Selasa, 26 Maret 2013

Harga Bawang Meroket: "Presiden Harus Segera Evaluasi Kinerja Menteri Pertanian"



BLITAR - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) didesak untuk segera melakukan evaluasi kinerja Kementerian Pertanian (Kementan) seiring meroketnya harga bawang putih yang tidak masuk akal.

Menurut Ketua Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPN-REPDEM) Bidang Penggalangan Tani Sidik Suhada, terjadinya sentimen pasar yang mengakibatkan harga bawang membumbung tinggi adalah bentuk gagalnya kebijakan kementerian dalam membangkitkan gairah pertanian.

“Sebagai negara agraris yang alamnya melimpah ruah tentu aneh jika bawang saja masih impor. Akibatnya terjadi kelangkaan seperti ini. Presiden sudah seyogyanya melakukan evalusi kinerja menteri pertanian,” ujarnya, Rabu (13/3/2013).


Kuota impor produk hortikultura (RIPH), khususnya bawang putih yang disetujui Kementerian Pertanian mencapai 160 ribu ton pada semester pertama 2013. Pada impor bawang putih tahap awal, jumlah produk pertanian yang harus masuk ke Indonesia mencapai 64.410 ton.

Namun hingga kini, upaya yang dilakukan 16 perusahaan untuk mendatangkan bawang putih dari luar negeri baru mencapai 29.136 ton. Menurut Sidik, jika kementerian cerdas, harusnya tidak perlu terus menerus bergantung pada kebijakan impor.


“Tapi cukup membuat kebijakan yang sifatnya propetani. Hal itu mengingat negara kita adalah negara agraris. Karenanya petani harus menjadi ujung tombak kedaulatan pangan,“ tegasnya.

Yang terjadi, pemerintah seolah sengaja menjauhkan petani dari kehidupannya. Kebijakan yang dikeluarkan lebih memberikan tanah untuk kepentingan pemilik modal daripada petani. Hal itu dapat dilihat bagaimana masih banyak para petani yang hingga ini masih berjuang untuk merebut haknya atas tanah.

Dicontohkan di wilayah Kabupaten Blitar. Sesuai data Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) 2012 ada 30 titik sengketa agraria yang melibatkan 10 ribu jiwa petani. Mereka berjuang untuk mendapatkan lahan pertanian dengan total luas 6.000 hektare (ha). Sementara secara nasional pada 2012 terdapat 198 kasus agraria baru.
“Jika petani bisa mendapatkan haknya atas tanah dan mengelolanya, tentu ketergantungan pangan dari negeri lain akan bisa lebih ditekan, “ tukas Sidik.

REPDEM yang merupakan ounderbow dari PDI Perjuangan itu mendesak kebijakan pemerintah terhadap petani harus segera diubah. Subsidi untuk petani harus diperbesar. Bahkan untuk para petani yang memiliki lahan sempit di bawah satu ha, kata Sidik perlu mendapat pupuk dan obat-obatan secara gratis.

“Untuk petani yang berlahan lebih 10 ha boleh dimahalkan harga pupuk dan obat-obatan. Ini semua untuk meningkatkan gairah hidup petani agar tidak meninggalkan tanah dan mengadu nasib ke kota. Dengan begitu kita tidak perlu repot-repot bergantung pada impor,“ pungkasnya. (Solichan Arif/Koran SI/wdi)


Rabu, 20 Maret 2013

Mahalnya Bawang Putih Indikasi Kebijakan Mentan Tak Efektif


Jurnas.com | DEWAN Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPN Repdem) meminta presiden mengevaluasi kinerja Menteri Pertanian Suswono. Pasalnya, ia dinilai gagal dalam membuat kebijakan untuk membangkitkan gairah petani dalam negeri.

Ketua Sidik Suhada DPN Repdem Bidang Penggalangan Tani, Selasa (12/3), menyatakan, hal itu terkait dengan lonjakan harga bawa putih. "Dampaknya, Indonesia tetap bergantung pada bahan pangan impor," katanya. 

Informasi Repdem yang dirilis hari ini merujuk pada data Kemetrian Perdagangan menyatakan, kuota impor produk hortikultura (RIPH) bawang putih yang sudah disetujuiKementerian Pertanian pada semester I 2013 sebanyak 160.000 ton. 

Untuk tahap awal, tutur Sidik, akan diimpor bawang putih sebanyak 64.410 ton. Dari jumlah tersebut sudah ada 16 perusahaan yang memperoleh surat persetujuan impor dg jumlah 29.136 ton.

Sementara Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sepanjang 2012, Indonesia mengimpor 415.000 ton bawang putih dari beberapa negara dengan nilai US$242,3 juta atau sekitar Rp2,3 triliun. Mayoritas bawang putih diimpor dari China sebanyak 410.100 ton senilai US$239,4 juta (Rp2,27 triliun) untuk periode Januari-Desember 2012.
"Kegiatan impor bawang putih dari China ini berjalan sepanjang tahun, sementara ada beberapa negara lain yang memasukkan bawang putih ke dalam negeri seperti India, Malaysia, Pakistan, dan Thailand, tetapi impornya tidak terjadi setiap bulan dan tak signifikan," ujar Sidik.

Perlu diketahui, impor bawang putih dari India sepanjang 2012 mencapai 3.424 ton dengan nilai US$1,7 juta, dari Malaysia 1.124 ton seharga US$1,1 juta, Pakistan sebanyak 203 ton senilai US$81,2 ribu, dan dari Thailand sebesar 58 ton dengan nilai US$37 ribu.

"Kebijakan impor bawang putih ini, sungguh sangat memprihatinkan. Pasalnya, Indonesia adalah negara agraris yang tidak hanya memiliki alam subur. Tapi juga memiliki sumber daya manusia melimpah," ucap Sidik.

Demikian alasan Repdem bahwa kinerja Menteri Pertanian perlu dikaji ulang. Lantaran kurang cakap dalam merumuskan program kebijakan di sektor pertanian dampaknya bawang harus impor.

Sementara untuk menstabilkan harga bawang putih yang meroket di pasaran maka presiden harus memerintahkan kepolisian untuk menggelar operasi guna menggeledah gudang-gudang tempat penimbun bawang putih. Karena, tak menutup kemungkinan tingginya harga bawang dampak permainan sepekulan dan mafia perdagangan yang sengaja menimbun.



TNI banyak sumbang konflik agraria di Jatim


Solichan Arif
Kamis,  21 Maret 2013  −  11:32 WIB
Sindonews.com - Tentara Nasional Indonesia (TNI) ternyata disebut memiliki peran banyak dalam berbagai macam konflik agraria di Jawa Timur (Jatim). 

Hal itu berdasarkan data yang dihimpun Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPN-Repdem). TNI Angkatan Laut (AL) disebut sebagai penyumbang angka terbesar kasus sengketa agraria yang terjadi di wilayah Jatim. Lantaran, dari 25 konflik tanah yang melibatkan militer, 12 kasus diantaranya adalah TNI AL. 
           
“Dan lawan dari institusi militer ini adalah masyarakat sipil dari kelompok tani. Yang secara sosial ekonomi dan pengetahuan tentang hukum masih rendah, “ujar  Ketua DPN Repdem Bidang Penggalangan Tani Sidik Suhada, Kamis (21/3/2013). 

Lembaga militer berikutnya adalah TNI Angkatan Darat (AD) yang terlibat sebagai pihak berkonflik di tujuh kasus. Kemudian TNI Angkatan Udara (AU) sebanyak enam kasus. 

Total lahan yang menjadi obyek sengketa mencapai 15.374, 29 hektar yang mayoritas berupa tanah perkebunan yang sekaligus menjadi tempat tinggal dan mata pencaharian masyarakat petani di sana. 

“Tentunya militer lebih kuat. Sebagai alat negara yang memiliki posisi politis 'menjaga' kekuasaan, militer memiliki kemampuan memaksakan kehendaknya kepada rakyat, karena apa yang dilakukan institusi militer berpotensi terjadinya pelanggaran HAM," terangnya. 
           
Lebih jauh, untuk wilayah Kabupaten Blitar, kata Sidik terdapat enam titik sengketa agraria yang melibatkan institusi TNI. Yakni TNI AD sebanyak lima titik, dan TNI AU sebanyak satu titik. 

“Konflik ini berada di wilayah  Kecamatan Wonotirto, Garum dan Ponggok. Untuk di Ponggok saat ini tengah dilakukan mediasi dengan Komnas HAM,“ terangnya.
 
Sementara di Kabupaten Malang terdapat lima titik konflik yang semuanya melibatkan TNI AL. Yakni diantaranya berada di Kecamatan Pagak, dan Kecamatan bantur dengan total luas lahan 4.881 hektar.
 
Dengan masih berlangsungnya konflik agraria tanpa penyelesaian yang jelas, kata Sidik menunjukkan  pemerintah kurang serius dalam  menuntaskan masalah tanah. Di sisi lain fakta itu membuktikan militer di Jawa Timur masih menguasai perkebunan obyek landreform yang seharusnya jatuh (redistribusi) ke tangan rakyat.

“Jika perundangan ditaati seharusnya sengketa agraria tidak perlu terjadi. Ini menunjukkan militer masih melestarikan bisnisnya,“ tegasnya. 

Dan terkait kasus mediasi antara Komnas Ham, TNI AU dan petani Kecamatan Ponggok Blitar soal pembangunan lapangan terbang (lapter) yang mendadak mengalihkan ke Malang, menunjukkan militer kurang beritikad baik dalam menyelesaikan sengketa. Dan hal itu yang menjadikan sengketa agraria yang ada TNI di dalamnya tidak kunjung usai.

           
“Padahal sesuai UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI secara tegas menyatakan larangan TNI menjalankan bisnis. Karenanya,  tidak ada alasan lagi bagi militer untuk mengembalikan aset ke negara. Dan selanjutnya negara yang meredistribusikan kepada rakyat,“ pungkasnya. 

(rsa)

REPDEM: Krisis Bawang Rentan Picu Krisis Sosial


Reporter: Mufti Sholih

Metrotvnews.com, Jakarta: Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (REPDEM) menilai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak perlu marah terkait melonjaknya harga bawang. 

"Presiden jangan hanya marah pada jajaran kementerian yang tidak becus bekerja. Bila perlu presiden harus berani segera mengganti menteri-menterinya," kata Ketua Bidang Penggalangan Tani DPN REPDEM Sidik Suhada dalam keterangan pers yang diterima Metrotvnews.com, Sabtu (16/4).

Sidik menilai, krisis bawang harus dipandang sebagai kejadian luar biasa. "Perlu cara-cara penanganan yang luar biasa. Bila tidak segera diatasi, tidak menutup kemungkinan krisis bawang bisa menjadi pemicu krisis ekonomi, sosial, dan politik yg dapat melahirkan gerakan sosial untuk mengganti pemerintahan," jelas Sidik.

Di sisi lain, REPDEM menilai krisis bawang dapat dijadikan indikasi bahwa Indonesia sedang dilanda krisis bahan pangan. Padahal pangan, kata Sidik, adalah persoalan pokok bagi kehidupan umat manusia.

"Jika krisis bahan pangan ini meluas dan tidak dapat dikendalikan, akibatnya tidak hanya memicu kegalauan ekonomi semata, namun goncangan sosial, ekonomi, dan politik bisa terjadi."

Editor: Willy Haryono

KOMODITAS BAWANG: Bawang Langka, Pemerintah Harus Segera Evaluasi Kinerja Kementerian


Oleh: MOHAMMAD SOFII - 17 March 2013 | 5:27 pm

MALANG — Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPN-Repdem) mendesak pemerintah untuk segera mengevaluasi kinerja kementeriannya terkait kelangkaan dan mahalnya harga bawang putih.

Ketua DPN Repdem Bidang Penggalangan Tani Sidik Suhada mengatakan jajaran kementerian yang harus segera dievaluasi terutama adalah Kementerian Pertanian, Kementerian Ekonomi dan Kementerian Perdagangan.

“Karena tinggi dan langkanya bawang di pasaran adalah bukti kegagalan kementerian tersebut,” kata Sidik dalam pernyataan sikapnya yang dikirim keBisnis, Minggu (17/3/2013).

Menurutnya beralasan untuk menambah pasokan dan menstabilkan harga, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian memastikan jika pemerintah harus segera mengimpor bawang putih.

Berdasarkan data dari Kementerian Perdagangan, impor produk holtikultura yang sudah disetujui oleh Kementerian Pertanian, kuota impor bawang putih pada Semester I 2013 sebanyak 160.000 ton.

“Untuk tahap awal akan diimpor bawang putih sebanyak 64.410 ton. Dari jumlah tersebut sudah ada 16 perusahaan yang memperoleh surat persetujuan impor dengan jumlah 29.136 ton,” jelas dia.

Impor bawang putih itu akan dilakukan oleh 16 perusahaan dari 114 perusahaan importir yang sudah mengajukan ke kementerian perdagangan. Surat Pemberitahuan Impor (SPI) untuk 16 importir tersebut sudah ditandatangani 7 Maret lalu. Setelah itu SPI untuk 26 importir akan segera menyusul.

Namun lanjut dia diduga kuat ada permainan dan mafia perdagangan dibalik kasus tingginya harga bawang putih di pasaran. Para mafia itu lalu mengatur dan merekayasa kuota impor bawang putih.

“Dugaan kuat sial kartel itu terlihat dari Rekomendasi Produk Impor Hortikultura (RIPH) yang dikeluarkan pemerintah. Karena 50% kuota impor bawang putih itu dikuasai oleh sebuah asosiasi (kartel) yang terdiri dari 21 perusahaan,” ujarnya.

Selain itu kata dia praktek kartel juga bias dilihat secara sederhana dari adanya kenaikan harga secara mendadak. Praktek kartel semacam itu sebenarnya juga sudah sering terjadi di negeri ini.

Bahkan sebelum kasus tingginya harga bawang putih di pasaran, praktek kartel juga pernah terjadi pada kasus impor daging sapi. Dalam hal ini kartel berusaha mengendalikan produksi dan harga bawang yang dilakukan supaya memperoleh keuntungan yang tinggi.

“Akibat permainan kartel bawang putih ini masyarakat sangat dirugikan. Bahkan dalam 5 tahun terakhir inflasi yang terjadi pada Februari lalu adalah yang tertinggi disebabkan karena bawang putih,” papar dia. (snd)



9.800 Ton Bawang Nyantol di Pelabuhan



SURABAYA– Pantas saja harga bawang putih impor di Jawa Timur (Jatim) menembus Rp100.000 per kilogram. Sebanyak 9.800 ton bawang putih impor nyantol di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, karena terkendala izin. 

Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Jatim Budi Setiawan mengakui, ada bawang putih yang tertahan di Pelabuhan Tanjung Perak. Jumlahnya sekitar 392 kontainer, setiap 20 kontainer berisi 500 ton bawang putih. Jika ditotal, jumlahnya sekitar 9800 ton bawang putih. 

”Bawang putih itu ditahan karena tidak dilengkapi rekomendasi impor produk hortikutura (RIPH) dari Kementerian Pertanian dan surat persetujuan impor (SPI) dari Kementerian Perdagangan. Surat izin dari importir itu ada yang masih dalam proses dan ada yang mati,” kata Budi, kemarin. Kelangkaan bawang putih mengakibatkan harganya melambung di pasaran. Harga bawang putih impor di Pasar Candipuro, Lumajang, misalnya tembus Rp100.000 per kilogram. Sementara, harga bawang putih di berbagai daerah lainnya bervariasi antara Rp80.000 hingga Rp95.000. 

Di Bangkalan, harga bawang putih naik Rp5.000 setiap harinya. “Masak harga bawang lebih mahal dari harga daster ibu-ibu. Ini kan menjadi masalah yang harus diselesaikan,” kata anggota Komisi D DPRD Bangkalan Sofiullah Syarif. Kelangkaan stok bawang putih impor membawa berkah sendiri bagi petani bawang putih lokal di wilayah Kota Batu. Harga bawang lokal ikut-ikutan naik. Namun sayang, masyarakat cenderung memilih bawang impor untuk kebutuhan memasaknya. 

Karena ukuran bawangnya lebih besar dan warna kulitnya lebih cerah. Padahal, soal rasanya lebih enak dan lebih sengir bawang lokal. Karena konsumen lebih suka bawang impor, akhirnya penjualan bawang lokal lambat. “Untuk sementara ini kami hanya menjual bawang lokal yang ditanam petani Desa Sumber Brantas. Untuk bawang impor, hampir seminggu ini stoknya habis di Pasar Batu,” ujar Hj Sujiati. 

Selain itu, para pengusaha restoran di Surabaya cenderung menghilangkan menu masakan China. Langkah ini diambil untuk mengurangi ketergantungan bawang putih. Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Timur M Sholeh mengatakan, per Maret ini pihaknya telah menaikkan semua komponen yang ada dalam hotel, mulai dari harga makanan di restoran di dalam hotel hingga harga sewa kamar. Rata-rata kenaikannya mulai dari 5 hingga 10%. 


“Kenaikan ini bukan hanya dikarenakan kenaikan harga bawang saja, tapi juga tarif listrik yang naik, kemudian upah minimum kota (UMK) naik, serta harga gas untuk industri yang juga naik,” katanya. General Manager Hotel Bisanta Bidakara ini menambahkan, yang saat ini dilakukan oleh pengelola hotel adalah dengan cara menghilangkan menu-menu berbahan dasar bawang putih, seperti masakan China. Selanjutnya, hotel akan banyak menyajikan menu-menu Indonesia dan Eropa. Menu di belahan benua berbeda ini jarang menggunakan bawang putih sebagai bahan makanan. 

”Memang sulit untuk menghindari penggunaan bawang putih dalam setiap menu masakan. Sebab, hampir semua menu menggunakan bawang putih sebagai salah satu bahan. Tapi, karena sekarang harganya lagi naik, kami hindari penggunaan bawang putih,” tandas Sholeh. Wakil Gubernur Jatim Saifullah Yusuf menegaskan, tertahannya bawang di pelabuhan tersebut merupakan persoalan sulit karena yang paling dirugikan masyarakat. Terlebih, kenaikan harga bawang putih juga memacu kenaikan beberapa bahan masakan lainnya, seperti bawang merah, cabai, dan lainnya. 

”Bawang itu tidak bisa keluar karena importirnya tidak bisa melengkapi surat. Ini sangat sulit ketika tidak dikeluarkan harga naik, tapi kalau dikeluarkan melanggar ketentuan,” katanya. Kepala Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Tanjung Perak - Surabaya Ircham Habib mengatakan, komoditas hortikultura tersebut tertahan lantaran importir belum mengurus surat kepabeanan. 

“Saat ini, terdapat 660 kontainer reefer baik buah maupun barang lainnya masih berada di TPS karena belum diurus oleh importir,” katanya. Dari Bojonegoro, Gubernur Jawa Timur Soekarwo mengatakan, impor bawang putih saat ini diperlukan untuk mengatasi kekurangan di pasaran. Dengan persediaan bawang putih yang mencukupi, diharapkan dapat menurunkan harga bawang putih di pasaran. 

“Saat ini impor bawang putih diperlukan untuk mencukupi kebutuhan di pasaran,” ujar Soekarwo atau biasa disapa Pakde Karwo di Bojonegoro, kemarin.


Ketua Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPN-REPDEM) Bidang Penggalangan Tani Sidik Suhada menilai, terjadinya sentimen pasar yang mengakibatkan harga bawang membumbung tinggi adalah bentuk gagalnya kebijakan kementerian dalam membangkitkan gairah pertanian. 

“Sebagai negara agraris yang alamnya melimpah ruah tentu aneh jika bawang saja masih impor. Akibatnya terjadi kelangkaan seperti ini. Presiden sudah seyogyanya melakukan evaluasi kinerja menteri pertanian,” ujarnya. 

Kementan dan Kemendag Investigasi Tata Niaga Bawang 


Ketua Gabungan Pengusaha dan Importir Hasil Bumi Bob Budiman mengatakan, selama ini penentu kebijakan masih ada di dua kementerian, yakni Kementerian Pertanian (Kementan) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag). Kementan masih memegang kendali penuh lantaran penentuan jumlah kuota ada di kementerian ini. Sementara Kemendag hanya mengeluarkan izin terdaftar. 

Dia juga menilai, selama ini sistem lelang impor yang diberlakukan pemerintah tidak memiliki konsep jelas.”Setiap tender pemenangnya selalu pemodal besar,” tegasnya. Merespons gejolak harga tersebut, pemerintah akan menertibkan tata niaga komoditas pangan untuk menghindari terjadinya penyimpangan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan, saat ini komoditas pangan yang diserahkan pada mekanisme pasar belum memenuhi unsur keadilan bagi masyarakat. 

Kepada menteri pertanian dan Badan Pusat Statistik (BPS) Presiden meminta agar kementerianinibisamenghitungsuplai dan demand, serta semua yang menyangkut produksi dan konsumsikomoditaspangan. Halitu agar tidak terjadi kekeliruan dalam pengambilan kebijakan. ”Demikian juga persoalan bawang, berapa banyak yang kami produksi dan berapa kebutuhan kami. Kami menginginkan transparansi dan perhitungan yang tepat dari semua pihak,” ujar Presiden SBY dalam keterangan persnya di kantor Kepresidenan, Jakarta, kemarin. 

Pernyataan presiden disampaikan setelah menerima anggota Komite Ekonomi Nasional (KEN) yang dipimpin Chairul Tanjung. Pertemuan yang berlangsung selama hampir satu jam itu, menurut presiden, membahas isu perekonomian terkini termasuk tentang pergerakan harga sejumlah komoditas pangan yang terus naik beberapa pekan terakhir. Kenaikan harga terutama terjadi pada daging sapi dan bawang putih di sejumlah daerah. 

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa meminta Kementan dan Kemendag memperbaiki sejumlah kebijakan terkait tata niaga produk hortikultura termasuk bawang sehingga tidak menimbulkan gejolak harga. Dia menilai pembatasan impor bawang putih sejauh ini kurang tepat karena produksi dalam negeri belum dapat memenuhi kebutuhan nasional. 

”Pasokan ke pasar segera dipenuhi,” ujarnya. Menurut Hatta, kebijakan untuk mengendalikan impor tidak salah, tapi harus memperhatikan kondisi sehingga tidak terjadi distorsi di pasar. Kementan dan Kemendag akan melakukan investigasi terkait kelangkaan pasokan bawang putih yang menyebabkan lonjakan harga. Menteri Pertanian Suswono mengatakan, investigasi akan dilakukan untuk mengetahui apakah lonjakan harga bawang putih disebabkan importir menahan pasokan atau akibat faktor lain. 


Investigasi itu memungkinkan pemerintah mendapatkan informasi akurat, sehingga dapat memastikan pasokan yang aman dan menekan harga. ”Kalau diperlukan kami akan panggil semua importir dan lakukan audit,” katanya.

ichsan amin/rarasati syarief/lutfi yuhandi/ lutfi yuhandi/ muhammad roqib/lukman hakim/solichan arief/ p juliatmoko 

USULAN KEN Investasi Pertanian Di Luar Negeri Dinilai Menyesatkan


Oleh: MOHAMMAD SOFII - 14 March 2013 | 7:20 pm

MALANG-Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPN-Repdem) menilai usulan Komite Ekonomi Nasional (KEN) seputar investasi pertanian di luar negeri dalam upaya menjaga stok pangan nasional sebagai pemikiran yang keterlaluan.

Ketua DPN Repdem Bidang Penggalangan Tani Sidik Suhada mengatakan cara pandang tersebut sangat menyesatkan bahkan menghina bangsa Indonesia. KEN juga tidak mengenal Indonesia secara utuh.

“Sebagai sebuah Negara agraris jauh sebelum embrio bangsa Indonesia lahir, Nusantara sudah dikenal luas memiliki alam yang melimpah dan subur. Bangsa asing juga mengakuinya dan berebut untuk menguasai negeri ini,” paparnya dalam siaran tertulis, Kamis (14/3/2013).

Namun karena pemerintahan yang ada saat ini salah kelola, Indonesia yang memiliki alam yang subur dan kaya, menjadi tergantung pada bahan pangan impor. Kondisi tersebut menjadi aneh karena banyak tanah dan sumber daya alam yang ada di Indonesia diberikan kepada orang asing.

Sementara KEN justru mendorong agar pemerintah Indonesia melakukan investasi pertanian di luar negeri hanya untuk melayani kepentingan bahan pangan negara lain.

“Indonesia rela melepas ribuan hectare tanah untuk diberikan pada perusahaan asing,” jelas dia.

Contohnya ujar Sidik pada tahap pertama luas lahan yang disiapkan untuk program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Merauke Papua seluas 228.777 hektare.

Jangka menengah MIFEE bakal diberi lahan lagi seluas 609.149 hektare dan jangka panjang ditambah lagi 203.609 hektare. Total luas lahan yang diperuntukkan untuk MIFEE adalah 2,5 juta hektare.

“Sementara berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah dan Perizinan (BKPMDP) Pemerintah Kabupaten Merauke sudah ada 32 perusahaan yang telah mendapat izin prinsip akan bergerak pada beberapa sektor,” ujarnya.

Impor dan ketergantungan bahan pangan pada negara lain kata dia jelas menciptakan ketidakmandirian dalam negeri. Ketidakmandirian itulah  yang dicipta sebagai imbas sistem ekonomi liberalisasi yang secara sengaja oleh pemerintah saat ini.

Jika suatu bangsa tidak mandiri maka akan mudah didikte oleh bangsa lain. Termasuk didikte oleh pemikiran liberal yang diusulkan KEN dan tidak pro petani di dalam negeri. (gia)

Tantangan Cagub Jawa Timur


Pemilihan Gubernur Jawa Timur akan digelar 29 Agustus 2013, kurang enam bulan lagi. Suhu politik pun sudah memanas. 

Sejumlah tokoh sudah tebar pengaruh, bersaing agar dapat mengambil hati serta simpati rakyat. Sejumlah janji dan jargon politik dilontarkan ke publik. Tujuannya satu, membangun citra dan mengambil simpati rakyat. Namun, dari sekian banyak janji para calon gubernur dan wakil gubernur yang ada, tidak ada satu pun yang menyinggung persoalan konflik agraria dan pembaruan agraria. Padahal konflik agraria di Jawa Timur sangat tinggi. Bahkan selama dua tahun berturut-turut, provinsi Jawa Timur selalu menduduki peringkat pertama secara nasional dalam kasus konflik agraria.
                       
Berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dari 163 konflik agraria yang terjadi sepanjang tahun 2011, sebanyak 36 kasus terjadi di Jawa Timur. Jumlah itu menjadikan provinsi yang memiliki luas wilayah 47.157,72 km2 ini berada diurutan pertama dalam kasus konflik agraria. Kedua ditempati oleh provinsi Sumatera Utara 25 kasus, Sulawesi Tenggara 15 kasus, Jawa Tengah 12 kasus, Jambi 11 kasus, Riau 10 kasus, Sumatera Selatan 9 kasus, dan sisanya tersebar di wilayah lain. Secara kuantitas, konflik agraria yang terjadi di Jawa Timur pada tahun 2012 memang mengalami penurunan. 

Namun, provinsi ini masih tetap berada diurutan pertama dalam kasus konflik agraria sepanjang tahun 2012. Dari 198 konflik agraria yang terjadi diseluruh wilayah Indonesia, 24 kasus di Jawa Timur. Disusul Sumatera Utara 21 kasus, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Sumatera Selatan masingmasing sebanyak 13 kasus. Sisanya tersebar di provinsi lain di Indonesia. 

Konflik agraria yang ada di Jawa Timur ini tersebar di 259 desa, 136 kecamatan, dan 31 Kabupaten/Kota . Konflik ini melibatkan berbagai instansi pemerintah seperti, kehutanan, perkebunan (baik perkebunan swasta maupun perkebunan milik pemerintah), institusi militer, pertambangan, dan berbagai instansi pemerintah lainnya.

Akar Masalah 

Jika ditelusuri secara mendalam. Akar masalah utama dari banyaknya konflik agraria itu adalah akibat tidak adanya reforma agraria atau pembaruan agraria. Sehingga melahirkan ketimpangan dan kesenjangan atas penguasaan serta pengelolaan tanah. Ada banyak orang yang tidak memiliki tanah, sementara di sisi lain, ada sedikit orang yang menguasai tanah begitu luas. 
Paling tidak ketimpangan itu dapat dilihat dari data Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang menyebutkan bahwa, saat ini ada sekitar 56% tanah yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, ternyata hanya dikuasai oleh 0,2% orang saja. Sampai sekarang, sebanyak 4,8 juta hektare tanah yang rata-rata dikuasi pihak perkebunan swasta dan pengusaha dibiarkan terlantar. Tidak dikelola dan dimanfaatkan sebagaimana peruntukannya. Padahal ada sekitar 85 % petani di Indonesia adalah petani gurem dan petani tak bertanah. 

Secara nasional, Jawa Timur memiliki jumlah rumah tangga petani terbanyak yakni 4,1 juta atau sebesar 19,33% dari total rumah tangga petani di Indonesia. Sebanyak 3,4 juta petani di Jawa Timur adalah petani miskin. Sebagai akibat dari ketimpangan kepemilikan, penguasaan, pemanfaatan, dan pengelolaan tanah, kesenjangan sosial dan angka kemiskinan pun menjadi sangat tinggi. Berdasarkan data BPS, September 2012, angka kemiskinan di Jawa Timur mencapai4,961jutaatausekitar13,08% dari jumlahpendudukyangadadi provinsi ini. 

Prosentase terbesar angka kemiskinan itu masih berada di daerah pedesaan. Terkait persoalan tersebut yakni, konflik agraria, ketimpangan penguasaan dan pengelolaan tanah serta tingginya angka kemiskinan, calon gubernur provinsi hendaknya punya pemahaman secara utuh soal agraria. Memiliki visi untuk menyelesaikan konflik agraria dan memiliki keberpihakan pada kaum tani yang ada di pedesaan. 

Dengan memiliki pemahaman yang utuh soal konflik agraria, diharapkan kelak tidak ada lagi anggapan ada pimpinan daerah yang menganggap bahwa persoalan penyelesaian konflik agraria itu hanya kewenangan dari pemerintah pusat. Sebab, kerap kali konflik agraria justru lahir sebagai akibat dari kebijakan-kebijakan pemerintah daerah. 

Penyelesaian Konflik 

Kerap kali, penyelesaian konflik agraria yang ada selama ini masih dilakukan dengan cara-cara primitif. Mengedepankan aparat keamanan untuk berhadap- hadapan dengan petani. Akibatnya, kekerasan dan bentrok antara petani dan aparat keamanan terjadi. Contohnya, konflik agraria antara masyarakat Desa Harjokuncaran, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang dengan Puskopad TNI-AD yang hingga kini belum terselesaikan. 

Padahal sudah banyak warga yang hilang dan diduga Akibat konflik agraria tersebut. Agar kekerasan dalam konflik agraria tidak terus terulang, pemerintah harus segera membuat langkah-langkah strategis. Pertama, menghentikan keterlibatan aparat keamanan dalam setiap sengketa dan konflik agraria. Dalih pengamanan objek strategis negara tidak boleh lagi jadi alasan untuk menembaki rakyatnya sendiri. Apalagi selama ini, aparat keamanan (TNI atau Polri) masih suka menafsikan sendiri tentang apa yang dianggap sebagai objek strategis negara. 

Kedua, pemerintah daerah harus berani segera mengevaluasi luasan tanah yang telah dikuasakan kepada badan usaha milik swasta atau pemerintah. Baik itu yang berupa izin Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan, izin pertambangan, ataupun izin usaha pengelolaan hutan. Karena, tak sedikit jumlahnya konflik agraria juga terjadi disektor kehutanan. Sebab, fakta menunjukan. Secara umum konflik agraria itu karena disebabkan oleh izin lokasi dan izin prinsip yang diberikan di atas tanah-tanah yang dimiliki atau dikelola oleh masyarakat. 

Dalam proses ganti kerugian (kompensasi) yang diberikan pihak perusahaan pemegang izin lokasi atau izin prinsip, kerap kali penuh manipulasi. Baik manipulasi terkait nilai tanah, penerima ganti rugi maupun ukuran tanah. Ketiga, umumnya konflik agraria yang selama ini terjadi bersifat struktural. Sehingga penyelesaiannya tidak cukup dengan jalan pengadilan. Apalagi hanya ditangani oleh lembaga pencatat administrasi seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN). 

Karena itu, pemerintah harus segera membuat trobosan baru dengan cara membuat lembaga yang bersifat khusus untuk menyelesaikan konflik agraria. Keempat, semua kebijakan yang akan dibuat, hendaknya harus mengacu pada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960. Sebab, maraknya konflik agraria itu sebagai akibat tidak dijalankannya UUPA. Sebagai sebuah produk hukum, semangat UUPA adalah untuk mengakhiri praktik-praktik monopoli penguasaan tanah yang dapat melahirkan ketimpangan. Kelima, segala kebijakan pemerintah hendaknya memperhatikan masalah tata guna tanah. 

Tata guna tanah ini meliputi (1) di mana dan berapa luas areal kawasan hutan yang harus dilestarikan, (2) di mana dan berapa luas area perkebunan dan pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan, (3) serta di mana dan berapa luasan area tambang, dan (4) dimana dan berapa luas lahan untuk perumahan atau pemukiman. Penetapan tata guna tanah ini, tidak hanya penting sebagai basis utama pembangunan berkelanjutan ke depan. Namun, juga penting untuk menghindari gesekan dan sengketa tanah yang selama ini marak terjadi. 

Selain menyelesaikan konflik agraria lama yang ditimbulkan sebagai akibat dari kebijakan pemerintah sebelumnya, diharapkan calon gubernur terpilih kelak, hendaknya melibatkan peran aktif organisasi-organisasi tani dalam setiap membuat kebijakan yang sekiranya dapat melahirkan konflik agraria. Tanpa itu, dipastikan konflik agraria akan semakin meluas. Tidak mudah memang untuk mengatasi semua persoalan tersebut. Namun, itulah tantangan calon gubernur Jawa Timur jika ingin meraih hati dan simpati kaum tani yang mayoritas ada di pedesaan. 

Tanpa punya visi dan misi untuk menyelesaikan konflik agraria jangan harap dapat meraih simpati dari kaum tani yang sudah terorganisir. Karena, berbicara membangun desa, membangun kesejahteraan masyarakat desa tanpa menyelesaikan konflik agraria dan melaksanakan pembaruan agraria tentu layak disebut omong kosong.

SIDIK SUHADA 
Penulis adalah Ketua Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPNREPDEM) Bidang Penggalangan Tani, dan Pegiat Gerakan Reforma Agraria. 

sumber: http://www.koran-sindo.com/node/297683

IMPOR BAWANG PUTIH, Pemerintah Dinilai Gagal Bangun Kedaulatan Pangan


Oleh: MOHAMMAD SOFII - 10 March 2013 | 4:35 pm

MALANG-Rencana pemerintah mengimpor bawang putih sebanyak 29.130 ton dari total yang akan didatangkan 65.400 ton sangat memprihatinkan dan mengindikasikan pemerintah gagal dalam membangun kedaulatan pangan.

Ketua Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPN-Repdem) Bidang Penggalangan Tani Sidik Suhada mengatakan melalui kementerian perdagangan pemerintah memastikan bahwa maksimal dua minggu lagi impor bawang putih sebanyak 29.130 ton akan tiba di Jakarta.

Impor bawang putih tersebut akan dilakukan oleh 16 importir dari 114 importir yang terdaftar di kementerian perdagangan. Surat Pemberitahuan Impor (SPI) untuk 16 importir tersebut sudah ditandatangani 7 Maret lalu.

“Semua bawang putih tersebut akan diimpor dari China dan India. Ini Sangat memprihatinkan karena Indonesia adalah negara agraris yang tidak hanya memiliki alam yang subur namun juga memiliki sumber daya manusia (SDM) yang melimpah,” paparnya dalam pernyataan resminya ke Bisnis, Minggu (10/3/2013).

Sehingga tidak seharusnya Indonesia mengimpor bahan-bahan pangan dari negara lain. Selain aneh kebijakan impor tersebut menurutnya juga menjadi bukti jika pemerintah gagal membangun kedaulatan pangan nasional.

Padahal jika pemerintah mau melaksanakan pembaruan agraria sebagaimana amanat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No.5/1960 dan Tap MPR No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA), petani yang tidak memiliki tanah bisa memiliki lahan.

“Setelah itu pemerintah bisa membuat program kebijakan pendukung pelaksanaan pembaruan agraria seperti bantuan modal, bibit, teknologi, pendidikan maupun pelatihan buat petani dalam mendukung kedaulatan pangan,” jelas dia.

Selain itu infrastruktur pertanian seperti irigasi, waduk atau tempat penampungan air dibangun dan yang sudah ada diperbaiki, dengan begitu gairah petani akan bangkit kembali. Ketergantungan impor pun bisa diakhiri.

Berdasarkan data Badan Pusak Satatistik (BPS) yang dihimpun DPN-Repdem tercatat sepanjang 2012 Indonesia mengimpor 415.000 ton bawang putih dari sejumlah negara dengan nilai mencapai US$242,3 juta atau Rp2,3 triliun.

Mayoritas impor bawang putih dari China yakni sebanyak 410.100 ton dengan nilai US$239,4 juta atau Rp2,27 triliun untuk periode Januari-Desember 2012. Tercatat kegiatan impor bawang putih dari China tersebut berjalan sepanjang tahun.

“Sementara ada beberapa negara lain yang memasukkan bawang putih ke dalam negeri seperti India, Malaysia, Pakistan, dan Thailand. Namun impornya tidak signifikan,” ujarnya.

Impor bawang putih dari India total sepanjang 2012 sebanyak 3.424 ton senilai US$1,7 juta, dari Malaysia sebanyak 1.124 ton dengan nilai US$1,1 juta, dari Pakistan sebanyak 203 ton senilai US$81.200, dan dari Thailand sebanyak 58 ton dengan nilai US$37.000.

DPN-Repdem menyesalkan pemerintah sangat kreatif dengan berlindung dibalik tingginya harga bawang putih sehingga impor dilakukan dengan alasan untuk menambah pasokan serta kestabilan harga. (gia)

Sumber: http://www.bisnis-jatim.com/index.php/2013/03/10/impor-bawang-putih-pemerintah-dinilai-gagal-bangun-kedaulatan-pangan/

Selasa, 05 Maret 2013

Lahan Pertanian di Malang Menyusut 1.300 Hektare


MALANG-Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPN-Repdem) mendesak agar alih fungsi lahan pertanian di Kota Malang Jawa Timur untuk segera dihentikan. Saat ini lahan pertanian di Kota Malang terus menyusut dan tinggal 1.300 hektare.

Ketua DPN Repdem Bidang Penggalangan Tani Sidik Suhada mengatakan alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian di Kota Malang sudah sangat memprihatinkan.

“Setiap tahun luasnya terus menyempit. Penyempitan lahan pertanian akibat alih fungsi lahan ini menunjukkan jika pemerintah kurang memiliki kepedulian terhadap persoalan pangan,” kata Sidik Suhada di Malang, Minggu (3/3/2013).

Penyempitan lahan pertanian tersebut akan berdampak pada penurunan produksi bahan pangan dari petani. Berdasarkan data yang dihimpun DPN Repdem pada Dinas Pertanian Kota Malang, saat ini lahan pertanian di Kota Malang tinggal 1.300 hektare.

Padahal pada 2007 luas lahan pertanian di Kota Malang masih sebesar 1.550 hektare atau terus menyusut menjadi 1.400 hektare pada 2009, dan 2012 tinggal 1.300 hektare.

“Peralihan lahan pertanian menjadi non pertanian ini menunjukkan jika Pemkot Malang tidak dapat melaksanakan amanat UU No.41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan,” jelas dia.

Selain itu maraknya konversi lahan pertanian di Kota Malang juga menunjukan ketidakjelasan tata guna tanah atau tata ruang yang ada. Dimana tanah untuk keperluan perumahan, kawasan industri, dan tanah untuk keperluan lahan pertanian yang harus dijaga serta dilindungi, tidak ada yang jelas.

Seharusnya fungsi lahan dapat ditata dan diatur secara rapi dan jelas. Sehingga lahan pertanian dapat dilindungi dengan baik. Dalam upaya untuk menjaga lahan pertanian berkelanjutan, pemkot wajib memberikan akses reform seperti bantuan modal untuk petani, bantuan bibit, membangun infrastruktur pertanian, serta penyediaan teknologi tepat guna untuk petani.

“Tujuan dari semua itu adalah untuk membangkitkan gairah pertanian dan usaha-usaha para petani. Sehingga tanah benar-benar bisa diolah sebagai sumber kehidupan yang dapat menjanjikan masa depan bagi petani,” ujarnya.

Pemkot Malang juga diminta untuk tidak mudah memberikan izin pada pengusaha yang `lapar tanah` dan dapat mengancam keberadaan lahan pertanian. Sehingga konversi lahan pertanian bisa segera dihentikan demi kelangsungan kehidupan umat manusia yang selalu membutuhkan pangan.

Sementara itu Wahana Lingkungan Hidup Jawa Timur (Walhi Jatim) Simpul Malang mencatat dalam kurun waktu 10 tahun terakhir hutan kota yang ada di Kota Malang sudah banyak yang beralih fungsi.

Koordinator Walhi Jatim Simpul Malang Purnawan Dwikora Negara mengatakan ahli fungsi hutan kota yang paling tampak nyata adalah Akademi Penyuluh Pertanian (APP) Malang yang menjadi kawasan perumahan elit dan lapangan olahraga yang menjadi mal.

“Bahkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Malang menyusut dan diperkirakan tersisa tinggal 1,8% dari luas Kota Malang 110,6 km,” tambah dia.

Seharusnya sesuai Undang-Undang (UU) No. 26/2007 tentang tata ruang menyebutkan luas areal ruang terbuka setidaknya 30% dari total luas wilayah yakni meliputi 20% ruang publik dan 10% untuk ruang privat. (gia).

Human Trafficking di Jatim Mencapai 625 Kasus


MALANG-Kasus human trafficking atau perdagangan manusia di Jawa Timur tinggi, salah satu penyebabnya adalah tidak dijalankannya reforma agraria.

Ketua Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPN-Repdem) Bidang Penggalangan Tani Sidik Suhada mengatakan kasustrafficking di Jawa Timur berdasarkan data dari Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur selama 2012 mencapai 625 kasus atau meningkat tajam dari 2011 yang hanya 16 kasus.

“Itu artinya jika dihitung rata-rata setiap hari ada 2 kasus trafficking terjadi di Jawa Timur,” ujarnya dalam keterangan resminya yang diterima Bisnis, Kamis (28/2/2013).

Angka tersebut sangat disayangkan oleh DPN Repdem mengingat kasus trafficking tidak perlu terjadi seandainya reforma agrarian mampu dijalankan dengan baik.

Banyaknya kasus tersebut mengindikasikan kalau pemerintah gagal menjalankan program reforma agrarian sebagai upaya untuk mengentaskan kemiskinan.

“Karena pada umumnya kasus trafficking terjadi di daerah yang menjadi kantong-kantong kemiskinan,” jelas dia.

Para pelaku trafficking biasanya beroperasi di desa-desa, mencari korban dengan memberikan iming-iming  kerja enak dan bergaji besar pada calon korbannya.

Korbannya rata-rata kaum perempuan yang akan dijual ke tempat-tempat hiburan malam atau dijadikan pekerja seks komersial (PSK). Tingginya angka kemiskinan itu terlihat nyata pada data BPS dimana pada September 2012 jumlah rakyat miskin masih mencapai 13,08%.

“Sama dengan korupsi. Kasus trafficking adalah kejahatan manusia yang keji. Karena itu kejahatan manusia itu harus diberantas,” ujarnya.

Caranya pemerintah harus segera mengentaskan kemiskinan rakyat melalui reforma agraria. Karena pada umumnya korban trafficking ada di desa maka pemerintah kalau ingin mengentas kemiskinan rakyat di desa tidak ada cara lain selain segera melaksanakan pembaharuan agrarian.

Dengan begitu maka gairah hidup pertanian akan kembali bangkit. Kalau masyarakat desa sejahtera maka mereka tidak akan mudah tergiur oleh iming-iming hidup sejahtera dengan meninggalkan desanya.

“Tidak perlu menjadi kaum urban atau tenaga kerja wanita (TKW) ke luar negeri,” tuturnya. (gia)