Oleh: Sidik suhada*
Ada dua amanat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
untuk Kepala BPN Hendarman Supandji yang baru dilantik, Kamis (14/6).
Pertama, menjalankan reforma agraria. Kedua,
menyelesaikan sengketa pertanahan dan konflik agraria. Namun, dapat dipastikan
kedua amanat tersebut tidak akan pernah dapat tercapai.
Pasalnya, pembaruan agraria yang selalu
digembar-gemborkan oleh Presiden SBY selama ini sebenarnya tidak pernah ada.
Kecuali sekadar wacana untuk pencitraan politik. Buktinya, Rancangan Peraturan
Pemerintah (RPP) tentang Reforma Agraria atau Pembaruan Agraria yang selama ini
dijanjikan presiden pun tidak pernah ada dan ditandatangani.
Hal ini menunjukkan bahwa Presiden SBY sesungguhnya
tidak memiliki komitmen politik yang kuat dan sungguh-sungguh untuk menjalankan
pembaruan agraria sebagaimana amanat TAP MPR No IX Tahun 2001 tentang Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Selain amanat TAP MPR tersebut, pembaruan agraria
sebenarnya juga sudah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Pokok-pokok Agraria atau yang dikenal dengan UUPA. Namun, amanat dan
semangat UUPA yang merupakan implementasi dari sila kelima Pancasila dan Pasal
33 UUD 1945 juga tidak pernah dijalankan oleh presiden.
Selain itu, beberapa kebijakan politik yang dijalankan
presiden kerap kali justru bertentangan dengan semangat pelaksanaan pembaruan
agraria.
Bahkan, belum lama ini, pemerintah juga menerbitkan
Undang-Undang (UU) No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
untuk Kepentingan Umum, yang secara substansi justru kontraproduktif dengan
semangat pelaksanaan pembaruan agraria. Bahkan regulasi ini akan semakin
meminggirkan status kepemilikan tanah rakyat; sehingga semakin membuka peluang
lahirnya konflik agraria yang lebih besar dan bersifat masif.
Sekadar mengingatkan, fakta empiris di lapangan
menunjukkan bahwa jumlah konflik agraria setiap tahun bukannya semakin
mengecil, melainkan terus meningkat. Berdasarkan data dan catatan Konsorsium
Pembaruan Agraria (KPA), Januari-Juni 2012 ini saja tercatat sedikitnya sudah
ada 101 konflik agraria yang masuk KPA; dengan total luas tanah mencapai
377.159 hektare dan melibatkan 25.000 kepala keluarga petani penggarap.
Padahal, sepanjang 2011, data konflik agraria yang
masuk ke KPA hanya 163 kasus dengan rincian, 97 kasus di sektor perkebunan, 36
kasus di sektor kehutanan, 21 kasus pembangunan infrastruktur, delapan kasus
pertambangan, dan satu kasus pertambakan.
Luas tanah yang disengketakan 472.084,44 hektare
dengan melibatkan 69.975 kepala keluarga petani. Sementara itu, pada 2010
konflik agraria yang masuk ke KPA hanya ada 106 kasus.
Dari fakta dan data tersebut, tentu komitmen politik
pemerintah yang ada saat ini di dalam menyelesaikan konflik agraria layak
dipertanyakan ulang. Bukan sekadar karena jumlah konflik agraria yang setiap
tahun terus bertambah dan tidak ada yang dapat diselesaikan.
Namun, kemauan politik pemerintah untuk segera
membentuk lembaga atau komite penyelesaikan konflik agraria yang selama ini
disuarakan oleh kalangan aktivis pembaruan agraria melalui aksi besar pada 12
Januari 2012 yang lalu, juga tidak pernah ditanggapi Presiden SBY.
Pembentukan lembaga yang bersifat khusus ini tentu
sangat penting. Ini karena konflik agraria memiliki karakteristik tersendiri
yang penyelesaiannya tidak bisa sekadar dinilai secara hukum positif.
Konflik agraria yang selama ini diselesaikan melalui
jalur hukum di pengadilan negeri, hampir tidak pernah ada yang dapat
diselesaikan. Ini karena sering kali keputusan hukum di pengadilan justru
mengoyak-ngoyak rasa keadilan masyarakat kecil yang lemah seperti para petani
penggarap dan petani berlahan sempit.
Presiden Harus Pimpin Langsung
Persoalan agraria dan konflik agraria adalah persoalan
yang sangat kompleks. Karena itu, apabila presiden benar-benar berkomitmen
untuk melaksanakan pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik agraria, bukan
menyerahkan dua persoalan besar tersebut pada seorang Kepala BPN atau lembaga
BPN semata.
Ini karena persoalan agraria dan konflik agraria
sejatinya melibatkan semua sektor lembaga negara yang selama ini menguasai
sumber-sumber agraria seperti Kehutanan, ESDM, Pertanian, dan BUMN. Oleh karena
itu, harus dipimpin langsung presiden.
Dengan demikian, wajar jika sebagian kalangan
memandang dua amanat presiden kepada Kepala BPN Hendarman Supandji pada saat
dilantik itu sejatinya bukan untuk menyelesaikan konflik agraria dan
menjalankan agenda pembaruan agraria; melainkan sekadar mengalihkan isu atau
pencitraan politik semata. Jika tidak boleh dikatakan bahwa presiden sebenarnya
hanya ingin lempar tanggung jawab.
Lahirnya pandangan itu tentu logis sebab selama ini
presiden memang hanya menebar wacana dan janji semata untuk melaksanakan
pembaruan agraria. Namun, tidak bermakna dan tidak ada realitas nyata.
Sekadar mengingatkan, pertama, di pelataran Candi
Prambanan Yogyakarta pada akhir 2008. Melalui program Larasita (Layanan Rakyat
untuk Sertifikasi Pertanahan), presiden pernah berjanji akan melaksanakan pembaruan
agraria. Kedua, di Marunda, Jakarta Utara pada Januari 2010.
Dalam pidato peresmian peluncuran kendaraan Larasita,
SBY juga berjanji akan melaksanakan pembaruan agraria. Ketiga, 22 Oktober 2010,
di Istana Bogor. Di depan para petani, sambil mengisakkan air mata “buaya”
presiden mengaku terharu karena melihat banyaknya petani yang tidak punya
tanah, sehingga perlu melaksanakan pembaruan agraria.
Namun, semua itu hanya janji politik tanpa makna. Ini
karena sejatinya redistribusi tanah yang dilakukan Presiden SBY melalui BPN itu
bukan bentuk pelaksanan pembaruan agraria sebagaimana semangat UUPA.
Pembaruan agraria adalah merombak total struktur
kepemilikan tanah yang melahirkan ketimpangan, dan menggantinya dengan struktur
kepemilikan tanah yang berlandaskan sila kelima Pancasila yakni keadilan bagi
seluruh rakyat Indonesia. Khususnya, kaum tani miskin dan kaum tani penggarap
yang tidak punya tanah.
“Tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan, Tanah
untuk Tani! Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah!” demikian
pesan Bung Karno dalam pidato perayaan HUT RI tahun 1963 yang berjudul
“Jalannya Revolusi Kita” mengenai pentingnya pelaksanaan pembaruan agraria atau
land reform sebagai salah satu cita-cita perjuangan nasional bangsa Indonesia.
Karena itu adalah bagian dari cita-cita perjuangan
nasional untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat
Indonesia, presiden tidak seharusnya cuci tangan atau melepas tanggung jawab
untuk melaksanakan pembaruan agraria hanya kepada seorang Kepala BPN untuk
melaksanakannya.
Jika tanggung jawab tersebut diserahkan pada lembaga
administrasi semacam BPN yang ada saat ini, siapa pun Kepala BPN-nya, sudah
dapat dipastikan tidak akan bisa berbuat apa-apa. Selain sekadar komoditas
janji politik presiden yang sudah tidak bermakna apa-apa.
*Penulis adalah Ketua DPN Repdem Bidang Penggalangan
Tani dan Staf Deputi Sekjen KPA Bidang Kajian dan Kampanye.
Tulisan ini dimuat di Harian Sore
Sinar Harapan, 19 Juni 2012, hal 4.