Jumat, 06 November 2009

Polisi Maju Kena, Mundur Kena

Polisi Maju Kena, Mundur Kena

Pasca pembebasan Bibit-Chandra, hal menarik yang menjadi perhatian public sekarang adalah Anggodo belum ditahan (sampai dengan 4 November malam). Mengapa menarik? Karena rekaman pembicaraan Anggodo dengan beberapa orang, termasuk petinggi Polri dan Kejaksaan Agung sudah tersebar luas di Publik. Itu terjadi setelah sidang MK, 3 November kemarin.

Saya bukan seorang yang akhli hukum. Bukan pula praktisi hukum. Namun, saya mencoba mengurai pertanyaan menarik tersebut (mengapa Anggodo belum ditahan) dari sisi logika awam.

Pertama, Bibit- Chandra ditahan polisi dengan sankaan melakukan tindak pidana pemerasan. Sangkaan tersebut merupakan sankaan terakir setelah berganti-ganti sangkaan. Logikanya, jika ada pemeras tentu ada yang merasa diperas. Siapa yang diperas?

Hingga siang tadi, kepeda pers Anggodo menyatakan merasa diperas. Dalam rekaman yang dibongkar pada persidangan MK, sama sekali tidak ada pernyataan yang bisa dimaknai sebagai pemerasan terhadap Anggodo. Justru sebaliknya, Anggodo dan beberapa lawan bicaranya, dalam pembicaraan per telepon sangat intens “mengatur” proses penyidikan hingga penyusunan BAP.

Logika awam saya, logiskah seseorang yang mengaku merasa diperas bisa melakukan intervensi begitu dalam terhadap proses penyidikan dan pemberkasan BAP (Bibit-Chandra) yang sedang ditangani penyidik? Jika harus menjawab secara jujur, hanya ada satu jawaban: Tidak logis!

Logika berikutnya, bertolak dari fakta setelah pembebasan Bibit – Chandra dari tahanan. Penyidik menegaskan berkas perkara Bibit – Chandra tetap diproses dan akan dikirim ke Kejaksaan. Hal itu berarti, penyidik telah memiliki alat bukti/barang bukti yang cukup dalam perkara yang disangkakan, yaitu pemerasan.

Kedua, Hingga 4 november malam, polisi menyatakan belum menetapkan Anggodo sebagai tersangka dan ditahan, meskipun telah diperiksa belasan jam. Ada dua fakta yang mengganggu, logika awam saya yang kurang paham hukum. Fakta pertama, ada sangkakan pemerasan dengan tersangka Bibit-Chandra dan Anggodo sebagai pihak saksi korban. Direkaman juga terungkap pengakuan Anggodo sebagai penyandang dana. Fakta kedua, terungkap dalam persidangan MK tentang intervensi Anggodo terhadap proses penyidikan dan pemberkasan BAP.

Dua fakta tersebut, bertolak belakang. Padahal tidak mungkin dua-duanya benar. Artinya, tidak ada dua kebenaran yang bertolak belakang. Jika Bibit-Chandra diproses dalam perkara pemerasan, logika awam saya mengatakan: mestinya Anggodo juga diproses dalam perkara rekayasa (intervensi) penyidikan dan pemberkasan BAP. Sebagai petunjuk awal, sekaligus alat buktinya adalah hasil rekaman yang telah dibuka dalam sidang MK.

Sampai pada pemikiran tersebut di atas, logika awam saya menyimpulkan: Polisi sekarang dalam posisi maju kena, mundur kena. Kongkritnya, jika menetapkan Anggodo sebagai tersangka dan ditahan, sangkaan terhadap Bibit-Chandra akan menjadi lemah. Bahkan bisa batal demi hukum. Padahal penyidik (polisi) tetap yakin atas kekuatan sangkaannya terhadap Bibit-Chandra dalam perkara pemerasan.

Sebaliknya, jika tidak menetapkan Anggodo sebagai tersangka dan ditahan, polisi dalam posisi ”bisa keliru”, karena alat bukti permulaan yang terungkap dalam sidang MK bisa dianggap cukup untuk melakukan hal itu (penangkapan/penahaan Anggodo). Alat bukti tersebut juga berhubungan kuat dengan delik (tindak pidana) murni, yaitu rekayasa perkara pidana. Penanganan delik ini tidak harus menunggu adanya pengaduan. Beda dengan pencemaran nama baik yang masuk delik aduan, untuk menanganinya harus ada pengaduan dari pihak korban.

Itulah sebabnya, ketua TPF Adnan Buyung Nasution pun mendesak polisi agar segera menangkap (memproses) Anggodo. Bukan hanya semata-mata kawatir Anggodo melarikan diri seperti kakanya. Namun, karena prosedur hukumnya memang demikian.

Sekarang polisi ibarat menghitung kancing baju: tahan, tidak, tahan, tidak....terhadap Anggodo. Nah, jadinya maju kena mundur kena.

Sekadar prediksi awam saja, jika Anggodo ditahan maka ”kubu” Bibit – Chandra akan segera memproses tuntutan kepengadilan terhadap kasus penahanan dua pimpinan KPK non aktif itu. Kemungkinan pertama, mengajukan pra-peradilan. Karena polisi telah melakukan penahaan dengan melanggar prosedur hukum tentang persyaratan penahaan. Salah satunya, syarat objektif yaitu ancaman hukuman di atas lima tahun, termasuk perkara pemerasan. Nah, kalo Anggodo ditahan berarti pemerasan itu rekayasa. Alias tidak ada pemerasan.

Kemungkinan kedua, bisa jadi kubu Bibit – Chandra melakukan tuntutan pidana sekaligus gugatan perdata. Dasarnya, akhibat sangkaan penyidik (polisi) Bibit- Chandra di non aktifkan. Hak keperdataannya antara lain, gaji dan tunjangan sebagai pimpinan KPK hilang atau hapus. Selain kerugian matriil tersebut, sangat mungkin akan ditambahi gugatan atas kerugian immatriil. Tercemarnya nama baik dan kredibelitas. Nominal gugatan immatriil ini bisa tidak terhingga.

Sekarang polisi dalam posisi dilematis. Bukan hanya soal maju kena mundur kena dalam perkara Anggodo tersebut, tapi juga soal sebutan ”cicak vs buaya”. Sebagai sebuah kemungkian, ya mungkin-mungkin saja pimpinan KPK akan melaporkan petinggi polri yang menyebut KPK sebagai ”cicak”. Sebab maknanya sangat jelas, mengecilkan dan mengkerdilkan KPK. Dan faktanya, tidak Cuma KPK yang tersinggung tapi juga RI-1 dan publik.

Mungkinkah akan ada class action terhadap pihak yang menciptakan istilah ”cicak” untuk mengirabatkan KPK? Nah. Makin rumitkan....? Sudah maju kena mundur kena, masih lilit soal meremehkan KPK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar