TEMPO.CO, Malang - Konsorsium
Pembaruan Agraria (KPA) memaparkan data bahwa selama tahun 2012 terjadi 198
kasus konflik agraria di berbagai daerah di Indonesia. Jumlah tersebut
merupakan bagian dari 618 kasus yang terjadi selama delapan tahun terakhir.
Deputi Riset dan
Kampanye KPA, Sidik Suhada, menjelaskan, berbagai kasus konflik agraria
tersebut tidak diselesaikan secara tuntas. Padahal, rata-rata setiap dua hari
terjadi konflik agraria baru. Akibatnya, 731.342 keluarga petani penggarap
kehilangan tanahnya.
Menurut Sidik,
konflik agraria selama 2012 terjadi di sejumlah sektor. Sebanyak 90 kasus di
sektor perkebunan, 60 kasus di sektor pembangunan infrastruktur, 21 kasus di
sektor kehutanan, lima kasus di sektor pertanian, dan dua kasus di sektor
kelautan dan wilayah pesisir.
"Total luas
lahan yang menjadi obyek sengketa mencapai 2,4 juta hektare," ujar Sidik.
Terjadinya konflik
agraria membuktikan bahwa reformasi agraria seperti yang dijanjikan pemerintah
tidak berjalan. Padahal semangat reformasi agraria jelas tertuang dalam
Ketetapan MPR Nomor 9 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan
Pelaksanaan Reformasi Agraria.
Pada kenyataannya,
berbagai kebijakan pemerintah sering bertentangan dengan reformasi agraria.
Kebijakan tersebut di antaranya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah, Undang-Undang tentang Penanaman Modal serta sejumlah
undang-undang lainnya yang bertetangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Pokok Agraria. Itu sebabnya konflik agraria di Indonesia cenderung
terus meningkat.
Merauke Integrated
Food and Energy Estate (MIFEE) merupakan salah satu contoh nyata pemerintah
menjauhkan petani dari tanahnya. Padahal, bagi masyarakat adat, tanah bukan
sekadar sumber ekonomi keluarga, melainkan identitas dan status sosial. ”Tanpa
memiliki tanah mereka bukan petani, tapi buruh tani,” kata Sidik.
EKO WIDIANTO
Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2012/12/31/063451236/Selama-2012-Terjadi-198-Kasus-Konflik-Agraria
Tidak ada komentar:
Posting Komentar