Sabtu, 16 Februari 2013

KONFLIK AGRARIA: DPN-Repdem Nilai Sebagai Kejadian Luar Biasa


MALANG — Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPN-Repdem) menilai masifnya konflik agraria yang berlangsung hingga layak disebut sebagai kejadian luar biasa.

Ketua DPN Repdem Bidang Penggalangan Tani Sidik Suhada mengatakan dari data yang ada di Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyatakan sepanjang 2012 terdapat sekitar 8.000 konflik pertanahan yang belum terselesaikan.

“Sementara data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan sepanjang 2012 mencatat sedikitnya ada 156 orang petani ditahan, 55 orang petani luka-luka, 25 petani tertembak, dan 3 orang petani tewas dalam konflik agraria,” kata Sidik dalam keterangan resminya ke Bisnis, Kamis (14/2/2013).

Namun, lanjutnya, meskipun konflik agraria telah menelan korban jiwa, respons pemerintah terhadap konflik agraria sangat lamban. Bahkan terkesan seperti membiarkan tanpa penyelesaian.

Dia menuturkan seharusnya pemerintah menempatkan konflik agraria menjadi sebuah kejadian luar biasa sehingga butuh cara-cara penanganan yang luar biasa pula.

“Presiden perlu membentuk sebuah lembaga yang bersifat khusus dan independen agar dapat menyelesaikan konflik agraria secara tuntas,” imbuhnya.

Dia menjelaskan untuk membentuk lembaga itu dibutuhkan kemauan politik yang kuat dan nyata dari presiden. Tanpa ada kemauan politik itu  mustahil konflik agraria dapat diselesaikan secara tuntas.

Selain itu, sambungnya para elit politik dan pejabat pemerintah sebagai penentu kebijakan harusnya bisa memahami faktor penyebab maraknya konflik agraria yang disebabkan antara lain banyaknya kebijakan dan produk hukum yang dibuat pemerintah saling tumpang tindih antara aturan yang satu dengan yang lain.

“Keduanya saling menciptakan ego sektoral masing-masing. Saat ini banyak peraturan atau UU yang masih berbenturan satu sama lain bahkan secara horizontal,” ujarnya.

Misalnya UU Penanaman Modal, UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Pesisir dan Pulau-Pulai Kecil, hingga UU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum yang saling berbenturan satu sama lain.

Ketidak sinkronan itu, tambahnya, terjadi karena dalam proses pembuatan UU sering mengabaikan kepentingan rakyat dan tidak merujuk pada UU yang sudah ada sebelumnya baik UUD 1945 maupun UU Pokok Agraria No.5/1960.

“Tidak hanya itu makin parahnya konflik agraria juga karena banyak perauran daerah (perda) yang sangat bersifat eksploitatif dan bertujuan untuk kepentingan jangka pendek dari para elitpolitik dan pejabat birokrasi semata,” tutur dia. (snd)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar