Senin, 30 Maret 2009

Kemelut Intelektual Dalam Perjuangan Buruh

Ibarat kuda lepas dari kandang. Paska reformasi, sebagian kalangan intelektual dan politisi yang terpental dari partai lain, ramai-ramai membangun partai sendiri. Membagun partai politik, seperti membeli tempe goreng. Sedikit ada uang receh, sepotong tempe goreng pun sudah siap dihidangkan. Semua serba instan. Usai pemilu digelar, partai politik pun menghilang tanpa dukungan. Namun, akan kembali lima tahun mendatang dengan cara merubah lambang dan bendera partai baru lagi. Wajah lama yang sudah suram pun  kembali berseri-seri. Layaknya sepasang anak muda yang sedang memadu kasih.

 Bagi sebagian kalangan itelektual kita, berpetualang dalam dunia politik, rupanya telah menjadi hobi. Mendirikan partai politik, seperti telah menjadi tujuan  hidup untuk merubah nasib dalam situasi sulit. Targetnya ingin ikut pemilu. Merubah nasib layaknya seorang yang sedang bermain dadu. 

Siapa tahu nasib lagi mujur, bisa memperoleh suara untuk mengantarkan dirinya mejuju kursi empuk dalam parlemen. Sehingga status sosialnya pun naik, karena akan disebut sebagai ”wakil rakyat” dan mendapatkan penghasilan yang cukup besar. Kalau nasib lagi kurang beruntung, toh pemilu mendatang dapat kembali mendirikan partai baru.  Biayanya pun murah kok, modal Rp 200 ribu, dah dapat legalitas dari kantor notaris. Setelah itu, tinggal didaftarkan. Beres.

Hanya sekedar contoh. Muchtar Pakpahan, misalnya. Setelah dirinya merasa menjadi aktifis buruh dan menjadikan SBSI sebagai kendaraan politiknya, pada pemilu 1999. Intelektual borjuasi kecil ini, percaya diri dengan cara mendirikan PBN. Namun, ternyata analisis intelektualnya meleset sehingga partainya pun tersungkur. Belum puas dengan analisanya yang selalu gagal, pemilu tahun 2004, Muchtar Pakpahan yang memiliki gelar pendidikan Doktor ini pun,  kembali mendekelarasikan PBSD dengan rasa optimistik yang tinggi karena merasa punya SBSI. Ternyata hasil akirnya, broker politik ini pun gagal membangun mimpinya. Karena sebagian pengurus SBSI yang mengaanggap pendirian PBSD itu terlalu dini. Sehingga terpaksa melakukan boikot terhadap partai ini. 

Namun, itulah intelektiul kita yang memimpin serikat buruh. Tidak bisa obyektif dalam menganalisa setiap kondisi riil yang ada. Bertindak atas dasar kehendak ide, dan gagasannya sendiri. Keras kepala dan tidak mau dikeritik. Sebab keritik dianggap dapat menurunkan kredibelitasnya dirinya. Tidak pernah bersedia melakukan dan menjalankan tugas-tugas yang dianggap tidak sesuai dengan kehendaknya. Padahal bermanfaat buat perjuangan massa buruh. Mengaaku sebagai pimpinan massa, namun tidak pernah bersentuhan dengan massa. Akibatnya, tidak dapat pemahaman kebutuhan dan kesiapan massa.  

Memandang masalah secara subyektif, memang masih menjadi persoalan besar bagi perjuangan kaum buruh. Bahkan rasanya masih jauh api dari panggang. Pemilu 2009 ini, beberapa pimpinan serikat buruh ini pun kembali membangun partai. Mencoba kembali mengadu nasib, siapa tahu dewa keberuntungan sedang perpihak padanya. Walaupun, hasilnya telah dapat kita prediksikan. Mimpi mereka selamanya tetap akan menjadi mimpi. Karena sandaran kekuatan massa mereka, hanya ada dalam selogan tanpa makna.  Alias tong kosong berbunyi nyaring.

Aneh memang. Namun, inilah fakta yang ada. Meskipun sudah berulang kali melakukan kesalahan dan kegagalan, namun tetap saja tidak mau belajar dari hasil pengalaman prakteknya sendiri. Sehingga dapat diprediksi, partai buruh ini pun akan mengalami kegagalan yang sama dalam pemilu tahun ini. Mengapa?

Masalah terbesar dari partai-partai baru yang ada saat ini adalah pertama,  pendirian partai politik ini masih bersandar pada kalangan intelektual dan para politisi yang terpental dari partai lain. Sehingga tidak memiliki akar yang kuat dan berbasis massa yang solid serta terorganisir dibawah. Meskipun mereka mengklaim memiliki basis massa serikat buruh.Kedua, ikut pemilu hanya sekedar menjadi tujuan. Bukan sebagai salah satu taktik perjuangan partai. Apalagi pemilu dimaknai sebagai sarana untuk mengukur kekuatan  partai. Rasanya, masih jauh dari bayangan para elit politik partai ini.

Sehingga jika partai yang baru didirikan ini gagal memenuhi kuota perolehan suara, dapat dipastikan akan mendirikan partai baru lagi agar dapat kembali ikut pemilu lima tahun mendatang. Namun, gaya dan konsep pembanguan partainya masih sama. Meskipun nama dan lambang partainya telah berubah. Wajah-wajah sayu ini pun tetap saja beroar tanpa malu. Atas nama demokrasi, atas nama rakyat, berjuang tanpa pamrih untuk kesejahteraan rakyat dan kemajuan rakyat. Namun, tidak pernah mendidik rakyat. Bahkan boleh dibilang justru membodohi rakyat. Bahkan merusak serikat buruh yang sudah ada.

Ketiga, karena para pendiri partai ini hanya dari kalangan intelektual dan kumpulan politisi yang sudah tidak memiliki ruang di partai lain. Cara pandang mereka pun sangat pragmatis. Mendirikan partai secara legal dulu di pusat, baru kemudian membangun jaringan di daerah-daerah agar bisa memenuhi kuota dan  lolos verivikasi sebagai syarat agar dapat ikut pemilu. Persoalan kualitas orang-orang yang direkut sebagai pengurus partai di daerah, tidak terlalu penting. Yang penting adalah bisa lolos verivikasi dulu. Akibatnya, begitu lolos verivikasi dan dapat dinyatakan sebagai partai peserta pemilu, semua gedandapan. Binggung dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Padahal pemilu ”sebagai tujuan” partai ini. Namun, tidak tahu apa yang harus dilakukan kader partai ini untuk memenangkan pemilu.

Aktifitas utama kader partai-partai baru ini pun, hanya sekedar menunggu siapa tahu ada kucuran dana dari kantor pusat partainya yang ada di Jakarta. Jika tidak ada kucuran dana, kader-kader partai yang baru direkut ini pun buyar dan mencari penghidupan dari partai lain. Sementara, jika ada bantuan dana dari pusat, bukannya dianggap sebagai dana logistik partai. Namun, justru dimaknai sebagai dana hibah yang dapat dinikmati secara pribadi oleh para pengurus partai. Bukan digunakan untuk membesarkan partai.

 

Kegagalan partai buruh

Sementara, partai-partai politik yang didirikan dengan mengatasnamakan serikat buruh. Bisa dibilang malah merusak tatanan serikat buruh itu sendiri. Jika buruh ingin berhasil, memang harus melakukan perjuanga politik. Karena itu, kesadaran kaum buruh pun harus terus didorong agar meiliki kesadaran politik. Namun, jika perjuanga politik yang dilakukan serikat buruh, tidak bersandar pada kesadaran yang benar justru bisa menjadi bumerang bagi serikat buruh itu sendiri.

Kegagalan-kegalan partai buruh yang ada di Indonesia selama ini karena, pertama pimpinan partai buruh bukan berasal dari buruh yang telah memiliki kesadaran klas buruh. Melainkan dari kalangan intelektual yang masih kental watak kesadaran kelasnya sendiri. Sehingga para pimpinan partai buruh ini, tidak pernah dapat memahami hakekat makna yang sebenarnya dari perjuangan buruh. Kedua, banyak pimpinan serikat dan partai buruh, justru merukan broker-broker politik atas nama buruh. Untuk memperoleh keuntungan pribadi.

            Sehingga meskipun pertumbuhan buruh di Indonesia kini semakin banyak jumlahnya, namun tidak semua buruh mendukung partai buruh. Karena partai buruh yang ada belum didirikan atas dasar kesadaran dari buruh itu sendiri. Melainkan berdiri atas dasar kesadaran dari grombolan intelektual yang sedang bingung mencari pekerjaan.

            Akibatnya, buruh tetap menjadi korban. Selama masih menyandarkan nasibnya pada sekelompok intelektual ini. Namun, apakah buruh harus menolak kedatangan kaum intelektual ini? Tentu tidak. Asal kaum intelektual ini tidak merusak perjuangan buruh. Karena tugas, kaum intelektual ini hanya sekedar untuk mendorong kesadaran buruh. Bukan datang sebagai dewa penyelamat. Apalagi mengambil alih perjuangan buruh. Tentu  menjadi haram hukumnya kalau dilakukan (Sidik Suhada)