Rabu, 17 Februari 2010

Awas ! “Anggodo” Intervensi Pilkada di Malang

Jika tidak diwaspadai, sungguh kasihan nasib 2,5 juta jiwa rakyat Kabupaten Malang. Dalam hal berdemokrasi, mereka ibarat lepas dari mulut buaya, terperangkap di mulut singa. Hal itu akan terjadi jika para ”Anggodo” bebas intervensi dan bermanuver politik dalam Pilkada Kabupaten Malang 2010.

Coba renungkan, pada era Orde Baru, pilkada sama sekali tidak melibatkan rakyat. DPRD pun hanya sekadar ”juru stempel”. Kepala daerah ditentukan oleh Trio ABG (ABRI, Birokrat, Golkar). Itulah yang saya maksudkan nasib rakyat dalam berdemokrasi berada dalam mulut buaya.

Sekarang di era reformasi, jika para ”Anggodo” tidak diwaspadai maka nasib hak berdemokrasi rakyat berada dalam mulut singa. Bahkan bisa lebih parah dibandingkan dalam mulut buaya. Itu berati sebuah kemunduran. Reformasi seharusnya malu terhadap Orde Baru.

Pada zaman Orde Baru para ”Anggodo” tiarap, tidak berkutik menghadapi Trio ABG, kini tampaknya mereka mendapatkan habitat yang cocok. Melalui kekuatan uangnya, para Anggodo patut diprediksikan akan mengambil peran kuat seperti Trio ABG pada zaman Orde Baru. Demokratisasi rakyat yang diidam-idamkan terwujud melalui reformasi, hanya tinggal mimpi belaka. Apakah kita relakah?!

Tidak ada cara lain untuk mengantisipasi gerakan para ”Anggodo” kecuali dengan meningkatkan kesadaran rakyat tentang arti penting hak berdemokrasi secara baik dan benar. Perlu rakyat disadarkan, bila rakyat bersatu tidak ada satu kekuatan pun yang bisa mengalahkan rakyat. Sejuta ”Anggodo” pun akan terkabar jika nekat menghadapi persatuan rakyat. Banyak contoh kasus yang membuktikan kekuatan mayoritas rakyat mampu menumbangkan ”Anggodo” dalam konteks pilkada. Konkretnya, jagonya ”Anggodo” kalah.

Pilkada Kabupaten Malang tahun ini akan digelar pada 5 Agustus 2010. Suhu politik di kabupaten terluas di Jawa Timur ini pun, kini sudah mulai memanas. Layaknya sebuah pertarungan politik pada umumnya, lagi-lagi para ”Anggodo” harus segera diwaspadai jika tidak ingin melihat situasi menjadi semakin ruyam. Manuver politik dan kekuatan uangnya para ”Anggodo” ini, niscaya akan memperkeruh suasana.

Pelan namun pasti, kini para ”Anggodo” juga sudah bergerak untuk bisa ngobok-obok ketenangan rakyat. Para ”Anggodo” ini selalu memancing ikan di air keruh. Modus oprandinya macam-macam. Media massa yang seharusnya membela kepentingan rakyat, tak jarang media massa juga bertindak atas kepentingan dan intruksi dari para ”Anggodo”. Bahkan para ”Anggodo” juga telah bergerak dan membuat berbagai macam media massa online untuk kepentingan politiknya.

Maka jika hal tersebut tidak segera diatisipasi, maka rakyat yang sadar hak demokrasinya terancam oleh kekuatan uang para ”Anggodo”, pasti rakyat akan bergerak. Konkretnya, demonstrasi rakyat menghadapi para ”Anggodo” pasti akan terjadi.

Kini saatnya para Anggodo untuk mawas diri. Sudah bukan zamannya arogansi kekuatan uang. Terlebih jika kekuatan uang tersebut didapat dari berbagai bentuk tindak kriminal. Wahai…. Para ”Anggodo” sadarlah? Jangan coba-coba bermain api. Biarkan rakyat menentukan pilihannya sendiri.

Senin, 08 Februari 2010

Trafficking adalah Musuh Rakyat

Trafficking atau perdagangan manusia adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Sudah sepatutnya, sanksi hukumnya pun, harus “luar biasa”, dalam arti hukuman terberat: Pidana Mati !

Memang, hakikat hukuman bukanlah balas dendam, tetapi penjeraan dan edukasi. Namun, khusus untuk kejahatan yang luar biasa ini (trafficking) tidak cukup hanya penjeraan dan edukasi. Harus lebih dari itu, yaitu ”pemusnahan” (pidana mati). Tentu saja setelah proses hukumnya mencapai vonis yang berkekuatan hukum tetap.

Indonesia, sampai sekarang belum bebas dari tindak pidana trafficking. Sama belum bebasnya dari tindak pidana korupsi. Dua jenis tindak pidana itu, sama-sama berkategori kejahatan luar biasa. Dalam tindak pidana korupsi ancaman hukuman maksimalnya berupa pidana mati (UU Tastipikor No. 31/ 1999 yang telah diperbaharui dengan UU No.20/2001). Bahkan, trafficking sepatutnya juga disejajarkan dengan kejahatan terororisme dalam arti bobot kejahatannya.

Ada berbagai modus oprandi trafficking di Indonesia. Pertama, bisa menggunakan kedok PJTKI atau berkedok lembaga penyalur tenaga kerja. Modus oprandinya antara lain, pemalsuan dokumen-dokumen seperti KTP, Ijasah, Akta kelahiran, surat ijin orangtua atau yang berhak. Modus lain, bisa juga berupa tidak menjelaskan isi perjanjian kontrak kerja antara pihak penyedia dengan pencari kerja. Semua itu masuk trafficking berdasarkan UU trafficking. Karena itu, aparat penegak hukum patut menjerat dengan UU trafficking. Bukan sekadar dijerat dengan KUHP (tindak pidana umum), pemalsuan (263 KUHP).

Kedok apapun yang dipakai, lasimnya bermuatan iming-iming kerja enak, gaji besar, masa depan cerah. Pendek kata, semua hanya berupa hembusan angina surga. Jelas ada muatan penipuan. Namun, ini bukan kategori tindak pidana umum (pidum). Melainkan masuk koridor pidana khusus (pidsus) seperti halnya korupsi dan terorisme sebagai extraordinary crime.

Mengapa masih saja ada yang tertipu dan masuk perangkap pelaku trafficking?

Ada beberapa faktor. Sedikitnya ada dua faktor yang mendasar. Pertama, rendahnya tingkat sosial ekonomi masyarakat (kemiskinan). Kedua, rendahnya tingkat pendidikan (pengetahuan). Dua hal tersebut (kemiskinan dan pengetahuan) sesungguhnya adalah tanggungjawab negara. Konstitusi kita juga mengamanatkan, fakir miskin dan anak terlantar saja dibiayai oleh negara.

Persoalan ini menjadi semakin rumit. Terlebih jika masyarakat bersikap apatis. Karena itu, sudah sepantasnya trafficking menjadi musuh bersama. Trafficking adalah musuh rakyat !

Agar kasus trafficking tidak semakin marak, pemerintah harus segera menghapus faktor penyebab yang mendasar yakni, kemiskinan dan pendidikan. Aparat penegak hukum, semakin kritis dan peka “daya penciumannya” terhadap tindak kejahatan luar biasa ini. Rakyat juga harus peduli dan pro aktif memberikan informasi tentang berbagai hal yang patut dapat diduga bermuatan tindak pidana trafficking.

Dari sinilah, sudah seharusnya jika trafficking dicanangkan sebagai musuh rakyat. Siapapun pelakunya, mereka adalah musuh rakyat.