Jumat, 06 November 2009

Andaikata Saya Seorang Pimred

Oleh: Sidik Suhada

Sebagai seorang Pemimpin Redaksi (Pimred), ini seandainya, saya tentu paham apa yang dimaui komunikan media saya. Dari sudut pandang bisnis media, saya juga pasti tahu apa yang dikehendaki oleh penyandang dana (owner) media saya. Inilah dua bilik jantung dalam kehidupan perusahaan media. Bilik kanan bidang redaksi, dan bilik kiri bidang usaha/ bisnis.

Sebagai seorang pimred, sekali lagi seandainya, kiblat saya terhadap kepentingan dua bilik jantung tersebut tentu saya pedomani. Maka, jangan harap saya hanya akan memikirkan bilik redaksi saja, setelah saya dipertemukan dengan Kapolri oleh Menkominfo. Boleh-boleh saja Kapolri menghimbau saya untuk mengubah cita rasa publikasi media saya. Namun, sekali lagi saya tetap harus secara bijak menerapkan kesetaraan dan keseimbangan antara bilik redaksi dengan bilik bisnis media saya.

Di bilik redaksi, seandainya saya, mengubah cita rasa dan gaya publikasi media saya, sehingga memenuhi harapan si pengimbau (Pemerentah, Polri) bisa jadi saya malah blunder. Pertama, saya tidak melaksanakan fungsi media terutama edukatif, kontrol sosial, dan keberpihakan rasa keadilan masyarakat.

Perubahan citra rasa dan gaya pemberitaan yang merugikan dari segi edukatif, terjadi jika saya sebagai pimred tidak menurunkan pemberitaan tentang fakta peristiwa dan fakta pendapat terkait dengan terkoyak-koyaknya rasa keadilan masyarakat. Dari segi kontrol sosial, jika hal serupa saya lakukan, saya justru menjadi penghianat bagi perjuangan pers untuk mewujudkan keadilan dan demokratisasi. Saya mengingkari eksistensi Pers sebagai pilar keempat demokrasi. Dari segi keperbihakan terhadap rasa keadilan masyarakat, justru malah seharusnya hal tersebut saya blow up di media saya sebagai bentuk pertanggungjawaban moral media. Itulah “roh” media yang tidak boleh mati hanya oleh ibauan, jumpa pers, apalagi oleh tekanan.

Pers tak pernah mengenal istilah “68”. Kecuali Pers tersebut memang milik komunitas jurnalis grandong yang tidak pernah tahu dan memahami empat fungsi pers, UU Pers, dan kode etik jurnalis.

Kedua, sekarang kita tinjauan dari sisi bisnis media. Bodoh-bodohnya saya, jika perhatian publik terhadap satu kasus/masalah tidak saya blow-up secara bertanggungjawab, hanya oleh karena adanya ibauan, jumpa pers, atau tekanan sekalipun. Sebab, jika hal itu terjadi, media saya akan ditinggalkan khalayak komunikan. Karena, dianggap tidak mampu menyalurkan aspirasi publik yang sedang menggelora. Ujung-ujungnya, media saya akan sakit karena ditinggalkan oleh khalayak komunikan. Dan dalam tempo relatif yang tidak lama, media saya akan sekarat, lantas mati seiring dengan tersumbatnya “bilik jantung kiri” perusahaan media saya.

Akhirnya tidak mungkin media saya hidup dengan hanya satu jantung, yaitu jantung bidang redaksi. Jadi kedua jantung itu akhirnya sama-sama terkatup. Segala saluran pembuluh darah tertutup. Darah berhenti mengalir. Ujungnya, media saya inna illahii wa inailahii rajiun.....

Jika ada banyak media yang mengalami nasib seperti media saya (mati) persoalannya bukan pada munculnya pengangguran dari kalangan eks pekerja media. Lebih dahsyat dari itu adalah, tumbangnya salah satu pilar demokrasi. Dampak susulan berikutnya yang tidak kalah dahsyat adalah, pembodohan masyarakat akan berlangsung masif, seiring tumpulnya kontrol sosial media. Akhirnya, lahirlah kekuasaan yang otoriter.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar