Minggu, 30 Mei 2010

Benarkah Jurnalis Kita ”Sakit”?

Menjadi jurnalis itu gampang. Apalagi di zaman moderen yang membawa pada perkembangan teknologi komunikasi semakin berkembang pesat. Semua orang bisa menjadi jurnalis hanya dengan cara membuat blog di situs internet yang sudah tersedia. Beberapa media besar, kini juga telah mengembangkan konsep media warga (citizen media) untuk mendekatkan pada publiknya. Tapi mengapa masih ada WTS (wartawan tanpa surat kabar)? Itulah pertanyaan besarnya.

Sungguh ironis. Di zaman moderen ini ternyata masih saja ada wartawan yang bergerilya untuk mencari berita tapi tanpa memiliki media. Mereka datang menemui narasumber dengan berbagai dalil dan cara untuk melakukan wawancara. Namun, tak pernah ada beritanya di media massa. Terutama di daerah-daerah. Padahal tanpa harus menjadi WTS, mereka juga bias menulis berita hasil liputannya untuk media yang dibuatnya sendiri di internet. Tapi mengapa mereka masih suka menjadi WTS?

Entahlah. Mungkin para WTS tak pernah mengenal dunia maya ini. Sehingga mereka tak pernah berfikir untuk menjadi jurnalis warga atau lebih tren disebut sebagai citizen journalism ini. Atau mereka sebenarnya hanya sekadar mengaku sebagai wartawan hanya untuk menakut-nakuti narasumber yang akan diperasnya? Sekali lagi, entahlah. Namun, fakta ini memang masih tetap ada di negeri ini.

Bahkan beberapa waktu lalu, teman saya sempat mengeluh setelah didatangi dan diwawancara oleh seorang yang mengaku sebagai wartawan. Walau sedikit menyudutkan teman saya itu, namun semua pertanyaan yang dilontarkan oleh wartawan ini, tetap dijawab secara detail dan gamblang oleh teman saya. Namun, ending-nya setelah selesai melakukan wawancara, wartawan ini meminta teman saya untuk memasang iklan di medianya.

Saat ditanya berapa tarif iklannya? Wartawan ini justru balik bertanya, ”Berapa anggaran yang Bapak miliki untuk memasang iklan di media saya?” Teman saya pun bingung dan hanya geleng-geleng kepala mendapat sebuah pertanyaan itu. Tanpa berfikir panjang, teman saya yang malas ribut dengan wartawan dimaksud langsung menyerahkan uang Rp 5 juta untuk memasang iklan di medianya. Apakah persoalan itu selesai? Ternyata tidak.


Malam harinya, wartawan itu mengirim sebuah pesan singkat (SMS) kepada teman saya. Isinya, ”Uang Rp 5 juta itu hanya untuk DP pembayaran iklan. Sisanya tolong Bapak segera tranfer melalui no rekening saya......sekarang juga.” Kembali teman saya pun hanya bisa geleng-geleng kepala setelah membaca SMS dari wartawan tersebut. Walau akhirnya teman saya tetap tidak mau memenuhi permintaan sang pengirim SMS tersebut, dan tidak ada reaksi balik.

Setelah beberapa hari SMS-nya tidak direspon, wartawan itu kembali menelepon teman saya dan berkata, ”Jika Bapak tidak mau segera mentrasfer sisa pembayaran iklan tersebut, maka terpaksa berita hasil wawancara kita kemarin saya muat.” Temen saya pun menjawab, ”Ya, silakan saja kalau mau di muat, saya kan sudah bemberikan jawaban semua pertanyaan yang kamu tanyakan. Itu hak kamu untuk menulis berita dan saya tidak akan menghalang-halangi karena menulis adalah hak semua orang,” balas teman saya.

Namun, anehnya, setelah disuruh menulis malah sang wartawan tersebut tetap ngotot hanya ingin agar teman saya memasang iklan dan tidak ingin menulis beritanya. Dengan sedikit dongkol, teman saya pun tetap tidak mau mentranfer uang tambahan sesuai permintaan sang wartawan tersebut.

Seminggu-dua minggu, ternyata iklan tersebut pun tidak segera muncul di media massa yang dijanjikan oleh wartawan tersebut. Dua bulan kemudian, setelah berkali-kali wartawan tersebut ditanyakan kapan iklannya akan dimuat, ternyata baru dimuat. Usut demi usut, ternyata media yang dia tawarkan ternyata media ”berkala”. Artinya, kadangkala terbit, jika ada dana hasil memeras dengan modus operandi tersebut; dan kadangkala tidak terbit, jika tidak ada dana hasil perasan. Duh Gusti?!

Sudah seburuk inikah citra dunia pers kita saat ini? Jika demikian adanya, tak salah jika teman saya yang menjadi jurnalis senior di Malang pernah berkata, ”Saya malu menjadi wartawan.” Peryataan tersebut, tentu tak berlebihan karena faktanya kini memang sudah banyak pekerja pers yang menyalahi aturan. Walau mungkin itu hanya dilakukan oleh beberapa gelintir orang, namun dapat merusak citra dunia jurnalis kita yang sebenarnya sangat gilang-gemilang. Sebab, tanpa jurnalis, apalah artinya dunia ini. Tanpa peran serta jurnalis, semua bisa menjadi gelap gulita tanpa makna. Namun, jika jurnalis kita tanpa hati nurani, dunia pun bisa hancur dibuatnya.

Kepada teman-teman yang ingin menjadi jurnalis, mari kita manfaatkan perkembangan teknologi ini. Karena, kita semua kini sudah bisa menjadi jurnalis hanya dengan cara memanfaatkan teknologi komunikasi. Tak butuh modal besar untuk bisa membuat media. Hanya butuh ketekunan dan ketelatenan, teknologi internet ini akan membukakan kita untuk bisa memiliki media massa sendiri.

Saya berharap pembaca berkenan menjadi ”dokter” untuk mendiagnosis kasus tersebut di atas. Selanjutnya, menyimpulkan apakah jurnalis kita ”sakit”? Hakikat dari makna pers sebagai pilar keempat demokrasi, semestinya dijaga dengan baik. Hanya itulah harapan publik untuk menyalurkan opininya.

(Maaf, tulisan ini juga saya publikasikan di kompasiana.com)