Sabtu, 04 April 2009

Melawan Kekuatan Media Dengan Cara Boikot



Oleh:

Sidik Suhada


Rasanya, kita tak pernah lepas dari media massa televisi. Sejak kita bangun tidur di pagi hari, hingga kembali tidur pada malam hari. Kita selalu dapat menyaksikan televisi. Selain dapat memberikan informasi, media massa yang satu ini ternyata juga menjadi tontonan yang menarik bagi keluarga kita. Namun, mengapa program-program siaran yang keluar dari kotak kecil bernama televisi ini selalu dipersoalakan banyak kalangan? Dan mengapa yang diprotes selalu saja program-program hiburan yang banyak menyedot penggemar, seperti infotaimnent dan sejeisnya?

Dalam tulisan ini saya tidak ingin membahas satu per satu dari program tayangan televisi yang kini sedang marak dipersoalkan banyak kalangan. Karena, saya tidak ingin terjebak dalam perdebatan yang bisa membuat program siaran itu semakin populis dan terkenal. Namun, saya hanya ingin memotret kepentingan dibalik program yang disiarkan di televisi.

Media massa kini memang sudah menjadi lembaga industri dan bisnis. Sebagai lembaga bisnis, tujuan pokoknya ingin meraih keuntungan. Sehingga meskipun program siaran itu diprotes banyak kalangan, asal bisa memberikan keuntungan bagi perusahaan tetap saja disiarkan. Kalau toh terpaksa harus ditutup karena sudah tidak tahan menahan desakan, ya ditutup. Namun, tetap akan muncul program sejenis selama program siaran itu masih laku dan banyak diminanti masyarakat.

Hingga kini, fakta memang menunjukan. Jumlah mayoritas masyarakat kita masih gemar bergunjing dan rasan-rasan. Sehingga ketika televisi menyodori sebuah tontonan yang beraroma rasan-rasan atau bergunjing, dapat dipastikan rating program siaran itu tinggi. Karena sesuai permintaan pasar yang digemari masyarakat sebagai customer-nya. Dengan rating yang tinggi, peluang untuk bisa mendapatkan keuntungan bagi industri itupun semakin terbuka lebar. Sebab jika rating-nya tinggi, pesanan iklan sponsor pasti semakin banyak. Inilah logika pasar.

Begitu juga program siaran hiburan lainnya. Asal dapat membuat masyakat kita yang mayoritas berpendidikan rendah dan setiap hari dilanda kesulitan ekonomi terhibur. Termasuk program siaran dapat menciptakan mimpi bagi masyarakat kita, pasti akan diterima. Karena mereka haus akan mimpi dan hiburan.

Perkembangan media massa televisi yang ada di negara kita saat ini, memang telah memasuki ranah industri dan bisnis. Apalagi untuk bisa membangun stasiun televisi tentu membutuhkan modal yang sangat besar. Bahkan bisnis media televisi sangat padat modal. Karena itulah, tentu hanya kalangan orang tertentu saja yang bisa membangun kerajaan bisnis ini.

Hampir tidak ada media televisi yang kini hidup dan tumbuh Indonesia, tidak dikuasai pelaku bisnis. Baik itu yang berasal dari kalangan pengusaha murni, maupun pengusaha yang merangkap sebagai komprador dan politisi. Semua tetap memiliki kepentingan yang sama yakni, meraup keuntungan yang sebesar-besarnya dari media itu sendiri. Baik keuntungan ekonomi maupun politik lainnya.

Lihat saja Trans7 dan Trans TV misalnya, yang kini berada dalam payung bisnis yang sama yakni, Trans Corp yang dimiliki seorang pengusaha, Chairul Tanjung. MNC group (TPI, RCTI, Global tv) dikuasai oleh Hary Tanoesoedibyo. TV ONE dan ANTV bernaung di bawah bendera Bakrie Group dengan Bos utama Abu Rizal Bakrie, SCTV sebahagian besar sahamnya dimiliki oleh Eddy Sariatmadja, dan yang terakhir Metro TV yang pemiliknya Surya Paloh, gemar menampilkan wajahnya di tv-nya sendiri.

Jika pemilik televisi itu murni seorang pengusaha, tujuan utamanya tentu keuntungan. Tak peduli program dan content-nya mendidik atau tidak, yang penting banyak disukai masyarakat sebagai pasarnya. Sehingga dapat menghasilkan keuntungan. Toh yang selama ini protes hanya sebagaian kecil dari kelompok masyarakat saja. Kalau tidak kalangan akademik, paling LSM dan kelompok-kelompok kecil masyarakat lainnya.

Sementara, bagi media massa yang didirikan oleh seorang komprador dan politisi, selain televisi dibangun untuk tujuan bisnis juga sebagai ajang popularitasnya sendiri agar tetap dapat diperhitungkan dalam kancah panggung politik. Tak peduli apakah publik dirugikan atau tidak, yang penting dirinya bisa tampil dan terkenal.

Jika belum bisa merebut kekuasaan dalam pemerintahan negara, paling tidak media-nya tetap dapat digunakan untuk mengamankan posisinya sebagai komprador. Bahkan kalau bisnisnya disektor yang lain tidak sesuai rencana seperti dalam kasus pengeboran Lapindo di Sidoarjo, toh dirinya tetap bisa selamat. Karena negara yang akan menanggung kerugiannya sebagai akibat bencana alam. Bukan akibat keteledorannya dalam merekayasa usaha dan bisnisnya.

Apalagi para kompardor ini tahu, para politisi sipil yang ada di negara ini sangat lemah ketika menghadapi pengusaha dan konglomerat. Jika negara tak mau menanggung, tinggal diancam aja semua aset ekonomi dan industri miliknya akan ditutup dan diboyong ke luar negeri, semua politisi dan pejabat negara pasti ketakutan. Karena kredibilitasnya bisa rusak gara-gara jumlah penganguran semakin banyak. Kelemahan inilah yang selalu digunakan para kompardor untuk menekan pemerintah agar tetap berpihak kepadanya. Sehingga tak heran, jika pemerintah lebih suka membantu pengusaha yang nakal daripada membantu masyarakat yang miskin dan kelaparan.

Media memang tidak pernah dapat lepas dari berbagai kepentingan. Struktur politik dan ekonomi yang ada di negara. Semua ikut menetukan kehidupan media massa yang ada. Pada masa orde baru, media massa berada di bawah ketiak sang diktator Suharto yang sedang berkuasa. Media massa termasuk televisi adalah alat penguasa untuk tetap dapat melanggengkan kekuasaan.

Sehingga media massa pada waktu itu hanyalah menjadi corong pemerintah. Siapapun yang berani mengkritik, nasibnya pun dapat ditentukan dalam hitungan detik karena SIUP nya di cabut dan medianya dibredel. Namun, apakah setelah reformasi media massa dapat hidup dan tumbuh bebas dalam menentukan content siarannya?

Ternyata tidak. Ibarat pepatah, lepas dari mulut harimau masuk ke mulut buaya. Pasca reformasi 1998, ternyata kini kita dibawa untuk memasuki paham liberal dan pluralis oleh para teknokrat kita. Jika dulu media massa dikuasai oleh dominasi politik pemerintah, kini media massa dikuasai oleh pengusaha. Sehingga content dan program siaran yang dimiliki oleh media massa pun, tentu mengikuti mekanisme kebijakan pasar. Logika utamanya adalah keuntungan.

Sehingga isi media yang ada, tentu dapat kita lihat dari siapa yang ada dibalik media itu. Dalam hal ini adalah ownership media. Menurut Mc Quail (1994) adalah, The content of the media always reflect the interest of those who finance them. Not surprisingly there are several different forms of ownership of different media, and the powers of ownership can be exercised in different ways.

Akibatnya, apa yang pernah pernah diharapkan agar media itu bisa berperan sebagaimana fungsinya yakni, memberikan informasi yang berimbang dan objektif, menghibur, mendidik, dan memberikan kontrol terhadap kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa, tentu masih jauh dari harapan.

Karena itu, agar media tetap konsisten pada fungsinya, media massa pun tetap harus dikontrol. Apalagi media massa televisi yang jelas-jelas telah menggunakan ranah publik yakni, frekwensi yang notabene menjadi milik publik. Selain itu, media televisi juga telah memasuki rumah-rumah pribadi seseorang tanpa ”premisi” terlebih dahulu. Sehingga media tetap harus dikontrol. Namun, gabaimana caranya mengontrol? Bukan kah kini sudah ada KPI yang ternyata juga mandul?


Boikot Program Tayangan

Secara teoritik, meskipun kini media massa telah memasuki ranah industri dan bisnis. Sebenarnya media massa tetap harus memiliki tanggung jawab sosial. Menurut Social Responsibility Theory ini, selain memiliki tanggung jawab sosial. Media massa juga memiliki kewajiban untuk mengabdi kepada kepentingan sosial. Siebert, Peterson dan Schramm (dalam Severin and Tankard, 1992), ”media must assume obligation of social responsibility; and if they do not, someone must see they do.” Selanjutnya mereka menyatakan bahwa, media diawasi oleh opini komunitas, tindakan konsumen (consumer action), etika profesional, dan badan pengawas semacam KPI kalau di Negara kita.

Namun, tanggung jawab media dalam teori tanggung jawab sosial ini nampaknya sangat sulit untuk dapat direalisasikan di sini. Akibat rumitnya tarik ulur dari berbagai kepentingan. Baik dari kepentingan pemilik media yang berorintasi pada keuntungan bisnis, maupun dari kelompok individu-individu yang lainnya yang juga sama-sama memiliki kepentingan dalam media itu. Sehingga konsep ini pun masih jauh dari harapan.

Sehingga masyarakat harus memiliki cara sendiri untuk melawan media massa yang memang memiliki pengarauh dan kekuatan yang sangat besar ini. Caranya, boikot program tayangan televise yang tidak dapat dikontrol.

Aksi boikot ini sebenarnya bukan cara baru bagi kita. Karena taktik perlawanan semacam ini, sebenarnya sudah lama tumbuh dan dikenal. Bahkan pada jaman kerajaan Majapahit dulu, aksi boikot juga sudah dikenal dan sering dilakukan masyarakat untuk melawan kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak pada rakyat. Rakyat memboikot dengan cara pepe atau berjemur diri di tengah-tengah alun-alun kota raja untuk melawan kebijakan raja.

Pada zaman kolonial Belanda, warga keturunan Tionghoa di Surabaya yang dipimpin Tjo Sik Giok dan Tjo Tjie An, juga pernah menggunakan boikot sebagai taktik perlawanan untuk melawan kebijakan Handelsvereniging Amsterdam (HVA) yang dianggap merugikan warga keturunan Tionghoa pada tahun 1902. Ternyata taktik perlawanan boikot ini membawa hasil. Pihak H.V.A pun luluh dan mengajak berdamai dan memberikan ganti rugi sebesar f 25.000 kapada warga keturunan Tionghoa. Namun, ganti rugi sebesar f 25 ribu ini ternyata ditolak dan warga Tionghoa tetap memilih untuk boikot. Dan taktik boikot ini pun segera marak dan banyak digunakan sebagai taktik perlawanan dikemudian hari.

Lantas, apakah taktik perlawanan ini masih dapat digunakan pada jaman sekarang? Apalagi digunakan untuk melawan media massa yang juga sama-sama memiliki kekuatan besar?

Sebesar apapun kekuatan efek media massa yang ada. Media massa toh saat ini sudah menjadi lahan bisnis dan industri. Kebesaran dan kehidupan media massa, kini juga ditentukan oleh seberapa besar jumlah pemirsanya bagi media massa televisi. Seberapa besar jumlah pendengarnya bagi media radio, serta seberapa besar jumlah pemlanggan dan pembacanya bagi media cetak. Semakin besar jumalah masyarakat yang mengonsumsi media itu, tentu semakin besar pula peluang media itu tetap hidup.

Sehingga jika masyarakat merasa dirugikan oleh program dan tayangan dari media itu, masyarakat pun bisa melakukan aksi boikot untuk tidak mengonsumsi media itu. Sehingga jika jumlah yang menonton media televisi itu sedikit, media massa itu tentu tidak akan dapat memperoleh iklan sponsor. Akibatnya media itu akan mati karena tidak dapat menghidupi programnya kalau tidak ada yang memasang iklan.

Namun, aksi boikot ini akan berjalan efektif dan masif jika ada kekuatan yang berusaha untuk mengkonsolidasikannya. Sosialisasi kepada warga, kelompok-kelompok paguyupan ibu-ibu PKK, serikat buruh, dan organisasi-organisasi kemasyarakatan lainnya. Sebab tanpa organisasi dan kesatuan yang kuat, taktik apapun bisa menjadi tidak berfungsi dan tumpul.***







Tidak ada komentar:

Posting Komentar