Senin, 02 September 2013

REPDEM Desak Pemerintah Tinggalkan Impor Pangan

Lonjakan Harga Kedelai Bukti Kegagalan Pemerintah Kelola Pertanian

LENSAINDONESIA.COM: Ketua Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPN-REPDEM) Bidang Penggalangan Tani menilai, melonjaknya harga kedelai di pasaran murni sebagai bentuk kegagalan pemerintah dalam mengelola pertanian di Indonesia.
“Akibat kegagalan itu, sebagai negara agraris yang memiliki tanah subur dan sumber daya manusia (SDM) melimpah di pedesaan, Indonesia menjadi negara yang sangat bergantung pada bahan pangan impor,” kata Sidik kepada LICOM, Minggu (01/09/2013).
Menurut Sidik, kegagalan dalam mengelola pertanian itu kian bertambah seiring melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. “Tingginya harga kedelai itu dampak dari melemahnya rupiah terhadap dolar. Karena selama ini pemerintah tergantung pada kedelai impor. Sehingga ketika rupiah anjlok, harga kedelai pun melambung tinggi,” bebernya.
Sidik menambahkan, dengan melemahnya nilai tukar rupiah bisa jadi tragedi krisis pangan di Indonesia akan terjadi. Bahan pangan langka, harga melambung. Karena melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan mendorong tingginya biaya impor, sehingga berdampak pada tingginya harga pangan impor.
“Jika Indonesia ingin segera keluar dari bencana krisis pangan ini dan tidak tergantung pada bahan pangan impor, solusinya, pemerintah harus segera meninggalkan ketergantungan pada bahan pangan impor sebagai solusi mengatasi ketahanan pangan nasional. Pemerintah harus segera mengubah haluan dari membangun ketahanan pangan menjadi kedaulatan pangan,” ungkap Sidik.
Sementara itu, kedaulatan pangan ini hanya bisa dicapai dengan cara kembali pada UU Pokok Agraria nomor 5 tahun 1960. “Hanya denga cara menjalankan reformasi agraria atau pembaruan agraria sebagaimana amanat UUPA itulah, kedaulatan pangan nasional akan dapat dicapai. Kesejahteraan petani tercipta, pemerataan pembangunan pun terwujud hingga pelosok-pelosok desa,” paparnya.
Namun, solusi ini nampaknya tidak akan pernah diambil oleh pemerintah sekarang. Karena, watak dari pemerintahan yang ada saat ini bermental calo atau makelar. Sehingga, pemerintah lebih suka impor bahan pangan daripada harus membangun kedaulatan pangan secara mandiri. “Karena, dengan tetap melakukan impor, para calo dan maklar ini akan tetap bisa mendapatkan fee tanpa harus bekerja keras,” tegasnya.
Karena itu, jika Indonesia ingin keluar dari krisis pangan dan keluar dari ketergantungan impor pangan, selain harus menjalankan pembaruan agraria, birokrasi pemerintah juga harus segera dibersihkan dari watak calo dan maklear. Birokrasi pemerintah harus bersih dari para pemburu rente yang hanya mengutamakan keuntungan tanpa mengedepankan kepentingan nasional dan kepentingan bangsa.@aguslensa

Rupiah Melemah, Waspadai Ancaman Krisis Pangan


MALANG-Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dikhawatirkan mengancam terjadinya krisis pangan di dalam negeri akibat kelangkaan bahan pangan, menyusul melambungnya harga yang dipicu tingginya biaya impor.

Sidik Suhada, Ketua Gerakan Nasional Desa Sejahtera yang juga Ketua Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi Bidang Penggalangan Tani mengatakan dengan melemahnya nilai tukar rupiah maka akan berdampak pada tingginya harga pangan impor.

“Krisis pangan bisa saja terjadi. Bahan pangan langka menyebabkan harga melambung,” kata Sidik Suhada, Selasa (27/8/2013).

Dia menuturkan per April 2013 impor pangan Indonesia sudah mencapai US$ 2,23 miliar.  APBN bisa jebol karena defisit perdagangan di sektor pertanian sudah sangat tinggi.

Saat ini defisit untuk bahan pangan, hortikultura, dan peternakan sudah menembus minus US$6,541 miliar atau setara dengan minus 11,415 juta ton yang masing-masing minus sebesar  9,395 juta ton pangan dan peternakan 699.900 ton.

“Selain itu melambungnya harga kedelai sebagai dampak dari melemahnya rupiah juga membuktikan jika pemerintah gagal dalam mengelola pertanian di dalam negeri,” jelas dia.

Selama ini pemerintah juga banyak bergantung pada kedelai impor. Sehingga ketika rupiah anjlok harga kedelai pun melambung tinggi.  Hal ini merupakan bentuk kegagalan pemerintah dalam mengelola pertanian yang ada di Indonesia.

Tidak hanya soal kedelai, anjloknya nilai rupiah terhadap dolar juga akan membawa dampak buruk kepada persoalan harga pangan lainnya. Karena pemerintah salah kelola akhirnya menjadikan Indonesia ketergantungan pada bahan pangan impor.

“Solusinya pemerintah harus segera meninggalkan ketergantungan pada bahan pangan impor sebagai solusi mengatasi ketahanan pangan nasional,” ujarnya.

Pemerintah kata dia harus segera merubah haluan dari membangun ketahanan pangan menjadi kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan ini hanya bisa dicapai dengan cara kembali kepada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No.5 tahun 1960.

Hanya dengan cara menjalankan reforma agraria atau pembaruan agraria sebagaimana amanat UUPA No. 5 tahun 1960 itulah kedaulatan pangan nasional akan dapat tercapai.

“Kesejahteraan petani akan tercipta dan pemerataan pembangunan pun terwujud hingga ke pelosok desa,” tambah dia.

US Soybean Export Council Chris Cheong mengatakan ketergantungan Indonesia terhadap impor kedelai dari Amerika relatif tinggi. Sehingga jika nilai kurs dolar Amerika terhadap rupiah tinggi akan berpengaruh terhadap biaya impor.

“Apalagi kebutuhan kedelai impor tersebut tidak hanya untuk memenuhi industri tempe dan tahu melainkan juga untuk pakan ternak sapi perah. Sehingga dengan harga kedelai yang mencapai Rp8.500-Rp9.000 per kg akan memukul sektor usaha tersebut,” urai Chris. (wd)