Minggu, 25 Desember 2011

Pembaruan Agraria, Paham Kebangsaan yang Terlupakan

Penulis : Sidik Suhada*

Beberapa minggu terakhir ini berita tentang dugaan pembantaian terhadap petani di Kecamatan Mesuji, Sumatera Selatan, dan Kabupaten Mesuji, Lampung, terus mewarnai media massa.

Kejahatan kemanusiaan yang secara kasatmata itu mengiris-iris nurani dan mengoyak-ngoyak rasa keadilan, dan aksi kekejaman semacam itu bukan yang pertama kali terjadi di negara ini.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, sepanjang 2010, sedikitnya ada 106 konflik agraria di seluruh wilayah Indonesia.

Rinciannya: sengketa tanah antara petani dengan pihak perkebunan besar (45 kasus), kemudian diikuti dengan pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan (41), kehutanan (13), pertambangan (tiga), pertambakan (satu), perairan (satu), dan konflik lainnya (dua).

Sepanjang 2010 itu, sekurangnya tiga petani tewas, empat orang tertembak, delapan orang luka-luka, dan sekitar 80 petani dipenjarakan karena mempertahankan hak mereka.

Sementara di tahun yang sama, Komnas HAM mencatat pengaduan kasus sengketa lahan mencapai 819 kasus. Sepanjang September 2007-September 2008, laporan pelanggaran HAM yang diterima Komnas HAM dalam pengaduan pelanggaran hak atas tanah menempati peringkat kedua dengan jumlah 692 kasus. Itu semua menunjukkan negara tidak berpihak pada kaum tani.

Penyebab Konflik

Tak dapat dipungkiri, penyebab konflik itu terjadi karena negara tidak bersedia melaksanakan apa yang disebut sebagai Pembaruan Agraria, sehingga berbagai ketimpangan dan kesenjangan hak atas kepemilikan tanah terjadi. Ketimpangan kepemilikan tanah itu dapat dilihat dari data yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional (BPN).

BPN mencatat, saat ini sekitar 56 persen tanah hanya dikuasai 0,2 persen orang. Sementara di sisi lain, ada sekitar 7,3 juta hektare tanah dikuasai pihak perusahaan swasta dan dibiarkan telantar. Sementara hasil survei Badan Pusat Statistik (2003) menyebutkan, 85 persen petani di Indonesia adalah petani gurem dan petani tak bertanah.

Rata-rata petani gurem hanya memiliki lahan kurang dari 0,3 hektare. Setiap tahun penyempitan lahan bagi petani terus terjadi. Penyempitan lahan bagi petani berbanding terbalik dengan lahan yang dikuasai pengusaha.

Saat ini ada sekitar 29 juta hektare untuk usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, 7 juta hektare untuk pengusaha hutan tanaman industri, 6 juta hektare dikuasai pengusaha perkebunan sawit, dan 2,4 juta hektare dikuasai Perhutani.

Tentu saja ketimpangan hak atas kepemilikan tanah itu melahirkan kesenjangan dan kemiskinan sosial di kalangan kaum tani. Tanah yang adalah sumber kehidupan menjadi barang langka yang harus diperebutkan, kalau perlu hingga mati.

Selain itu, ketiadaan kebijakan politik agraria dari pemerintah yang berpihak pada rakyat dan kaum tani di perdesaan, serta tidak adanya birokrasi pemerintah yang pro pada keadilan agraria juga memicu lahirnya konflik agraria.

Ini karena setiap ada pengembangan lahan oleh perusahaan atau perkebunan kerap bertabrakan dengan kepentingan ekonomi masyarakat. Biasanya pemerintah terkesan membiarkan, jarang berpihak kepada kaum tani.

Makna Pembaruan Agraria

Penulis ingin mengingatkan kembali betapa pentingnya melaksanakan pembaruan agraria, dalam upaya mengakhiri konflik agraria yang merugikan petani.

Dengan demikian harus ada perombakan total pada struktur kepemilikan tanah, demi mengakhiri ketimpangan. Hal itu akan menguatkan akses terhadap sarana dan prasarana produksi ekonomi kaum tani dan membangkitkan usaha pertanian kolektif di perdesaan.

Hanya dengan pelaksanaan pembaruan agraria secara konsisten, bangsa Indonesia dapat mencapai cita-cita keadilan sosial sebagaimana dicanangkan para Bapak Bangsa. Secara gamblang dan jelas, UU Pokok Agraria (PA) No 5 Tahun 1960 menyatakan bahwa keadilan agraria adalah dasar ekonomi nasional yang akan membawa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dasar pembangunan ekonomi ini tentu sesuai dengan semangat Pasal 33 UUD 1945 yang asli, di mana konsep perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Dengan begitu tidak ada ketimpangan hak atas kepemilikan tanah, dan tidak ada ketimpangan sosial yang disebabkan sistem ekonomi neoliberal seperti saat ini.

Sebagai jalan menuju terwujudnya keadilan dalam berbangsa dan bernegara, semangat yang terkandung dalam UUPA No 5 Tahun 1960 sangat baik. Ini karena UUPA memberikan amanat agar hak-hak dasar rakyat, terutama para petani gurem dan petani penggarap tanah, bisa mendapatkan pembagian kekayaan nasional secara adil dan merata.

Semangat UUPA yang ingin segera mengakhiri ketimpangan hak atas kepemilikan tanah itu sebenarnya juga bentuk dari cita-cita perjuangan bangsa Indonesia yang ingin memerdekakan diri dari belenggu penjajahan.

Ini karena hakikat perjuangan kemerdekaan dari penjajah adalah perlawanan terhadap penguasaan lahan oleh para pemilik modal asing atas sumber-sumber pokok agraria di Indonesia.

Selain itu, UUPA juga cermin perlawanan rakyat terhadap kebijakan kerja rodi atau penggunaan tenaga rakyat secara murah untuk produksi berbagai komoditas ekspor, yang membuat rakyat Indonesia tertindas di tanahnya sendiri.

Karena itu, tak salah jika Pembaruan Agraria dimaknai sebagai paham kebangsaan. Spiritnya melaksanakan sila kelima Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, serta menegakkan UUD 1945.

Prasyarat Pokok

Sebagai ide dan gagasan, pembaruan agraria sebagai paham kebangsaan tidak akan dapat tercapai tanpa peran serta semua pihak, terutama komitmen dan kemauan politik yang kuat dari pemerintah. Bahkan komitmen dan kemauan politik ini adalah prasyarat utama dan pertama agar pembaruan agraria yang dicita-citakan para pendiri bangsa ini dapat tercipta.

Prasyarat kedua adalah para elite politik dan pejabat birokrasi dalam pemerintah jangan melibatkan diri dalam bisnis ekonomi kapital. Kalau demikian, tanah yang seharusnya tidak menjadi barang dagangan bisa dijadikan komoditas. Akibatnya, konsentrasi penguasaan tanah akan kembali tersentralkan dalam kekuasaan modal yang didukung kekuasaan elite politik.

Ketiga, adanya organisasi-organisasi rakyat, khususnya serikat petani yang kuat dan berperan secara aktif untuk mengawal pelaksanaan pembaruan agraria. Tanpa keterlibatan organisasi petani, gagasan pelaksanaan pembaruan agraria sangat berpotensi menyimpang dan disimpangkan.

Keempat, tanpa data yang lengkap dan akurat, pembaruan agraria bisa salah sasaran. Data ini penting untuk menentukan objek dan subjek dari pelaksanaan pembaruan agraria.

Sebagai paham kebangsaan, gagasan pembaruan agraria rupanya harus kembali didengungkan untuk mengingatkan pemerintah. Pembantaian kaum tani dalam konflik agraria di Lampung dan Sumatera Selatan adalah bukti nyata bahwa Pancasila dan UUD 1945 belum dijalankan secara baik dan benar, malah diselewengkan.

Ini karena memberikan pembelaan terhadap petani atas hak kepemilikan tanah, dan melindungi tanah-tanah petani adalah amanat konstitusi dan undang-undang.

Jangan terulang kasus kekerasan seperti di Mesuji. Akhiri pembantaian kaum tani yang berjuang untuk hak atas kepemilikan tanah, jangan ada lagi perampasan tanah secara sewenang-wenang oleh siapa pun.

*Penulis adalah Ketua Dewan Pemimpin Nasional REPDEM Bidang Penggalangan Tani, dan aktivis Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Sumber:

http://www.sinarharapan.co.id/content/read/pembaruan-agraria-paham-kebangsaan-yang-terlupakan/

Jatim Peringkat Pertama Kasus Tanah

Jumat, 23 Desember 2011 | 22:54 WIB

BLITAR | SURYA Online - Jawa Timur menduduki tingkat pertama, untuk konflik tanah yang terjadi selama tahun 2011. Di Indonesia, selama tahun 2011 telah terjadi 160 kasus tanah. Sebanyak 36 kasus diantaranya, terjadi di Jawa Timur.

“Di Jatim ini kasus yang terjadi dengan perkebunan. Kalau masalah yang lain seperti pertambangan, infrastruktur, itu lebih banyak di luar Jatim,” kata Staf Deputi Riset dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sidik Suhada saat berkunjung di Blitar, Jumat (23/12/2011).

Sidik mengatakan, fenomena konflik tanah ini dari tahun ke tahun semakin meningkat. Jumlah yang ada saat ini 160 kasus, lebih banyak daripada 2010 yang hanya 106 kasus. Di Jatim ini menduduki peringkat pertama, menyusul Sumatera Utara dengan 25 kasus lalu Sulawesi Tenggara dengan 15 kasus.

Menurut dia, fenomena ini harusnya menjadi perhatian tersendiri. Konflik itu muncul karena adanya ketimpangan penguasaan antara pemilik lahan dengan petani, hingga melahirkan kemiskinan.

Data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN), 56 persen wilayah di Indonesia itu ternyata dimiliki hanya 0,2 persen warga Indonesia. Padahal, jumlah warga, terutama petani lebih banyak daripada mereka yang mempunyai uang. Selain itu, 7,1 hektare lahan ternyata ditelantarkan oleh perusahaan.

“Ini yang kemudian muncul adanya ketimpangan. Selama ini, tidak ada kebijakan politik secara serius sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,” katanya menegaskan.

Pihaknya memberikan apresiasi kepada para petani di Kecamatan Doko, Kabupaten Blitar, yang saat ini sudah mendapatkan haknya, mengelola lahan perkebunan sesuai dengan program redistribusi tanah. Konflik tanah antara PT Perkebunan Cengkeh Branggah Banaran dengan masyarakat desa sudah cukup lama, 1998-2001. Luas lahan 539,70 hektare itu diminta warga untuk dikelola.

Ia mengatakan, masyarakat saat ini sudah mendapatkan haknya, dengan menggarap lahan. Rata-rata mereka menerima antara 1-1,5 hektare lahan yang ditanami berbagai macam tanaman. Misalnya, untuk daerah di jurang, warga menanam bambu dengan kualitas ekspor, sementara di lahan yang lebih atas ditanami sayur mayur.

Pihaknya juga terus melakukan pendampingan untuk memproses penataan hasil pertanian. Dengan itu, para petani bisa menjadi lebih sejahtera. “Kami terus dampingi mereka,” kata Sidik yang menjadi dosen di salah satu universitas swasta di Kota Malang ini.

Sumber: http://www.surya.co.id/2011/12/23/jatim-peringkat-pertama-kasus-tanah

Kamis, 01 Desember 2011

Antara Freeport dan Bencana Kelaparan di Papua

Penulis : Sidik Suhada*

Mengenaskan, ketika membaca headline Sinar Harapan, Rabu (23/11), yang berjudul, “Ribuan Warga Papua Kelaparan”. Ini karena kita semua tahu.

Sebagai daerah penghasil tambang emas, tanah Papua mampu mendulang keuntungan US$ 19 juta atau sekitar Rp 114 miliar per hari untuk PT Freeport Indonesia, perusahaan asing milik Amerika Serikat (AS) yang sudah beroperasi selama 44 tahun di Papua.

Sejak 1967, PT Freeport Indonesia (FI) beroperasi dan mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) di tanah Papua. Lebih dari 2,6 juta hektare lahan sudah dieksploitasi, termasuk 119.435 hektare kawasan hutan lindung dan 1,7 juta hektare kawasan hutan konservasi. Hak tanah masyarakat adat pun ikut digusur.

Dari hasil eksploitasi itu, setiap hari, rata-rata perusahaan raksasa dan penyumbang terbesar industri emas di AS itu mampu meraih keuntungan Rp 114 miliar per hari. Jika keuntungan tersebut dikalikan 30 hari, keuntungan PT FI mencapai US$ 589 juta atau sekitar Rp 3,534 triliun per bulan. Tinggal dikalikan dalam 12 bulan, keuntungan PT FI mencapai Rp 70 triliun per tahun.

Kontribusi

Berdasarkan laporan kontrak karya antara pemerintah Indonesia dengan PT FI yang berlaku sejak Desember 1991 hingga sekarang, kontribusi perusahaan tambang itu ke pemerintah Indonesia ternyata hanya sekitar US$ 12 miliar per tahun.

