Jumat, 06 November 2009

Anggodo “Saksi Mahkota” Kriminalisasi KPK

Oleh: Sidik Suhada

Misteri kriminalisasi terhadap “cicak” (KPK) makin terkuak. Kesadaran dan rasa keadilan publik sontak menggelegak marah, terkejut, bahkan terpana. Demikian bobroknya riwayat penegakan hukum di Rebublik ini. Bahkan menjadi sejarah terbutuk sejak setelah peristiwa 1965, dalam konteks terkoyak-koyaknya rasa keadilan publik.

Hal tersebut, merupakan kristalisasi perenungan setelah mendengarkan rekaman hasil penyadapan KPK dalam kasus “cicak vs buaya” yang dibentangkan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Majelis Makamah Konstitusi, Selasa, 3 November 2009.

Kini semua elemen bangsa tidak boleh berhenti setelah marah, terkejut, dan terpana. Harus ada gerakan mendorong pimpinan bangsa ini agar aparat penyidik segera menangkap embrio penimbul masalah itu. Yaitu, kakak beradik Anggoro dan Anggodo. Sang kakak, Anggoro sudah ditetapkan sebagai tersangka perkara korupsi oleh KPK, dan hingga kini menjadi buron. Sang adik, Anggodo yang bebas di luar, terus “nggacor” mengatur sekenario agar antar institusi penegak hukum di negeri ini bertikai. Peliknya, oknum-oknum dalam institusi penegak hukum rela dijadikan kaki tangannya untuk mewujudkan motif kakak beradik yang mungkin bermarga Ang itu.

Moral oknum pun berguguran “seharga” miliraan rupiah. Sementara negara dirugikan lebih banyak lagi. Jika begini kita harus ingat pepatah Belanda; “Siapa menabur angin, akan menuai badai”. Sekarang jelaslah sudah, ada tiga titik dalam satu segitiga yang menabur angin. Maka semestinya merekalah yang menuai badai.

Satu titik sudah sangat nyata sebagai “penabur angin” yaitu, Anggodo. Demi terpenuhinya rasa keadilan masyarakat yang sudah terkoyak-koyak, seharusnya Anggodo segera “menuai badai” (ditangkap dan diproses secara hukum).

Ia tersangka, sekaligus “saksi mahkota” bagi calon tersangka lainnya dari dua titik segitiga yang lain. Jika Anggodo tidak segera ditangkap, maka penuntasan kasus kriminalisasi KPK akan menguap. Penangkapan terhadap Anggodo, patut dapat diperkirakan sudah memenuhi syarat objektif dan syarat subjektif penangkapan penahanan tersangka.

Syarat objektif penangkapan dan penahanan adalah, ancaman hukuman dari pasal yang disangkakan lima tahun penjara lebih. Dalam konteks suap ini, dengan menggunakan UU Tipikor No 31/Tahun 1999, ancamannya jelas di atas lima tahun. Sedangkan syarat subjektifnya diatur dalam pasal 21, ayat (1), UU No 8/tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana/ KUHAP. Rincinya, dikawatirkan melarikan diri, merusak barang bukti, mengulangi perbuatannya. Tiga syarat subjektif tersebut sangkat mungkin dipenuhi Anggodo jika dia tidak segera diringkus.

Dari prespektif kebanggaan berbangsa dan bernegara, perbuatan kakak beradik Ang tersebut, jelas-jelas berpotensi makin memperparah citra Indonesia sebagai negara terkorup di dunia. Perbuatan mereka membuktikan bahwa mereka sebagai WNI tidak memiliki kebanggaan terhadap Indonesia Raya. Nasionalisme kakak beradik Ang tersebut patut kita pertanyakan, bahkan kita persoalkan. Jangan sampai hanya oleh perbuatan mereka, akhirnya berbagai elemen bangsa membenci etnis tertentu. Lebih mengkawatirkan jika kebencian itu, bereubah menjadi kemarahan massal.

Segera setelah ditangkap, ditahan, dan diproses, seharusnya juga diikuti tindakan serupa terhadap orang-orang yang patut dapat diduga terlibat seperti yang sudah terungkap dalam rekaman hasil penyadapan KPK. Baik dari institusi Polri maupun Kejaksaan. Agar proses hukum berjalan fair, sudah seharusnya siapapun oknum pejabat yang disangka terlibat harus segera dinon aktifkan (dicopot dari jabatannya).

Sekali lagi, hal tersebut untuk memenuhi unsur fair-nya penanganan sebuah perkara. Tidak perlu ada lagi ewuh pakewuh (segan) karena sudah non aktif. Hnaya dengan demikian itulah, pengungkapan motif tindak pidana, sekaligus pengungkapan kebenaran formil dan kebenaran matriil sebuah perkara bisa diangkat secara jernih.

Semoga kejernihan itu masih ada dibenak para primus interpares (aparat penegak hukum) di negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar