Hal itu ditandai dengan terbitnya 304
unit izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) hutan alam atau yang
dikenal sebagai HPH terhadap 25 juta hektare atau sebanyak 9,3 juta
hektare yang ditetapkan sebagai HTI untuk 236 unit perusahaan yang sebagian
besar swasta.
Ketua Dewan Pimpinan Nasional Relawan
Perjuangan Demokrasi (DPN-Repdem) Bidang Penggalangan Tani Sidik Suhada
mengatakan Indonesia memiliki 136,5 juta hektare kawasan hutan dengan hutan
produksi mencapai 81,8 juta hektare dan hutan lindung 31 juta hektare.
“Sayangnya para pemilik modal telah
menguasai sekitar 41% kawasan hutan produksi,” kata Sidik seperti dikutip dalam
siaran pers yang diterima Bisnis, Senin (7/1/2013).
Indonesia, ujarnya, juga memiliki 9,2
juta hektare lahan sawit. Namun, lebih dari 75% dimiliki oleh perusahaan bukan
rakyat. Sementara, 33.000 desa di dalam kawasan hutan setiap saat tanahnya
dapat dirampas atas nama undang-undang (UU) karena pemberian izin HTI,
tambang, HPH, hingga perkebunan sawit.
“Akibatnya tidak heran jika selama
2012, setiap dua hari sekali terjadi konflik agraria dengan melibatkan 2.000
kepala keluarga (KK) sebagai korban langsung perampasan tanah,” imbuhnya.
Dia menjelaskan aksi yang dilakukan
petani dan masyarakat adat akibat perampasan tanah dari berbagai daerah hingga
ke Jakarta saat ini mengemuka. Bahkan ditandai dengan aksi militan seperti
menjahit mulut, jalan kaki ribuan kilo meter, mogok makan, dan pendudukan
tanah masih kerap menimbulkan jiwa.
“Hal itu memberikan sinyal kuat jika
ketidakadilan agraria di tanah air masih sangat tinggi,” ungkapnya.
Dia berharap pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) segera mengakhiri konflik agraria dengan
memanggil dan mengkoordinir semua jajaran kementerian untuk duduk bersama dan
mengakhiri ego sektoral antar kementerian.
Adapun kementerian kementerian yang
dimaksud yakni Kementerian Kehutanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM), Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Negara Badan Usaha Milik
Negera (BUMN), serta Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Menurutnya, kerap kali penyelesaian
konflik agraria menjadi semakin runyam karena melibatkan berbagai sektor
kementerian. Dia menuturkan setiap kementerian memiliki ego sendiri dalam
pengelolaan dan penguasaan sumber-sumber pokok agraria yang ada.
“Selain itu presiden juga harus segera
mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) untuk membantu unit atau kelembagaan
ad hoc penyelesaian konflik agraria yang bertugas mengkoordinir kementerian
terkait penyelesaian konflik agrarian disemua sektor,” paparnya.
Dia menambahkan lembaga ad hoc ini
bertugas untuk menerima laporan pengaduan dan memiliki kewenangan untuk
mengambil keputusan penyelesaian konflik agraria yang terjadi serta keputusan
lembaga ad hoc ini bersifat final dan mengikat semua pihak. (snd)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar