Selasa, 21 Juni 2011

Derita TKW dan Pembaruan Agraria

Oleh: Sidik Suhada*


Duka tenaga kerja wanita seakan tak pernah sirna. Hampir setiap hari berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik, mengabarkan kisah sedih kehidupan para pembatu rumah tangga (PRT) asal Indonesia di luar negeri. Kabar terbaru, Ruyati binti Sapubi dieksekusi mati, Sabtu 18 Juni 2011.


Kabar buruk dari para TKW di Arab Saudi seperti itu, sebenarnya bukan baru sekali terjadi. Berdasarkan catatan Migrant CARE yang dirilis ke berbagai media, sedikitnya saat ini ada 23 orang TKW asal Indonesia yang sedang diancam hukuman mati di Arab Saudi.


Hingga pertengahan 2011 ini, sedikitnya ada 27 orang yang telah dieksekusi di negara penghasil minyak itu. Sementara pada 2010, sedikitnya ada 15 orang telah dieksekusi mati. Jumlah itu memang lebih rendah dari 2009 yang mencampai 67 orang, dan pada tahun 2008 ada 102 orang dieksekusi mati.


Kabar buruk yang menimpa Ruyati binti Sapubi sangat ironis karena terjadi hanya selang beberapa hari setelah Presiden SBY berpidato di sidang ILO ke-100 (14 Juni 2011). Dalam pidatonya, Presiden menyerukan perlindungan terhadap tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Inilah salah satu bentuk kegagalan pemerintah Indonesia.


Bukan Pilihan

Menjadi TKW sebenarnya bukanlah pilihan bagi mereka. Namun, kemiskinan dan kesulitan hiduplah yang memaksa mereka meninggalkan kampung halamannya.


Semua itu tentu tidak dapat dilepaskan dari kegagalan pemerintah yang tidak dapat membuka dan menciptakan lapangan kerja di negeri sendiri. Pemerintah tidak mampu membuat dan merumuskan kebijakan-kebijakan yang bersifat konkret untuk mengatasi kemiskinan. Dengan begitu, sebagian warga Indonesia terpaksa pergi ke luar negeri untuk sekadar mencari pekerjaan dan penghidupan.


Meskipun bukan pilihan, potensi keterpaksaan sebagian warga Indonesia untuk menjadi TKW tetap masih sangat besar. Apalagi jika melihat angka pengangguran dan jumlah angkatan kerja dari BPS, pada Februari 2011 mencapai 119,4 juta orang. Angka ini lebih besar sekitar 2,9 juta orang dibanding angkatan kerja di bulan Agustus 2010 yang mencapai 116,5 juta orang atau bertambah 3,4 juta.


Sementara itu, tingkat penganggur terbuka (TPT) di Indonesia pada Februari 2011, menurut data BPS ada sekitar 6,80 persen. Sebanyak 60,5 persen pemuda usia 16 tahun hingga 20 tahun di seluruh provinsi di Indonesia tidak memiliki pekerjaan tetap, atau penganggur pada 2010.


Selain tingginya jumlah angkatan kerja dan jumlah penganggur di usia produktif, angka kemiskinan juga masih tergolong tinggi. Menurut BPS, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada 2010 masih mencapai 31,02 juta. Sekitar 14,3 persen orang miskin di Indonesia rata-rata berprofesi sebagai petani dan lebih dari 85 persen petani tidak punya lahan alias buruh tani.

Karena jebakan kemiskinan dan pengangguran inilah migrasi ke luar negeri tetap akan menjadi pilihan bagi sebagian orang. Sekalipun pilihan itu sebenarnya diambil atas dasar keterpaksaan. Karena, tidak ada pilihan yang dapat dipilih jika tetap bertahan di dalam negeri.


Solusi Pembaruan Agraria

Sebagai negara agraris yang dikaruniai tanah yang luas dan subur, Indonesia sebenarnya dapat mengatasi kemiskinan dan pengangguran tanpa harus mengekspor tenaga kerja ke luar negeri. Dengan catatan, pemerintah bersedia melaksanakan pembaruan agraria.


Tujuan utama pembaruan agraria itu sebenarnya untuk menata struktur kepemilikan tanah agar tidak ada ketimpangan kepemilikan tanah dan sumber-sumber agraria lainnya. Karena salah satu penyebab utama dari kemiskinan dan maraknya pengangguran itu tidak lepas dari adanya ketimpangan agraria. Banyak masyarakat yang tidak memiliki tanah, sementara ada sedikit orang yang menguasai tanah dengan jumlah yang sangat luas.


Data Badan Pertanahan Nasional (BPN) menunjukan, sekitar 56 persen tanah yang ada di seluruh Indonesia ternyata hanya dikuasai oleh sekitar 0,2 orang. Padahal ada sekitar 85 persen petani Indonesia adalah petani gurem dan tidak memiliki tanah. Sementara di sisi lain, menurut data BPN ada sekitar 7,3 juta hektare tanah yang dikuasai perusahaan-perusahaan swasta malah ditelantarkan.


Ketimpangan kepemilikan tanah inilah yang menjadi penyebab utama lahirnya kemiskinan di perdesaan. Dengan begitu, tidak ada pilihan lain bagi pemerintah jika ingin mengatasi kemiskinan dan pengangguran kecuali melalui pembaruan agraria.


Pembaruan agraria ini tidak hanya untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran. Namun, sekaligus sebagai solusi untuk menahan laju urbanisasi dan migrasi ke luar negeri. Karena pembaruan agraria secara otomatis akan membuka lapangan pekerjaan hingga ke pelosok daerah.


Selain itu, melalui pembaruan agraria, percepatan industrialisasi kolektif masyarakat di perdesaan juga menjadi prioritas kebijakan pemerintah. Industri kolektif masyarakat ini tetap dibangun di atas dasar pelaksanaan pembaruan agraria yang diamanatkan UUPA No 5/1960.


Tanah-tanah telantar yang selama ini dikuasai perusahaan-perusahaan swasta perlu segera ditertibkan sesuai PP No 11/2010. Penertiban dan pendayagunaan tanah negara bekas tanah telantar itu semata-mata mesti dilakukan untuk menciptakan keadilan sosial dan membangun industri pertanian kolektif petani.


Sebagai langkah cepat, Presiden mestinya segera menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Pembaruan Agraria agar agenda dan program pembaruan agraria dapat segera dioperasikan di lapangan untuk menjawab problem-problem mendasar keagrariaan, terutama terkait ketimpangan dan konflik yang merebak di berbagai sektor.


Dengan pembaruan agraria yang sejati, tidak ada lagi petani yang tidak memiliki tanah dan tidak dapat memproduksi hasil pertanian. Melalui pembaruan agraria yang menyeluruh, tak ada lagi tenaga kerja yang menganggur hingga terpaksa pergi mengadu nasib ke luar negeri.


*Penulis adalah Staf Deputi Riset dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Sumber: Sinar Harapan, Selasa, 21 Juni 2011

http://www.sinarharapan.co.id/content/read/derita-tkw-dan-pembaruan-agraria/