Minggu, 20 Desember 2009

Gaya Retorika Komunikasi Politik Prabowo


Awalnya, rasa “penasaran” di benak penulis. “Penasaran” menyimak banyak mantan aktivis mahasiswa angkatan 1998 “mengabdi” kepada sejumlah mantan jenderal TNI, di panggung politik pada pemilu 2009. Padahal, dahulu, mereka adalah barisan mahasiswa kritis, menuntut pembubaran Dwifungsi TNI/ABRI. Mereka juga menuntut militer yang berada di jagad politik praktis dan di dunia bisnis riil, ditarik dan dikembalikan ke barak masing-masing.

Dari rasa “penasaran” itu, lahirlah ide menulis buku ini. Namun, buku ini tidak dihajatkan untuk mencari alasan pembenar dari sudut pandang kalangan mantan akitifis mahasiswa dimaksud. Buku ini juga tidak bermotif menghakimi atau mencari dosa-dosa politik masa lalu para mantan jenderal TNI yang terjun ke kancah politik praktis, pemilu 2009.

Jujur saja, dalam perkembangan ide menulis buku ini, akhirnya penulis menukik hanya pada satu sosok mantan Jenderal TNI. Sosok dimaksud adalah, Letnan Jenderal TNI (Purn.) Prabowo Subianto. Hal yang paling menarik pada sosok mantan Panglima Kostrad tersebut, dari sudut pandang subjektif penulis, tertuju pada gaya retorika komunikasi politiknya.

Hal lain adalah, fakta bahwa Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang didirikan pensiunan jenderal bintang tiga tersebut mampu meraup 5,36 % suara sah nasional, atau setara dengan 30 kursi DPR RI pada pemilu 2009 (rekapitulasi KPU, 9 Mei 2009). Maka, wajar fakta tersebut diakui sebagai sebuah prestasi Prabowo dan Partai Gerindra yang baru kali pertama mengikuti pemilu, namun mampu lolos parliamentary threshold (2,5%); meski “hanya” di peringkat delapan dari sembilan parpol yang lolos ambang batas tersebut.

Penajaman penulis pada ide pokok “gaya retorika komunikasi politik Prabowo Subianto”, sungguh bukan karena penulis mengagumi anak Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo itu. Bukan pula karena penulis menjadi pendukung atau simpatisan Partai Gerindra. Pasalnya, maaf, penulis tetap konsisten untuk tidak memilih partai politik apa pun pada pemilu 2009, kendati pilihan tersebut sempat diharamkan oleh MUI.

Buku ini juga tidak dimaksudkan untuk “menghakimi” sosok Prabowo Subianto, baik sebagai individu maupun sebagai elit politik yang berlatar belakang militer. Bab demi bab dalam buku ini penulis sajikan sebagai sebuah mata rantai yang saling terkait. Diawali dari ihwal latar belakang Prabowo dan keluarga besar Profesor Sumitro; hingga terbentuknya kepribadian khas Prabowo. Penulis, dari berbagai sumber, juga menuangkan ihwal karier militernya, aneka masalah yang menyelimuti di penghujung karier militernya, persahabatannya dengan Raja Yordania, karier bisnisnya bersama adik (Hashim S. Djojohadikusumo), hingga semua itu membentuk rangkaian gaya bahasa dan retorika politiknya saat berlaga di jagad politik praktis, pemilu 2009.

Penulis perlu “buka kartu”, sesungguhnya penulis hanya mantan jurnalis muda yang masih terus berkeinginan belajar menyimak segala sesuatu, sebagaimana layaknya kelaziman seorang jurnalis. Tidak ada unsur dan muatan politis apa pun yang terselubung di balik penulisan buku ini. Kendati demikian, penulis mengakui, objektifitas individu seorang jurnalis juga tidak dapat dilepaskan dari persoalan sikap politiknya secara subjektif.

Ketika kali pertama berkeinginan menulis buku ini, penulis sempat berfikir ingin mengumpulkan semua hasil rekaman video orasi politik Prabowo selama melakukan kampanye di berbagai daerah. Selain itu juga mengumpulkan semua hasil rekaman video pada saat Prabowo diwawancara di televisi. Namun, hingga naskah buku ini ditulis, sedikit rekaman video yang dapat penulis kumpulkan sebagai bahan. Sehingga, boleh jadi, buku ini tidak dapat mewakili secara keseluruhan dari gaya retorika komunikasi pensiuan jenderal TNI bintang tiga tersebut.

Selain melakukan kampanye politik secara terbuka dengan cara menghadirkan massa, mantan Panglima Kostrad tersebut juga secara aktif melakukan kampanye melalui situs jejaring sosial facebook. Awalnya, penulis hanya tertarik pada gaya retorika komunikasi politik yang dibangun Prabowo melalui situs tersebut. Namun, penulis merasa “ada sesuatu yang kurang” jika hanya melihat gaya retorika komunikasi politik Prabowo yang ditulis melalui situs tersebut. Pasalnya, bisa jadi, apa yang ditulis di facebook tersebut bukan murni karya Prabowo, tapi produk tim suksesnya. Bertolak dari “kecurigaan” tersebut, penulis berusaha mencari berbagai rekaman kaset dan gambar video saat Prabowo berorasi dan diwawancara di stasiun televisi. Hal tersebut penulis maksudkan untuk menyimak ihwal bahasa non-verbalnya.

Maka, jadilah buku ini hanya sebatas menyimak gaya retorika komunikasi politik Prabowo selama melakukan kampanye politik sebelum pemilu legislatif 9 April 2009. Terutama yang berkaitan dengan penggunaan bahasa politik untuk memaknai realitas yang ada. Termasuk bagaimana gaya Prabowo pada saat berkapasitas sebagai komunikator dalam menyampaikan pesan untuk mempengaruhi khalayak.

Penulis berasumsi, keberhasilan komunikator dalam mempengaruhi khalayak agar bersedia memberikan dukungan (suara) kepadanya, salah satunya adalah karena kepiawaian komunikator dalam menyampaikan pesan. Termasuk pemilihan kata dan bahasa guna membingkai pesan agar semakin menarik khalayak. Itulah sebabnya gaya retorika komunikasi politik sang komunikator menjadi layak disimak, bahkan dianalisis.

Semoga buku ini bermanfaat bagi khalayak pembaca.

Surabaya, 9 Mei 2009
Sidik Suhada

2 komentar:

  1. maaf pak saya ingin sekali membeli buku ini untuk referensi skripsi saya...saya sudah cari diseluruh toko buku solo dan jogja tapi ga ketemu... kira2 gmn ya saya bisa mendapatkan buku ini? terimakasih..

    BalasHapus
  2. oh iya pak alamat email saya : Diva.Tayub@gmail.com
    mohon bantuannya pak..saya sangat membutuhkan buku ini...Terimakasih banyak..

    BalasHapus