Jumat, 06 November 2009

Segera Reformasi Polri dan Kejaksaan

Oleh: Sidik Suhada

Gonjang-ganjing penahaan Bibit-Chandra yang diinterprestasikan sebagai Polri vs KPK, seharusnya berhikmah positif. Hikmah itu adalah, memetik momentum tentang betapa vitalnya untuk segera mereformasi total institusi polri dan kejaksaan. Agar rasa keadilan rakyat tidak selalu terkoyak-koyak.

Polemik pasca penahaan Bibit-Chandra, muncul karena arogansi kewenangan dan kekuasaan Polri yang merasa terancam setelah tersebar luasnya transkrip pembicaraan yang diduga Anggodo dengan oknum yang diduga petinggi Polri dan Petinggi Kejaksaan. Transkrip tersebut diperoleh dari hasil penyadapan KPK sewaktu Bibit - Chandra masih aktif.

Hal lain yang bermuatan arogansi, sejak awal sangkaan terhadap Bibit-Chandra berubah-ubah. Mulai dari penyalahgunaan wewenang, berubah menjadi suap, berubah lagi menjadi pemerasan. Lucunya, alat bukti sebagaimana diatur dalam pasal 184 KUHAP (Hukum Acara Pidana), justru bertentangan dengan sangkaan, setelah sangkaan ditindaklanjuti dengan penyidikan. Kongkritnya, ketika Bibit-Chandra disangka dengan delik suap, saksi Ari Muladi balik mencabut kesaksiannya yang menyatakan telah menyuap Bibit-Chandra.

Berdasarkan pasal 184 KUHAP, keterangan saksi adalah alat bukti. Ketika keterangan saksi itu dicabut maka tidak ada lagi alat bukti. Sehingga Polisi kebingungan jika tetap membidik Bibit-Chandra dengan pasal suap tersebut. Akhirnya digantilah pasal pemerasan. Ini pun alat bukti sebagaimana diatur KUHAP oleh pihak Bibit-Chandra dinilai sangat lemah. Siapa memeras siapa, dimana, kapan, barang buktinya apa, semua masih misteri.

Jika Anggoro ataupun kakanya (Anggodo) yang buron itu memang benar-benar diperas, mestinya mereka diperiksa sebagai saksi korban agar kebutuhan penyidik tentang alat bukti (pasal 184 KUHAP) terpenuhi. Demikian pula pemeriksaan terhadap Ari Muladi yang telah mencabut kesaksiannya.

Arogansi Polri berikutnya, tidak memperhatikan rasa keadilan yang berkembang di masyarakat dan rasa kepatutan dalam konteks penangkapan dan penahanan Bibit – Chandra. UU tentang Hukum Acara Pidana mengamanatkan syarat penahanan tersangka tindak pidana. Pertama, patut diduga berpotensi melarikan diri. Dua, patut diduga berpotensi merusak barang bukti. Ketiga, patut diduga mengulangi perbuatan pidananya (pasal 21 Ayat 1 KUHAP).

Tiga persyaratan penahanan tersebut, patut dan layakkah diterapkan kepada Bibit- Chandra?

Katakanlah, sejelek-jeleknya Bibit, mungkinkah purnawirawan Perwira Tinggi Polri itu (Akpol angkatan 1970) melarikan diri? Mungkinkah Bibit akan merusak barang bukti ketika yang dimaksud “barang bukti” itu masih absurd? Mengulangi perbuatan yang disangkakan, perbuatan yang mana? Sebab sangkaan polisi terhadap Bibit berubah-ubah.

Begitu juga dengan Chandra. Seorang tokoh muda, dosen hukum UI, anggota tim seleksi KPK, mungkinkah melarikan diri dari sangkaan yang berubah-ubah. Sehingga logika awam pun menyimpulkan penangkapan Bibit – Chandra adalah perbuatan yang dipaksakan dan dilegalkan berdasarkan kewenangan menahan (bukan hak menahan). Inilah yang dinilai mengoyak rasa keadilan masyarakat dan publik.

Secara filosofis, semestinya Polisi punya semboyan: “Lebih baik membebaskan 100 penjahat daripada menahan 1 oarng yang tidak bersalah”.

Reformasi Status
Sebagai penyayom masyarakat yang sudah pasti juga penegak hukum, tugas pokok dan fungsi (tupoksi) polri berada diranah Kamtibmas. Tanpa bermaksud meniru sistem di negara lain, idealnya Polri di bawah “naungan” Departemen Dalam Negeri. Sebagaimana halnya TNI setelah reformasi 1998, berada dalam “rumpun” Departemen Pertahanan.

Hal tersebut tidak berati semata-mata menjadikan Polri sebagai “sipil yang dipersenjatai”. Namun, lebih dimaksudkan untuk mempertajam, sekaligus untuk meningkatkan kualitas kinerja yang terkait dengan tupoksi Polri.

Memposisikan Polri menjadi bagian dari Departemen Dalam Negeri, sekali lagi tidak seharusnya dimaknai mengkerdilkan Polri. Justru sebaliknya, agar Polri bisa lebih fokus sebagai pengayom masyarakat dalam ranah keamanan dan ketertiban masyarakat. Hal itu sangat relevan dengan tugas Polri sebagai hamba hukum yang berkewajiban menegakan hukum.

Patut dapat diperkirakan secara positif, tidak akan lagi muncul arogansi. Dengan demikian, tidak mungkin ada lagi sikap atau pandangan mengkerdilkan institusi lain misalnya, mengibaratkan KPK sebagai Cicak (mahluk kecil dan lemah). Perumpamaan itu jelas-jelas mengandung unsur pidana sebagaimana diatur dalam pasal 335 KUHP (perbuatan tidak menyenangkan).

Sedangkan mengibaratkan Polisi sebagai buaya (mahluk besar/ binatang buas) tentu juga bermakna sangat negatif. Betapa tidak negatif, bangkai pun dimakan oleh buaya. Apalagi mahluk hidup. Menjadi wajar seandainya Kapolri sendiri juga tersinggung karena institusi yang dia pimpin diibaratkan buaya.

Bertolak dari hal tersebut di atas, sudah seharusnya dilakukan reformasi total terhadap institusi Polri yang menyakut tupoksinya demi kebaikan dimasa mendatang. Itulah sebabnya, seluruh anggota DPR-RI, baik yang berada dibarisan koalisi pemerintah, maupun yang berada di luar barisan koalisi mampu memetik hikmah peristiwa buaya vs Cicak. Dengan segera merumuskan RUU Penyempurnaan UU Nomor 2/ 2002 tentang Polri. Jika hal tersebut dilakukan, degradasi citra Polri tidak terus berlangsung. Kepercayaan masyarakat kepada Polri pun akan semakin membaik.

Begitu juga institusi Kejaksaan. Diakui atau tidak, fakta yang berkembang dan “hidup” dalam pandangan masyarakat, kepercayaan dan rasa hormat masyarakat kepada institusi kejaksaan kini sudah semakin luntur. Banyak kasus sebagai pemicunya. Initinya adalah, menyangkut kredibelitas aparat kejaksaan sendiri. Balada Jaksa UTG yang tertangkap tangan menerima suap dalam kasus Tipikor Samsul Nursalim melalui Artalita, hanya salah satu contoh yang merobek-robek rasa keadilan masyarakat.

Kisah-kisah sumbang tentang masih adanya oknum jaksa-jaksa “nakal” membikin muak masyarakat dan membikin publik semakin tidak bersimpati kepada institusi ini. Kali ini, pemicunya justru percakapan yang diduga terjadi antara oknum petinggi Kejaksaaan Agung dengan Anggoro dalam kasus yang akirnya dinilai sebagai rencana besar mengkriminalisasi KPK.

Pembentukan Tim Pencari Fakta yang diketuai Adnan Buyung Nasution dalam konteks perkara dugaan kriminalisasi KPK, jangan harap akan membuahkan hasil maksimal dalam bentuk pulihnya kepercayaan dan rasa hormat masyarakat kepada Polri dan Kejaksaan, jika tidak ditindak lanjuti dengan reformasi total dua institusi penegakan hukum tersebut. Apalagi TPF hanya melulu mencari fakta dan tidak dilengkapi kewenangan menjatuhkan sanki, kecuali hanya rekomendasi/saran kepada Presiden.

Belum lagi jika Pembentukan Tim Pencari Fakta yang dilakukan oleh Presiden ini, hanya sekedar “banyolan politik” yang sengaja dilontarkan oleh Presiden untuk meredam radikalisme masyarakat. Agar seolah-olah Presiden benar-benar telah melakukan sebuah tindakan kongkrit dalam polemik ini. Sehingga jika Tim Pencari Fakta ini gagal, masyarakat yang sudah terlukai ini tidak menyerang Presiden. Melainkan berbalik menyalahkan Tim Pencari Fakta.

Karena itu, rasanya teramat berat memulihkan kepercayaan dan rasa hormat masyarakat kepada polri serta kejaksaan tanpa langkah serius dan kongkrit mereformasi dua institusi tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar