Jumat, 06 November 2009

Apakah Negeri ini “Republik Anggoro”?

Oleh: Sidik Suhada

Ngeri deh...., setelah mendengarkan rekaman hasil penyadapan KPK yang dibuka dalam persidangan MK Selasa, 3 November 2009. Rebublik ini sesungguhnya milik siapa? Apa milik nenek moyang Angoro-Anggodo dengan sanak kerabatnya, Sugriwa-Subali..?!

Dinasti mereka tanpaknya begitu berkuasa di negeri ini. Bisa mengatur bahkan mengobok-obok institusi penegak hukum seperti Kepolisian dan Kejaksaan agung. Jika rasa keadilan yang tumbuh di hati saya benar, berati Presiden SBY kini punya saingan berat. Siapa yang paling punya hak prerogatif menurut konstitusi? Jangan-jangan hak itu kini sudah dimiliki dinasti Anggoro-Anggodo. Buktinya, sejumlah oknum petinggi di Kejaksaan Agung dan Mabes Polri, tak berdaya di ko'en- ko'enkan (kamu-kamukan). Diperintah dan didikte oleh “dinasti hebat” itu.

Seingat saya, dinasti Anggoro – Anggodo tidak ikut sebagai kontestan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009. Bahkan jangan-jangan mereka malah golput. Yang bikin penasaran saya, kok bisa sekuasa itu yah, sampai-sampai ada oknum peting lembaga penegak hukum yang memanggil dia sebagai “Bos”.

Sudah sedemikan hancur leburkah kondisi penegakan hukum sekaligus ketaatan hukum di Indonesia? Salahkah bila rakyat muak dan marah? Berlebihahan kah jika rakyat yang merasa keadilan telah di injak-injak dan akhirnya bersatu padu melahirkan kekuatan rakyat yang sebenarnya?

Jika semua itu terwujud, (sekali lagi jika), dan presiden masih belum bergerak cepat bukan mustahil akan terjadi kerusuhan seperti Mei 1998. Reformasi jilid I (1998), tak mustahil akan terulang kembali sekarang. Jika sudah demikian, mampukah pemerintah dengan segala perangkatnya membendung gerakan rakyat yang sudah marah itu?

Senyampang (mumpung), semua kekewatiran itu belum terjadi, Presiden yang membawahi langsung Polri dan Kejaksaan pelu segera ambil “sapu” dan “pel”. Segera “sapu bersih” (copot dari jabatan) oknum-oknum petinggi didua institusi tersebut yang patut dapat diduga dan telah ada bukti permulaan yang cukup, melakukan tindakan yang menodai Republik Indonesia sebagai negara hukum.

Setelah “sapu bersih” segeralah “dipel” dengan cara menempatkan orang-orang bersih untuk menduduki pos-pos jabatan yang telah bersih dari oknum-oknum pejabat brengsek. Tindakan kongkrit tersebut, sangat berpotensi memulihkan kepercayaan masyarakat kepada dua lembaga tersebut. Lebih dari itu, juga bisa segera mengobati sakit hati publik yang rasa keadilannya telah dikoyak-koyak.

Semoga Majelis Makamah Konstitusi yang menyidangkan perkara “buaya vs cicak” ini mampu menjatuhkan putusan yang memenuhi rasa keadilan publik. Selanjutnya, “cicak “ KPK semakin tumbuh besar, kuat, dan berkinerja hebat melahap koruptor yang telah membikin sengsara 220 juta rakyat republik ini. Kelak tidak ada lagi “cicak”, karena sudah tumbuh besar. Bahkan lebih kuat daripada “buaya”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar