Selasa, 01 Januari 2013

Selama 2012 Terjadi 198 Kasus Konflik Agraria


TEMPO.CO, Malang - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) memaparkan data bahwa selama tahun 2012 terjadi 198 kasus konflik agraria di berbagai daerah di Indonesia. Jumlah tersebut merupakan bagian dari 618 kasus yang terjadi selama delapan tahun terakhir. 

Deputi Riset dan Kampanye KPA, Sidik Suhada, menjelaskan, berbagai kasus konflik agraria tersebut tidak diselesaikan secara tuntas. Padahal, rata-rata setiap dua hari terjadi konflik agraria baru. Akibatnya, 731.342 keluarga petani penggarap kehilangan tanahnya. 

"Undang-Undang Pokok Agraria tidak pernah ditegakkan untuk mengakhiri konflik agraria," kata Sidik dalam siaran pers KPA, Senin, 31 Desember 2012. 


Menurut Sidik, konflik agraria selama 2012 terjadi di sejumlah sektor. Sebanyak 90 kasus di sektor perkebunan, 60 kasus di sektor pembangunan infrastruktur, 21 kasus di sektor kehutanan, lima kasus di sektor pertanian, dan dua kasus di sektor kelautan dan wilayah pesisir. 


"Total luas lahan yang menjadi obyek sengketa mencapai 2,4 juta hektare," ujar Sidik. 


Konflik agraria tersebut melibatkan negara, militer, dan swasta. Khusus yang melibatkan militer terdapat sembilan kasus. Dalam kasus-kasus tersebut tiga orang petani tewas, 25 orang mengalami luka tembak, 55 orang terluka akibat kekerasan, serta 156 petani ditahan. 


Terjadinya konflik agraria membuktikan bahwa reformasi agraria seperti yang dijanjikan pemerintah tidak berjalan. Padahal semangat reformasi agraria jelas tertuang dalam Ketetapan MPR Nomor 9 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelaksanaan Reformasi Agraria. 


Pada kenyataannya, berbagai kebijakan pemerintah sering bertentangan dengan reformasi agraria. Kebijakan tersebut di antaranya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah, Undang-Undang tentang Penanaman Modal serta sejumlah undang-undang lainnya yang bertetangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria. Itu sebabnya konflik agraria di Indonesia cenderung terus meningkat. 


Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) merupakan salah satu contoh nyata pemerintah menjauhkan petani dari tanahnya. Padahal, bagi masyarakat adat, tanah bukan sekadar sumber ekonomi keluarga, melainkan identitas dan status sosial. ”Tanpa memiliki tanah mereka bukan petani, tapi buruh tani,” kata Sidik. 

EKO WIDIANTO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar