Selasa, 15 Januari 2013

Tiga Petani Ditahan Gara-Gara Ranting Mahoni


TEMPO.CO, Jember-Tiga petani ditangkap petugas Kepolisian gara-gara mengambil 12 batang ranting pohon mahoni. Mereka ditahan di Kepolisian Sektor Panti Jember dengan tuduhan mencuri properti milik Perusahaan Umum Perhutani di hutan Suci Kecamatan Panti, Jember.
Ketiganya adalah Buhori alias P. Rizal, 40 tahun; Asit 28 tahun; dan Samin 39 tahun warga Dusun Widodaren, Desa Badean, Kecamatan Bangsalsari. Sejak Sabtu pekan lalu mereka mendekam di sel tahanan Markas Kepolisian Sektor Panti.
Kepala Kepolisian Sektor Panti, Ajun Komisaris Polisi Udik Budiarso, ketiganya sudah ditetapkan sebagai tersangka karena terbukti melakukan memotong kayu Mahoni, di Petak 44 B di Dusun Sumberurang, Desa Pakis, Kecamatan Panti, pada Sabtu pukul 12.30 WIB.
Menurut Udik, tersangka Buhori dan Asit mengaku memotong ranting pohon mahoni yang menjadi tanaman peneduh pohon kopi itu atas perintah Samin. »Pengakuan dari dua tersangka ini hanya menerima ongkos dari Samin,” kata Udik kepada Tempo, Selasa 15 Januari 2013 malam.
Meski begitu, rupanya alasan keduanya tetap membuat polisi menjerat mereka. Karena sudah dianggap cukup bukti, keduanya bersama Samin resmi ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka. »Kami tetap lakukan penahanan sampai proses hukum selanjutnya,” kata Udik.
Mereka dijerat dengan pasal pasal 50 ayat (3) huruf b, c,dan huruf e, Undang Undang Nomor 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dengan pasal-pasal itu, mereka terancam hukuman penjara selama penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar.
Udik tidak mau menjawab ketika Tempo menanyakan tentang proses hukum kasus itu selanjutnya di Kejaksaan dan Pengadilan. Apalagi ada Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP. Dalam peraturan itu, tindak pidana ringan dengan nilai kerugian di bawah Rp 2,5 juta tak perlu ditahan, apalagi diadili.
Seorang petugas Perhutani KRPH Suci Kecamatan Panti, Edy Iswanto mengatakan, selain menangkap ketiga orang itu, petugas perhutani juga menyita barang bukti berupa 14 batang Mahoni dengan diamater 11 cm hingga 16 cm, 3 gergaji, dan 1 buat sabit atau clurit. »Batang kayu Mahoni itu dipotong di sekitar tanaman kopi,” kata dia.
Ketua Bidang Penggalangan Tani Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi, Sidik Suhada, menilai polisi tidak berhak menahan ketiga petani. Alasannya, "Lahan dalam sengketa, jadi tak bisa disebut pencurian," kata Sidik yang mengadvokasi Bukori dkk.
MAHBUB DJUNAIDY | EKO WIDIANTO

Kamis, 10 Januari 2013

Pengesahan RPP Tembakau Akan Pojokkan Petani


MALANG — Pengesahan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Tembakau menjadi PP No.109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Adiktif  berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan dinilai akan membuat posisi petani akan kian terpojok.

Deputi Riset dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang juga Ketua Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPN Repdem) Bidang Penggalangan Tani Sidik Suhada mengatakan keberadaan peraturan tersebut jelas akan menghalangi petani tembakau untuk berproduksi melalui diversifikasi.

“Sementara sisi lain dari PP [Peraturan Pemerintah] tersebut sama sekali tidak membatasi impor yang saat ini telah menghancurkan harga tembakau nasional,” kata Sidik kepada Bisnis, Rabu (9/1).

Menurutnya, saat ini impor tembakau sudah mencapai 100.000 ton atau meningkat 10%  dari tahun sebelumnya. Sementara total produksi tembakau nasional sebesar 180.000 ton.

Dia menjelaskan melalui Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) seluruh produk tembakau bea masuknya 0%  sejak Juli 2012 lalu. Artinya pemerintah lebih peduli dengan pemodal asing dibandingkan dengan rakyatnya sendiri.

“Sebagian besar tembakau impor digunakan perusahaan raksasa tembakau asing yang saat ini mendominasi pasar Indonesia,” imbuhnya.

Namun, di sisi lain, sambungnya, petani dihalang-halangi menanam tembakau dengan berbagai Peraturan Pemerintah (Permen) termasuk Peraturan Daerah (Perda) yang marak dibuat dalam era Otonomi Daerah (Otoda) dan mengarah pada pembatasan maupun pengalihan tanaman tembakau ke tanaman lain.

“Dengan alasan hipokrit jika tembakau membahayakan kesehatan,” ungkapnya.

Disahkannya RPP tembakau tersebut, tuturnya, mengindikasikan jika pemerintah tidak berpihak pada kepentingan ekonomi nasional petani, tetapi lebih melindungi kepentingan asing.

Padahal, tambahnya, sebagai negara agraris, soko guru pembangunan nasional harus bersandar pada petani. Pemerintah seharusnya membangun kedaulatan ekonomi nasional untuk kesejahteraan bangsa yang bersandar pada corak produksi ekonomi pertanian rakyat dan bukan sebaliknya, rakyat dijauhkan dari proses produksi ekonomi yang mandiri.

“Dan kebijakan pemerintah mengesahkan RPP tersebut semakin menguatkan jika pemerintah tidak berpihak dan melindungi nasib petani pribumi,” jelasnya. (snd)


Senin, 07 Januari 2013

JANJI REFORMA AGRARIA SBY BELUM TERWUJUD


SURABAYA – Ketua Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPN-Repdem) Bidang Penggalangan Tani, Sidik Suhada mengatakan, Presiden SBY pernah berjanji akan melaksanaan reforma agraria (pembaruan agraria) pada saat kampanye pilpres lalu. Namun, hingga sekarang janji itu tidak pernah terwujud, bahkan konflik agraria terus meningkat tajam. “Sejak tahun 2004-2012, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sedikitnya ada 618 konflik agraria yang pernah terjadi Indonesia dan hingga hari ini belum ada satupun yang terselesaikan,” ungkap Sidik, kemarin (02/01).

Dari konflik itu, kata Sidik, sedikitnya ada 731.342 KK petani penggarap yang kehilangan tanahnya. Total luas lahan sepanjang 2004-2012 mencapai lebih dari 2.399.314,49 hektar. Selama tahun 2012, lanjut Sidik, sebanyak 90 kasus terjadi di sektor perkebunan, 60 kasus di sektor pembangunan infrastruktur, 21 kasus di sektor pertambangan, 20 kasus di sektor kehutanan, 5 kasus di sektor pertanian, dan 2 kasus di sektor kelautan dan wilayah pesisir. Selain itu, total luas areal tanah yang dikonflikkan di tahun 2012 ini lebih dari 963.411,2 hektar dan melibatkan lebih dari 141.915 kepala keluarga (KK) petani.

Tingginya konflik agraria di tahun ini, sebut Sidik, menunjukkan dengan jelas dan nyata bahwa pemerintahan SBY bukan hanya tidak melaksanakan janjinya. Namun, juga tidak punya komitmen menyelesaikan konflik agraria. “Apalagi melaksanakan pembaruan agraria sebagaimana yang dijanjikan dalam kampanyenya dulu,” ujarnya.

Terakhir, lanjut Sidik, Presiden berjanji akan segera menerbitkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Reforma Agraria, namun hanya menjadi angin lalu. “Itu sebenarnya membuktikan jika presiden tidak punya komitmen politik yang kuat untuk melaksanakan pembaruan agraria,” urai Sidik.

Kalangan gerakan sosial telah mengekspresikan keprihatinan kondisi agraria dan nasib petani melalui peringatan Hari Tani Nasional 2012 lalu. “Di Jakarta, waktu itu berkumpul tak kurang dari 15.000 petani yang tergabung dalam Sekretariat bersama pemulihan hak-hak Rakyat Indonesia (Sekber PHRI), kesemuanya mendesak dilaksanakannya Reforma Agraria,” tegas Sidik.

Akan tetapi, lanjut Sidik, hingga akhir tahun 2012 belum ada jawaban dan langkah-langkah strategis terhadap keinginan ribuan petani tersebut. “Ini sedikit memberikan gambaran suram 2013 tentang pelaksanaan reforma agraria, dan rentannya konflik agraria di beberapa daerah,” pungkas Sidik.(ven/abe)

Pemerintah Longgar Beri Izin Pengelolaan Hutan dan Tambang

MALANG — Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyayangkan mudahnya pemerintah memberikan izin hak pengelolaan hutan (HPH),  hutan tanaman industri (HTI), tambang, hingga perkebunan sawit.

Hal itu ditandai dengan terbitnya 304 unit izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) hutan alam atau yang dikenal sebagai HPH terhadap 25 juta hektare atau  sebanyak 9,3 juta hektare yang ditetapkan sebagai HTI untuk 236 unit perusahaan yang sebagian besar swasta.

Ketua Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPN-Repdem) Bidang Penggalangan Tani Sidik Suhada mengatakan Indonesia memiliki 136,5 juta hektare kawasan hutan dengan hutan produksi mencapai 81,8 juta hektare dan hutan lindung 31 juta hektare.

“Sayangnya para pemilik modal telah menguasai sekitar 41% kawasan hutan produksi,” kata Sidik seperti dikutip dalam siaran pers yang diterima Bisnis, Senin (7/1/2013).

Indonesia, ujarnya, juga memiliki 9,2 juta hektare lahan sawit. Namun, lebih dari 75% dimiliki oleh perusahaan bukan rakyat. Sementara, 33.000 desa di dalam kawasan hutan setiap saat tanahnya dapat dirampas atas nama undang-undang (UU)  karena pemberian izin HTI, tambang, HPH, hingga perkebunan sawit.

“Akibatnya tidak heran jika selama 2012, setiap dua hari sekali terjadi konflik agraria dengan melibatkan 2.000 kepala keluarga (KK) sebagai korban langsung perampasan tanah,” imbuhnya.

Dia menjelaskan aksi yang dilakukan petani dan masyarakat adat akibat perampasan tanah dari berbagai daerah hingga ke Jakarta saat ini mengemuka. Bahkan ditandai dengan aksi militan seperti menjahit mulut,  jalan kaki ribuan kilo meter, mogok makan, dan pendudukan tanah masih kerap menimbulkan jiwa.

“Hal itu memberikan sinyal kuat jika ketidakadilan agraria di tanah air masih sangat tinggi,” ungkapnya.

Dia berharap pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) segera mengakhiri konflik agraria dengan memanggil dan mengkoordinir semua jajaran kementerian untuk duduk bersama dan mengakhiri ego sektoral antar kementerian.

Adapun kementerian kementerian yang dimaksud yakni Kementerian Kehutanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negera (BUMN), serta Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Menurutnya, kerap kali penyelesaian konflik agraria menjadi semakin runyam karena melibatkan berbagai sektor kementerian. Dia menuturkan setiap kementerian memiliki ego sendiri dalam pengelolaan dan penguasaan sumber-sumber pokok agraria yang ada.

“Selain itu presiden juga harus segera mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) untuk membantu unit atau kelembagaan ad hoc penyelesaian konflik agraria yang bertugas mengkoordinir kementerian terkait penyelesaian konflik agrarian disemua sektor,” paparnya.

Dia menambahkan lembaga ad hoc ini bertugas untuk menerima laporan pengaduan dan memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan penyelesaian konflik agraria yang terjadi serta keputusan lembaga ad hoc ini bersifat final dan mengikat semua pihak. (snd)

Selasa, 01 Januari 2013

Selama 2012 Terjadi 198 Kasus Konflik Agraria


TEMPO.CO, Malang - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) memaparkan data bahwa selama tahun 2012 terjadi 198 kasus konflik agraria di berbagai daerah di Indonesia. Jumlah tersebut merupakan bagian dari 618 kasus yang terjadi selama delapan tahun terakhir. 

Deputi Riset dan Kampanye KPA, Sidik Suhada, menjelaskan, berbagai kasus konflik agraria tersebut tidak diselesaikan secara tuntas. Padahal, rata-rata setiap dua hari terjadi konflik agraria baru. Akibatnya, 731.342 keluarga petani penggarap kehilangan tanahnya. 

"Undang-Undang Pokok Agraria tidak pernah ditegakkan untuk mengakhiri konflik agraria," kata Sidik dalam siaran pers KPA, Senin, 31 Desember 2012. 


Menurut Sidik, konflik agraria selama 2012 terjadi di sejumlah sektor. Sebanyak 90 kasus di sektor perkebunan, 60 kasus di sektor pembangunan infrastruktur, 21 kasus di sektor kehutanan, lima kasus di sektor pertanian, dan dua kasus di sektor kelautan dan wilayah pesisir. 


"Total luas lahan yang menjadi obyek sengketa mencapai 2,4 juta hektare," ujar Sidik. 


Konflik agraria tersebut melibatkan negara, militer, dan swasta. Khusus yang melibatkan militer terdapat sembilan kasus. Dalam kasus-kasus tersebut tiga orang petani tewas, 25 orang mengalami luka tembak, 55 orang terluka akibat kekerasan, serta 156 petani ditahan. 


Terjadinya konflik agraria membuktikan bahwa reformasi agraria seperti yang dijanjikan pemerintah tidak berjalan. Padahal semangat reformasi agraria jelas tertuang dalam Ketetapan MPR Nomor 9 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelaksanaan Reformasi Agraria. 


Pada kenyataannya, berbagai kebijakan pemerintah sering bertentangan dengan reformasi agraria. Kebijakan tersebut di antaranya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah, Undang-Undang tentang Penanaman Modal serta sejumlah undang-undang lainnya yang bertetangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria. Itu sebabnya konflik agraria di Indonesia cenderung terus meningkat. 


Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) merupakan salah satu contoh nyata pemerintah menjauhkan petani dari tanahnya. Padahal, bagi masyarakat adat, tanah bukan sekadar sumber ekonomi keluarga, melainkan identitas dan status sosial. ”Tanpa memiliki tanah mereka bukan petani, tapi buruh tani,” kata Sidik. 

EKO WIDIANTO