Jumat, 06 November 2009

Polisi Berwenang Menahan, Bukan Berkah

Wakil Kabareskrim Mabes Polri, Irjen Pol Dikdik Mulyana menegaskan, “ Mulai hari ini penyidik akan gunakan hak untuk menahan tersangka.....” (Kompas, 30/10/2009).

Saya bukan orang hukum, tapi saya merasa ada sesuatu yang janggal dan mengganjal logika istilah atau terminologi yang digunakan Wakabareskrim Irjen Pol Dikdik Mulyana tersebut. Saya berpendapat, terminologi “hak” yang dipakai oleh Wakabareskrim tersebut, jelas berfrase atau mengandung rasa kata yang arogan. Karena, dalam hukum positif terminologi yang patut dan seharusnya digunakan adalah “wewenang” atau “kewenangan”. Bukan “hak”.

Jadi di dalam negara rechtstaat (negara berdasarkan hukum), bukan machstaat (negara berdasarkan kekuasaan), seharusnya Wakabareskrim menggunakan terminologi “wewenang” atau “kewenangan”. Maka kalimat yang santun, patut, dan layak diucapkan semestinya berbuyi, “ Mulai hari ini penyidik akan menggunakan kewenangannya atau wewenangnya untuk menahan tersangka”.

Jangan memandang remeh penggunaan terminologi atau istilah dalam praktika hukum positif. Apalagi si penggunanya adalah seorang tokoh publik atau unsur pimpinan disebuah institusi. Sebab masyarakat cendenderung memedomani ucapan tokoh publik baik formal maupun informal. Peliknya, jika ucapan sang tokoh publik keliru atau tidak tepat, maka kasihan rakyat akan mendapatkan pembelajaran atau pengetahuan yang keliru.

Makna kata “hak” jelas berbeda dengan “wewenang” atau “kewenangan”. Selain makna yang berbeda, frase atau rasa katanya pun berbeda. “Hak” stratanya lebih tinggi daripada “wewenang” atau “kewenangan”. Pengguguran sebuah “hak” tidak mudah dilakukan. Harus ada keputusan yang berkekuatan hukum tetap. Tidak demikian dengan pengguguran “kewenangan” atau “wewenang”, bisa dilakukan oleh pihak yang berdasarkan status jabatan dan kepangkatan memiliki “wewenang” lebih tinggi.

Contoh kongkrit, selain “berwewenang” atau memiliki “kewenangan” menahan tersangka, polisi juga memiliki “wewenang” atau “kewenangan” menangguhkan penahanan. Penangguhan tersebut adalah, “wewenang” polisi. Bukan “hak” polisi. Hukum positif kita, Hukum Acara Pidana (KUHAP), mengatur hal tersebut sebagai “kewenangan” penyidik/polisi.

Demikian pula penggunaan istilah “hak” dan “wewenang” di dalam institusi penuntut (kejaksaan). Jaksa juga punya “wewenang” mengembalikan BAP karena kurang sempurna. Jaksa “berwenang” menyatakan BAP sempurna (P 21). Itu “kewenangan” jaksa. Jaksa pun punya “kewenangan” menangguhkan penahaan (tahanan luar) atas terdakwa berdasarkan pertimbangan yuridis yang cukup dan sahih. Semua itu, sekali lagi bukan “hak” tetapi “wewenang” atau “kewenangan”.

Memang ada terminologi “hak” yang diatur oleh UU maupun konstitusi. Contohnya, “Hak” Presiden memberi Grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Ini diatur dalam UUD 1945. “Hak” lain yang melekat pada presiden adalah, “Hak” menyusun kabinet, mengangkat dan memberhentikan menteri. Semua itu “hak” preogatif. Tidak bisa diganggugugat.

Nah, tanpak jelaskan sekarang bahwa “hak” stratanya lebih tinggi daripada “wewenang” atau “kewenangan”. Bahkan “hak” secara subjektif tidak bisa diganggugugat. Terkecuali hanya oleh alasan-alasan yang secara yuridis bisa mengubah atau menggugurkannya.

Dalam koridor hukum pidana, lebih patut penggunaan terminologi “wewenang” atau “kewenangan”. Berbeda dengan koridor hukum perdata, lebih patut menggunakan terminologi “hak”, sebab terkait dengan kepastian hukum secara keperdataan. Contohnya, hak waris, sertifikat hak milik, HGB (Hak guna bangunan), HGU (Hak Guna Usaha), dll.

Semoga tidak ada lagi penggunaan istilah yang bernuansa arogan. Sebab, sekali lagi, Indonesia tercinta ini adalah rechtstaat !.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar