Selasa, 29 Juni 2010

Oey Tiang Tjoei

Media massa idealnya non-partisan. Tidak memihak. Maka, insan media massa pun harus berperilaku demikian. Pasalnya, ideal itulah ”roh” media massa; ”jiwa” para jurnalis. Kesetiaan media massa sepatutnya hanya dihadirkan untuk kepentingan publik.

Namun, hal yang ideal itu nyaris pasti sulit diwujudkan. Selalu ada kepentingan yang menyertai dengan banyak argumentasi. Baik secara kelembagaan maupun secara perseorangan (oknum).

Sejarah mencatat, lunturnya idealisme media massa itu ternyata sudah berlangsung lama. Bukan baru terjadi setelah media massa memasuki ranah industri di alam kapitalisme ini. Apalagi setelah adanya pemilukada langsung yang ternyata banyak menyeret media massa menjadi media partisan untuk memberikan dukungan pada calon tertentu. Jauh sebelum itu, media partisan memang sudah ada di negeri ini.

Hanya sekadar contoh. Pada masa pra-perang kemerdekaan Indonesia, tahun 1930-an, ada dua surat kabar Tionghoa-Melayu yang saling bersaing ketat, yaitu Sin Po dan Keng Po. Masing-masing terbit dengan corak tersendiri.

Sin Po pimpinan Kwee Kek Beng menganjurkan nasionalisme Tiongkok. Sin Po juga mengajak pembacanya ikut bangga dan selalu memuja tanah leluhur. Sedangkan Keng Po pimpinan Inyo Beng Goat (1935), jelas menunjukkan pada pembacanya bahwa kaum peranakan China di bumi Indonesia tempatnya.

Dalam buku Jagat Wartawan Indonesia karya Soebagijo Ilham Notodidjojo (Gunung Agung, 1981), dikisahkan pula ihwal suratkabar Hong Po pimpinan Oey Tiang Tjoei. Suratkabat Tionghoa-Melayu ini terbit di Jakarta, setahun menjelang Jepang datang. Hong Po menyuarakan pro-Jepang.

Tidak aneh, sewaktu Jepang datang, Oey Tiang Tjoei (yang kemudian berganti nama menjadi Permana), segera mendapat kedudukan lumayan. Dia menjadi pemimpin umum suratkabar Kung Yung Pao sekaligus menjadi anggota Chuo Sangi-In, semacam Dewan Pertimbangan untuk pemerintahan bala tentara Jepang di Jawa.

Modal Hong Po cukup besar. Namun, peredarannya tidak mampu menandingi Sin Po dan Keng Po. Daya mampunya membangun opini publik juga kalah hebat dibandingkan dengan Sin Po dan Keng Po.

Dari kisah tersebut, sekali lagi, dapat disimpulkan bahwa lunturnya ”roh” non-partisan media massa bukan kasus baru. Tiap zaman punya kisah sendiri. Termasuk sekarang, era reformasi, zaman pilkada langsung oleh rakyat. Bukan hanya media-media kecil yang terbit di daerah, beberapa media massa nasional yang sudah memiliki nama besar pun, ternyata juga bisa menjadi media partisan seperti Hong Po.

Salahkah? Saya tidak dalam kapasitas menyalahkan atau membenarkan. Biarlah semua kembali kepada kearifan komunikan (khalayak pembaca, pendengar, atau pemirsa). Satu hal pasti, komunikan media massa akan semakin cerdas. Mampu memilah dan menyaring media mana yang benar-benar mengutamakan kepentingan publik.

Sekadar renungan, pernyataan Bung Karno (BK) 51 tahun silam, ”Lebih dahulu nasionalis, baru kemudian wartawan,” seru BK dalam forum peresmian pembukaan Jurusan Publisistik Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Indonesia, di Jakarta, 12 Desember 1959 (dalam Soebagijo I,N, 1981).

Maknanya, sebelum menjadi wartawan, jadilah seorang nasionalis dahulu. Dalam era pilkada sekarang, mungkin saja bisa dimaknai ”dahulukanlah kepentingan rakyat di daerah setempat, baru kemudian kepentingan media massa”. Atau, ”dahulukan kepentingan publik, baru kemudian kepetingan medianya.”

Sungguh, tantangan berat bagi pekerja pers pada era industri pers sekarang. Pasalnya, kompetisi semakin ketat dan berat. Iklan sebagai sumber pendapatan utama, menjadi ”dewi penggoda” idealisme. Haruskah menjadi pengkhianat nasionalisme seperti Oey Tiang Tjoei?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar