Jumat, 06 November 2009

Idealnya KPK itu tidak abadi

Oleh: Sidik Suhada

Keselamatan dan kesejahtaraan rakyat adalah hukum tertinggi (salus populi suprema lex). Kalimat mutiara itu tanpak jelas bahwa ”kilbat” didirikannya sebuah negara adalah rakyat. Meskipun tentu harus ada dua syarat yang lain agar ”kilbat” itu sempurna, yaitu adanya wilayah dan adanya pemerintahan yang berdaulat. Maka menjadi wajar dalam ”urat nadi” pemerintahan harus mengalir ”darah” keselamatan dan kesejahteraan rakyat.

Segala sesuatu rencana, strategi, dan aksi yang patut dapat diduga berakibat buruk atau merugikan keselamatan dan kesejahtaraan rakyat, menjadi layak disebut kejahatan. Salah satu kejahatan yang menduduki peringkat tertinggi dari segi akhibat buruknya terhadap keselamatan dan kesejahteraan rakyat adalah korupsi. Itulah sebabnya, korupsi disebut sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinari crime).

Bertolak dari pemikiran tersebut, setiap pemerintahan di negara bersistem apapun, menempatkan korupsi sebagai salah satu musuk utama. Tidak terkecuali di Indonesia. Orde Baru di bawah pemerintahan Suharto pun, menyakini hal itu. Buktinya, adanya UU No. 3/1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Institusi yang diserahi wewenang untuk melaksanakan UU tersebut adalah Kepolisian dan Kejaksaan. Namun, korupsi di era Suharto tetap merajalela.

Akselerasi penanganan pemberantasan tipikor lasimnya juga diproyeksikan dengan akselerasi penanganan program peningkatan kesejahteraan rakyat. Artinya, jika kuantitas dan kualitas tipikor menurun, maka perimbangan dampaknya adalah kuantitas dan kualitas kesejahteraan rakyat meningkat. Demikian pula sebaliknya.

Tak kala fakta berbicara,bahwa tipikor di Indonesia masuk lima besar tipikor di dunia, dan jumlah penduduk miskin (belum termasuk pengangguran) meningkat, opini tersebut di atas menjadi benar. Menyikapi realitas itulah penyelenggara pemerintahan (eksekutif dan legislatif) pada era reformasi memandang perlu melahirkan sebuah institusi yang diberi kewenangan khusus untuk menangani pemberantasan tipikor.

KPK Lahir
Dalam suasana batin bangsa yang gundah menyikapi tingginya angka korupsi di Indonesia yang seiring dengan masih tingginya angka kemiskinan, munculah tekad bersama untuk membentuk institusi superbody. Institusi ini tidak hanya memiliki kewenangan khusus tapi juga kewenangan ekstra sebagai sebuah institusi superbody. Ini terjadi pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Bersama DPR RI periode 1999-2004, pemerintahan Megawati berhasil melahirkan UU No.30/Tahun 2001 tentang KPK.

Sempat muncul pertanyaan, mengapa perlu ada KPK? Bukankah sudah ada Kepolisian dan Kejaksaan. Bahkan di kepolisian ada bagian yang khusus menangani tindak pidana khusus (korupsi). Begitu juga di Kejaksaan, mulai dari bawah sampai atas ada Kasi Pidsus (Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus di Kejaksaan Negeri Kota/Kabupaten), dan bahkan di Kejaksaan Agung ada JAM Pidsus ( Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus). Pertanyaan berikutnya, mengapa pula perlu ada Pengadilan Khusus Tipikor? Bukankah sudah ada Pengadilan Umum?

Lima tahun lalu itu, memang sempat terjadi pro-kontra atas kelahiran ”jabang bayi” KPK. Pro-kontra itu akhirnya mereda dengan adanya pengertian yang benar tentang latar belakang kelahiran KPK. Intinya, tugas Kepolisian sangat komples dalam wilayah yang sangat luas dan jumlah personil yang tidak sebanding ideal dengan jumlah penduduk. Akhibatnya fokus penanganan Kepolisian tidak bisa hanya pada penanganan tipikor. Kasus-kasus lain diranah Pidum (pidana umum) secara kuantitas dan kualitas juga luar biasa banyak/tinggi. Masih ditambah lagi dengan tugas kepolisian menangani tindak pidana yang tidak kalah hebatnya dalam konteks membahayakan keselamatan dan kesejahteraan rakyat yaitu, terorisme.

Demikian pula yang terjadi pada institusi Kejaksaan. Pernah sempat dicoba mengawinkan keduanya lewat pembentukan institusi Timtas Tipikor (Tim Pemberantasa Tipikor). Namun, hasilnya juga dinilai belum maksimal seperti yang diharapkan oleh banyak pihak.

Pihak yang perbendapat lain (sekeptis) memang meyakini Kepolisian dan Kejaksaan tidak mampu melaksanakan amanat pemberantasan tipikor. Jadi keberadaan KPK mutlak perlu. Terlepas dari pro kontra tersebut, saya berpendapat institusi Kepolisian dan Kejaksaan yang berada di domain penegakan hukum telah mendapat ”saudara angkat” bernama KPK yang bertugas ”menutup lubang” kekurangan atau kelemahan Kepolisian dan Kejaksaan terkait pemberantasan Tipikor.

Logikanya, KPK adalah lembaga ”darurat” yang membantu Kepolisian dan Kejaksaan dalam memberantas kejahatan luar biasa bernama korupsi. Sampai pada tingkat pemahaman ini, sewajarnya Kepolisian dan Kejaksaan berterimakasih karena diuntungkan (dibantu) oleh KPK dalam menangani sebagian dari beban dan tugasnya.

Jika ada pemikiran di internal Kepolisian dan Kejasaan (sekali lagi jika) KPK harus dilemahkan karena dianggap ”merusak” citra dan wibawa Kepolisian serta Kejaksaan, pemikiran tersebut sungguh-sungguh keliru. Kecuali bila keberadaan KPK untuk memperkuat gerak para koruptor dalam menggarong uang rakyat.

Tidak Abadi
Bertolak dari pemikiran tersebut di atas, secara ideal KPK memang seharusnyalah tidak abadi (tidak selamanya ada). Mengapa demikian? Karena jika KPK abadi maka hal tersebut berati abadi pula ketidak mampuan Kepolisian dan Kejaksaan dalam menangai pemberantasan tipikor.

Pemikiran ideal, Kepolisan dan Kejasaan harus terus menerus meningkatkan profesionalismenya, terutama dalam konteks pemberantasan tipikor. Tidak ada jalan lain untuk mewujudkan hal ideal tersebut kecuali Kepolisian dan Kejaksaan harus mereformasi diri secara total. Reformasi tersebut harus pula didukung oleh reformsi sistem peradilan yang makin berkualitas.

Pernyataan Kapolri dihadapan Komisi III DPR, Kamis malam (5/11) kemarin, memberikan singal kearah ideal tersebut. Jendral Pol Bambang H Danuri bahkan meyakinkan Komisi III bahwa memasuki 2010 tidak boleh ada lagi polisi yang aneh-aneh. Hal itu bisa dimaknai bahwa profesionalisme menjadi titik fokus Polri ke depan.

Persoalannya adalah tidak ada deadline tentang kapan Kepolisian dan Kejaksaan yang profesional, mampu menangani pemberantasan korupsi seperti yang telah ditunjukan oleh KPK selama ini? Hal tersebut penting agar ada etape-etape program reformasi di internal institusi tersebut.

Kelak, jika Kepolisan dan Kejaksaan sudah benar-benar professional, kredibel, dan akuntabel dalam menangani kejahatan luar biasa (korupsi) tersebut, idealnya KPK ditiadakan. Kelahiran KPK berdasarkan UU, maka peniadaannya pun harus berdasarkan UU. Nah, kapan yang ideal itu bisa terwujud? Saya sadar pertanyaan tersebut sulit dijawab sekarang. Terlebih lagi rakyat telah disuguhi ”sinetron cicak vs buaya”.

Satu hal yang penting, dan patut diketahui publik di dalam institusi KPK sesungguhnya ada ”darah” kepolisian dan kejasaan. Intinya para penyidik KPK (jumlahnya lebih dari 100 orang adalah anggota polri). Dan para penuntut di institusi KPK adalah para jaksa dari institusi Kejaksaan. Jadi KPK itu, sesungguh-sungguhnya merupakan perpaduan tiga institusi yaitu, Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK itu sendiri. Kalau mereka bertikai, jadi lucu kan?!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar