Rabu, 18 November 2009

Gerimis dan Orolan Senja Tanpa Makna

Oleh: Sidik Suhada

Gerimis belum juga berhenti. Suasana desa pun makin terasa sepi di penghujung senja ini. Hanya sesekali ada orang yang lewat, melintas dari teritikan rumah satu ke rumah yang lainnya. Ada yang membawa cangkul, ada yang membawa arit. Dari balik jenela, aku hanya bisa melihat samar wajah mereka yang mengenakan caping.

“Mampir, Kang,” sapaku dari balik jendela menghentikan langkahnya.
“Loh, kamu di rumah. Kapan pulang?” sautnya
Tanpa basa-basi, aku pun langung begegas membuka pintu tuk mempersilahkan Kang Darmin masuk rumah. “Mangga Kang, masuk dulu,” ucapku.

Melihat aku keluar, Kang Darmin pun langsung mendekat sambil mengulurkan tangannya mengajak berjabat tangan.
“Gimana kabarnya, pulang sendiri apa sama istri?”
“Ya sendiri lah kang, aku kan belum punya istri,” jawabku.
“Oh iya ya. Kapan mau menikah, entar keburu kiamat. Itu di tivi-tivi katanya 2012 mau kiamat loh.”
“Aduh...., Kang Darmin ini bisa aja. Itu ma bohong. Itu cuma film kang.”
“Hih, tapi gambarnya ngeri. Jadi takut. Andaikan benar-benar kiamat gimana yah?”.
“Emang kamu udah melihat filmnya?” tanyaku.
“Ya belum atuh. Di desa kan tidak ada bioskop. Tapi kita kan bisa melihat berita di tivi?”.

Mendengar jawaban itu, aku hanya bisa terdiam. Apakah ini yang dimaksud oleh Dekan Annenberg School of Communication di Universitas Pennsylvania Amerika Serikat, Prof. George Gerbner? Bisa jadi. Televisi memang sering dipandang sebagai jendela untuk melihat dan memandang apa yang ada di dalam fakta kehidupan ini. Sebagai sebuah media, televisi juga memiliki kekuatan efek yang maha dasyat. Apalagi, bagi masyarakat desa yang sebagian besar masih belum melek huruf. Televisi, tentu menjadi sebuah tontonan yang menarik tuk melepas lelah sepulang dari sawah. Esoknya, mereka pun bergunjing, mepersepsikan dan memberi opini atas apa yang telah dilihatnya di dalam televisi. Menurut mereka, itulah realita yang ada.

“Tapi kalau dipikir-pikir, kayaknya emang benar ya dunia ini akan segera kiamat,”sloroh Darmin memecahkan lamunanku.
“Kok bisa?” kejarku.
Darmin terdiam sesaat. Kemudian berkata, “Boleh saya minta rokok?”.
“Oh. Silahkan Kang,” kataku sambil mengulungkan rokok mild yang ada di meja.

Seasana hening sejenak. Darmin pun langsung mengambil rokok dan menyalakannya. Tak lama kemudian, pintu tengah rumahku terbuka. Si Mbok keluar sambil membawa pohung goreng dan dua gelas teh tubruk produksi Selawi yang menjadi kesukaanku. Rasanya khas, sedikit ada rasa sepet, tapi aroma bunga melatinya alami.

“Waduh, merepotkan aja nih,” celetuk Darmin basa-basi.
“Mangga, cuma wedang kendel,” Si Mbok ramah menawarkan hidangannya.
“Lah, ini ada temennya pohung goreng. Mantap nih,” selah Darmin menimpali.

Setelah mengeluarkan hidangan ala kadarnya, Si Mbok pun langsung pamit ke dapur lagi tuk melanjutkan masak. “Mangga, saya tinggal dulu ke dapur yah. Belum selesai masak nih.”
“Iya Mbok. Terimaksih ya Mbok,” timpal Darmin. Dan Si Mbok pun langsung bergegas meninggalkan kami berdua.

Walau hanya sekadar pohung atau singkong digoreng, suasana pun manjadi terasa hangat. Walau gerimis di luar masih terus mengalir tanpa henti. Sesekali gelegar suara petir dan kilat yang sangat menakutkan ini pun tak terasa. Sambil menikmati pohung goreng yang masih hangat, Darmin nampanknya ingin melanjutkan obrolannya.

“Ya kalau menurutku, kayaknya dunia ini emang akan segera kiamat. Buktinya kini jumlah orang baik semakin sedikit,” ujarnya.
“Apakah kamu sudah pernah menghitungnya?” potongku.
“Ya belum sih. Tapi kalau melihat berita di tivi, kini jumlah orang baik semakin sedikit”
“Kok bisa?” timpalku.
“ Iya soalnya, kini pejabat yang suka korupsi jumlahnya semakin banyak. Bahkan polis yang seharusnya menangkap penjahat, malah bekerja sama dengan penjahat. Buktinya, yang baik ditahan, yang jahat malah dibebaskan”, ujar Darmin berargumentasi.

Mendengar jawaban itu, aku hanya bisa terdiam. Darmin pun terus bercerita tanpa henti. Ia juga menceritakan bagimana hasil rekaman penyadapan KPK yang dibuka di Makamah Konstitusi itu sudah menjadi bukti nyata bahwa, para penegak hukum ternyata telah bekerja sama dengan para penjahat. Bahkan anggota DPR yang seharusnya dapat menyuarakan aspirasi rakyat, hanya bisa jadi “macan ompong” di hadapan Kapolri. Jika tidak mau disebut sebagai “humas” polri.

“Trus bagaimana ya nasib kita?” ucap Darmin lirih memecahkan lamunanku.
“Kita mau menanam padi saja, kesulitan bibit. Belum harga pupuk yang terus melangit. Sementara mereka yang di atas berebut duwit rakyat yang di dapat dari hasil pajak, dan lain-lain” imbuh Darmin.

Seperti anggota dewan, mendengar keluhan Darmin ini pun, aku hanya bisa diam. Sambil menghebuskan asap rokok ke depan. Ini memang sebuah ketimpangan. Untuk memberi subsidi kepada petani saja, pemerintah hanya mengalokasikan dana Rp 1,6 triliun. Bahkan jika kita melihat APBN 2010, subsidi pupuk menurun dratis. Dari Rp 17,5 triliun pada 2009, kini menurun menjadi Rp 11,3 triliun pada APBD 2010. Sementara untuk Bank Century, pemerintah berani mengeluarkan dana talangan sebesar Rp 6,7 triliun.

“Kok hanya diam aja sih,” celetuk Darmin membuyarkan pikiranku. “Mikir apa?” imbuhnya sambil tertawa.
“Ha...ha...ha...,” kami berdua pun tertawa bersama. Hingga tak terasa, hari pun sudah mulai gelap dan suara Adzan Maghrib sudah berkumandang. Darmin pun pamit pulang. Menerobos hujan dengan caping yang diselipi daun kanderi, yang dipercaya dapat penolak petir.

Sabtu, 07 November 2009

Kalah - Menang Rakyat Dirugikan

Ayo kita berfikir jernih. Dalam kasus “cicak vs buaya”, siapa diuntungkan dan siapa yang dirugikan? Jawabannya sangat mudah. Yang diuntungkan jelas koruptor dan mafia peradilan. Yang dirugikan jelas rakyat.

Saya tidak berniat membahas pihak yang diuntungkan. Karena sudah pasti para bedebah itu yang diuntungkan.. Yang menarik justru membahas pihak yang dirugikan yakni, rakyat. Bagaimana logikanya? Mudah dan terang. Jika “buaya menang” (sangkaan polisi terbukti dipengadilan, Bibit-Chandra dinyatakan bersalah), rakyat dirugikan karena anak kandung reformasi itu (KPK) telah mengkhianati “ibundanya”.

Sebaliknya, jika “cicak” yang menang (dakwaan tidak terbukti di pengadilan dan Bibit-Chandra divonis bebas ), tetap saja rakyat yang dirugikan, karena punya “buaya” kok bego. Padahal tidak kurang-kurang rakyat mengucurkan dana (APBN) untuk menghidupinya.

Nah, mungkinkah “cicak vs buaya” akan berakir “draw” di pengadilan? Jelas tidak mungkin karena ini perkara pidana. Selain itu, tidak ada dua kebenaran dalam satu perkara pidana yang saling “berhadapan” (Jaksa Penuntut Umum vs Terdakwa).

Sekali lagi, ayo kita berfikir jernih. Rakyat juga dirugikan jika buaya sampai kalah, karena memiliki Kejaksaan yang juga (maaf) bego, karena tidak bisa membuktikan kebenaran dakwaannya dalam persidangan. Padahal rakyat juga tidak kurang-kurang menghidupi lembaga ini dengan uang rakyat (APBN).

Kesimpulannya, rakyat tetap saja yang selalu dirugikan. Para pihak yang bertikai, paling-paling cuma merasa malu. Akhirnya, yang diuntungkan (tidak merugi dan tidak perlu malu) hanyalah koruptor plus mafioso peradilan.

Dimana posisi DPR dalam gonjng-ganjing “cicak vs buaya” tersebut? Saya tidak mau mengupas dalam tulisan pendek ini karena saya sudah merasa malu punya wakil rakyat yang cuma “segitu-gitu” aja kualitasnya. Selain malu, sejujurnya saja saya juga kecewa dan sakit hati karena punya wakil rakyat kok menentang arus kehendak rakyat.

Sekali lagi, percuma ngomongin DPR. Biar mereka rapat sampai subuh, apa sih manfaatnya buat rakyat? Malah bikin kecewa !!!

Jumat, 06 November 2009

Idealnya KPK itu tidak abadi

Oleh: Sidik Suhada

Keselamatan dan kesejahtaraan rakyat adalah hukum tertinggi (salus populi suprema lex). Kalimat mutiara itu tanpak jelas bahwa ”kilbat” didirikannya sebuah negara adalah rakyat. Meskipun tentu harus ada dua syarat yang lain agar ”kilbat” itu sempurna, yaitu adanya wilayah dan adanya pemerintahan yang berdaulat. Maka menjadi wajar dalam ”urat nadi” pemerintahan harus mengalir ”darah” keselamatan dan kesejahteraan rakyat.

Segala sesuatu rencana, strategi, dan aksi yang patut dapat diduga berakibat buruk atau merugikan keselamatan dan kesejahtaraan rakyat, menjadi layak disebut kejahatan. Salah satu kejahatan yang menduduki peringkat tertinggi dari segi akhibat buruknya terhadap keselamatan dan kesejahteraan rakyat adalah korupsi. Itulah sebabnya, korupsi disebut sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinari crime).

Bertolak dari pemikiran tersebut, setiap pemerintahan di negara bersistem apapun, menempatkan korupsi sebagai salah satu musuk utama. Tidak terkecuali di Indonesia. Orde Baru di bawah pemerintahan Suharto pun, menyakini hal itu. Buktinya, adanya UU No. 3/1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Institusi yang diserahi wewenang untuk melaksanakan UU tersebut adalah Kepolisian dan Kejaksaan. Namun, korupsi di era Suharto tetap merajalela.

Akselerasi penanganan pemberantasan tipikor lasimnya juga diproyeksikan dengan akselerasi penanganan program peningkatan kesejahteraan rakyat. Artinya, jika kuantitas dan kualitas tipikor menurun, maka perimbangan dampaknya adalah kuantitas dan kualitas kesejahteraan rakyat meningkat. Demikian pula sebaliknya.

Tak kala fakta berbicara,bahwa tipikor di Indonesia masuk lima besar tipikor di dunia, dan jumlah penduduk miskin (belum termasuk pengangguran) meningkat, opini tersebut di atas menjadi benar. Menyikapi realitas itulah penyelenggara pemerintahan (eksekutif dan legislatif) pada era reformasi memandang perlu melahirkan sebuah institusi yang diberi kewenangan khusus untuk menangani pemberantasan tipikor.

KPK Lahir
Dalam suasana batin bangsa yang gundah menyikapi tingginya angka korupsi di Indonesia yang seiring dengan masih tingginya angka kemiskinan, munculah tekad bersama untuk membentuk institusi superbody. Institusi ini tidak hanya memiliki kewenangan khusus tapi juga kewenangan ekstra sebagai sebuah institusi superbody. Ini terjadi pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Bersama DPR RI periode 1999-2004, pemerintahan Megawati berhasil melahirkan UU No.30/Tahun 2001 tentang KPK.

Sempat muncul pertanyaan, mengapa perlu ada KPK? Bukankah sudah ada Kepolisian dan Kejaksaan. Bahkan di kepolisian ada bagian yang khusus menangani tindak pidana khusus (korupsi). Begitu juga di Kejaksaan, mulai dari bawah sampai atas ada Kasi Pidsus (Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus di Kejaksaan Negeri Kota/Kabupaten), dan bahkan di Kejaksaan Agung ada JAM Pidsus ( Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus). Pertanyaan berikutnya, mengapa pula perlu ada Pengadilan Khusus Tipikor? Bukankah sudah ada Pengadilan Umum?

Lima tahun lalu itu, memang sempat terjadi pro-kontra atas kelahiran ”jabang bayi” KPK. Pro-kontra itu akhirnya mereda dengan adanya pengertian yang benar tentang latar belakang kelahiran KPK. Intinya, tugas Kepolisian sangat komples dalam wilayah yang sangat luas dan jumlah personil yang tidak sebanding ideal dengan jumlah penduduk. Akhibatnya fokus penanganan Kepolisian tidak bisa hanya pada penanganan tipikor. Kasus-kasus lain diranah Pidum (pidana umum) secara kuantitas dan kualitas juga luar biasa banyak/tinggi. Masih ditambah lagi dengan tugas kepolisian menangani tindak pidana yang tidak kalah hebatnya dalam konteks membahayakan keselamatan dan kesejahteraan rakyat yaitu, terorisme.

Demikian pula yang terjadi pada institusi Kejaksaan. Pernah sempat dicoba mengawinkan keduanya lewat pembentukan institusi Timtas Tipikor (Tim Pemberantasa Tipikor). Namun, hasilnya juga dinilai belum maksimal seperti yang diharapkan oleh banyak pihak.

Pihak yang perbendapat lain (sekeptis) memang meyakini Kepolisian dan Kejaksaan tidak mampu melaksanakan amanat pemberantasan tipikor. Jadi keberadaan KPK mutlak perlu. Terlepas dari pro kontra tersebut, saya berpendapat institusi Kepolisian dan Kejaksaan yang berada di domain penegakan hukum telah mendapat ”saudara angkat” bernama KPK yang bertugas ”menutup lubang” kekurangan atau kelemahan Kepolisian dan Kejaksaan terkait pemberantasan Tipikor.

Logikanya, KPK adalah lembaga ”darurat” yang membantu Kepolisian dan Kejaksaan dalam memberantas kejahatan luar biasa bernama korupsi. Sampai pada tingkat pemahaman ini, sewajarnya Kepolisian dan Kejaksaan berterimakasih karena diuntungkan (dibantu) oleh KPK dalam menangani sebagian dari beban dan tugasnya.

Jika ada pemikiran di internal Kepolisian dan Kejasaan (sekali lagi jika) KPK harus dilemahkan karena dianggap ”merusak” citra dan wibawa Kepolisian serta Kejaksaan, pemikiran tersebut sungguh-sungguh keliru. Kecuali bila keberadaan KPK untuk memperkuat gerak para koruptor dalam menggarong uang rakyat.

Tidak Abadi
Bertolak dari pemikiran tersebut di atas, secara ideal KPK memang seharusnyalah tidak abadi (tidak selamanya ada). Mengapa demikian? Karena jika KPK abadi maka hal tersebut berati abadi pula ketidak mampuan Kepolisian dan Kejaksaan dalam menangai pemberantasan tipikor.

Pemikiran ideal, Kepolisan dan Kejasaan harus terus menerus meningkatkan profesionalismenya, terutama dalam konteks pemberantasan tipikor. Tidak ada jalan lain untuk mewujudkan hal ideal tersebut kecuali Kepolisian dan Kejaksaan harus mereformasi diri secara total. Reformasi tersebut harus pula didukung oleh reformsi sistem peradilan yang makin berkualitas.

Pernyataan Kapolri dihadapan Komisi III DPR, Kamis malam (5/11) kemarin, memberikan singal kearah ideal tersebut. Jendral Pol Bambang H Danuri bahkan meyakinkan Komisi III bahwa memasuki 2010 tidak boleh ada lagi polisi yang aneh-aneh. Hal itu bisa dimaknai bahwa profesionalisme menjadi titik fokus Polri ke depan.

Persoalannya adalah tidak ada deadline tentang kapan Kepolisian dan Kejaksaan yang profesional, mampu menangani pemberantasan korupsi seperti yang telah ditunjukan oleh KPK selama ini? Hal tersebut penting agar ada etape-etape program reformasi di internal institusi tersebut.

Kelak, jika Kepolisan dan Kejaksaan sudah benar-benar professional, kredibel, dan akuntabel dalam menangani kejahatan luar biasa (korupsi) tersebut, idealnya KPK ditiadakan. Kelahiran KPK berdasarkan UU, maka peniadaannya pun harus berdasarkan UU. Nah, kapan yang ideal itu bisa terwujud? Saya sadar pertanyaan tersebut sulit dijawab sekarang. Terlebih lagi rakyat telah disuguhi ”sinetron cicak vs buaya”.

Satu hal yang penting, dan patut diketahui publik di dalam institusi KPK sesungguhnya ada ”darah” kepolisian dan kejasaan. Intinya para penyidik KPK (jumlahnya lebih dari 100 orang adalah anggota polri). Dan para penuntut di institusi KPK adalah para jaksa dari institusi Kejaksaan. Jadi KPK itu, sesungguh-sungguhnya merupakan perpaduan tiga institusi yaitu, Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK itu sendiri. Kalau mereka bertikai, jadi lucu kan?!

Letusan “Gunung Century” Akan Lebih Dasyat

Oleh: Sidik Suhada

Saya bukan praktisi hukum atau pengamat hukum. Bukan pula politisi atau pengamat politik. Bukan pula orang yang berada di domain kekuasaan. Namun, dengan logika awam saya, tanpa bermaksud menyaingi Mama Lorens, menurut prediksi saya akan muncul kasus yang jauh lebih besar daripada cicak vs buaya. Bahkan kasus besar tersebut akan memiliki daya letusan yang jauh lebih dasyat.

Kasus besar dimaksud adalah megatalangan BI untuk Bank Century yang telah menyedot uang rakyat Rp 6,7 triliun. Jumlah ini sepuluh kali lebih besar dari dana yang dibutuhkan untuk menangani pasca gempa di Sumatra Barat. Untuk membangun jembatan seperti Suramadu pun, masih tersisa sangat banyak.

“Daya letus” terdasyat akan mencuat dari sisi siapa saja penerima dana talangan itu. Kemudian akan merembet dan menguak dunia politik praktis pemilu 2009. Nah, siap-siapa saja itulah yang akan menghebohkan jagat publik, termasuk mereka yang terlibat dalam “kebijakan” pencairan megatalangan tersebut.

Indikator akan meledaknya kasus megatalangan tersebut tanpak pada empat pilar demokrasi (eksekutif, legislatif, yudikatif, pers). Dari eksekutif, Presiden SBY telah mengisaratkan tidak keberatan kasus century diungkap. Dari legislatif, desakan untuk melahirkan hak angket atas kasus tersebut semakin menguat. Bahkan Komisi III DPR RI yang membidangi hukum mendorong KPK segera menangani kasus tersebut.

Dari segi yudikatif, MK pun telah memberi singal kepada KPK untuk mengusut century ketika menyidangkan permohonan uji materi atas UU KPK yang dimohonkan Bibit-Chandra. Dari kalangan pers, tanpak sangat kuat publikasi yang membentuk pendapat umum tentang arti penting pengungkapan kasus century bagi tegaknya hukum dan keadilan.

Di luar empat pilar demokrasi tersebut, tak kalah vital adalah opini tokoh-tokoh nasional, LSM, mahasiswa, dan berbagai komponen bangsa lainnya. Sebut saja, opini Gus Dur, Syafi'i Maarif, dan Din Syamsudin. Mereka bahkan tegas menyatakan adanya benang merah antara kasus century dengan kasus cicak vs buaya.

Ibarat gunung berapi, kasus “gunung century” kini baru “batuk-batuk”. Sesekali mengeluarkan awan panas yang disertai semburan matrial, walaupun belum meletus. Sedangkan bila diibaratkan gunung pula, kasus cicak vs buaya sudah meletus. Aliran lahar panasnya menerjang rasa keadilan masyarakat.

Prediksi saya, kelak setelah lahar panas dari letusan gunung cicak vs buaya mulai mendingin, giliran “gunung century” akan memuntahkan lahar panas yang jauh lebih dasyat. Bahkan Badan Meteorologi dan Geofisika sekalipun, akan kesulitan memprediksi daya letusan “gunung century”.

Boleh jadi para pihak yang merasa akan digilas lahar panas muntahan “gunung century” (karena merasa terlibat) sekarang sudah siap-siap “mengungsi”. Soal bagiamana mengungsinya, dan kemana, itulah yang harus diantisipasi oleh KPK. Sebaliknya, KPK pun juga harus siap-siap dengan berbagai langkah antisipatif yuridis menghadapi para calon pengungsi tersebut. Maka tidak tertutup kemungkinan KPK pun menggunakan jurus penyadapan lagi, dan hasil sadapannya dibuka dalam persidangan MK lagi. Nah, seru kan?

Etape Letusan
Tahap-tahap menuju letusan “gunung centuy” memang makan waktu. Prediksi saya, sebelum “meletus” memang akan terjadi tarik ulur dalam proses kelahiran hak angket di parlemen. Dari segi kuantitas, koalisi pendukung pemerintah memang lebih besar daripada koalisi penyeimbang (PDI–P, Hanura, dan Gerindra). Namun, demi pertimbangan akuntabilitas dan menjaga rasa keadilan masyarakat, beberapa fraksi oportunis pendukung pemerintah akan “menyebrang” ke kubu koalisi peyeimbang. Sebut saja antara lain, fraksi Golkar dan Fraksi PPP.

Sedang prediksi yang akan terjadi dieksekutif, akan muncul kesadaran yang lebih baik dalam konteks akuntabilitas pemerintahan dan pemenuhan rasa keadilan masyarakat. Dasar prediksi, karena batuk-batuknya “gunung century” terjadi pada 100 hari pertama pemerintahan SBY-Budiono. Sementara itu di yudikatif, telah dibuktikan oleh MK bahwa arus kekuatan rakyat dalam konteks terpenuhinya rasa keadilan masyarakat tidak mungkin bisa dibendung oleh kekuatan apapun. Maka MK pun tidak akan tinggal diam jika ada pemohon uji materi (dari manapun datangnya) terkait dengan penanganan megatalangan tersebut.

Sebagai pilar keempat demokrasi, media massa cetak mapun elektronika juga akan gencar mempublikasikan penanganan kasus “gunung century” dari berbagai aspek. Media massa pasti sadar, kasus tersebut menjadi perhatian utama publik. Maka dari segi bidang redaksi nilai beritanya (news value) tinggi. Dari segi bidang bisnis, bemberitaan itu juga berpotensi mendongkrak tiras/ reting. Memang itulah “roh” media massa dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Terutama fungsi kontrol dan edukasi.

Sekali lagi, tidak kalah menarik adalah respon dari kalangan tokoh-tokoh nasional seperti yang telah ditunjukan dalam kasus cicak vs buaya pasca penahanan Bibit-Chandra. Dalam kasus “gunung century” nanti, respon mereka yang didukung kekuatan rakyat akan jauh lebih dasyat.

Prediksi ini tidak bermaksud menakut-nakuti atau mendramatisasi suatu masalah. Justru sebaliknya, prediksi ini dimaksudkan untuk melahirkan langkah antisipatif mencegah timbulnya chaos (kerusuhan). Bagaimana pun sebagai sebuah bangsa yang besar, tetaplah rakyat dahulu yang dirugikan dan menderita jika sampai terjadi kerusuhan. Apalagi jika kerusuhan itu sampai ditunggai oleh berbagai kepentingan politik sesaat yang tidak berpihak kepada rakyat. Kaum oportunis pun akan kembali mengambil alih, dan rakyat kembali pada dunia derita.

Polisi Maju Kena, Mundur Kena

Polisi Maju Kena, Mundur Kena

Pasca pembebasan Bibit-Chandra, hal menarik yang menjadi perhatian public sekarang adalah Anggodo belum ditahan (sampai dengan 4 November malam). Mengapa menarik? Karena rekaman pembicaraan Anggodo dengan beberapa orang, termasuk petinggi Polri dan Kejaksaan Agung sudah tersebar luas di Publik. Itu terjadi setelah sidang MK, 3 November kemarin.

Saya bukan seorang yang akhli hukum. Bukan pula praktisi hukum. Namun, saya mencoba mengurai pertanyaan menarik tersebut (mengapa Anggodo belum ditahan) dari sisi logika awam.

Pertama, Bibit- Chandra ditahan polisi dengan sankaan melakukan tindak pidana pemerasan. Sangkaan tersebut merupakan sankaan terakir setelah berganti-ganti sangkaan. Logikanya, jika ada pemeras tentu ada yang merasa diperas. Siapa yang diperas?

Hingga siang tadi, kepeda pers Anggodo menyatakan merasa diperas. Dalam rekaman yang dibongkar pada persidangan MK, sama sekali tidak ada pernyataan yang bisa dimaknai sebagai pemerasan terhadap Anggodo. Justru sebaliknya, Anggodo dan beberapa lawan bicaranya, dalam pembicaraan per telepon sangat intens “mengatur” proses penyidikan hingga penyusunan BAP.

Logika awam saya, logiskah seseorang yang mengaku merasa diperas bisa melakukan intervensi begitu dalam terhadap proses penyidikan dan pemberkasan BAP (Bibit-Chandra) yang sedang ditangani penyidik? Jika harus menjawab secara jujur, hanya ada satu jawaban: Tidak logis!

Logika berikutnya, bertolak dari fakta setelah pembebasan Bibit – Chandra dari tahanan. Penyidik menegaskan berkas perkara Bibit – Chandra tetap diproses dan akan dikirim ke Kejaksaan. Hal itu berarti, penyidik telah memiliki alat bukti/barang bukti yang cukup dalam perkara yang disangkakan, yaitu pemerasan.

Kedua, Hingga 4 november malam, polisi menyatakan belum menetapkan Anggodo sebagai tersangka dan ditahan, meskipun telah diperiksa belasan jam. Ada dua fakta yang mengganggu, logika awam saya yang kurang paham hukum. Fakta pertama, ada sangkakan pemerasan dengan tersangka Bibit-Chandra dan Anggodo sebagai pihak saksi korban. Direkaman juga terungkap pengakuan Anggodo sebagai penyandang dana. Fakta kedua, terungkap dalam persidangan MK tentang intervensi Anggodo terhadap proses penyidikan dan pemberkasan BAP.

Dua fakta tersebut, bertolak belakang. Padahal tidak mungkin dua-duanya benar. Artinya, tidak ada dua kebenaran yang bertolak belakang. Jika Bibit-Chandra diproses dalam perkara pemerasan, logika awam saya mengatakan: mestinya Anggodo juga diproses dalam perkara rekayasa (intervensi) penyidikan dan pemberkasan BAP. Sebagai petunjuk awal, sekaligus alat buktinya adalah hasil rekaman yang telah dibuka dalam sidang MK.

Sampai pada pemikiran tersebut di atas, logika awam saya menyimpulkan: Polisi sekarang dalam posisi maju kena, mundur kena. Kongkritnya, jika menetapkan Anggodo sebagai tersangka dan ditahan, sangkaan terhadap Bibit-Chandra akan menjadi lemah. Bahkan bisa batal demi hukum. Padahal penyidik (polisi) tetap yakin atas kekuatan sangkaannya terhadap Bibit-Chandra dalam perkara pemerasan.

Sebaliknya, jika tidak menetapkan Anggodo sebagai tersangka dan ditahan, polisi dalam posisi ”bisa keliru”, karena alat bukti permulaan yang terungkap dalam sidang MK bisa dianggap cukup untuk melakukan hal itu (penangkapan/penahaan Anggodo). Alat bukti tersebut juga berhubungan kuat dengan delik (tindak pidana) murni, yaitu rekayasa perkara pidana. Penanganan delik ini tidak harus menunggu adanya pengaduan. Beda dengan pencemaran nama baik yang masuk delik aduan, untuk menanganinya harus ada pengaduan dari pihak korban.

Itulah sebabnya, ketua TPF Adnan Buyung Nasution pun mendesak polisi agar segera menangkap (memproses) Anggodo. Bukan hanya semata-mata kawatir Anggodo melarikan diri seperti kakanya. Namun, karena prosedur hukumnya memang demikian.

Sekarang polisi ibarat menghitung kancing baju: tahan, tidak, tahan, tidak....terhadap Anggodo. Nah, jadinya maju kena mundur kena.

Sekadar prediksi awam saja, jika Anggodo ditahan maka ”kubu” Bibit – Chandra akan segera memproses tuntutan kepengadilan terhadap kasus penahanan dua pimpinan KPK non aktif itu. Kemungkinan pertama, mengajukan pra-peradilan. Karena polisi telah melakukan penahaan dengan melanggar prosedur hukum tentang persyaratan penahaan. Salah satunya, syarat objektif yaitu ancaman hukuman di atas lima tahun, termasuk perkara pemerasan. Nah, kalo Anggodo ditahan berarti pemerasan itu rekayasa. Alias tidak ada pemerasan.

Kemungkinan kedua, bisa jadi kubu Bibit – Chandra melakukan tuntutan pidana sekaligus gugatan perdata. Dasarnya, akhibat sangkaan penyidik (polisi) Bibit- Chandra di non aktifkan. Hak keperdataannya antara lain, gaji dan tunjangan sebagai pimpinan KPK hilang atau hapus. Selain kerugian matriil tersebut, sangat mungkin akan ditambahi gugatan atas kerugian immatriil. Tercemarnya nama baik dan kredibelitas. Nominal gugatan immatriil ini bisa tidak terhingga.

Sekarang polisi dalam posisi dilematis. Bukan hanya soal maju kena mundur kena dalam perkara Anggodo tersebut, tapi juga soal sebutan ”cicak vs buaya”. Sebagai sebuah kemungkian, ya mungkin-mungkin saja pimpinan KPK akan melaporkan petinggi polri yang menyebut KPK sebagai ”cicak”. Sebab maknanya sangat jelas, mengecilkan dan mengkerdilkan KPK. Dan faktanya, tidak Cuma KPK yang tersinggung tapi juga RI-1 dan publik.

Mungkinkah akan ada class action terhadap pihak yang menciptakan istilah ”cicak” untuk mengirabatkan KPK? Nah. Makin rumitkan....? Sudah maju kena mundur kena, masih lilit soal meremehkan KPK.

Anggodo Bukan Hanoman

Oleh: Sidik Suhada

Dalam dunia pewayangan, sosok Anggodo itu digambarkan sebagai moyet. Satu rumpun dengan Hanoman, Si Wanaraseta ( moyet putih). Mereka adalah moyet yang baik. Bahkan masuk kategori pasukan pemukul reaksi cepat yang dimiliki negara Astina untuk menghadapi negara culas Kurawa. Itulah sebabnya, mereka disayangi Pandawa Lima. Bahkan juga disayangi para dewa di khayangan.

Namun, kisa heroik dan palupi (keteladanan) para moyet Astina di dunia pewayangan itu, jauh beda dengan di dunia nyata. Betapa tidak, sepak terjang kakak beradik Anggoro- Anggodo, telah mengoyak-ngoyak rasa keadilan masyarakat di negara Rebublik Indonesia.

Kepongahan dan keangkuhan mereka sebagai pengusaha berduit gede, menampilkan sosok yang menyatakan “segalanya bisa dibeli”. Hukum dibeli. Keadilan dibeli. Sistem dibeli. Sampai-sampai petinggi di dunia penegakan hukum pun dapat mereka beli.

Arogansi tersebut, terungkap gamblang dalam sidang Mahkama Konstitusi, 3 November,lalu. Tanpa sungkan-sungkan apalagi takut, beberapa kali Anggodo mencatur RI-1. Rakyat muak dan marah karena perbuatan Anggodo dikonotasikan bisa membeli pimpinan rebublik ini. Wajar rakyat muak, benci, dan marah pada sindikat pengusaha kayu jati asal Surabaya itu.

Konyolnya, sebelum sidang MK 3 November 2009, Anggodo melaporkan KPK telah mencemarkan nama baiknya, karena KPK dia tuduh menyebarluaskan transkip hasil penyadapan teleponnya. Belum jelas, apa iya dia punya nama baik?

Kekonyolan itu berubah bentuk menjadi kemunafikan dan kepengecutan setelah MK justru menyatakan hasil sadapan KPK harus dibuka kepada publik. Sebagaimana lazimnya pengecut yang pongah, dia buru-buru menyatakan permintaan maaf kepada RI-1 karena telah beberapa kali mencatut namanya. Saat ditanya wartawan, mengapa harus minta maaf? Anggodo dengan enteng menjawab, “Itu budaya timur”.

Hal menarik untuk dicermati, “budaya timur” yang mana yang dimaksudkan Anggodo?! Apakah mencatut nama kemudian ketahuan, disusul tindakan minta maaf, itu yang dia maksudkan budaya timur?! Rasa-rasanya, di Tiongkok sekalipun budaya timur seperti itu (diawali perbuatan pidana kemudian minta maaf) kok tidak ada yah.......?

Sekaranglah saatnya seluruh elemen bangsa ini bangkit, belajar, dan terus belajar mekanisme dalam sistem penegakan hukum di Rebublik ini. Dengan pengetahuan yang cukup dan benar tentang hal tersebut, rakyat menjadi mengerti dan cerdas. Hal tersebut diperlukan sebagai bekal untuk melakukan kontrol terhadap siapapun (terutama para penegak humum) yang patut dapat diduga akan/telah melakukan “perselingkuhan hukum” dengan mafioso peradilan seperti Anggodo.

Tidak berlebihan jika di negeri yang luas dan besar ini masih sangat banyak “ Anggodo-Anggodo” lain yang bebas berkiprah dengan berbagai modus operandi dan beragam jurus alibi. Saatnya kini mereka kita jadikan musuh bersama. Merekalah bahaya laten terwujudnya negara yang adail dan makmur.

Permintaan Maaf Anggodo Tidak Menghapus Tindak Pidananya

Oleh: Sidik Suhada

Permintaan maaf Anggodo tidak serta merta menghapus tindak pidananya. Ada pepatah, mana ada maling mengaku secara ikhlas. Dalam kehidupan nyata, juga tidak jarang tersangka mengaku setelah digebugi.

Dalam kasus percakapan Anggodo dengan beberapa pihak yang disadap KPK dan dibuka dalam persidangan MK, 3 November 2009, sesungguhnya ada beberapa pasal pidana yang telah dilanggar. Sebut saja antara lain, pencatutan nama RI I oleh Anggodo. Paling tidak hal tersebut membuat perasaan tidak enak pada diri Presiden. Tindak pidana tentang hal itu diatur dalam pasal 335 KUHP.

Berikutnya, Anggodo menyebut beberapa nama dengan nada mengatur, membikin skenario, mendikte, mempengaruhi, dan bahkan bisa dimaknai juga menghasut aparat yang sedang menangani perkara pidana. Tindakan Anggodo tersebut juga merupakan perbuatan pidana. Tidak saja pidana umum yang diatur dalam KUHP, tapi juga pidana khusus terkait dengan perkara korupsi kakak-nya (Anggoro) yang diatur dalam UU No 31/Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi UU No 20/Tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi.

Jika semu elemen bangsa, teristimewa primus interpares (aparat penegak hukum) benar-benar mencintai Indonesia sebagai negara hukum, permohonan maaf Anggodo tidak boleh menutup perbuatan pidana yang telah dia lakukan tersebut. Artinya, permohonan maaf Anggodo tidak serta merta menghapus sederet perbuatan pidananya, baik dalam koridor pidana umum mapupun pidana khusus.

Dengan demikian, Anggodo tetap harus diproses secara hukum dengan bukti permulaan yang patut dianggap cukup yaitu, rekaman pembicaraannya seperti yang telah terungkap dalam sidang MK. Guna memenuhi rasa keadilan masyarakat maka tidak ada kata lain: Tangkap dan Proses Anggodo sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Tak Ada Pemain Tunggal
Jika kita jernih mencermati kegigihan Anggodo membantu kakanya (Anggoro) yang dililit perkara korupsi, segera kita bisa menyimpulkan bahwa Anggodo tidak mungkin menjadi pemain tunggal. Posisi Anggodo ibarat tangan di bawah (meminta tolong) agar kakanya lolos dari jerat hukum. Pertanyaan yang menari: dengan siapa saja, dan kepada siapa saja dia minta tolong? Itulah motif awal yang harus dibongkar.

Dalam rekaman pembicaraan Anggodo dengan sejumlah pihak yang diperdengarkan dalam sidang MK, ternyata jawaban atas pertanyaan tersebut di atas cukup banyak. Dia “minta tolong” kepada beberapa oknum pejabat di Mabes Polri dan Kejaksaan Agung. Bahkan juga kepada mantan pejabat tinggi di institusi Kejaksaan Agung.

Memang masih perlu pembuktian, apakah nama-nama pejabat tinggi yang disebut Anggodo dalam percakapan telepon tersebut benar-benar terlibat secara formil maupun matriil. Itulah sebabnya mereka yang disebut namanya perlu diklarifikasi.

Jika ditemukan cukup bukti bahwa mereka terbukti “menolong” maka mereka pun patut dinyatakan sebagai tersangka perkara rencana penyuapan yang direkayasa menjadi pemerasan dengan korban Bibit-Chandra. Perlu juga dilacak apakah gol targetnya pelemahan KPK dengan sasaran antara Bibit-Chandra.

Anggodo “Saksi Mahkota” Kriminalisasi KPK

Oleh: Sidik Suhada

Misteri kriminalisasi terhadap “cicak” (KPK) makin terkuak. Kesadaran dan rasa keadilan publik sontak menggelegak marah, terkejut, bahkan terpana. Demikian bobroknya riwayat penegakan hukum di Rebublik ini. Bahkan menjadi sejarah terbutuk sejak setelah peristiwa 1965, dalam konteks terkoyak-koyaknya rasa keadilan publik.

Hal tersebut, merupakan kristalisasi perenungan setelah mendengarkan rekaman hasil penyadapan KPK dalam kasus “cicak vs buaya” yang dibentangkan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Majelis Makamah Konstitusi, Selasa, 3 November 2009.

Kini semua elemen bangsa tidak boleh berhenti setelah marah, terkejut, dan terpana. Harus ada gerakan mendorong pimpinan bangsa ini agar aparat penyidik segera menangkap embrio penimbul masalah itu. Yaitu, kakak beradik Anggoro dan Anggodo. Sang kakak, Anggoro sudah ditetapkan sebagai tersangka perkara korupsi oleh KPK, dan hingga kini menjadi buron. Sang adik, Anggodo yang bebas di luar, terus “nggacor” mengatur sekenario agar antar institusi penegak hukum di negeri ini bertikai. Peliknya, oknum-oknum dalam institusi penegak hukum rela dijadikan kaki tangannya untuk mewujudkan motif kakak beradik yang mungkin bermarga Ang itu.

Moral oknum pun berguguran “seharga” miliraan rupiah. Sementara negara dirugikan lebih banyak lagi. Jika begini kita harus ingat pepatah Belanda; “Siapa menabur angin, akan menuai badai”. Sekarang jelaslah sudah, ada tiga titik dalam satu segitiga yang menabur angin. Maka semestinya merekalah yang menuai badai.

Satu titik sudah sangat nyata sebagai “penabur angin” yaitu, Anggodo. Demi terpenuhinya rasa keadilan masyarakat yang sudah terkoyak-koyak, seharusnya Anggodo segera “menuai badai” (ditangkap dan diproses secara hukum).

Ia tersangka, sekaligus “saksi mahkota” bagi calon tersangka lainnya dari dua titik segitiga yang lain. Jika Anggodo tidak segera ditangkap, maka penuntasan kasus kriminalisasi KPK akan menguap. Penangkapan terhadap Anggodo, patut dapat diperkirakan sudah memenuhi syarat objektif dan syarat subjektif penangkapan penahanan tersangka.

Syarat objektif penangkapan dan penahanan adalah, ancaman hukuman dari pasal yang disangkakan lima tahun penjara lebih. Dalam konteks suap ini, dengan menggunakan UU Tipikor No 31/Tahun 1999, ancamannya jelas di atas lima tahun. Sedangkan syarat subjektifnya diatur dalam pasal 21, ayat (1), UU No 8/tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana/ KUHAP. Rincinya, dikawatirkan melarikan diri, merusak barang bukti, mengulangi perbuatannya. Tiga syarat subjektif tersebut sangkat mungkin dipenuhi Anggodo jika dia tidak segera diringkus.

Dari prespektif kebanggaan berbangsa dan bernegara, perbuatan kakak beradik Ang tersebut, jelas-jelas berpotensi makin memperparah citra Indonesia sebagai negara terkorup di dunia. Perbuatan mereka membuktikan bahwa mereka sebagai WNI tidak memiliki kebanggaan terhadap Indonesia Raya. Nasionalisme kakak beradik Ang tersebut patut kita pertanyakan, bahkan kita persoalkan. Jangan sampai hanya oleh perbuatan mereka, akhirnya berbagai elemen bangsa membenci etnis tertentu. Lebih mengkawatirkan jika kebencian itu, bereubah menjadi kemarahan massal.

Segera setelah ditangkap, ditahan, dan diproses, seharusnya juga diikuti tindakan serupa terhadap orang-orang yang patut dapat diduga terlibat seperti yang sudah terungkap dalam rekaman hasil penyadapan KPK. Baik dari institusi Polri maupun Kejaksaan. Agar proses hukum berjalan fair, sudah seharusnya siapapun oknum pejabat yang disangka terlibat harus segera dinon aktifkan (dicopot dari jabatannya).

Sekali lagi, hal tersebut untuk memenuhi unsur fair-nya penanganan sebuah perkara. Tidak perlu ada lagi ewuh pakewuh (segan) karena sudah non aktif. Hnaya dengan demikian itulah, pengungkapan motif tindak pidana, sekaligus pengungkapan kebenaran formil dan kebenaran matriil sebuah perkara bisa diangkat secara jernih.

Semoga kejernihan itu masih ada dibenak para primus interpares (aparat penegak hukum) di negeri ini.

Apakah Negeri ini “Republik Anggoro”?

Oleh: Sidik Suhada

Ngeri deh...., setelah mendengarkan rekaman hasil penyadapan KPK yang dibuka dalam persidangan MK Selasa, 3 November 2009. Rebublik ini sesungguhnya milik siapa? Apa milik nenek moyang Angoro-Anggodo dengan sanak kerabatnya, Sugriwa-Subali..?!

Dinasti mereka tanpaknya begitu berkuasa di negeri ini. Bisa mengatur bahkan mengobok-obok institusi penegak hukum seperti Kepolisian dan Kejaksaan agung. Jika rasa keadilan yang tumbuh di hati saya benar, berati Presiden SBY kini punya saingan berat. Siapa yang paling punya hak prerogatif menurut konstitusi? Jangan-jangan hak itu kini sudah dimiliki dinasti Anggoro-Anggodo. Buktinya, sejumlah oknum petinggi di Kejaksaan Agung dan Mabes Polri, tak berdaya di ko'en- ko'enkan (kamu-kamukan). Diperintah dan didikte oleh “dinasti hebat” itu.

Seingat saya, dinasti Anggoro – Anggodo tidak ikut sebagai kontestan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009. Bahkan jangan-jangan mereka malah golput. Yang bikin penasaran saya, kok bisa sekuasa itu yah, sampai-sampai ada oknum peting lembaga penegak hukum yang memanggil dia sebagai “Bos”.

Sudah sedemikan hancur leburkah kondisi penegakan hukum sekaligus ketaatan hukum di Indonesia? Salahkah bila rakyat muak dan marah? Berlebihahan kah jika rakyat yang merasa keadilan telah di injak-injak dan akhirnya bersatu padu melahirkan kekuatan rakyat yang sebenarnya?

Jika semua itu terwujud, (sekali lagi jika), dan presiden masih belum bergerak cepat bukan mustahil akan terjadi kerusuhan seperti Mei 1998. Reformasi jilid I (1998), tak mustahil akan terulang kembali sekarang. Jika sudah demikian, mampukah pemerintah dengan segala perangkatnya membendung gerakan rakyat yang sudah marah itu?

Senyampang (mumpung), semua kekewatiran itu belum terjadi, Presiden yang membawahi langsung Polri dan Kejaksaan pelu segera ambil “sapu” dan “pel”. Segera “sapu bersih” (copot dari jabatan) oknum-oknum petinggi didua institusi tersebut yang patut dapat diduga dan telah ada bukti permulaan yang cukup, melakukan tindakan yang menodai Republik Indonesia sebagai negara hukum.

Setelah “sapu bersih” segeralah “dipel” dengan cara menempatkan orang-orang bersih untuk menduduki pos-pos jabatan yang telah bersih dari oknum-oknum pejabat brengsek. Tindakan kongkrit tersebut, sangat berpotensi memulihkan kepercayaan masyarakat kepada dua lembaga tersebut. Lebih dari itu, juga bisa segera mengobati sakit hati publik yang rasa keadilannya telah dikoyak-koyak.

Semoga Majelis Makamah Konstitusi yang menyidangkan perkara “buaya vs cicak” ini mampu menjatuhkan putusan yang memenuhi rasa keadilan publik. Selanjutnya, “cicak “ KPK semakin tumbuh besar, kuat, dan berkinerja hebat melahap koruptor yang telah membikin sengsara 220 juta rakyat republik ini. Kelak tidak ada lagi “cicak”, karena sudah tumbuh besar. Bahkan lebih kuat daripada “buaya”.

Andaikata Saya Seorang Pimred

Oleh: Sidik Suhada

Sebagai seorang Pemimpin Redaksi (Pimred), ini seandainya, saya tentu paham apa yang dimaui komunikan media saya. Dari sudut pandang bisnis media, saya juga pasti tahu apa yang dikehendaki oleh penyandang dana (owner) media saya. Inilah dua bilik jantung dalam kehidupan perusahaan media. Bilik kanan bidang redaksi, dan bilik kiri bidang usaha/ bisnis.

Sebagai seorang pimred, sekali lagi seandainya, kiblat saya terhadap kepentingan dua bilik jantung tersebut tentu saya pedomani. Maka, jangan harap saya hanya akan memikirkan bilik redaksi saja, setelah saya dipertemukan dengan Kapolri oleh Menkominfo. Boleh-boleh saja Kapolri menghimbau saya untuk mengubah cita rasa publikasi media saya. Namun, sekali lagi saya tetap harus secara bijak menerapkan kesetaraan dan keseimbangan antara bilik redaksi dengan bilik bisnis media saya.

Di bilik redaksi, seandainya saya, mengubah cita rasa dan gaya publikasi media saya, sehingga memenuhi harapan si pengimbau (Pemerentah, Polri) bisa jadi saya malah blunder. Pertama, saya tidak melaksanakan fungsi media terutama edukatif, kontrol sosial, dan keberpihakan rasa keadilan masyarakat.

Perubahan citra rasa dan gaya pemberitaan yang merugikan dari segi edukatif, terjadi jika saya sebagai pimred tidak menurunkan pemberitaan tentang fakta peristiwa dan fakta pendapat terkait dengan terkoyak-koyaknya rasa keadilan masyarakat. Dari segi kontrol sosial, jika hal serupa saya lakukan, saya justru menjadi penghianat bagi perjuangan pers untuk mewujudkan keadilan dan demokratisasi. Saya mengingkari eksistensi Pers sebagai pilar keempat demokrasi. Dari segi keperbihakan terhadap rasa keadilan masyarakat, justru malah seharusnya hal tersebut saya blow up di media saya sebagai bentuk pertanggungjawaban moral media. Itulah “roh” media yang tidak boleh mati hanya oleh ibauan, jumpa pers, apalagi oleh tekanan.

Pers tak pernah mengenal istilah “68”. Kecuali Pers tersebut memang milik komunitas jurnalis grandong yang tidak pernah tahu dan memahami empat fungsi pers, UU Pers, dan kode etik jurnalis.

Kedua, sekarang kita tinjauan dari sisi bisnis media. Bodoh-bodohnya saya, jika perhatian publik terhadap satu kasus/masalah tidak saya blow-up secara bertanggungjawab, hanya oleh karena adanya ibauan, jumpa pers, atau tekanan sekalipun. Sebab, jika hal itu terjadi, media saya akan ditinggalkan khalayak komunikan. Karena, dianggap tidak mampu menyalurkan aspirasi publik yang sedang menggelora. Ujung-ujungnya, media saya akan sakit karena ditinggalkan oleh khalayak komunikan. Dan dalam tempo relatif yang tidak lama, media saya akan sekarat, lantas mati seiring dengan tersumbatnya “bilik jantung kiri” perusahaan media saya.

Akhirnya tidak mungkin media saya hidup dengan hanya satu jantung, yaitu jantung bidang redaksi. Jadi kedua jantung itu akhirnya sama-sama terkatup. Segala saluran pembuluh darah tertutup. Darah berhenti mengalir. Ujungnya, media saya inna illahii wa inailahii rajiun.....

Jika ada banyak media yang mengalami nasib seperti media saya (mati) persoalannya bukan pada munculnya pengangguran dari kalangan eks pekerja media. Lebih dahsyat dari itu adalah, tumbangnya salah satu pilar demokrasi. Dampak susulan berikutnya yang tidak kalah dahsyat adalah, pembodohan masyarakat akan berlangsung masif, seiring tumpulnya kontrol sosial media. Akhirnya, lahirlah kekuasaan yang otoriter.

Segera Reformasi Polri dan Kejaksaan

Oleh: Sidik Suhada

Gonjang-ganjing penahaan Bibit-Chandra yang diinterprestasikan sebagai Polri vs KPK, seharusnya berhikmah positif. Hikmah itu adalah, memetik momentum tentang betapa vitalnya untuk segera mereformasi total institusi polri dan kejaksaan. Agar rasa keadilan rakyat tidak selalu terkoyak-koyak.

Polemik pasca penahaan Bibit-Chandra, muncul karena arogansi kewenangan dan kekuasaan Polri yang merasa terancam setelah tersebar luasnya transkrip pembicaraan yang diduga Anggodo dengan oknum yang diduga petinggi Polri dan Petinggi Kejaksaan. Transkrip tersebut diperoleh dari hasil penyadapan KPK sewaktu Bibit - Chandra masih aktif.

Hal lain yang bermuatan arogansi, sejak awal sangkaan terhadap Bibit-Chandra berubah-ubah. Mulai dari penyalahgunaan wewenang, berubah menjadi suap, berubah lagi menjadi pemerasan. Lucunya, alat bukti sebagaimana diatur dalam pasal 184 KUHAP (Hukum Acara Pidana), justru bertentangan dengan sangkaan, setelah sangkaan ditindaklanjuti dengan penyidikan. Kongkritnya, ketika Bibit-Chandra disangka dengan delik suap, saksi Ari Muladi balik mencabut kesaksiannya yang menyatakan telah menyuap Bibit-Chandra.

Berdasarkan pasal 184 KUHAP, keterangan saksi adalah alat bukti. Ketika keterangan saksi itu dicabut maka tidak ada lagi alat bukti. Sehingga Polisi kebingungan jika tetap membidik Bibit-Chandra dengan pasal suap tersebut. Akhirnya digantilah pasal pemerasan. Ini pun alat bukti sebagaimana diatur KUHAP oleh pihak Bibit-Chandra dinilai sangat lemah. Siapa memeras siapa, dimana, kapan, barang buktinya apa, semua masih misteri.

Jika Anggoro ataupun kakanya (Anggodo) yang buron itu memang benar-benar diperas, mestinya mereka diperiksa sebagai saksi korban agar kebutuhan penyidik tentang alat bukti (pasal 184 KUHAP) terpenuhi. Demikian pula pemeriksaan terhadap Ari Muladi yang telah mencabut kesaksiannya.

Arogansi Polri berikutnya, tidak memperhatikan rasa keadilan yang berkembang di masyarakat dan rasa kepatutan dalam konteks penangkapan dan penahanan Bibit – Chandra. UU tentang Hukum Acara Pidana mengamanatkan syarat penahanan tersangka tindak pidana. Pertama, patut diduga berpotensi melarikan diri. Dua, patut diduga berpotensi merusak barang bukti. Ketiga, patut diduga mengulangi perbuatan pidananya (pasal 21 Ayat 1 KUHAP).

Tiga persyaratan penahanan tersebut, patut dan layakkah diterapkan kepada Bibit- Chandra?

Katakanlah, sejelek-jeleknya Bibit, mungkinkah purnawirawan Perwira Tinggi Polri itu (Akpol angkatan 1970) melarikan diri? Mungkinkah Bibit akan merusak barang bukti ketika yang dimaksud “barang bukti” itu masih absurd? Mengulangi perbuatan yang disangkakan, perbuatan yang mana? Sebab sangkaan polisi terhadap Bibit berubah-ubah.

Begitu juga dengan Chandra. Seorang tokoh muda, dosen hukum UI, anggota tim seleksi KPK, mungkinkah melarikan diri dari sangkaan yang berubah-ubah. Sehingga logika awam pun menyimpulkan penangkapan Bibit – Chandra adalah perbuatan yang dipaksakan dan dilegalkan berdasarkan kewenangan menahan (bukan hak menahan). Inilah yang dinilai mengoyak rasa keadilan masyarakat dan publik.

Secara filosofis, semestinya Polisi punya semboyan: “Lebih baik membebaskan 100 penjahat daripada menahan 1 oarng yang tidak bersalah”.

Reformasi Status
Sebagai penyayom masyarakat yang sudah pasti juga penegak hukum, tugas pokok dan fungsi (tupoksi) polri berada diranah Kamtibmas. Tanpa bermaksud meniru sistem di negara lain, idealnya Polri di bawah “naungan” Departemen Dalam Negeri. Sebagaimana halnya TNI setelah reformasi 1998, berada dalam “rumpun” Departemen Pertahanan.

Hal tersebut tidak berati semata-mata menjadikan Polri sebagai “sipil yang dipersenjatai”. Namun, lebih dimaksudkan untuk mempertajam, sekaligus untuk meningkatkan kualitas kinerja yang terkait dengan tupoksi Polri.

Memposisikan Polri menjadi bagian dari Departemen Dalam Negeri, sekali lagi tidak seharusnya dimaknai mengkerdilkan Polri. Justru sebaliknya, agar Polri bisa lebih fokus sebagai pengayom masyarakat dalam ranah keamanan dan ketertiban masyarakat. Hal itu sangat relevan dengan tugas Polri sebagai hamba hukum yang berkewajiban menegakan hukum.

Patut dapat diperkirakan secara positif, tidak akan lagi muncul arogansi. Dengan demikian, tidak mungkin ada lagi sikap atau pandangan mengkerdilkan institusi lain misalnya, mengibaratkan KPK sebagai Cicak (mahluk kecil dan lemah). Perumpamaan itu jelas-jelas mengandung unsur pidana sebagaimana diatur dalam pasal 335 KUHP (perbuatan tidak menyenangkan).

Sedangkan mengibaratkan Polisi sebagai buaya (mahluk besar/ binatang buas) tentu juga bermakna sangat negatif. Betapa tidak negatif, bangkai pun dimakan oleh buaya. Apalagi mahluk hidup. Menjadi wajar seandainya Kapolri sendiri juga tersinggung karena institusi yang dia pimpin diibaratkan buaya.

Bertolak dari hal tersebut di atas, sudah seharusnya dilakukan reformasi total terhadap institusi Polri yang menyakut tupoksinya demi kebaikan dimasa mendatang. Itulah sebabnya, seluruh anggota DPR-RI, baik yang berada dibarisan koalisi pemerintah, maupun yang berada di luar barisan koalisi mampu memetik hikmah peristiwa buaya vs Cicak. Dengan segera merumuskan RUU Penyempurnaan UU Nomor 2/ 2002 tentang Polri. Jika hal tersebut dilakukan, degradasi citra Polri tidak terus berlangsung. Kepercayaan masyarakat kepada Polri pun akan semakin membaik.

Begitu juga institusi Kejaksaan. Diakui atau tidak, fakta yang berkembang dan “hidup” dalam pandangan masyarakat, kepercayaan dan rasa hormat masyarakat kepada institusi kejaksaan kini sudah semakin luntur. Banyak kasus sebagai pemicunya. Initinya adalah, menyangkut kredibelitas aparat kejaksaan sendiri. Balada Jaksa UTG yang tertangkap tangan menerima suap dalam kasus Tipikor Samsul Nursalim melalui Artalita, hanya salah satu contoh yang merobek-robek rasa keadilan masyarakat.

Kisah-kisah sumbang tentang masih adanya oknum jaksa-jaksa “nakal” membikin muak masyarakat dan membikin publik semakin tidak bersimpati kepada institusi ini. Kali ini, pemicunya justru percakapan yang diduga terjadi antara oknum petinggi Kejaksaaan Agung dengan Anggoro dalam kasus yang akirnya dinilai sebagai rencana besar mengkriminalisasi KPK.

Pembentukan Tim Pencari Fakta yang diketuai Adnan Buyung Nasution dalam konteks perkara dugaan kriminalisasi KPK, jangan harap akan membuahkan hasil maksimal dalam bentuk pulihnya kepercayaan dan rasa hormat masyarakat kepada Polri dan Kejaksaan, jika tidak ditindak lanjuti dengan reformasi total dua institusi penegakan hukum tersebut. Apalagi TPF hanya melulu mencari fakta dan tidak dilengkapi kewenangan menjatuhkan sanki, kecuali hanya rekomendasi/saran kepada Presiden.

Belum lagi jika Pembentukan Tim Pencari Fakta yang dilakukan oleh Presiden ini, hanya sekedar “banyolan politik” yang sengaja dilontarkan oleh Presiden untuk meredam radikalisme masyarakat. Agar seolah-olah Presiden benar-benar telah melakukan sebuah tindakan kongkrit dalam polemik ini. Sehingga jika Tim Pencari Fakta ini gagal, masyarakat yang sudah terlukai ini tidak menyerang Presiden. Melainkan berbalik menyalahkan Tim Pencari Fakta.

Karena itu, rasanya teramat berat memulihkan kepercayaan dan rasa hormat masyarakat kepada polri serta kejaksaan tanpa langkah serius dan kongkrit mereformasi dua institusi tersebut.

Polisi Berwenang Menahan, Bukan Berkah

Wakil Kabareskrim Mabes Polri, Irjen Pol Dikdik Mulyana menegaskan, “ Mulai hari ini penyidik akan gunakan hak untuk menahan tersangka.....” (Kompas, 30/10/2009).

Saya bukan orang hukum, tapi saya merasa ada sesuatu yang janggal dan mengganjal logika istilah atau terminologi yang digunakan Wakabareskrim Irjen Pol Dikdik Mulyana tersebut. Saya berpendapat, terminologi “hak” yang dipakai oleh Wakabareskrim tersebut, jelas berfrase atau mengandung rasa kata yang arogan. Karena, dalam hukum positif terminologi yang patut dan seharusnya digunakan adalah “wewenang” atau “kewenangan”. Bukan “hak”.

Jadi di dalam negara rechtstaat (negara berdasarkan hukum), bukan machstaat (negara berdasarkan kekuasaan), seharusnya Wakabareskrim menggunakan terminologi “wewenang” atau “kewenangan”. Maka kalimat yang santun, patut, dan layak diucapkan semestinya berbuyi, “ Mulai hari ini penyidik akan menggunakan kewenangannya atau wewenangnya untuk menahan tersangka”.

Jangan memandang remeh penggunaan terminologi atau istilah dalam praktika hukum positif. Apalagi si penggunanya adalah seorang tokoh publik atau unsur pimpinan disebuah institusi. Sebab masyarakat cendenderung memedomani ucapan tokoh publik baik formal maupun informal. Peliknya, jika ucapan sang tokoh publik keliru atau tidak tepat, maka kasihan rakyat akan mendapatkan pembelajaran atau pengetahuan yang keliru.

Makna kata “hak” jelas berbeda dengan “wewenang” atau “kewenangan”. Selain makna yang berbeda, frase atau rasa katanya pun berbeda. “Hak” stratanya lebih tinggi daripada “wewenang” atau “kewenangan”. Pengguguran sebuah “hak” tidak mudah dilakukan. Harus ada keputusan yang berkekuatan hukum tetap. Tidak demikian dengan pengguguran “kewenangan” atau “wewenang”, bisa dilakukan oleh pihak yang berdasarkan status jabatan dan kepangkatan memiliki “wewenang” lebih tinggi.

Contoh kongkrit, selain “berwewenang” atau memiliki “kewenangan” menahan tersangka, polisi juga memiliki “wewenang” atau “kewenangan” menangguhkan penahanan. Penangguhan tersebut adalah, “wewenang” polisi. Bukan “hak” polisi. Hukum positif kita, Hukum Acara Pidana (KUHAP), mengatur hal tersebut sebagai “kewenangan” penyidik/polisi.

Demikian pula penggunaan istilah “hak” dan “wewenang” di dalam institusi penuntut (kejaksaan). Jaksa juga punya “wewenang” mengembalikan BAP karena kurang sempurna. Jaksa “berwenang” menyatakan BAP sempurna (P 21). Itu “kewenangan” jaksa. Jaksa pun punya “kewenangan” menangguhkan penahaan (tahanan luar) atas terdakwa berdasarkan pertimbangan yuridis yang cukup dan sahih. Semua itu, sekali lagi bukan “hak” tetapi “wewenang” atau “kewenangan”.

Memang ada terminologi “hak” yang diatur oleh UU maupun konstitusi. Contohnya, “Hak” Presiden memberi Grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Ini diatur dalam UUD 1945. “Hak” lain yang melekat pada presiden adalah, “Hak” menyusun kabinet, mengangkat dan memberhentikan menteri. Semua itu “hak” preogatif. Tidak bisa diganggugugat.

Nah, tanpak jelaskan sekarang bahwa “hak” stratanya lebih tinggi daripada “wewenang” atau “kewenangan”. Bahkan “hak” secara subjektif tidak bisa diganggugugat. Terkecuali hanya oleh alasan-alasan yang secara yuridis bisa mengubah atau menggugurkannya.

Dalam koridor hukum pidana, lebih patut penggunaan terminologi “wewenang” atau “kewenangan”. Berbeda dengan koridor hukum perdata, lebih patut menggunakan terminologi “hak”, sebab terkait dengan kepastian hukum secara keperdataan. Contohnya, hak waris, sertifikat hak milik, HGB (Hak guna bangunan), HGU (Hak Guna Usaha), dll.

Semoga tidak ada lagi penggunaan istilah yang bernuansa arogan. Sebab, sekali lagi, Indonesia tercinta ini adalah rechtstaat !.