Namun, awal November lalu, sebelum ada pemogokan karyawan menuntut kenaikan upah, PT FI mengaku telah menyetorkan royalti, dividen, dan pajak senilai Rp 19 triliun kepada pemerintah Indonesia atau naik Rp 1 triliun jika dibanding 2010 yang hanya Rp 18 triliun.

Berbagai kalangan menilai, kontribusi sebesar itu tentu tidak sebanding dengan hasil eksploitasi yang diperoleh PT FI. Ini karena berdasarkan hasil laporan keuangan PT FI tahun 2010, perusahaan tambang tersebut mampu menjual 1,2 miliar pon tembaga dengan harga rata-rata US$ 3,69 per pon.

Selain itu, pada 2010 PT FI juga sudah menjual 1,8 juta ons emas dengan harga rata-rata US$ 1.271 per ons, sehingga jika dihitung rata-rata dengan kurs Rp 9.000, total hasil penjualan PT FI mencapai sekitar Rp 60,01 triliun. Karena itu, berbagai kalangan mendesak pemerintah Indonesia mengkaji ulang kontrak karya tersebut.

Kerugian

Secara umum, pemerintah Indonesia tidak hanya dirugikan dalam keuntungan materi saja. Eksploitasi tambang yang dilakukan PT FI juga telah merusak lingkungan.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat, sedikitnya 291.000 ton limbah pertambangan Freeport dibuang ke sungai setiap hari. Jumlah itu menjadi lebih banyak 44 kali lipat dari sampah harian yang ada di Jakarta.

Sementara kawasan yang dijadikan tempat membuang limbah Freeport mencapai 230 kilometer persegi, atau 27 kali lebih luas dibandingkan danau lumpur panas PT Lapindo Brantas yang menenggelamkan sebagian wilayah Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Akibatnya, sumur-sumur milik warga di Papua saat ini menjadi tercemar merkuri.

Bahkan bisa jadi, jika tidak boleh dipastikan, derita ribuan warga Papua yang kelaparan seperti yang diberitakan SH Rabu kemarin, salah satu penyebabnya adalah PT FI.

Ini karena tak dapat dipungkiri, kerusakan alam yang diakibatkan eksploitasi tambang itu tentu dapat memperparah kondisi alam pertanian masyarakat Papua di saat cuaca buruk. Bencana kelaparan dan gizi buruk atau busung lapar pun melanda para balita yang ada di tanah Papua.

Jika hal ini dibiarkan dan pemerintah tidak cepat tanggap dalam merespons derita kelaparan masyarakat Papua, tidak menutup kemungkinan keutuhan NKRI akan semakin terancam. Ini karena sejak kehadiran PT FI, masyarakat Papua merasa tidak mendapat perlindungan yang baik dari pemerintah Indonesia.

Apalagi eksploitasi alam yang dilakukan PT FI selama ini dirasa tidak menguntungkan masyarakat adat setempat. Sejak kehadiran dan kedatangan perusahaan tambang asal AS itu, kemerdekaan masyarakat adat Papua terancam.

Bahkan sebagian merasa kemerdekaannya sudah dirampas. Ini karena banyak tanah adat atau tanah ulayat yang selama ini menjadi sumber kehidupan masyarakat adat hilang dan berubah menjadi kawasan tambang yang tidak dapat dinikmati masyarakat.

Selain mengambil langkah cepat dan tepat untuk mengatasi bencana kelaparan di tanah Papua, pemerintah juga harus segera menata ulang kontrak karya dengan Freeport karena perusahaan itu telah merugikan rakyat Papua.

Hak atas kepemilikan tanah ulayat harus dikembalikan, dan struktur kepemilikan tanah yang telah melahirkan ketimpangan harus dirombak total, sebagaimana amanat UUPA No 50 Tahun 1960 dan Pasal 33 UUD 1945 yang asli.

Apalah artinya Freeport, apalah artinya eksploitasi SDA, jika tidak membawa perubahan ke arah yang lebih baik bagi kehidupan umat manusia. Tentu menjadi tidak ada artinya juga jika hanya merasa memiliki, namun tidak pernah dapat menikmatinya.

*Penulis adalah Ketua DPN Repdem Bidang Penggalangan Tani, dan Aktivis Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), tinggal di Jakarta.

sumber:
http://www.sinarharapan.co.id/content/read/antara-freeport-dan-bencana-kelaparan-di-papua/