Rabu, 18 November 2009

Gerimis dan Orolan Senja Tanpa Makna

Oleh: Sidik Suhada

Gerimis belum juga berhenti. Suasana desa pun makin terasa sepi di penghujung senja ini. Hanya sesekali ada orang yang lewat, melintas dari teritikan rumah satu ke rumah yang lainnya. Ada yang membawa cangkul, ada yang membawa arit. Dari balik jenela, aku hanya bisa melihat samar wajah mereka yang mengenakan caping.

“Mampir, Kang,” sapaku dari balik jendela menghentikan langkahnya.
“Loh, kamu di rumah. Kapan pulang?” sautnya
Tanpa basa-basi, aku pun langung begegas membuka pintu tuk mempersilahkan Kang Darmin masuk rumah. “Mangga Kang, masuk dulu,” ucapku.

Melihat aku keluar, Kang Darmin pun langsung mendekat sambil mengulurkan tangannya mengajak berjabat tangan.
“Gimana kabarnya, pulang sendiri apa sama istri?”
“Ya sendiri lah kang, aku kan belum punya istri,” jawabku.
“Oh iya ya. Kapan mau menikah, entar keburu kiamat. Itu di tivi-tivi katanya 2012 mau kiamat loh.”
“Aduh...., Kang Darmin ini bisa aja. Itu ma bohong. Itu cuma film kang.”
“Hih, tapi gambarnya ngeri. Jadi takut. Andaikan benar-benar kiamat gimana yah?”.
“Emang kamu udah melihat filmnya?” tanyaku.
“Ya belum atuh. Di desa kan tidak ada bioskop. Tapi kita kan bisa melihat berita di tivi?”.

Mendengar jawaban itu, aku hanya bisa terdiam. Apakah ini yang dimaksud oleh Dekan Annenberg School of Communication di Universitas Pennsylvania Amerika Serikat, Prof. George Gerbner? Bisa jadi. Televisi memang sering dipandang sebagai jendela untuk melihat dan memandang apa yang ada di dalam fakta kehidupan ini. Sebagai sebuah media, televisi juga memiliki kekuatan efek yang maha dasyat. Apalagi, bagi masyarakat desa yang sebagian besar masih belum melek huruf. Televisi, tentu menjadi sebuah tontonan yang menarik tuk melepas lelah sepulang dari sawah. Esoknya, mereka pun bergunjing, mepersepsikan dan memberi opini atas apa yang telah dilihatnya di dalam televisi. Menurut mereka, itulah realita yang ada.

“Tapi kalau dipikir-pikir, kayaknya emang benar ya dunia ini akan segera kiamat,”sloroh Darmin memecahkan lamunanku.
“Kok bisa?” kejarku.
Darmin terdiam sesaat. Kemudian berkata, “Boleh saya minta rokok?”.
“Oh. Silahkan Kang,” kataku sambil mengulungkan rokok mild yang ada di meja.

Seasana hening sejenak. Darmin pun langsung mengambil rokok dan menyalakannya. Tak lama kemudian, pintu tengah rumahku terbuka. Si Mbok keluar sambil membawa pohung goreng dan dua gelas teh tubruk produksi Selawi yang menjadi kesukaanku. Rasanya khas, sedikit ada rasa sepet, tapi aroma bunga melatinya alami.

“Waduh, merepotkan aja nih,” celetuk Darmin basa-basi.
“Mangga, cuma wedang kendel,” Si Mbok ramah menawarkan hidangannya.
“Lah, ini ada temennya pohung goreng. Mantap nih,” selah Darmin menimpali.

Setelah mengeluarkan hidangan ala kadarnya, Si Mbok pun langsung pamit ke dapur lagi tuk melanjutkan masak. “Mangga, saya tinggal dulu ke dapur yah. Belum selesai masak nih.”
“Iya Mbok. Terimaksih ya Mbok,” timpal Darmin. Dan Si Mbok pun langsung bergegas meninggalkan kami berdua.

Walau hanya sekadar pohung atau singkong digoreng, suasana pun manjadi terasa hangat. Walau gerimis di luar masih terus mengalir tanpa henti. Sesekali gelegar suara petir dan kilat yang sangat menakutkan ini pun tak terasa. Sambil menikmati pohung goreng yang masih hangat, Darmin nampanknya ingin melanjutkan obrolannya.

“Ya kalau menurutku, kayaknya dunia ini emang akan segera kiamat. Buktinya kini jumlah orang baik semakin sedikit,” ujarnya.
“Apakah kamu sudah pernah menghitungnya?” potongku.
“Ya belum sih. Tapi kalau melihat berita di tivi, kini jumlah orang baik semakin sedikit”
“Kok bisa?” timpalku.
“ Iya soalnya, kini pejabat yang suka korupsi jumlahnya semakin banyak. Bahkan polis yang seharusnya menangkap penjahat, malah bekerja sama dengan penjahat. Buktinya, yang baik ditahan, yang jahat malah dibebaskan”, ujar Darmin berargumentasi.

Mendengar jawaban itu, aku hanya bisa terdiam. Darmin pun terus bercerita tanpa henti. Ia juga menceritakan bagimana hasil rekaman penyadapan KPK yang dibuka di Makamah Konstitusi itu sudah menjadi bukti nyata bahwa, para penegak hukum ternyata telah bekerja sama dengan para penjahat. Bahkan anggota DPR yang seharusnya dapat menyuarakan aspirasi rakyat, hanya bisa jadi “macan ompong” di hadapan Kapolri. Jika tidak mau disebut sebagai “humas” polri.

“Trus bagaimana ya nasib kita?” ucap Darmin lirih memecahkan lamunanku.
“Kita mau menanam padi saja, kesulitan bibit. Belum harga pupuk yang terus melangit. Sementara mereka yang di atas berebut duwit rakyat yang di dapat dari hasil pajak, dan lain-lain” imbuh Darmin.

Seperti anggota dewan, mendengar keluhan Darmin ini pun, aku hanya bisa diam. Sambil menghebuskan asap rokok ke depan. Ini memang sebuah ketimpangan. Untuk memberi subsidi kepada petani saja, pemerintah hanya mengalokasikan dana Rp 1,6 triliun. Bahkan jika kita melihat APBN 2010, subsidi pupuk menurun dratis. Dari Rp 17,5 triliun pada 2009, kini menurun menjadi Rp 11,3 triliun pada APBD 2010. Sementara untuk Bank Century, pemerintah berani mengeluarkan dana talangan sebesar Rp 6,7 triliun.

“Kok hanya diam aja sih,” celetuk Darmin membuyarkan pikiranku. “Mikir apa?” imbuhnya sambil tertawa.
“Ha...ha...ha...,” kami berdua pun tertawa bersama. Hingga tak terasa, hari pun sudah mulai gelap dan suara Adzan Maghrib sudah berkumandang. Darmin pun pamit pulang. Menerobos hujan dengan caping yang diselipi daun kanderi, yang dipercaya dapat penolak petir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar