Kamis, 31 Desember 2009

Balada Nengseh

Namaku Nengseh. Yah, Nengseh. Cukup panggil aku Nengseh.
Aku tidak tahu kenapa orangtuaku memberiku nama Nengseh. Aku juga tidak pernah tahu apa itu arti Nengseh. Orangtuaku yang memberiku nama Nengseh tak pernah memberitahu arti dari namaku itu. Sehingga yang kutahu, aku lahir di daerah pedalaman Kalimantan dan saat ini menjadi perempuan terpandang dan terhormat di kota suamiku. Meski aku sebenarnya bukanlah perempuan baik-baik.

Harga diriku sebagai perempuan telah kubuang jauh-jauh sejak aku meninggalkan kota kelahiranku. Kuselami kehidupan malam di kota pelajar yang dingin. Kujejakan langkah kakiku untuk sebuah kebutuhan batin yang tak pernah terpuaskan. Gejolak birahi diusiaku yang masih muda belia. Kusandang status sebagai mahasiswi.

Yah, mahasiswi. Sebuah istilah nama yang sangat keren di mata masyarakat daerah asalku. Apalagi aku mahasiswi yang kuliah di Jawa. Walau aku tak pernah menyentuh buku, mereka tetap memandangku sebagai perempuan terpelajar. Agent of change, demikian sebagian orang memandang statusku.

Aku tak peduli dengan status itu. Apalagi aku juga tak pernah tahu, siapa orang yang pertama menyebut kaumku sebagai agent of change. Namun, aku tetap menikmati julukan dari status itu. Terlepas apakah aku bagian diantara mereka yang benar-benar disebut sebagai agent of change atau tidak. Persetan. Aku tak peduli.

Hari-hariku aku habiskan di dunia malam. Bergerilya dari cafe ke kafe, dari pub ke pub, dan semua tempat hiburan malam yang ada di kota pelajar yang dingin ini. Tujuanku sipel, selain sekadar just for fun juga mencari pria-pria tajir yang haus cinta. Hingga suatu malam aku berkenalan dengan seorang pengusaha muda. Namanya, Jaka. Usianya, selisih lima tahun diatasku. Walau usianya masih muda, ternyata Jaka sudah punya istri dan dua anak. Persetan dengan anak dan istri Jaka. Aku tak peduli, aku tetap ingin menguasai Jaka demi uang dan kepuasan batinku.

”Kamu benar-benar hebat, Nengseh. Aku puas denganmu,” ucap Jaka pada suatu malam di kamar hotel berbintang lima.
“Kamu juga hebat Mas. Baru kali ini aku menemukan pria perkasa sepertimu,” balas Nengseh lembut.

Cinta asmara di kamar hotel berbintang lima ini terus berlanjut. Jaka pun semakin terbuai dengan rayuan gombal Nengseh. Jaka lupa dengan anak dan istrinya yang ada di rumah. Hingga pada suatu hari, Nengseh yang sudah punya banyak pengalaman melayani laki-laki hidung belang ini, sengaja ingin hamil. Usaha Nengseh tak sia-sia. Lalu meminta dinikahinya. Jaka akhirnya mencerai istrinya dan menikah Nengseh.

Empat tahun berlalu. Nengseh bukan hanya telah diwisuda di kampusnya. Namun, juga telah menjadi istri pengusaha. Hingga suatu momentum, Nengseh yang tidak pernah mengenal dunia politik praktis, mendapat tawaran dari sebuah partai politik yang baru didirikan dan kebingungan mencari kader. Pelacur gang doli pun disambar, asal punya uang. Tak butuh proses pengkaderan yang ribet untuk bisa duduk di parlemen mewakili partai politiknya. Pat gulipat, semua bisa disulap. Nengseh yang didukung logistik keuangan dari suaminya, akhirnya bisa menjadi perempuan terhormat dan dihormati. Dua periode, menyandang status sebagai wakil rakyat di kota suaminya.

Namun, yang namanya pelacur. Ia tetap pelacur. Usai memimpin rapat, ia tetap berkelana mencari laki-laki lain yang dapat memuaskan kebutuhan biologisnya. Tentu tanpa sepengetahuan suaminya.

”Mas, besok aku ada kunjungan ke Bali. Kalau kamu tidak sibuk, temani aku di hotel ya,” sebuah pesan singkat dikirim Nengseh pada seorang pria di Bali.

Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, pria yang menjabat sebagai kepala biro stasiun televisi di Bali langsung membalasnya.

”Siap ibu. Saya pasti akan temani bu Nengseh, kemana pun bu Nengseh mau jalan-jalan,” balas pria itu melalui ponselnya.

Tiga hari berlibur di Bali. Nengseh yang tidak pernah merasa puas menikmati gaya kehidupannya waktu masih muda, tetap terulang dan terus diulangi. Ia tak peduli kalau dirinya kini telah menjadi wakil rakyat. Dalam hati, ia berfikir, bukankah tugas wakil rakyat harus melayani rakyat. Pria ini adalah seorang rakyat. Maka sudah sepantasnya aku juga harus bisa melayani kepuasan pria ini. Apalagi, kepuasan pria ini adalah kepuasanku juga.

”Bu Nengseh ini benar-benar hebat,” ujar lelaki itu.
“Kamu juga hebat Mas. Kamu benar-benar perkasa. Tidak seperti suamiku si Jaka Gendeng,” ucap Nengseh sambil memeluk pria yang masih terbaring disampingnya.

Tak pernah sedikitpun merasa takut. Apalagi berfikir bahwa suaminya sudah mulai curiga terhadap prilakunya akhir-akhir ini. Hubungan dengan pria inipun terus berlanjut. Padahal ia juga tahu bahwa pria ini sebentar lagi akan menikah. Namun, Nengseh tetap ingin menikmati keperkasaan pria ini, selama pria ini belum menjadi milik orang lain. Hingga pada suatu hari, saat pria ini sedang berada di kota pahlawan. Nengseh yang tak pernah merasa puas dengan kebutuhan biologisnya, berusaha untuk menemui pria ini.

”Kutunggu di Hotel dekat bundaran waru,” pesan Nengseh singkat melalui HP-nya dikirim ke pria itu.
”Oke, tapi agak malam yah. Saya masih rapat nih,” balas pria itu.
”Tak apa Mas, jam berapapun saya tunggu,” balasnya.

Sekitar pukul 20:00, pria yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Nengseh tersenyum. Ia padangi pria berbadan tegap dan tinggi itu. Lalu mengajak pria itu berkaroke sebentar di ruang karoke hotel. Nengseh, memang paling suka berkaroke. Kebetulan pria ini juga paling demen bernyani. Sambil sesekali meneguk minuman yang telah dipesannya untuk menghangatkan badan, Nengseh dan lelaki ini terus bernyani. Hingga pukul 23:00, Nengseh baru mengajak pria ini masuk ke dalam kamar hotel berbintang itu.

Tok-tok. Tok-tok. Pukul 02:50 pintu kamar hotel di ketuk dari luar. Nengseh yang masih tergeletak lemas, awalnya tak mempedulikan suara ketokan pintu itu. ”Ini hotel berbintang, tak mungkin satpol PP dan polisi berani merazia hotel ini” bisiknya dalam hati. Namun, suara ketukan pintu itu semangkin keras terdengar. Nengseh yang masih telanjang pun segera menaik baju kimononya. Lalu melangkah ke arah pintu dan membukanya.

”Mampus aku. Sialan. Bajingan,” umpatnya dalam hati setelah membuka pintu. Ternyata yang mengetuk pintu itu suaminya sendiri dan sopir pribadinya. Bersama beberapa orang polisi yang disewa oleh suaminya. Namun, Nengseh tetap berusaha tuk tenang menghadapi situasi seperti ini. Sementara, pria muda yang bersamanya langsung masuk ke kamar mandi. Tak ada satupun kalimat yang terlontar dari pria itu. Dia hanya menundukan kepala setelah suami Nengseh memintanya ke luar dari kamar mandi.

”Kau tega sama aku,” ucap Nengseh pada sopir pribadinya yang ternyata membocorkan rahasia ini pada suaminya.

Sopir Nengseh pun gemetar. Namun, dia tetap berusaha tuk me-record suasana tegang di kamar hotel itu dengan kamera handycam-nya. Atas perintah suami Nengseh tentunya. Sementara Jaka hanya bisa menahan geram. Apalagi Jaka bukan hanya tahu tapi, juga kenal baik dengan pria yang ternyata berani meniduri istrinya itu. Saat pria ini belum menjadi kepala biro stasiun televisi, tepatnya ketika pria itu masih menjadi seorang kameramen, pria bertubuh besar ini sudah sering diajak oleh reporternya ke rumah Jaka. Bukan hanya sekadar untuk mengambil gambar wawancara dengan Jaka yang juga seorang ketua partai. Namun, disaat sang reporter dan dirinya butuh uang saku, pria ini kerap berkunjung dan menemui Jaka di rumahnya. Dari sinilah pria ini akhirnya dapat berkenalan dengan Nengseh yang genit.

Namun, sebagai seorang ketua partai. Jaka yang merasa geram tak banyak berbuat apa-apa. Jaka hanya merampas HP milik istrinya dan pria itu sebagai bahan bukti sekandal perselingkuhan istrinya. Karena, di dalam inbox HP mereka terdapat banyak pesan singkat yang bisa dijadikan bukti petunjuk perselingkuhan itu.

***

Pagi dini hari itu, Jaka langsung mengajak istrinya pulang. Jalan-jalan masih lengang. Porong yang selama ini macet pada siang hari, pagi itu tak ada antrean kendaraan yang berjalan merayap. Asap tebal berwarna putuh dari pusat semburan yang telah menenggelamkan belasan desa itu, masih tetap mengepul tanpa kompromis. Jaka dan istrinya duduk di belakang sopir pribadinya yang mengemudikan mobilnya. Sebuah borgol melingkar ditangan kiri Nengseh dan tangan kanan Jaka. Nengseh hanya diam. Dan terus mengikuti kemana suaminya akan membawanya.

Satu setengah jam, setelah meninggalkan kota Surabaya. Sopir keluarga itu menghentikan mobil atas perintah Jaka.

”Guh, berhenti disini saja. Kamu naik angkot dan langsung pulang ke rumah saja ya. Saya tidak pulang sekarang,” ucap Jaka pada sopirnya yang bernama Puguh.
”Iya pak.”
”Ini buat naik angkot,” imbuh Jaka sambil mengulurkan beberapa lembar uang pada sopirnya.

Setelah sang sopir turun dari mobil. Borgol yang ada ditangannya di lepas. Lalu di ikatkan pada besi disamping jok mobilnya. Sehingga kini tinggal tangan Nengseh yang terikat borgol dan besi disamping jok itu. Kemudian, Jaka pindah ke depan dan mengemudikan mobil sendiri.

Melihat ulah Jaka seperti ini, Nengseh masih tetap diam. Tak ada satupun kalimat yang keluar dari mulutnya. Ia juga tak menangis diperlakukan seperti itu oleh suaminya. Mobil yang dikemudikan oleh suaminya terus melaju pelan. Memutar-mutar kota tak tahu entah mau kemana. Jaka juga tak bicara apa-apa, hanya sesekali melirik kebelakang dari kaca kecil di dalam mobil itu. Hingga terasa cape, Jaka lalu membelokan mobilnya dan masuk ke halaman hotel. Lalu memarkir kendaraan itu dan turun.

”Ayo turun,” ucap Jaka setelah borgol yang melingkar di besi itu dipindah ke tangannya dan gelang yang satunya masih tetap melingkar ditangan istrinya.

Nengseh masih tetap diam dan tak tahu apa yang akan dilakukan oleh suaminya padanya. Ia hanya bisa mengikuti langkah suaminya. Lalu Jaka memesan satu kamar di hotel. Mereka berdua pun langsung menuju kamar hotel yang telah dipesannya.

Begitu sampai di kamar, Jaka melepas borgol yang ada di tangannya lalu mengikatkannya pada gagang kursi. Jaka masuk ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Usai mandi, Jaka tidur dan membiarkan istrinya yang masih menggunakan kimono semalam untuk tidur di kursi hotel itu. Pukul 12:00, Jaka baru bangun dan istrinya ternyata masih tertidur di kursi.

Sebuah tragedi yang sangat memalukan ini telah terjadi. Sebagai wakil rakyat, Nengseh bukan hanya telah memporak porandakan tatanan kerukunan rumah tangganya. Nengseh juga telah menghancurkan rencana pernikahan akhir tahun pria yang diajaknya tuk memuaskan kebutuhan biologisnya. Namun, inilah hidup. Nengseh tetap dapat tersenyum manis pada esok harinya setelah suaminya melepas borgolnya. Ia juga masih dapat memimpin rapat di komisinya, tanpa peduli hati rakyat terkoyak jika mengetahui skandal ini.

”Jika kamu tidak terima, silahkan ceraikan aku saja. Aku tak akan minta apa-apa darimu. Aku hanya minta jangan permalukan aku sebagai wakil rakyat,” ucap Nengseh pada suaminya. ”Tak adil jika kau mempermasalahkan ini. Aku berbuat seperti ini juga karena kamu juga sering selingkuh dengan perempuan lain,” imbuhnya.

Jaka hanya bisa diam. Namun, dalam hati dia tetap mengakui bahwa dirinya memang bukan tipe laki-laki setia. Setelah sekandalnya terbongkar, Nengseh kirim pesan pada pria selingkuhannya. ”Kamu harus tetap menikah. Andai aku tahu dari awal kamu non muslim, peristiwa ini tak akan pernah terjadi. Karena, aku tak bisa menikah dengan orang yang tidak seiman denganku,” tegasnya.

Sementara, pria itu telah pergi entah kemana. Hanya Nengseh dan laki-laki itu yang tahu. Itulah anggapan keluarga dari laki-laki itu. Namun, Nengseh tetap membantah bahwa dirinya masih menyembuyikan pria itu.

Minggu, 20 Desember 2009

Gaya Retorika Komunikasi Politik Prabowo


Awalnya, rasa “penasaran” di benak penulis. “Penasaran” menyimak banyak mantan aktivis mahasiswa angkatan 1998 “mengabdi” kepada sejumlah mantan jenderal TNI, di panggung politik pada pemilu 2009. Padahal, dahulu, mereka adalah barisan mahasiswa kritis, menuntut pembubaran Dwifungsi TNI/ABRI. Mereka juga menuntut militer yang berada di jagad politik praktis dan di dunia bisnis riil, ditarik dan dikembalikan ke barak masing-masing.

Dari rasa “penasaran” itu, lahirlah ide menulis buku ini. Namun, buku ini tidak dihajatkan untuk mencari alasan pembenar dari sudut pandang kalangan mantan akitifis mahasiswa dimaksud. Buku ini juga tidak bermotif menghakimi atau mencari dosa-dosa politik masa lalu para mantan jenderal TNI yang terjun ke kancah politik praktis, pemilu 2009.

Jujur saja, dalam perkembangan ide menulis buku ini, akhirnya penulis menukik hanya pada satu sosok mantan Jenderal TNI. Sosok dimaksud adalah, Letnan Jenderal TNI (Purn.) Prabowo Subianto. Hal yang paling menarik pada sosok mantan Panglima Kostrad tersebut, dari sudut pandang subjektif penulis, tertuju pada gaya retorika komunikasi politiknya.

Hal lain adalah, fakta bahwa Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang didirikan pensiunan jenderal bintang tiga tersebut mampu meraup 5,36 % suara sah nasional, atau setara dengan 30 kursi DPR RI pada pemilu 2009 (rekapitulasi KPU, 9 Mei 2009). Maka, wajar fakta tersebut diakui sebagai sebuah prestasi Prabowo dan Partai Gerindra yang baru kali pertama mengikuti pemilu, namun mampu lolos parliamentary threshold (2,5%); meski “hanya” di peringkat delapan dari sembilan parpol yang lolos ambang batas tersebut.

Penajaman penulis pada ide pokok “gaya retorika komunikasi politik Prabowo Subianto”, sungguh bukan karena penulis mengagumi anak Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo itu. Bukan pula karena penulis menjadi pendukung atau simpatisan Partai Gerindra. Pasalnya, maaf, penulis tetap konsisten untuk tidak memilih partai politik apa pun pada pemilu 2009, kendati pilihan tersebut sempat diharamkan oleh MUI.

Buku ini juga tidak dimaksudkan untuk “menghakimi” sosok Prabowo Subianto, baik sebagai individu maupun sebagai elit politik yang berlatar belakang militer. Bab demi bab dalam buku ini penulis sajikan sebagai sebuah mata rantai yang saling terkait. Diawali dari ihwal latar belakang Prabowo dan keluarga besar Profesor Sumitro; hingga terbentuknya kepribadian khas Prabowo. Penulis, dari berbagai sumber, juga menuangkan ihwal karier militernya, aneka masalah yang menyelimuti di penghujung karier militernya, persahabatannya dengan Raja Yordania, karier bisnisnya bersama adik (Hashim S. Djojohadikusumo), hingga semua itu membentuk rangkaian gaya bahasa dan retorika politiknya saat berlaga di jagad politik praktis, pemilu 2009.

Penulis perlu “buka kartu”, sesungguhnya penulis hanya mantan jurnalis muda yang masih terus berkeinginan belajar menyimak segala sesuatu, sebagaimana layaknya kelaziman seorang jurnalis. Tidak ada unsur dan muatan politis apa pun yang terselubung di balik penulisan buku ini. Kendati demikian, penulis mengakui, objektifitas individu seorang jurnalis juga tidak dapat dilepaskan dari persoalan sikap politiknya secara subjektif.

Ketika kali pertama berkeinginan menulis buku ini, penulis sempat berfikir ingin mengumpulkan semua hasil rekaman video orasi politik Prabowo selama melakukan kampanye di berbagai daerah. Selain itu juga mengumpulkan semua hasil rekaman video pada saat Prabowo diwawancara di televisi. Namun, hingga naskah buku ini ditulis, sedikit rekaman video yang dapat penulis kumpulkan sebagai bahan. Sehingga, boleh jadi, buku ini tidak dapat mewakili secara keseluruhan dari gaya retorika komunikasi pensiuan jenderal TNI bintang tiga tersebut.

Selain melakukan kampanye politik secara terbuka dengan cara menghadirkan massa, mantan Panglima Kostrad tersebut juga secara aktif melakukan kampanye melalui situs jejaring sosial facebook. Awalnya, penulis hanya tertarik pada gaya retorika komunikasi politik yang dibangun Prabowo melalui situs tersebut. Namun, penulis merasa “ada sesuatu yang kurang” jika hanya melihat gaya retorika komunikasi politik Prabowo yang ditulis melalui situs tersebut. Pasalnya, bisa jadi, apa yang ditulis di facebook tersebut bukan murni karya Prabowo, tapi produk tim suksesnya. Bertolak dari “kecurigaan” tersebut, penulis berusaha mencari berbagai rekaman kaset dan gambar video saat Prabowo berorasi dan diwawancara di stasiun televisi. Hal tersebut penulis maksudkan untuk menyimak ihwal bahasa non-verbalnya.

Maka, jadilah buku ini hanya sebatas menyimak gaya retorika komunikasi politik Prabowo selama melakukan kampanye politik sebelum pemilu legislatif 9 April 2009. Terutama yang berkaitan dengan penggunaan bahasa politik untuk memaknai realitas yang ada. Termasuk bagaimana gaya Prabowo pada saat berkapasitas sebagai komunikator dalam menyampaikan pesan untuk mempengaruhi khalayak.

Penulis berasumsi, keberhasilan komunikator dalam mempengaruhi khalayak agar bersedia memberikan dukungan (suara) kepadanya, salah satunya adalah karena kepiawaian komunikator dalam menyampaikan pesan. Termasuk pemilihan kata dan bahasa guna membingkai pesan agar semakin menarik khalayak. Itulah sebabnya gaya retorika komunikasi politik sang komunikator menjadi layak disimak, bahkan dianalisis.

Semoga buku ini bermanfaat bagi khalayak pembaca.

Surabaya, 9 Mei 2009
Sidik Suhada