Senin, 30 Maret 2009

Idealisme Jurnalis Dalam Pelukan Dominasi Politik Media

Oleh:

Sidik Suhada

Tak dapat dipungkiri. Informasi, kini telah menjadi satu kebutuhan hidup masyarakat modern. Bahkan menjadi salah satu kunci kesuksesan hidup seseorang. Semakin banyak orang menguasai informasi, pintu keberhasilan pun semakin terbuka. Salah satu sumber informasi yang selama ini banyak diakses masyarakat adalah media massa. Hingga media massa pun disebut sebagai jendela dunia. Namun, apakah jendela dunia ini dapat memberikan informasi secara obyektif dan bebas kepentingan?


Menurut McQuail dalam Stephen W.Littlejohn (2001: 305) media adalah sebuah organisasi yang kompleks dan memiliki keterkaitan dengan lembaga-lembaga lainnya seperti, ekonomi, sosial, dan politik. Di dalamnya juga mencangkup persoalan fungsi manajemen, personil media, dan aspek teknis lainnya. Sehingga dapat dipastikan, gesekan persoalan yang di dalam media itu sendiri pun kompleks.

Kepetingan pemilik media yang memiliki orientasi bisnis, juga mewarnai objektifitas media itu. Begitu juga dominasi ideologi politik penguasa dalam pemerintahan negara, tentu tak pernah lepas dari kenyataan yang ada. Sekalipun, kini katanya kran demokrasi telah dibuka.

Sehingga media massa yang menurut Denis McQuail (dalam Stephen W.Littlejohn, 2001: 303) disebut sebagai jendela untuk melihat apa yang ada di luar kita, dan sekaligus penerjemah yang dapat membantu kita memahami pengalaman yang menjajikan informasi, ternyata tetap tidak bebas dari kepentingan. Kaca jendelanya pun bisa berubah warna. Menyesuaikan bagaimana ideologi pemilik media dan ideologi politik penguasa yang sedang berkuasa.

Semua ini, tentu saling mempengaruhi. Termasuk idealisme para jurnalis media itu. Walaupun secara umum, jurnalis sebagai human agents yang independen dan memiliki otonomi atas kreativitas serta idealisme mereka. Penguasa dan pemilik modal tetap saja mengutamakan media sebagai instrumen yang dominan. Meskipun media memiliki empat fungsi yakni, menyampaikan informasi, hiburan, pendidikan, dan menjalankan fungsi kontrol sosial, media toh tetap institusi bisnis yang berorientasi pada akumulasi modal. Sehingga beroperasi layaknya sebagai lembaga bisnis yang memiliki struktur dan kaidah logika sendiri di luar empat fungsi media tersebut.

Dalam buku penelitiannya yang berjudul Pers Memihak Golkar, Yohanes Krisnawan (1997:1) mengatakan bahwa, kini pers hidup di alam kapitalistik dengan kebebasan pers yang seadanya. Sehingga berbagai semboyan idealistik, patriotik, dan populis yang terpampang di muka surat-surat kabar atau majalah boleh jadi hanya semboyan kosong belaka. Tanpa makna, dan lebih sebagai kata-kata yang anakronistik alias tidak cocok dengan zaman dan kenyataan.

Meskipun penelitian ini dilakukan pada jaman orde baru berkuasa dan kini telah memasuki jaman reformasi, kepentingan politik penguasa dan kepentingan pemilik media tetap masih mewarnai obyektifitas media itu sendiri.

Idealisme jurnalisnya pun, kini telah berubah mengikuti perkembangan jamam. Setidaknya hal ini juga sering terlontar dalam bahasa guyonan para wartawan, ”Maju tak gentar membela yang bayar”. Meskipun ini dilontarkan dalam bahasa guyon, paling tidak tetap mencerminkan apa yang ada di otak dan berkembang dalam sebuah pemikikiran yang terlontar dalam bahasa guyon.

Bisa jadi ini memang bukan hanya sekedar guyon, namun sebuah realita pengalaman empiris mereka. Apalagi, profesi jurnalis di negeri ini memang belum begitu dihargai. Bahkan tak sedikit gaji jurnalis media massa di negeri ini, masih berada dibawah standar kebutuhan hidup layak. Sehingga tak salah, para jurnalis justru lebih banyak yang berharap dan bersandar pada pemberian ampau narasumber. Meskipun, hampir semua media kini membuat tulisan pelarangan terhadap wartawannya menerima sesuatu dari sumber berita.

Bahkan isi runing text yang setiap hari muncul di layar kaca tv, ”Wartawan... Tidak Menerima Imalan Dalam Setiap Peliputan Berita”, hingga kini tetap masih seperti semboyan kosong tanpa makna. Karena realitanya, masih jauh sate dari tusuknya. Sehingga obyektifitas berita yang dibuat jurnalisnya pun, tetap dapat dipesan oleh siapa saja yang berani memesannya.

Minimal akan diperhalus bahasanya, jika sekiranya dipandang berita itu sudah tidak dapat dihentikan. Bahkan bisa jadi, sisi positifnya yang diangkat dan mengaburkan fakta negatif yang ada.
Para jurnalis yang masih sedikit memiliki idealisme, terkadang juga harus mengerutu karena tulisannya yang dibuat sesuai hasil investigasi yang benar di lapangan, ternyata berbeda setelah keluar di medianya. Semua telah diubah, dan diputar 180 derajat oleh redakturnya karena nara sumber yang diberitakan oleh jurnalis itu, langsung menembusi redaktur agar memihaknya. Tentu dengan kompensasi tertentu, bisa berupa uang yang bisa langsung dimasukan ke dalam kantong pribadi redaktur, maupun kompensasi iklan pariwara yang dapat dinikmati oleh perusahaan.

Hal ini dikarenakan media sebagai sebuah lembaga industri juga berusaha tetap survive mengakumulasikan modalnya. Sehingga media massa ini pun tak ingin berbenturan langsung dengan ideologi penguasa yang ada. Karena dominasi budaya politik penguasa, bisa mengancam bisnis mereka. Karena itu, Stephen W.Littlejohn, dalam bukunya yang berjudul Theories Of Human Communication, (2001:218) edisi ketujuh mengatakan bahwa media tetap saja didominasi oleh ideologi yang berkuasa, dan mereka selalu berusaha membungkam suara-suara yang menentang kerangka ideologi dominan.

Ironisnya, menurut Stephen W.Littlejohn, media selalu menampilkan ilusi keragaman dan obyektivitas, sementara dalam kenyataannya mereka merupakan intrumen-instrumen yang jelas dari tatanan yang dominan. Dengan kata lain, media juga dapat dipandang sebagai alat yang kuat dari ideologi yang dominan. Sehingga ketika yang dominan adalah ideologi kapitails, media pun akan dijadikan alat untuk memperkuat cengkaraman posisi kapitalis.

Sebagaimana logika berfikirnya, jika media ini telah memasuki ranah bisnis, apapun akan dilakukan asalkan dapat memberikan keuntunga. Masyarakat pun akan diarahkan oleh media itu agar dapat menjadi konsumen dan customer-nya. Sehingga keuntungan tetap bisa didapat.

Dengan demikian, apakah media masih bisa menjadi sumber informasi terpercaya? Jaman terus berkembang. Dan waktu pun terus berputar sesuai gerak dialektikanya yang ada. Gerak sejarah perkembangan manusia yang sedang kini sedang menuju pada puncaknya. Pelan namun pasti, idealisme jurnalis pun akan terus mengikuti perkembangan peradaban umat manusia. Tergantung pada siapa yang mengendalikan media itu. Kesadaran jurnalis pun dapat dibentuk.