Senin, 07 Januari 2013

Pemerintah Longgar Beri Izin Pengelolaan Hutan dan Tambang

MALANG — Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyayangkan mudahnya pemerintah memberikan izin hak pengelolaan hutan (HPH),  hutan tanaman industri (HTI), tambang, hingga perkebunan sawit.

Hal itu ditandai dengan terbitnya 304 unit izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) hutan alam atau yang dikenal sebagai HPH terhadap 25 juta hektare atau  sebanyak 9,3 juta hektare yang ditetapkan sebagai HTI untuk 236 unit perusahaan yang sebagian besar swasta.

Ketua Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPN-Repdem) Bidang Penggalangan Tani Sidik Suhada mengatakan Indonesia memiliki 136,5 juta hektare kawasan hutan dengan hutan produksi mencapai 81,8 juta hektare dan hutan lindung 31 juta hektare.

“Sayangnya para pemilik modal telah menguasai sekitar 41% kawasan hutan produksi,” kata Sidik seperti dikutip dalam siaran pers yang diterima Bisnis, Senin (7/1/2013).

Indonesia, ujarnya, juga memiliki 9,2 juta hektare lahan sawit. Namun, lebih dari 75% dimiliki oleh perusahaan bukan rakyat. Sementara, 33.000 desa di dalam kawasan hutan setiap saat tanahnya dapat dirampas atas nama undang-undang (UU)  karena pemberian izin HTI, tambang, HPH, hingga perkebunan sawit.

“Akibatnya tidak heran jika selama 2012, setiap dua hari sekali terjadi konflik agraria dengan melibatkan 2.000 kepala keluarga (KK) sebagai korban langsung perampasan tanah,” imbuhnya.

Dia menjelaskan aksi yang dilakukan petani dan masyarakat adat akibat perampasan tanah dari berbagai daerah hingga ke Jakarta saat ini mengemuka. Bahkan ditandai dengan aksi militan seperti menjahit mulut,  jalan kaki ribuan kilo meter, mogok makan, dan pendudukan tanah masih kerap menimbulkan jiwa.

“Hal itu memberikan sinyal kuat jika ketidakadilan agraria di tanah air masih sangat tinggi,” ungkapnya.

Dia berharap pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) segera mengakhiri konflik agraria dengan memanggil dan mengkoordinir semua jajaran kementerian untuk duduk bersama dan mengakhiri ego sektoral antar kementerian.

Adapun kementerian kementerian yang dimaksud yakni Kementerian Kehutanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negera (BUMN), serta Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Menurutnya, kerap kali penyelesaian konflik agraria menjadi semakin runyam karena melibatkan berbagai sektor kementerian. Dia menuturkan setiap kementerian memiliki ego sendiri dalam pengelolaan dan penguasaan sumber-sumber pokok agraria yang ada.

“Selain itu presiden juga harus segera mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) untuk membantu unit atau kelembagaan ad hoc penyelesaian konflik agraria yang bertugas mengkoordinir kementerian terkait penyelesaian konflik agrarian disemua sektor,” paparnya.

Dia menambahkan lembaga ad hoc ini bertugas untuk menerima laporan pengaduan dan memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan penyelesaian konflik agraria yang terjadi serta keputusan lembaga ad hoc ini bersifat final dan mengikat semua pihak. (snd)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar