Oleh: Sidik Suhada*
Semua
terdengar manis, namun pahit pelaksanaannya.
Sebagai negara agraris, Indonesia tidak hanya
dikarunia alam yang subur, tetapi juga tenaga kerja pertanian yang melimpah.
Namun, soal pangan, Indonesia masih tetap bergantung pada negara-negara lain.
Itu karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengingkari janjinya
melaksanakan pembaruan agraria.
Sejak awal berkuasa, berkali-kali Presiden SBY menebar
janji akan segera melaksanakan pembaruan agraria. Namun, berkali-kali juga
janji itu tak pernah ditepati.
Terakhir presiden berjanji akan segera menerbitkan
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Reforma Agraria, namun hingga kini janji
itu juga belum ditepati. Ini menunjukkan sebenarnya presiden tidak punya
komitmen politik yang kuat untuk melaksanakan pembaruan agraria.
Akibatnya, tidak adanya komitmen politik yang kuat
dari presiden, Indonesia tidak hanya rentan terjadi konflik agraria. Namun,
Indonesia juga rentan terhadap urusan pangan. Padahal, pangan adalah soal hidup
atau mati bangsa.
Karena itulah, sejak awal, ketika Bung Karno
meletakkan batu pertama pembangunan gedung Fakultas Pertanian Universitas
Indonesia yang kini menjadi Institut Pertanian Bogor, pada 27 April 1952, sudah
mengingatkan arti pentingnya pangan bagi bangsa Indonesia.
Namun, 60 tahun kemudian sejak Bung Karno menyampaikan
pidato itu, persoalan pangan di negara ini tidak kunjung usai. Itu karena para
generasi penerus yang memimpin bangsa ini abai terhadap pertanian.
Hal itu tergambar jelas dari berbagai kebijakan
pemerintah yang tidak menempatkan masalah pangan sebagai hidup atau matinya
bangsa. Akibatnya, pemerintah lebih suka mengimpor bahan pangan dari
negara-negara lain ketimbang memberdayakan petani untuk mengolah dan
memproduksi pangan.
Impor Kedelai
Ketidakseriusan pemerintah dalam mengolah pangan ini
tampak jelas ketika Indonesia dilanda krisis kedelai. Kedelai sebagai bahan
baku tempe yang merupakan makanan khas rakyat Indonesia ternyata tidak dapat
dipenuhi pemerintah sehingga harus impor kedelai dari negara lain.
Ketergantungan impor kedelai ini terlihat dari data
Badan Pusat Statistik (BPS). Dalam lima bulan pertama tahun ini, Indonesia
telah mengimpor 750.100 ton kedelai dengan nilai US$ 424,2 juta. Impor terbesar
datang dari Amerika Serikat, yaitu 721.100 ton dengan nilai US$ 401,6 juta.
Kemudian, impor dari Malaysia 26.000 ton kedelai
senilai US$ 20,8 juta dan Kanada dengan total impor kedelai dalam lima bulan
terakhir 1.525 ton dengan nilai US$ 887.000.
Sementara pada 2011, impor kedelai terbesar Indonesia
dari Amerika Serikat dengan jumlah 1.847.900 ton. Kemudian, impor dari Malaysia
120.074 ton, Argentina 73.037 ton, Uruguay 16.825 ton, dan Brasil 13.550 ton.
Masih menurut data BPS, pada 2011 produksi kedelai
lokal hanya 851.286 ton atau 29 persen dari total kebutuhan. Dengan begitu,
Indonesia harus impor kedelai 2.087.986 ton untuk memenuhi 71 persen kebutuhan
kedelai dalam negeri.
Fakta dan kenyataan ini tentu sulit diterima akal
sehat. Sebagai negara merdeka yang memiliki tanah luas dan subur, Indonesia
ternyata tidak bisa berdaulat dalam soal pangan. Karena itu, harus ada yang
dikoreksi dalam kebijakan pemerintah.
Akar Masalah
Ketidakkeseriusan pemerintah untuk membawa bangsa
Indonesia keluar dari krisis pangan inilah yang menjadi permasalahan pokok
sehingga produktivitas pertanian petani menjadi rendah.
Jadi penyebab utama rendahnya produktivitas pertanian
bukan semata-mata aspek teknis, seperti kekeringan atau faktor cuaca buruk yang
selama ini sering menjadi dalih pembenar pemerintah, melainkan murni karena
tidak adanya kebijakan politik yang dapat melahirkan kemandirian dan kedaulatan
pangan secara nasional.
Menyempitnya lahan pertanian akhibat konversi lahan
atau alih fungsi lahan pertanian menjadi nonpertanian juga menjadi salah satu
faktor tersendiri yang dapat menurunnya produksi bahan pangan pertanian.
