Jumat, 22 Juni 2012

Janji Pelaksanaan Pembaruan Agraria Presiden


Oleh: Sidik suhada*

Ada dua amanat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk Kepala BPN Hendarman Supandji yang baru dilantik, Kamis (14/6). 

Pertama, menjalankan reforma agraria. Kedua, menyelesaikan sengketa pertanahan dan konflik agraria. Namun, dapat dipastikan kedua amanat tersebut tidak akan pernah dapat tercapai.

Pasalnya, pembaruan agraria yang selalu digembar-gemborkan oleh Presiden SBY selama ini sebenarnya tidak pernah ada. Kecuali sekadar wacana untuk pencitraan politik. Buktinya, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Reforma Agraria atau Pembaruan Agraria yang selama ini dijanjikan presiden pun tidak pernah ada dan ditandatangani. 

Hal ini menunjukkan bahwa Presiden SBY sesungguhnya tidak memiliki komitmen politik yang kuat dan sungguh-sungguh untuk menjalankan pembaruan agraria sebagaimana amanat TAP MPR No IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. 

Selain amanat TAP MPR tersebut, pembaruan agraria sebenarnya juga sudah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria atau yang dikenal dengan UUPA. Namun, amanat dan semangat UUPA yang merupakan implementasi dari sila kelima Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945 juga tidak pernah dijalankan oleh presiden. 

Selain itu, beberapa kebijakan politik yang dijalankan presiden kerap kali justru bertentangan dengan semangat pelaksanaan pembaruan agraria. 

Bahkan, belum lama ini, pemerintah juga menerbitkan Undang-Undang (UU) No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yang secara substansi justru kontraproduktif dengan semangat pelaksanaan pembaruan agraria. Bahkan regulasi ini akan semakin meminggirkan status kepemilikan tanah rakyat; sehingga semakin membuka peluang lahirnya konflik agraria yang lebih besar dan bersifat masif. 

Sekadar mengingatkan, fakta empiris di lapangan menunjukkan bahwa jumlah konflik agraria setiap tahun bukannya semakin mengecil, melainkan terus meningkat. Berdasarkan data dan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Januari-Juni 2012 ini saja tercatat sedikitnya sudah ada 101 konflik agraria yang masuk KPA; dengan total luas tanah mencapai 377.159 hektare dan melibatkan 25.000 kepala keluarga petani penggarap. 

Padahal, sepanjang 2011, data konflik agraria yang masuk ke KPA hanya 163 kasus dengan rincian, 97 kasus di sektor perkebunan, 36 kasus di sektor kehutanan, 21 kasus pembangunan infrastruktur, delapan kasus pertambangan, dan satu kasus pertambakan. 

Luas tanah yang disengketakan 472.084,44 hektare dengan melibatkan 69.975 kepala keluarga petani. Sementara itu, pada 2010 konflik agraria yang masuk ke KPA hanya ada 106 kasus. 

Dari fakta dan data tersebut, tentu komitmen politik pemerintah yang ada saat ini di dalam menyelesaikan konflik agraria layak dipertanyakan ulang. Bukan sekadar karena jumlah konflik agraria yang setiap tahun terus bertambah dan tidak ada yang dapat diselesaikan. 

Namun, kemauan politik pemerintah untuk segera membentuk lembaga atau komite penyelesaikan konflik agraria yang selama ini disuarakan oleh kalangan aktivis pembaruan agraria melalui aksi besar pada 12 Januari 2012 yang lalu, juga tidak pernah ditanggapi Presiden SBY. 

Pembentukan lembaga yang bersifat khusus ini tentu sangat penting. Ini karena konflik agraria memiliki karakteristik tersendiri yang penyelesaiannya tidak bisa sekadar dinilai secara hukum positif. 

Konflik agraria yang selama ini diselesaikan melalui jalur hukum di pengadilan negeri, hampir tidak pernah ada yang dapat diselesaikan. Ini karena sering kali keputusan hukum di pengadilan justru mengoyak-ngoyak rasa keadilan masyarakat kecil yang lemah seperti para petani penggarap dan petani berlahan sempit. 

Presiden Harus Pimpin Langsung
Persoalan agraria dan konflik agraria adalah persoalan yang sangat kompleks. Karena itu, apabila presiden benar-benar berkomitmen untuk melaksanakan pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik agraria, bukan menyerahkan dua persoalan besar tersebut pada seorang Kepala BPN atau lembaga BPN semata. 

Ini karena persoalan agraria dan konflik agraria sejatinya melibatkan semua sektor lembaga negara yang selama ini menguasai sumber-sumber agraria seperti Kehutanan, ESDM, Pertanian, dan BUMN. Oleh karena itu, harus dipimpin langsung presiden. 

Dengan demikian, wajar jika sebagian kalangan memandang dua amanat presiden kepada Kepala BPN Hendarman Supandji pada saat dilantik itu sejatinya bukan untuk menyelesaikan konflik agraria dan menjalankan agenda pembaruan agraria; melainkan sekadar mengalihkan isu atau pencitraan politik semata. Jika tidak boleh dikatakan bahwa presiden sebenarnya hanya ingin lempar tanggung jawab. 

Lahirnya pandangan itu tentu logis sebab selama ini presiden memang hanya menebar wacana dan janji semata untuk melaksanakan pembaruan agraria. Namun, tidak bermakna dan tidak ada realitas nyata. 

Sekadar mengingatkan, pertama, di pelataran Candi Prambanan Yogyakarta pada akhir 2008. Melalui program Larasita (Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Pertanahan), presiden pernah berjanji akan melaksanakan pembaruan agraria. Kedua, di Marunda, Jakarta Utara pada Januari 2010. 

Dalam pidato peresmian peluncuran kendaraan Larasita, SBY juga berjanji akan melaksanakan pembaruan agraria. Ketiga, 22 Oktober 2010, di Istana Bogor. Di depan para petani, sambil mengisakkan air mata “buaya” presiden mengaku terharu karena melihat banyaknya petani yang tidak punya tanah, sehingga perlu melaksanakan pembaruan agraria. 

Namun, semua itu hanya janji politik tanpa makna. Ini karena sejatinya redistribusi tanah yang dilakukan Presiden SBY melalui BPN itu bukan bentuk pelaksanan pembaruan agraria sebagaimana semangat UUPA.
Pembaruan agraria adalah merombak total struktur kepemilikan tanah yang melahirkan ketimpangan, dan menggantinya dengan struktur kepemilikan tanah yang berlandaskan sila kelima Pancasila yakni keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Khususnya, kaum tani miskin dan kaum tani penggarap yang tidak punya tanah. 

“Tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan, Tanah untuk Tani! Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah!” demikian pesan Bung Karno dalam pidato perayaan HUT RI tahun 1963 yang berjudul “Jalannya Revolusi Kita” mengenai pentingnya pelaksanaan pembaruan agraria atau land reform sebagai salah satu cita-cita perjuangan nasional bangsa Indonesia. 

Karena itu adalah bagian dari cita-cita perjuangan nasional untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia, presiden tidak seharusnya cuci tangan atau melepas tanggung jawab untuk melaksanakan pembaruan agraria hanya kepada seorang Kepala BPN untuk melaksanakannya. 

Jika tanggung jawab tersebut diserahkan pada lembaga administrasi semacam BPN yang ada saat ini, siapa pun Kepala BPN-nya, sudah dapat dipastikan tidak akan bisa berbuat apa-apa. Selain sekadar komoditas janji politik presiden yang sudah tidak bermakna apa-apa. 

*Penulis adalah Ketua DPN Repdem Bidang Penggalangan Tani dan Staf Deputi Sekjen KPA Bidang Kajian dan Kampanye.

Tulisan ini dimuat di Harian Sore Sinar Harapan, 19 Juni 2012, hal 4.