Jumat, 14 Oktober 2011

Ada 15 Titik Konflik Agraria di Cilacap


Potensi konflik agraria di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah masih sangat tinggi. Hasis assessment KPA menunjukan, sedikitnya hingga saat ini ada 15 titik konflik agraria yang tersebar dibeberapa kecamatan.

Konflik agraria ini, umumnya sudah berlangsung cukup lama. Namun, belum dapat terselesaikan hingga saat ini. Di Kecamatan Cimanggu dan Wanareja misalnya, konflik agraria antara masyarakat dengan PTPN IX, sudah berlangsung sejak tahun 1930 dan belum selesai hingga saat ini.

Total luas lahan yang disengketakan antara masyarakat dengan PTPN IX mencapai lebih dari 1.578 hektar. Konflik ini melibatkan lebih dari 751 keluarga petani.

Selain dengan PTPN IX, konflik agraria di kabupaten terluas di Jawa Tengah ini juga terjadi antara masyarakat dengan pihak perhutani. Berdasarkan hasil assessment itu, sedikitnya ditemukan enam kasus sengketa lahan antara masyarakat dengan pihak perhutani. Enam kasus itu tersebar di lima kecamatan yakni, Kecamatan Gandrungmangu, Patimuan, Kampung Laut, Bantarsari, dan Kecamatan Cipari.

Total luas lahan yang disengketakan lebih dari 82.894 hektar. Sedang jumlah masyarakat yang menjadi korban mencapai 4.084 keluarga petani penggarap.

Selain konflik agraria antara masyarakat dengan pihak perkebunan milik pemerintah dan pihak perhutani assessment tersebut juga menemukan konflik agraria antara masyarakat dengan berbagai pihak perkebunan milik swasta dan pemerintah daerah tersebut.

Sedang konflik agraria antara masyarakat dengan pihak TNI dengan masyarakat, terjadi hampir disepanjang pesisir pantai selatan, mulai dari Kec. Cilacap Selatan sampai Kec. Nusawungu. Konflik agraria antara masyarakat dengan pihak TNI saat ini, memang belum begitu nampak dipermukaan. Namun, sewaktu-waktu dapat meledak (Ada “Bom Waktu” dalam Konflik Agraria di Kabupaten Cilacap).

Potensi itu nampak jelas terlihat. Sebab, dari 15 kasus konflik agraria di kabupaten yang akan melaksanakan pemilihan umum kepala daerah (pilukada) pada tahun 2012 itu, ternyata mampu mendorong semangat perlawanan petani untuk mengorganisir diri. Menyatukan gerak perjuangan dalam satu wadah organisasi perjuangan untuk mewujudkan cita – cita bersama yakni, memperoleh hak kepemilikan tanah sebagai sumber kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi petani.

Realita itu ada. Meskipun riak-riak perlawanan petani itu terus mengalami pasang surut. Tenggelam paska peristiwa tahun 1965, dan bangkit kembali di tahun 1980. Namun, tingginya tingkat represif di masa Orde Baru, perlawanan petani pun sempat tiarap beberapa saat. Lalu bangkit kembali di tahun 1988 hingga saat ini.

Bagi warga Kabupaten Cilacap yang mendengar pernyataan Kepala Kanwil BPN Provinsi Jawa Tengah, Doddy Imron Cholid (Kalau Ada Tanah Telantar, Ambil Saja untuk Rakyat) tentu sedikit tersenyum. Karena, pernyataan itu bisa menjadi setitik harapan. Namun, harapan itu kembali sirna saat mendengar pernyataan Ketua ORTAJA (Wahyudi: “Jangan Percaya Pak Doddy”) yang mengungkapkan pengalamannya di Kabupaten Batang dan Kendal.

Namun, satu hal pasti, tidak ada masalah tanpa penyelesaian selagi tetap berada dalam rel dan gerak perjuangan organisasi petani. Sabar dalam proses dan terus berbenah adalah kunci utama untuk mewujudkan mimpi serta cita-cita bersama■

Sumber:

http://kpa.or.id/berita-181-ada-15-titik-konflik-agraria-di-cilacap.html