang selama ini menguasai sumber-sumber agraria seperti Kehutanan, ESDM, Pertanian, dan BUMN. Oleh karena itu, harus dipimpin langsung presiden. 

Dengan demikian, wajar jika sebagian kalangan memandang dua amanat presiden kepada Kepala BPN Hendarman Supandji pada saat dilantik itu sejatinya bukan untuk menyelesaikan konflik agraria dan menjalankan agenda pembaruan agraria; melainkan sekadar mengalihkan isu atau pencitraan politik semata. Jika tidak boleh dikatakan bahwa presiden sebenarnya hanya ingin lempar tanggung jawab. 

Lahirnya pandangan itu tentu logis sebab selama ini presiden memang hanya menebar wacana dan janji semata untuk melaksanakan pembaruan agraria. Namun, tidak bermakna dan tidak ada realitas nyata. 

Sekadar mengingatkan, pertama, di pelataran Candi Prambanan Yogyakarta pada akhir 2008. Melalui program Larasita (Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Pertanahan), presiden pernah berjanji akan melaksanakan pembaruan agraria. Kedua, di Marunda, Jakarta Utara pada Januari 2010. 

Dalam pidato peresmian peluncuran kendaraan Larasita, SBY juga berjanji akan melaksanakan pembaruan agraria. Ketiga, 22 Oktober 2010, di Istana Bogor. Di depan para petani, sambil mengisakkan air mata “buaya” presiden mengaku terharu karena melihat banyaknya petani yang tidak punya tanah, sehingga perlu melaksanakan pembaruan agraria. 

Namun, semua itu hanya janji politik tanpa makna. Ini karena sejatinya redistribusi tanah yang dilakukan Presiden SBY melalui BPN itu bukan bentuk pelaksanan pembaruan agraria sebagaimana semangat UUPA.
Pembaruan agraria adalah merombak total struktur kepemilikan tanah yang melahirkan ketimpangan, dan menggantinya dengan struktur kepemilikan tanah yang berlandaskan sila kelima Pancasila yakni keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Khususnya, kaum tani miskin dan kaum tani penggarap yang tidak punya tanah. 

“Tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan, Tanah untuk Tani! Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah!” demikian pesan Bung Karno dalam pidato perayaan HUT RI tahun 1963 yang berjudul “Jalannya Revolusi Kita” mengenai pentingnya pelaksanaan pembaruan agraria atau land reform sebagai salah satu cita-cita perjuangan nasional bangsa Indonesia. 

Karena itu adalah bagian dari cita-cita perjuangan nasional untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia, presiden tidak seharusnya cuci tangan atau melepas tanggung jawab untuk melaksanakan pembaruan agraria hanya kepada seorang Kepala BPN untuk melaksanakannya. 

Jika tanggung jawab tersebut diserahkan pada lembaga administrasi semacam BPN yang ada saat ini, siapa pun Kepala BPN-nya, sudah dapat dipastikan tidak akan bisa berbuat apa-apa. Selain sekadar komoditas janji politik presiden yang sudah tidak bermakna apa-apa. 

*Penulis adalah Ketua DPN Repdem Bidang Penggalangan Tani dan Staf Deputi Sekjen KPA Bidang Kajian dan Kampanye.

Tulisan ini dimuat di Harian Sore Sinar Harapan, 19 Juni 2012, hal 4.