Hal ini terjadi karena pemerintah tidak serius dalam
mengelola dan mengatur tata guna tanah. Akibatnya, meski ada UU No 41/1999
tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, konversi lahan
secara besar-besaran tetap terjadi.
Selain itu, akibat tidak dilaksanakannya amanat TAP
MPR No IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya
Alam, ketimpangan penguasaan dan pengusahaan tanah tetap terjadi. Banyak petani
yang seharusnya bisa memproduksi pangan menjadi tidak bisa menanam bahan pangan
karena tidak ada lahan.
Berdasarkan data BPS hasil sensus pertanian 2003 dapat
diketahui, sedikitnya ada 56,5 persen dari total sekitar 44,3 juta petani di
Indonesia adalah petani gurem berlahan sempit. Lebih dari itu, sedikitnya ada
28 juta Rumah Tangga Petani (RTP) yang ada di Indonesia tidak memiliki lahan
sama sekali. Sementara mereka yang memiliki tanah rata-rata pemilikan lahannya
hanya 0,36 hektare (Bonie Setiawan:2009).
Ketimpangan kepemilikan tanah ini juga sangat tampak
dari data resmi yang dilekuarkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang
menyatakan hanya ada 0,2 persen dari penduduk di negara ini yang menguasai 56
persen aset nasional, sekitar 87 persen konsentrasi aset bentuk tanah. Selain
itu, BPN juga menyebutkan sedikitnya ada 7,3 juta hektare tanah yang sebagian
besar berbentuk HGU dibiarkan telantar.
Padahal, apabila tanah seluas 7,3 juta hektare yang
dikuasai perkebunan besar dan telantar itu didistribusikan pada petani, niscaya
Indonesia tidak hanya dapat keluar dari krisis pangan, tetapi juga dapat
swasembada pangan.
Karenanya, pelaksanaan pembaruan agraria menjadi
sangat penting bukan hanya untuk mengatasi krisis pangan, namun juga untuk
membangun kemandirian bangsa dan kedaulatan pangan nasional.
Melaksanakan pembaruan agraria berarti merombak total
sistem struktur kepemilikan dan penguasaan tanah yang melahirkan ketimpangan
dengan sistem yang baru dan tidak melahirkan ketimpangan. Sistem tersebut,
yakni struktur kepemilikan dan penguasaan tanah yang berlandaskan Pancasila.
Karena itu, rekonstruksi penguasaan dan pemilikan
lahan sangat penting. Setelah dilakukan rekonstruksi penguasaan tanah yang
berlandaskan Pancasila, agar pembaruan agraria dapat berjalan dan mencapai
tujuan, pemerintah juga harus membuat kebijakan program pendukung pembaruan
agraria.
Program pendukung ini adalah input usaha tani, semisal
penyediaan bibit berkualitas, penyediaan pupuk ramah lingkungan, pemberian
modal dari pemerintah kepada petani penerima tanah program pembaruan agraria.
Selain itu, pemerintah juga harus menyediakan sarana
produksi, infrastruktur pertanian, dan berbagai bimbingan teknis pada petani
penerima program pembaruan agraria. Inilah yang disebut land reform dan program
pendukungnya atau acsess reform.
Hanya dengan jalan melaksanakan pembaruan agraria
sebagaimana amanat TAP MPR No IX/2001 dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No
5 Tahun 1960, kedaulatan pangan Indonesia dapat dicapai. Ini karena, diakui
atau tidak, kebutuhan pangan nasional itu hanya dapat ditopang dari hasil
produksi pertanian petani.
Karena itu, jika bangsa Indonesia ingin keluar dari
krisis pangan dan dapat ingin memiliki kedaulatan dalam hal pangan, tidak ada
cara lain selain pemerintah harus melaksanakan apa yang disebut dengan
pembaruan agraria. Ini karena hanya dengan jalan pembaruan agraria akses petani
terhadap tanah dan sarana produksi pertanian petani dapat dimiliki.
Tanpa memudahkan akses tanah kepada petani untuk
memproduksi pangan, dapat dipastikan bangsa Indonesia yang besar ini hanya
tinggal menunggu waktu kapan kehilangan jati dirinya dan akhirnya mati.
Karena itulah, tidak ada pilihan lain jika masih ingin
tetap melihat Indonesia ada di masa-masa yang akan datang. Kedaulatan di bidang
pangan dari hasil pertanian petani kita harus segera diwujudkan.
*Penulis adalah Ketua Dewan Pimpinan Nasional REPDEM
Bidang Penggalangan Tani dan Aktivis Konsorsium Pembaruan Agraria.
(Sinar Harapan)