Rabu, 20 Maret 2013

Tantangan Cagub Jawa Timur


Pemilihan Gubernur Jawa Timur akan digelar 29 Agustus 2013, kurang enam bulan lagi. Suhu politik pun sudah memanas. 

Sejumlah tokoh sudah tebar pengaruh, bersaing agar dapat mengambil hati serta simpati rakyat. Sejumlah janji dan jargon politik dilontarkan ke publik. Tujuannya satu, membangun citra dan mengambil simpati rakyat. Namun, dari sekian banyak janji para calon gubernur dan wakil gubernur yang ada, tidak ada satu pun yang menyinggung persoalan konflik agraria dan pembaruan agraria. Padahal konflik agraria di Jawa Timur sangat tinggi. Bahkan selama dua tahun berturut-turut, provinsi Jawa Timur selalu menduduki peringkat pertama secara nasional dalam kasus konflik agraria.
                       
Berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dari 163 konflik agraria yang terjadi sepanjang tahun 2011, sebanyak 36 kasus terjadi di Jawa Timur. Jumlah itu menjadikan provinsi yang memiliki luas wilayah 47.157,72 km2 ini berada diurutan pertama dalam kasus konflik agraria. Kedua ditempati oleh provinsi Sumatera Utara 25 kasus, Sulawesi Tenggara 15 kasus, Jawa Tengah 12 kasus, Jambi 11 kasus, Riau 10 kasus, Sumatera Selatan 9 kasus, dan sisanya tersebar di wilayah lain. Secara kuantitas, konflik agraria yang terjadi di Jawa Timur pada tahun 2012 memang mengalami penurunan. 

Namun, provinsi ini masih tetap berada diurutan pertama dalam kasus konflik agraria sepanjang tahun 2012. Dari 198 konflik agraria yang terjadi diseluruh wilayah Indonesia, 24 kasus di Jawa Timur. Disusul Sumatera Utara 21 kasus, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Sumatera Selatan masingmasing sebanyak 13 kasus. Sisanya tersebar di provinsi lain di Indonesia. 

Konflik agraria yang ada di Jawa Timur ini tersebar di 259 desa, 136 kecamatan, dan 31 Kabupaten/Kota . Konflik ini melibatkan berbagai instansi pemerintah seperti, kehutanan, perkebunan (baik perkebunan swasta maupun perkebunan milik pemerintah), institusi militer, pertambangan, dan berbagai instansi pemerintah lainnya.

Akar Masalah 

Jika ditelusuri secara mendalam. Akar masalah utama dari banyaknya konflik agraria itu adalah akibat tidak adanya reforma agraria atau pembaruan agraria. Sehingga melahirkan ketimpangan dan kesenjangan atas penguasaan serta pengelolaan tanah. Ada banyak orang yang tidak memiliki tanah, sementara di sisi lain, ada sedikit orang yang menguasai tanah begitu luas. 
Paling tidak ketimpangan itu dapat dilihat dari data Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang menyebutkan bahwa, saat ini ada sekitar 56% tanah yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, ternyata hanya dikuasai oleh 0,2% orang saja. Sampai sekarang, sebanyak 4,8 juta hektare tanah yang rata-rata dikuasi pihak perkebunan swasta dan pengusaha dibiarkan terlantar. Tidak dikelola dan dimanfaatkan sebagaimana peruntukannya. Padahal ada sekitar 85 % petani di Indonesia adalah petani gurem dan petani tak bertanah. 

Secara nasional, Jawa Timur memiliki jumlah rumah tangga petani terbanyak yakni 4,1 juta atau sebesar 19,33% dari total rumah tangga petani di Indonesia. Sebanyak 3,4 juta petani di Jawa Timur adalah petani miskin. Sebagai akibat dari ketimpangan kepemilikan, penguasaan, pemanfaatan, dan pengelolaan tanah, kesenjangan sosial dan angka kemiskinan pun menjadi sangat tinggi. Berdasarkan data BPS, September 2012, angka kemiskinan di Jawa Timur mencapai4,961jutaatausekitar13,08% dari jumlahpendudukyangadadi provinsi ini. 

Prosentase terbesar angka kemiskinan itu masih berada di daerah pedesaan. Terkait persoalan tersebut yakni, konflik agraria, ketimpangan penguasaan dan pengelolaan tanah serta tingginya angka kemiskinan, calon gubernur provinsi hendaknya punya pemahaman secara utuh soal agraria. Memiliki visi untuk menyelesaikan konflik agraria dan memiliki keberpihakan pada kaum tani yang ada di pedesaan. 

Dengan memiliki pemahaman yang utuh soal konflik agraria, diharapkan kelak tidak ada lagi anggapan ada pimpinan daerah yang menganggap bahwa persoalan penyelesaian konflik agraria itu hanya kewenangan dari pemerintah pusat. Sebab, kerap kali konflik agraria justru lahir sebagai akibat dari kebijakan-kebijakan pemerintah daerah. 

Penyelesaian Konflik 

Kerap kali, penyelesaian konflik agraria yang ada selama ini masih dilakukan dengan cara-cara primitif. Mengedepankan aparat keamanan untuk berhadap- hadapan dengan petani. Akibatnya, kekerasan dan bentrok antara petani dan aparat keamanan terjadi. Contohnya, konflik agraria antara masyarakat Desa Harjokuncaran, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang dengan Puskopad TNI-AD yang hingga kini belum terselesaikan. 

Padahal sudah banyak warga yang hilang dan diduga Akibat konflik agraria tersebut. Agar kekerasan dalam konflik agraria tidak terus terulang, pemerintah harus segera membuat langkah-langkah strategis. Pertama, menghentikan keterlibatan aparat keamanan dalam setiap sengketa dan konflik agraria. Dalih pengamanan objek strategis negara tidak boleh lagi jadi alasan untuk menembaki rakyatnya sendiri. Apalagi selama ini, aparat keamanan (TNI atau Polri) masih suka menafsikan sendiri tentang apa yang dianggap sebagai objek strategis negara. 

Kedua, pemerintah daerah harus berani segera mengevaluasi luasan tanah yang telah dikuasakan kepada badan usaha milik swasta atau pemerintah. Baik itu yang berupa izin Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan, izin pertambangan, ataupun izin usaha pengelolaan hutan. Karena, tak sedikit jumlahnya konflik agraria juga terjadi disektor kehutanan. Sebab, fakta menunjukan. Secara umum konflik agraria itu karena disebabkan oleh izin lokasi dan izin prinsip yang diberikan di atas tanah-tanah yang dimiliki atau dikelola oleh masyarakat. 

Dalam proses ganti kerugian (kompensasi) yang diberikan pihak perusahaan pemegang izin lokasi atau izin prinsip, kerap kali penuh manipulasi. Baik manipulasi terkait nilai tanah, penerima ganti rugi maupun ukuran tanah. Ketiga, umumnya konflik agraria yang selama ini terjadi bersifat struktural. Sehingga penyelesaiannya tidak cukup dengan jalan pengadilan. Apalagi hanya ditangani oleh lembaga pencatat administrasi seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN). 

Karena itu, pemerintah harus segera membuat trobosan baru dengan cara membuat lembaga yang bersifat khusus untuk menyelesaikan konflik agraria. Keempat, semua kebijakan yang akan dibuat, hendaknya harus mengacu pada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960. Sebab, maraknya konflik agraria itu sebagai akibat tidak dijalankannya UUPA. Sebagai sebuah produk hukum, semangat UUPA adalah untuk mengakhiri praktik-praktik monopoli penguasaan tanah yang dapat melahirkan ketimpangan. Kelima, segala kebijakan pemerintah hendaknya memperhatikan masalah tata guna tanah. 

Tata guna tanah ini meliputi (1) di mana dan berapa luas areal kawasan hutan yang harus dilestarikan, (2) di mana dan berapa luas area perkebunan dan pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan, (3) serta di mana dan berapa luasan area tambang, dan (4) dimana dan berapa luas lahan untuk perumahan atau pemukiman. Penetapan tata guna tanah ini, tidak hanya penting sebagai basis utama pembangunan berkelanjutan ke depan. Namun, juga penting untuk menghindari gesekan dan sengketa tanah yang selama ini marak terjadi. 

Selain menyelesaikan konflik agraria lama yang ditimbulkan sebagai akibat dari kebijakan pemerintah sebelumnya, diharapkan calon gubernur terpilih kelak, hendaknya melibatkan peran aktif organisasi-organisasi tani dalam setiap membuat kebijakan yang sekiranya dapat melahirkan konflik agraria. Tanpa itu, dipastikan konflik agraria akan semakin meluas. Tidak mudah memang untuk mengatasi semua persoalan tersebut. Namun, itulah tantangan calon gubernur Jawa Timur jika ingin meraih hati dan simpati kaum tani yang mayoritas ada di pedesaan. 

Tanpa punya visi dan misi untuk menyelesaikan konflik agraria jangan harap dapat meraih simpati dari kaum tani yang sudah terorganisir. Karena, berbicara membangun desa, membangun kesejahteraan masyarakat desa tanpa menyelesaikan konflik agraria dan melaksanakan pembaruan agraria tentu layak disebut omong kosong.

SIDIK SUHADA 
Penulis adalah Ketua Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPNREPDEM) Bidang Penggalangan Tani, dan Pegiat Gerakan Reforma Agraria. 

sumber: http://www.koran-sindo.com/node/297683

Tidak ada komentar:

Posting Komentar