Jumat, 06 November 2009

Anggodo Bukan Hanoman

Oleh: Sidik Suhada

Dalam dunia pewayangan, sosok Anggodo itu digambarkan sebagai moyet. Satu rumpun dengan Hanoman, Si Wanaraseta ( moyet putih). Mereka adalah moyet yang baik. Bahkan masuk kategori pasukan pemukul reaksi cepat yang dimiliki negara Astina untuk menghadapi negara culas Kurawa. Itulah sebabnya, mereka disayangi Pandawa Lima. Bahkan juga disayangi para dewa di khayangan.

Namun, kisa heroik dan palupi (keteladanan) para moyet Astina di dunia pewayangan itu, jauh beda dengan di dunia nyata. Betapa tidak, sepak terjang kakak beradik Anggoro- Anggodo, telah mengoyak-ngoyak rasa keadilan masyarakat di negara Rebublik Indonesia.

Kepongahan dan keangkuhan mereka sebagai pengusaha berduit gede, menampilkan sosok yang menyatakan “segalanya bisa dibeli”. Hukum dibeli. Keadilan dibeli. Sistem dibeli. Sampai-sampai petinggi di dunia penegakan hukum pun dapat mereka beli.

Arogansi tersebut, terungkap gamblang dalam sidang Mahkama Konstitusi, 3 November,lalu. Tanpa sungkan-sungkan apalagi takut, beberapa kali Anggodo mencatur RI-1. Rakyat muak dan marah karena perbuatan Anggodo dikonotasikan bisa membeli pimpinan rebublik ini. Wajar rakyat muak, benci, dan marah pada sindikat pengusaha kayu jati asal Surabaya itu.

Konyolnya, sebelum sidang MK 3 November 2009, Anggodo melaporkan KPK telah mencemarkan nama baiknya, karena KPK dia tuduh menyebarluaskan transkip hasil penyadapan teleponnya. Belum jelas, apa iya dia punya nama baik?

Kekonyolan itu berubah bentuk menjadi kemunafikan dan kepengecutan setelah MK justru menyatakan hasil sadapan KPK harus dibuka kepada publik. Sebagaimana lazimnya pengecut yang pongah, dia buru-buru menyatakan permintaan maaf kepada RI-1 karena telah beberapa kali mencatut namanya. Saat ditanya wartawan, mengapa harus minta maaf? Anggodo dengan enteng menjawab, “Itu budaya timur”.

Hal menarik untuk dicermati, “budaya timur” yang mana yang dimaksudkan Anggodo?! Apakah mencatut nama kemudian ketahuan, disusul tindakan minta maaf, itu yang dia maksudkan budaya timur?! Rasa-rasanya, di Tiongkok sekalipun budaya timur seperti itu (diawali perbuatan pidana kemudian minta maaf) kok tidak ada yah.......?

Sekaranglah saatnya seluruh elemen bangsa ini bangkit, belajar, dan terus belajar mekanisme dalam sistem penegakan hukum di Rebublik ini. Dengan pengetahuan yang cukup dan benar tentang hal tersebut, rakyat menjadi mengerti dan cerdas. Hal tersebut diperlukan sebagai bekal untuk melakukan kontrol terhadap siapapun (terutama para penegak humum) yang patut dapat diduga akan/telah melakukan “perselingkuhan hukum” dengan mafioso peradilan seperti Anggodo.

Tidak berlebihan jika di negeri yang luas dan besar ini masih sangat banyak “ Anggodo-Anggodo” lain yang bebas berkiprah dengan berbagai modus operandi dan beragam jurus alibi. Saatnya kini mereka kita jadikan musuh bersama. Merekalah bahaya laten terwujudnya negara yang adail dan makmur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar