Kamis, 04 Agustus 2011

Jawa Timur Kawasan Endemik dan KLB Konflik Agraria

kedaiberita.com - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menetapkan provinsi Jawa Timur sebagai salah satu daerah endemik konflik agraria di Indonesia. Sehingga perlu ditetapkan sebagai daerah kawasan KLB (Kejadian Luar Biasa) konflik agraria. Demikian kata, Staf Deputi Riset dan Kampanye KPA, Sidik Suhada saat dikonfirmasi kedaiberita.com, Sabtu, (09/07/11).

Berdasarkan data KPA, Sidik mengatakan bahwa konflik agraria di Jawa Timur mencapai 164 kasus yang tersebar di 259 desa, 136 kecamatan, dan 31 Kabupaten/Kota yang ada di Jawa Timur. Jumlah korban dalam konflik itu mencapai sekitar 363.402 Kepala Keluarga (KK) atau sekitar 1.609.871 jiwa.

Sebanyak 112 kasus terjadi antara petani penggarap dengan pihak perkebunan. Baik perkebunan swasta maupun perkebunan milik pemerintah. Sekitar 25 kasus terjadi antara masyarakat dengan institusi militer seperti, TNI-AD sebanyak 7 kasus, 12 kasus dengan TNI-AL , dan 6 kasus dengan TNI-AU.

Sedang konflik agrarian yang melibatkan pihak kehutanan sebanyak 27 kasus. “Semua konflik agraria itu belum ada yang diselesaikan oleh pemerintah,” ungkapnya.

Menurut Sidik, penyebab utama konflik agraria itu terjadi karena pemerintah tidak bersedia melaksanakan reforma agraria. Sehingga terjadilah ketimpangan kepemilikan lahan. “Ada banyak masyarakat yang tidak punya tanah sama sekali, sementara di sisi lain, ada segelintir orang yang menguasai tanah begitu luas,” kata pemuda asal Cilacap, Jawa Tengah itu.

Ia menyebut, berdasarkan data di Badan Pertanahan Nasional (BPN) ada sekitar 7,3 juta hektar tanah yang saat ini ditelantarkan oleh pihak-pihak yang menguasai banyak tanah itu. “Menurut data BPN, rata-rata tanah yang ditelantarkan itu dikuasai pihak perusahaan perkebuan swasta,” lanjutnya.

Melihat ada tanah yang ditelantarkan seperti itu, kata Sidik, tentu masyarakat atau petani penggarap yang tidak memiliki lahan berusaha untuk memanfaatkannya. Namun, saat para petani mencoba mengolah tanah telantar itu menjadi lahan pertanian produktif, masyarakat digusur. Sehingga konflik agraria pun terjadi dan masyarakat yang tidak punya tanah menuntut keadilan.

“Salah satu tujuan utama dari reforma agraria itu adalah untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan social bagi masyarakat. Karena itu, penting reforma agrarian dijalankan sebagai pondasi awal untuk menata keadilan dan kesejahteraan sosial,” tegasnya.

Selain melaksanakan reforma agraria sebagai solusi untuk menghentikan konflik agrarian, seharusnya pemerintah segera membuat lembaga khusus penyelesaian konflik agrarian. Lembaga ini bersifat adhoc dan bekerja dalam batas waktu tertentu. Tugas utamanya menyelesaikan konflik agrarian, baik yang terjadi masa lalu yang hingga kini belum dapat diselesaikan, maupun menyelesaikan kasus-kasus konflik agrarian yang baru.

Agar memiliki kekuatan, lembaga ini dibentuk melalui keputusan presiden. Sedang untuk mengantisipasi konflik agraria di masa mendatang, pemerintah perlu segera membuat regulasi mengenai peradilan agraria.

Selain itu, pengkajian ulang berbagai peraturan pemerintah yang terkait dengan persoalan agraria dan sumber-sumber agraria lain juga perlu segera dilakukan. Pasalnya, realitas kebijakan yang ada hari ini, banyak yang tumpang tindih, tidak sinkron, dan selalu mengedepankan ego sektoral masing-masing pemaku lembaga pemerintah. Misalnya, kebijakan yang ada dalam departemen kehutanan selalu berbenturan dengan pihak BPN. Berbenturan juga dengan kebijakan Kementerian Sumber Daya Alam, dan sebagianya.

“Kebijakan seperti itu tentu akan menambah persoalan agrarian. Karena, tidak ada kejelasan arah dan siapa yang harus bertangunggjawab terhadap pengelolaan agraria dan SDA,” tandasnya.

Sumber:
http://kedaiberita.com/Politik/jawa-timur-kawasan-endemik-dan-klb-konflik-agraria.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar