MALANG — Dewan
Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPN-Repdem) menilai masifnya
konflik agraria yang berlangsung hingga layak disebut sebagai kejadian luar
biasa.
Ketua DPN Repdem Bidang Penggalangan Tani
Sidik Suhada mengatakan dari data yang ada di Badan Pertanahan Nasional (BPN)
menyatakan sepanjang 2012 terdapat sekitar 8.000 konflik pertanahan yang belum
terselesaikan.
“Sementara data Konsorsium Pembaruan
Agraria (KPA) menunjukkan sepanjang 2012 mencatat sedikitnya ada 156 orang
petani ditahan, 55 orang petani luka-luka, 25 petani tertembak, dan 3 orang
petani tewas dalam konflik agraria,” kata Sidik dalam keterangan resminya ke
Bisnis, Kamis (14/2/2013).
Namun, lanjutnya, meskipun konflik agraria
telah menelan korban jiwa, respons pemerintah terhadap konflik agraria sangat
lamban. Bahkan terkesan seperti membiarkan tanpa penyelesaian.
Dia menuturkan seharusnya pemerintah
menempatkan konflik agraria menjadi sebuah kejadian luar biasa sehingga butuh
cara-cara penanganan yang luar biasa pula.
“Presiden perlu membentuk sebuah lembaga
yang bersifat khusus dan independen agar dapat menyelesaikan konflik agraria
secara tuntas,” imbuhnya.
Dia menjelaskan untuk membentuk lembaga itu
dibutuhkan kemauan politik yang kuat dan nyata dari presiden. Tanpa ada kemauan
politik itu mustahil konflik agraria dapat diselesaikan secara tuntas.
Selain itu, sambungnya para elit politik
dan pejabat pemerintah sebagai penentu kebijakan harusnya bisa memahami faktor
penyebab maraknya konflik agraria yang disebabkan antara lain banyaknya
kebijakan dan produk hukum yang dibuat pemerintah saling tumpang tindih antara
aturan yang satu dengan yang lain.
“Keduanya saling menciptakan ego sektoral
masing-masing. Saat ini banyak peraturan atau UU yang masih berbenturan satu
sama lain bahkan secara horizontal,” ujarnya.
Misalnya UU Penanaman Modal, UU Kehutanan,
UU Perkebunan, UU Pesisir dan Pulau-Pulai Kecil, hingga UU Pengadaan Tanah
untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum yang saling berbenturan satu sama lain.
Ketidak sinkronan itu, tambahnya, terjadi
karena dalam proses pembuatan UU sering mengabaikan kepentingan rakyat dan
tidak merujuk pada UU yang sudah ada sebelumnya baik UUD 1945 maupun UU Pokok
Agraria No.5/1960.
“Tidak hanya itu makin parahnya konflik
agraria juga karena banyak perauran daerah (perda) yang sangat bersifat
eksploitatif dan bertujuan untuk kepentingan jangka pendek dari para
elitpolitik dan pejabat birokrasi semata,” tutur dia. (snd)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar